Catatan Kecil tentang G 30 S di Madura (2)
“Berapa angkanya?” Tanya Soekarno pada Menteri Sekretaris Negara Oei Tjo
Tat
”Ada yang menyebutnya 250.000 ada yang menyebutnya 500.000”
”Tepatnya berapa?”
”Angka resmi Angkatan Darat 78.000, Pak”
”Sudahlah aku tak percaya. Berapa tepatnya?”
”Kalau Bapak tak percaya, kalikan lima saja angka resmi itu” jawab Oei.
Memang tak ada yang tahu angka resmi korban pembantaian yang dilakukan AD
dan paramiliternya pada orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun 1966
yang berdarah itu. Tapi semua peneliti sepakat kisaran angka 500.000 – 1.000.000
jiwa yang sudah dihabisi. Makanya tidak berlebihan jika ada yang mengatakan
angka korban pengganyangan PKI pasca G 30 S lebih ‘mengerikan’ dari korban bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki atau perang Vietnam selama dua tahun. Malah
Sarwo Edhie yang kala itu menjadi pemimpin operasi pengganyangan PKI pernah
sesumbar telah menghabisi tiga juta orang. Para eksekutor di laparangan
sepertinya melaksanakan betul titah Soeharto untuk “menghabisi sampai ke
akar-akarnya’
Angka di atas belum termasuk mereka yang ditahan di penjara seluruh
Indonesia dan dibuang ke pulau buru atas tuduhan terlibat G 30 S, tanpa proses
pengadilan. Salah satu diantara orang PKI yang ditahan itu ada Djauhari.
Djauhari adalah ketua PKI Cabang Pamekasan. Pertengahan tahun 1966 dia
diciduk tentara. Kemudian ditahan di penjara Pamekasan kurang lebih 3 tahun.
Sebelum ditangkap dia bekerja di jawatan kereta api. Pada tahun 1969 dia
dibebaskan. Di penjara dia belajar teknik pijat refleksi. Setelah keluar
penjara dia buka praktek pemijatan. Pasiennya banyak. Termasuk bapak saya
langganannya.
”Seandainya dia masih hidup, dia bisa cerita banyak soal peristiwa di
tahun-tahun itu,” kenang bapak saya.
Menurut bapak saya dia ‘tahu betul’ peristiwa itu. Usianya seumuran
dengan kakek saya. Ketika tahun 1965-1966 usianya sekitar 30 tahun. Sebagai
tokoh partai dia tentu saja ‘paham’ hiruk pikuk politik di tahun-tahun itu. Tak
heran tiap ada pasien yang bertanya soal peristiwa G 30 S dia akan cerita
panjang lebar. Malah dia tahu daftar orang-orang yang akan duduk di
pemerintahan jika gerakan tersebut menang. ”Dia cerita sendiri kalau gerakan
itu menang, dia adalah akan jadi calon bupati Pamekasan,” cerita bapak saya.
Cerita bapak saya dibenarkan oleh Tjipto. Tjipto juga pasien Djauhari
sama seperti bapak saya. Tapi menurut Tjipto, Djauhari terlalu banyak membual.
Dia terlalu melebih-lebihkan soal jadi bupati Pamekasan itu. ”Maklum orang tua.
Banyak pikunnya daripada benarnya,” kata Tjipto.
Memang ketika G 30 S meletus dan berhasil menguasai RRI pada dini hari 1
Oktober 1965 yang suram itu, Letkol Untung segera mengumumkan apa yang ia sebut
sebagai Dewan Revolusi. Dari situ dia menyebutkan tentara yang terlibat
dinaikkan pangkatnya, juga menyebutkan susunan kabinet Dewan Revolusi itu.
Kuat dugaan saya apa yang terus diceritakan Djauhari pada pasien-pasiennya
soal daftar orang-orang PKI yang akan duduk di pemerintahan jika G 30 S menang
lebih banyak terinspirasi berita itu. Bukankah apa yang diumumkan Letkol Untung
beserta daftar dewan bentukannya itu juga dimuat di Berita Yudha dan Angkatan
bersenjata, koran resmi Angkatan Darat yang diijinkan terbit pada awal mula
peristiwa berdarah tersebut?
Pertanyaan lain dalam benak saya menggantung. Mengapa Djauhari tidak ikut
dibunuh? Bukankah dia ketua PKI? Pertanyaan ini tidak tanpa alas an. Pasalnya,
sasaran pembunuhan yang telah direncanakan untuk pengganyakan PKI sampai ke
akar-akarnya cukup sistemik. Di samping tokoh-tokoh PKI dari puncak sampai ke
akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan organisasi massanya.
Terdapat juga target khusus yang lain berupa kaum intelektual dan tokoh
yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga guru, seniman, kepala
desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis. Nampaknya target tertentu
ini benar-benar telah direncanakan dengan matang setelah analisis mendalam
tentang kemungkinan hari depan komunisme di Indonesia. Mungkin sekali hal ini
ada kaitannya dengan daftar maut CIA yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal
Soeharto.
Saya lalu teringat salah satu cerpen Martin Aleida dalam kumpulan cerpen “Mati
baik-baik, Kawan.” Dalam cerpen tersebut Martin bercerita tentang tokoh Ba. Dia
tokoh PKI yang mengkhianati kawan-kawannya sendiri. Dari tangan Ba, daftar
anggota PKI dan orang yang dituduh PKI didapat tentara untuk kemudian dijemput
paksa malam-malam lalu dihabisi. Ba juga yang mendatangi restoran Indonesia di
Paris tempat bermukimnya orang-orang eksil yang menyelamatkan diri dari
kebiadaban militer Orde Baru. Tapi Ba pulang dengan tangan kosong dari Paris. Atas
‘balas budi’ tentara, Ba mendapatkan tanah yang menjadi tempat tinggalnya. Tapi
pada matinya tak ada satupun kawannya yang melayat. Warga juga enggan menggali liang
kuburnya. Istrinya sendiri yang menggali kubur suaminya.
Tak dapat dipungkiri, dalam masa-masa sulit selalu ada pengkhianat yang
atas kepentingannya sendiri, keselamatannya sendiri rela menjilat musuh dengan
mengorbankan kawan-kawan seperjuangannya sendiri. Jika Ba, adalah eksekutor
bagi kawan-kawan sesama organisasi, maka barangkali Djauhari adalah corong
tentara. Corong yang menghembuskan ‘kebenaran’ isu versi Orde Baru bahwa PKI-lah
dalang G 30 S. Sebuah pengandaian dibangun dari cerita-cerita Djauhari pada
pasien-pasiennya. Sudah disiapkan rencana kudeta Negara. Orang-orang yang akan
duduk merebut kekuasaan sudah ada. Djauhari sanggup menyebutkan daftar nama
orang-orang PKI yang akan berkuasa itu. Mulai dari Gubernur Jawa Timur. Sampai nama
Bupati di tiap-tiap kabupaten di Madura jika G 30 S menang. Tentu saja
orang-orang yang dia sebut itu sudah mati dibantai. Tak ada yang menyanggah
cerita Djauhari. Semua pasien mengangguk setuju. Karena cerita Djauhari sesuai
dengan rencana besar sebagaimana dikisahkan dalam film G 30 S yang merupakan
alat propaganda Orde Baru. Sebuah fiksi yang keji. Sebuah pengandaian yang
penuh amis darah pembantaian.
Djauhari meninggal pada tahun 2001. Tak seperti Ba yang sendirian dan
kesepian, rumah Djauhari dipenuhi pelayat. Kerandanya diusung tetangganya,
kerabatnya, kenalannya serta pasien-pasien langganannya sampai liat lahat dengan
khitmat. Tak ada yang menuduhnya pengkhianat. Orang-orang hanya mengecapnya
sebagai seorang komunis yang ‘taubat’. (bersambung)
1 komentar:
Menarik. Rasanya pernah dengar nama Martin Aleida. Dimana ya..? Sudahlah ditunggu lanjutannya...
Posting Komentar