Candu
Seperti apa rasanya jika kita dicekoki makanan yang tak pernah kita
sukai? Untuk sekali duakali sekedar untuk menghormati sang pencekok kita terima
saja makanan itu masuk ke tubuh kita. Tapi kalau kegiatan cekok-mencekok itu
sudah jadi rutin, pada akhirnya kita muntah juga.
Begitulah, kali ini saya benar-benar muntah. Begini ceritanya. Akhir-akhir
ini ibu saya mulai gemar menyaksikan segala bentuk acara motivasi. Yang paling
rutin dilakukannya adalah menyaksikan acara Mario teguh the golden ways. Awalnya
saya tak terganggu dengan aktivitas itu. Toh, saya punya aktivitas lain tiap
kali pulang ke rumah ibu. Tapi aktivitas ibu saya itu mulai mengganggu
aktivitas saya. Termasuk tidur. Ya, Pasalnya, setelah menonton itu, ibu malah
menceramahi saya seperti layaknya Mario Teguh menceramahi pemirsanya. Saya tak
tega sebenarnya. Dia yang membiayai hidup saya sebelum saya bisa mengais-ngais
tanah dan mematuk makanan dengan ceker dan paruh saya sendiri, masak ceramah
nggak dibayar. Satu dua kali tak mengapalah. Tapi lama-lama kegiatan itu malah
menjadi rutin. Enak di Mario Teguh nggak enak di Ibu saya dong jadi tukang
iklan gratisnya.
Bahkan saya ‘diwajibkan’ turut serta menyaksikan acara tv motivasi yang
sama sekali tak pernah saya sukai itu. Suatu kali usai menonton acara tv
kesukaan ibu itu, saya akhirnya membuka ceramah. Sebelum ibu saya yang duluan
ceramah, yang sebenarnya isinya sama dengan yang saya tonton bersamanya. Sambil
ngemil kripik singkong dan menghisap kretek saya mulai ceramah saya.
Sebenarnya saya mahfum saja kalau ibu demikian gemar menonton acara yang
cuma menjual kebijaksanaan itu. Saya katakan menjual ya karena kebijaksanaan
yang keluar dari basahnya mulut motivator tak pernah nirlaba. Satu dua kalimat
bijak dari mulut motivator harganya bisa puluhan juta. Makanya jangan heran
jika Mario Teguh sampai sekarang dikenal sebagai motivator termahal di
Indonesia. Padahal kebijaksanaan yang dilontarkan para motivator itu hanyalah
kebijaksanaan umum yang didaur ulang dengan aksesoris-aksesoris masa kini.
Tak ada yang benar-benar baru. Tak akan jauh berbeda dengan kebijaksanaan yang
keluar dari kiyai-kiyai kampung, atau tukang becak yang telah banyak makan asam
garam kehidupan. Juga tidak berbeda dengan kata-kata yang keluar dari sohib
kita ketika kita putus cinta. Sambil memberik puk-puk ke bahu dia akan berkata;
“ayo dong, jangan sedih. Kamu pasti bisa.
Move on itu cuma perlu langkah pertama”
Kemahfuman saya tentu tidak tanpa alasan. Sebagai seorang istri pegawai
yang telah satu tahun menjalani pensiun, kegamangan memandang hari depan
ekonomi keluarga adalah kewajaran. Gamang menyaksikan kenyataan hidup yang
sedemikian mahal dan beban hidup yang terlalu berat, seringkali
memaksa manusia menggapai-gapai sekenanya, apa saja sekadar sebagai pegangan
agar tidak roboh. Dan motivasi adalah jawaban yang ditawarkan oleh
industri. Seolah-olah merupakan oasis yang teduh untuk sembunyi kenyataan
ekonomi yang serba tak menentu. Padahal nyatanya cuma fatamorgana belaka. Sebab
ketika motivasi menjadi bagian dari kerja industri, berarti ia adalah dampak
dari persoalan ekonomi.
Berdasarkan sejarah kemunculannya,
kata motivation baru muncul secara tertulis pada tahun
1873 dalam bahasa Inggris modern. Saat itu sedang terjadi kepanikan
ekonomi yang diikuti depresi. Kegagalan perbankan, diikuti kegagalan
dunia bisnis. Sementara masyarakat berada dalam ilusi bahwa segalanya
sedang baik-baik saja, hingga akhirnya mereka berhadapan dengan
kenyataan yang telah begitu rapuh.
Hampir mirip dengan di Indonesia, Di Indonesia, fenomena
motivator-motivator terkenal baru muncul pasca-krisis tahun 1998. Waktu itu
tokoh-tokoh seperti Sudono Salim, dan Ciputra sangat disegani. Bahkan mereka
kerap diundang istana negara untuk memberikan dorongan moril kepada anggota
kabinet agar kinerja mereka membaik. Propaganda-propaganda “keberhasilan
bisnis” kerap menjadi tema sentral dalam kebanyakan materi motivasi hingga
sekarang.
Kasarnya, motivator menjual apa yang yang “enak” didengar daripada yang
“seharusnya” didengar. Menjual yang “indah” daripada yang “benar”, yang
“diinginkan” daripada yang “dibutuhkan.” Ringkasnya, merekalah “ujung tombak”
peredam gejolak emosi kelas menengah karena limbung diterpa krisis ekonomi yang
terus menghantam ke segala lini. Tak bisa dibayangkan bukan ketika, krisis
ekonomi memunculkan jutaan orang resah tumpah ke jalanan. Revolusi. Tak bisa
dibayangkan berapa kerugian yang akan dihadapi kapitalis industri dalam keadaan
semacam itu. Syukur-syukur bisa menyelamatkan diri, bahkan banyak sejarah
revolusi, tak sedikit leher para kapitalis itu remuk dihantam cangkul
petani-petani lapar yang hak hidupnya digilas roda kapitalisme yang kejam.
Jadi tak perlu heran jika yang ada dalam kamus motivator adalah optimisme
dan keyakinan buta; tetap semangat. segala akan baik-baik saja pada waktunya.
Soal pendidikan mahal, kesehatan mahal, kenaikan harga BBM, kenaikan harga
sembako tak ada dalam kamus motivator. Dan entah mengapa kita memang lebih suka
dibohongi ketimbang dijujuri soal kenyataan ekonomi macam begitu.
Makanya tak berlebihan jika motivasi hampir setali tiga uang dengan
agama; tak perlu dibuktikan, cukup dipercayai. Buah dari kenikmatan akan
kepercayaan atas sesuatu adalah keyakinan. Entah berisi atau tidak, terbukti
atau tidak. Tentu bagi mereka yang terlalu mudah terpesona dengan
kata-kata indah, motivator tak akan bisa salah, karena jika kata-katanya tak
bisa dibuktikan, artinya kita yang belum cukup keras berusaha. Tanggalkan
semua atribut bernama verifikasi dan falsifikasi sebagai dasar dari ilmu
pengetahuan. Sebab jika kita masih membawa-bawa verifikasi dan falsifikasi
sebagai alat uji dari setiap petuah motivator kita akan menghilangkan nikmatnya
menyesap kepercayaan. Dan seperti paham akan kerapuhan dari pijakan bernama
kepercayaan itu, para motivator selalu membangun argumennya dengan optimisme
sebagai tiang pancangnya.
Jadilah kemudian semua masalah, solusinya selalu berputar-putar pada
optimisme yang taglid buta. Tak peduli bagaimana kenyataan yang
sebenarnya. Tak peduli akar masalah yang saling berkait-kelindan, atau
bertumpuk-tumpuk variabel yang seharusnya dipreteli. Semuanya berakhir dengan
kesimpulan: kita belum cukup keras berusaha. Dengan kondisi yang demikian tak
berlebihan kalau menyebut motivasi itu candu.
Mendengar ceramah saya yang sengaja saya berondongkan itu seperti SMS (senapan
mesin sedang) jenis M-60 yang dipegang Rambo, adik dan ibu saya melongo.
Sejenak. Dari sela-sela gigi kedua orang yang saya cintai itu terpampang
wajah-wajah delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Dari bibir mereka yang
kelu itu terdapat gurat wajah-wajah buruh upah murah yang sedang berebutan satu
bungkus makan siang usai berdemo.
Sementara di mata ibu saya wajah saya mungkin sudah kelihatan seperti
orang kerasukan. Ibu mengelus dada. Berkali-kali istighfar keluar dari
mulutnya. Selanjutnya, bisa ditebak, saya dan ibu saya mulai tidak bertegur
sapa. Mungkin karena saya mulai muntah dan ogah kecanduan motivator. Tapi tak
lama. Toh, kami tetap akrab lagi seperti ibu dan anak. Kini, ibu saya sudah tak
pernah nonton Mario Teguh. Kegemarannya yang lain, setelah bapak meninggal,
menonton motivator religius: Yusuf Mansur!