Esai Puisi buat Denny JA
Kakak Denny
JA yang baik dan banyak uangnya. Sebenarnya saya tak sanggup menulis esai ini,
karena saya tak sekaya kakak Denny JA yang banyak uangnya. Lagipula saya sedang
tidak terpengaruh dengan kakak. Tapi apa boleh baut dan ulirnya, apa boleh buat
dan tindakannya, saya merasa sedang melakukan percobaan, Kak. Ya, mirip-mirip
ilmuwan di laboratoriumnya itu. Percobaan. Boleh dikata percobaan saya tidak dengan keseriusan yang ngaceng atau
kengacengan yang kelewat serius. Tak perlulah itu saya kira. Sebab ketika kengacengan itu terganggu, orang mudah jadi kalap, lalu lapor aparat. Percobaan saya memang agak main-main sih. Tapi seringkali karya monumental justru dimulai dengan "main-main" bukan? Bukankah slogan, "Boeng, ayo, Boeng!" di lukisan Affandi yang fenomenal itu berasal dari keisengan Chairil Anwar yang terinspirasi dari kalimat yang digunakan para pekerja seksual di Kawasan Senen untuk menawarkan servis mereka ke para pria yang lalu lalang.
Begini percobaan saya. Kalau kak Denny JA mencoba bikin puisi esai yang ternyata gagal itu (tenang kak, masih ada harapan. Khan belum gagal total), dan Bang Saut Situmorang yang bajingan itu kemarin bikin pantun esai, maka saya baru saja mencoba bikin esai puisi. Bayangkan, esai puisi. Keren khan Kak sebutannya?! Esai puisi (cie…busungkan dada dikit). Sebuah esai yang dilengkapi catatan kaki. Tapi catatan kakinya bukan seperti “data sosial’ seperti puisi esai. Tapi catatan kakinya justru puisi. Entah pantun, haiku, sajak modern, prosa liris, dan lain sebagainya yang sejenis.
Begini percobaan saya. Kalau kak Denny JA mencoba bikin puisi esai yang ternyata gagal itu (tenang kak, masih ada harapan. Khan belum gagal total), dan Bang Saut Situmorang yang bajingan itu kemarin bikin pantun esai, maka saya baru saja mencoba bikin esai puisi. Bayangkan, esai puisi. Keren khan Kak sebutannya?! Esai puisi (cie…busungkan dada dikit). Sebuah esai yang dilengkapi catatan kaki. Tapi catatan kakinya bukan seperti “data sosial’ seperti puisi esai. Tapi catatan kakinya justru puisi. Entah pantun, haiku, sajak modern, prosa liris, dan lain sebagainya yang sejenis.
Dan percobaan
saya itu, Kak, saya temukan pertamakali ketika saya jongkok di kakus dan
mengejan. Pas BAB itulah saya ingat Kakak dan haiku. Saya baru pertamakali ini
loh bikin haiku(1). Dan temanya tentang Kakak. Maklum pemula, kalau haiku saya
gagal, mohon dibina ya kak. Tapi tolong jangan dibinasakan. Apalagi
dipenjarakan. Saya tahu kakak orang baik dan tidak sombong. Orang kaya dan
banyak omong. Tapi penting dicatat, tidak sombong. Wajar tho orang kayak banyak
omong. Yang penting tidak sombong. Sedang saya? Saya cuma salah seorang anak
Indonesia(2) yang sedang belajar. Bukankah amat tidak pantas bukan,
membinasakan murid yang sedang giat-giatnya belajar menulis esai puisi dan
mencoba peruntungan siapa tahu bisa jadi ‘maha dasyat’ seperti puisi esai yang
dielu-elukan tante Fatin Hamama (maha dasyat dari Hongkong?!). Sebab dengan
esai puisi saya mencoba muvon kakak. Muvon.(3)
Esai puisi
saya ini tentu saja tak bisa saya sebarluaskan dengan riuh gemuruh seperti
pesta pernikahan Raffi dan Gigi itu. Seperti puisi esai itu. dilombakan,
diyutubkan, diseminarkan dengan terbatas. Bayangkan berapa duit yang akan saya
habiskan untuk itu. Bisa ambruk hidup saya, Kak. Kalo kakak yang baik tidak
sombong dan banyak uangnya tentu tidak akan berpikir seperti saya. Buktinya,
riuh pesta puisi esai terus membahana diseantero medsos, meskipun saya
mendengarnya cuma satu hal. Berat sebenarnya ngomong satu hal itu karena
sakitnya tuh di sini kakak, di sini (sambil nunjuk dada). Satu hal itu; Puisi
esai ditolak. Dijadikan guyonan. Diledek-ledekin. Bermula karena masuknya kakak
menjadi 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Apa hebatnya kakak Denny
JA dan mbah Pramoedya Ananta Toer atau Chairil Anwar kok bisa dikelompokkan
dalam satu buku menjadi sastrawan berpengaruh? Karena buku puisi Atas Nama
Cinta itu? Yang dibacakan, diyutubkan, dilombakan resensinya hanya karena honornya
gede-gede. Bukan karena orang secara intuitif tergerak untuk melakukannya karena karya tersebut memang bagus. Pemberian honor begitu tentu bikin ngiler siapa saja yang isi dompetnya sekaligus isi kepalanya sering lebih
mirip kopiah. Kopong.
Kak, orang
tak bisa seenaknya membeli pengaruh seperti membeli telur puyuh. Pengaruh itu soal
capaian seseorang dengan natural. Tidak dibuat-buat. Tidak dipaksakan. Orang boleh
melakukan percobaan atas sesuatu yang dianggapnya genre baru. Tapi tak selalu
berhasil bukan? Karena itu, mereka, sastrawan-sastrawan itu, yang berhasil kakak
beli opininya, pernyataan, dan keputusan-keputusannya untuk memasukkan kakak
dalam buku 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh hanya bagian kecil,
sangat kecil malah, dalam jagad sastra Indonesia yang maha luas ini.
Melihat kegagalan puisi esai menjadi
genre sajak berpengaruh maka saya mencoba bikin genre baru bernama esai puisi
ini. Kakak mau membantu menyebarluaskan esai puisi saya? bikin lomba-lomba esai
puisi gitu? Hem, kalo iya, bisa kita bicarakan. (mau nomor rekening saya?)
Sedangkan bekenaan
dengan penolakan buku 33 tokoh sastra indonesia paling berpengaruh itu, di mana
kakak nangkring di dalamnya, jangan berkecil hati . Selalu ada harapan. Selalu.
Asal jangan main tikam dari belakang dan mau sedikit rendah hati masuk halaman
orang. Misalnya, cobalah terima tantangan aliansi anti pembodohan itu soal
debat terbuka atas buku dimana kakak masuk di dalamnya. Percayalah, orang
sastra sebenarnya baik hati kakak. Asal pendatang tahu diri. Jangan congkak.
Jangan seakan-akan bisa membayar segelintir orang sastra kakak bisa berlagak
seenaknya. Itu tidak baik kakak. Apalagi dengan main adu ke polisi. Tapi kau
memang itu mainan kakak ya apaboleh baut dan ulir-ulirnya. Kadang seorang
politikus bisa sedikit curang ya? Sedikit main strategi mengalihkan perhatian. Oke
sih. Tapi kakak masih ketahuan kok.
Soal main
sih, saya cukup main di jhengkah(4). Obyek wisata api alam dekat kampung saya.
Tempat favorit saya. Kakak mau main sama saya? Kalau mau nanti kita bakar
jagung berdua. Bang Saut nggak apa-apa nggak usah diajak. Cukup kirimi satu
krat bir bintang. Dia pasti udah oh yes oh no. Sementara kita? Kita bisa bicara
empat mata. Dari hati ke hati. Sapa tau saya bisa puk puk kakak. Atau dapat ide
sehingga bisa bikin sajak temuan(5). Pasti seru dech.
Demikian esai
puisi saya. Kakak suka? Enggak!? Sama berarti. Kita impas. Karena saya emang
nggak suka sama puisi esai. Beli bukunya aja enggak. Sebab saya ngintip sekali
dua kali di website kakak ternyata biasa aja. Tapi kalo kakak suka esai puisi
saya, kita jadi satu kosong. Karena saya tetep nggak suka puisi esai. Kecuali,
kecuali, wani piro?
Catatan Kaki
Lubang Kakus
Denny JA terpeleset
Plung!
(2) AKU ANAK INDONESIA
aku tidak sehat
tubuhku kumat
karena ibuku digusur aparat
sewaktu aku bayi hidup penuh polusi
makannya indomie kadang nasi basi
berat badanku kerempeng slalu
posyandu menunggu tapi tak membantu
bila aku diare
ibu slalu merana
pertolongan oralit
kalo duitnya ada
(3) MUVON
ketika kau pergi
cintapun pergi
buat apa memelihara yang tak pasti
tapi tidak dengan kerinduan
ia suka ikut jalan jalan naik delman
duduk di muka sambil dengarkan mp3
menyusuri sepanjang jalan kenangan
jalan dimana sms dari mantan
pilih opsen lalu delet pelan pelan
kerinduan itu lalu menjelma jadi bayangan
dalam tangis dalam kesedihan
kemudian melarut ke dalam malam
malam malam haru
malam malam penuh miskol
dari nomor nomor tak dikenal
tapi hanya pemberani
yang membiarkan cinta kembali
tanpa miskol atau sms kosong
tentu tidak berbagi denganmu yang dulu lagi
ke lain hati pasti
yang penting jadiannya
tetap di mekdi
(4) JHENGKAH DALAM SEBUAH SAJAK
semesta apa yang kini ada dalam dadamu?
tuhan pun tak akan tahu
meski Ki Moko membelah pusar bumi
lalu tanah menyemburkan api
api itu. api yang tak mati
kini mencipta rusuk rusuk kampung
dan tangis orang miskin yang berembun
sepasang pohon kapuk tua
dengan puluhan luka cinta di tubuhnya
masih di sana, di kelokan ketiga
terus meranggas dan meranggas
melawan lidah matahari
yang saban hari mencambuk bumi
masih ingatkah kau?
diantara pagar kaktus
dan bekas kolam belerang yang terputus
dadaku pernah menyentuh dadamu
kita terbakar di situ
hingga yang kita tanam runtuh
dan tak ada lagi yang tumbuh
setiap kali ada yang kita sentuh
atau kau masih terus berusaha melupakan setiap luka
hanya untuk ingin disebut selalu berbahagia?
tapi apalah kebahagiaan, gadisku
cuma kesedihan kesedihan yang tertunda
dan nasib kadang luput
memberinya airmata
api itu masih menyala
kadang begitu haru
kadang begitu lugu
seperti tangis anak bisu
kehilangan tekukurnya
aku tak akan melupakan dadamu
tak akan. seperti api itu
sebab dari jalan setapak yang pecah
diantara rumah rumah pengemis
dan bekas kuburan penjajah
aku menyimpan dadaku
yang hangus terbakar dulu
dan kini bangkit
menjilat jilat semesta
kepedihanku
(5) SAJAK TEMUAN
menidurimu di pagi buta
atau malam luka
sama saja
tubuhmu
yang lembut imut
seperti gugusan jembut itu
selalu meronta dan meronta
di sampingku
tiapkali tanganku memelukmu
kau menangis
seribu kunang kunang
keluar dari airmatamu
lalu seribusatu tuhan
berguguran
dari kutangmu
kunang kunang itu pergi
tiap hujan turun
sedangkan tuhan tuhan itu
menjelma jadi
genteng bocor
kau menggigil
dan menggigil
aku mendengkur
dalam baskom
20 Oktober 2014