Love in Die
Malam Tahun baru 2013 masih penuh warna duka bagi keluarga
Kurnianto. Belum kering airmata salah satu pegawai kantor berita radio
68H (KBR68H) itu saat mengenang kematian tragis yang menimpa Ayu Tria
Desianti, anak sulungnya. Sore itu, Rabu, 26 Desember 2012, Kurnianto
bergegas membawa anaknya ke Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Sebab
kondisi Ayu tiba-tiba drop. Pembuluh darah bocah berusia 9 tahun
penderita leukemia itu pecah. Ia harus mendapat pertolongan cepat. Tapi
naas bagi Ayu. Hari itu Ruang ICU RS Harapan Kita yang biasa digunakan
untuk cuci darah dan kemoterapi sedang digunakan syuting sinetron Love in Paris. Kru sinetron lalu lalang di ruang yang mestinya steril itu. Pelayanan terhadap pasien terganggu. Ayu makin kritis.
Pada Kamis 27 Desember 2012 dini hari, Ayu mengalami koma. Jantungnya
berhenti. Pihak rumah sakit berusaha memompa jantungnya. Sementara
syuting sinetron masih berlangsung di RS itu. Tapi terlambat. Ayu
meregang nyawa. Bocah manis yang menderita kanker darah sejak usia 2
tahun itu dinyatakan meninggal pada pukul 02.30.
Berita kematian itu menyebar ke jejaring sosial. Orang-orang teriak.
Orang-orang mengutuk. Orang-orang menghujat sambil bertanya-tanya dengan
rasa geram di dada. Bagaimana sebuah ruang ICU di rumah sakit yang
mestinya steril bisa menjadi lokasi syuting? Begitu ‘hebatkah” sinetron
Indonesia hingga harus menggunakan lokasi beneran, tidak menggunakan
lokasi buatan tanpa harus mengorbankan penanganan pasien yang sedang
kritis?
Femmy Sagita, Sutradara sinetron Love in Paris, angkat
bicara soal itu. ”Pas kemarin malam menunggu barang, kita bukan di ruang
ICCU. Tapi ruang biasa yang kami sewa. Dokter kepala menyampaikan
memberi izin syuting di ICCU real set. Kita juga tanya, emangnya boleh?
Katanya enggak apa-apa, aman syuting di sini, tidak ada pasien. Akhirnya
peralatan dari luar kita cancel," jelasnya pada berita online
okezone.com.
Namun Kepala Instalasi Humas RS Harapan Kita, Sahrida, saat menggelar
jumpa pers di kantornya, membantah jika lokasi syuting yang digunakan
adalah ruang ICU. Menurutnya, ruangan yang dipakai untuk lokasi syuting
adalah ruang penyimpanan alat. Di ruangan itu, disimpan alat-alat
kesehatan yang bisa dipakai kalau dibutuhkan untuk darurat. Tapi
letaknya berada di satu lantai dengan ruang ICU. ”Jadi sama-sama di
lantai dua letaknya," tegasnya.
Terlepas dari perdebatan sutradara Love in Paris dan Rumah
Sakit Harapan Kita, kematian Ayu Tria adalah salah satu bukti dari
banyak kasus serupa mengenai tumpulnya sistem kesehatan di negeri ini.
Ya. Sistem Kesehatan yang berorientasi pasar terbukti gagal dalam upaya
mensejahterakan umat manusia. Sebab dalam sistem pasar, yang menjadi
tolak ukur adalah bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya dengan
modal sekecil-kecilnya. Akibatnya pasien hanyalah menjadi korban dari
kerakusan. Ini bisa dilihat dari mahalnya biaya kesehatan. Maraknya
kasus malapraktik yang menimpa pasien adalah contoh lainnya. Termasuk
juga rumah sakit jadi lokasi syuting demi menangkup uang dan pencitraan.
Ironisnya, dokter dan civitas kesehatan lainnya masih dianggap sebagai
“dewa penolong” tanpa cela, tanpa kepentingan politik ekonomi dalam isi
kepalanya.
Tentu kita merindukan sebuah rumah sakit seperti Gesundheit! Institute.
Sebuah klinik pengobatan gratis di West Virginia yang didirikan oleh
Patch Adam. Patch Adams mengembangkan sebuah rumah sakit yang
menggunakan tawa sebagai obat, cinta sebagai mata uangnya dan
kepercayaan serta dukungan sebagai fondasi pembangunannya. Sebab dalam
praktek kedokteran yang ideal, menyembuhkan merupakan interaksi
antarmanusia yang penuh kasih sayang, bukan transaksi bisnis. Kaum
profesional di bidang kesehatan harus ’berani’ mengulurkan tangan pada
pasien yang menunjukkan rasa sakit dan kerapuhan mereka. Demi kesehatan
pasien; dokter dan seluruh staf kesehatan lainnya harus berusaha keras
membangun persahabatan dengan pasien secara mendalam. Sebab persahabatan
adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit
Karena konsep dasar pelayanan kesehatan di Gesundheit! Institute
adalah cinta dan persahabatan, maka biaya haruslah dihindarkan.
Artinya, melayani adalah tugas kemanusiaan. Dan tugas mulia itu tidak
butuh bayaran. Biaya yang tidak terkendali dalam bidang kedokteran
mendorong keserakahan. Dan keserakahan adalah musuh utama persahabatan.
Dalam perhabatan yang lahir dan dibangun adalah berbagi dalam segala hal
baik susah dan senang. Itulah sebabnya rumah sakit Patch Adams mirip
sebuah sirkus. Dokter dan staf kesehatannya berpakaian badut. Mereka
melucu. Pasien tertawa. Sebab humor adalah obat mujarab dari segala
penyakit. Humor sebagai pemberi kesehatan telah ada sepanjang sejarah
kedokteran. Mulai Hiprokrates sampai Sir William Osler. Buku mainstream
kedokteran tak menyangkal itu.
Tapi rumah sakit di negeri ini bukan Gesundheit! Institute.
Tak ada humor di rumah sakit negeri ini. Yang ada ironi dalam tajam
jarum suntik, lentik jemari suster dan isak tangis yang santer. Rumah
sakit negeri ini adalah abang punya uang, abang akan dapat pelayanan
standar kesehatan maksimal. Tapi jika tak punya uang, dengan seribu satu
rintihanpun abang tetap akan ditendang. Miris. Ya. Tapi begitulah
faktanya. Di kolong langit manapun semua sistem kesehatan yang
berorientasi pasar selalu penuh tumbal manusia dan kemanusiaan.
Dan Ayu Tria adalah salah satu dari banyak tumbal sistem kapitalisme
kesehatan. Bocah manis yang terus memperjuangkan hidupnya dari gempuran
leukemia itu akhirnya kalah. Ia meninggal diantara hiruk pikuk syuting
sinetron Love in Paris yang dilakukan di rumah sakit tempat ia
biasa berobat. Bukan pembunuhan langsung sebenarnya. Tapi melakukan
syuting di ruang ICU tempat di mana pasien-pasien kritis tengah
bersabung nyawa adalah tindakan fatal. Kematian Ayu bukanlan sinetron.
Dan Love in Paris kini menjelma Love in Die.
Suara terompet tahun baru masih membahana dalam kepala kita.
Warna-warni kembang api berlesatan ke udara. Mewarnai langit kelam
berselimut mendung pada malam pergantian tahun yang dingin. Tahun baru
2013 tiba. Dan masih akan terdengar lenguh kesakitan dan isak duka bagi
kaum papa. Saat angka-angka disusun kembali di kalender, orang miskin
terus menjerit atas segala ketidakadilan yang melindasnya. Dihadapan
sistem kesehatan berbasis pasar orang miskin tetap dilarang sakit. Dan
hujatan demi hujatan atas segala ketidakadilan tak berperikemanusiaan di
jejaring sosial twitter tinggallah sebuah hujatan selama tak ada
perlawanan. Kejadian serupa dalam bentuknya yang lain akan terus
berulang. Meminjam Widji Thukul dalam sajak “mendongkel orang-orang
pintar;” begitu kering rasa jengkel, begitu sign out dari akun
twitter, dunia tak bergerak. Kebengisan kapitalisme terus
menampar-nampar di depan kita. Bahkan di wajah kita sendiri. Selamat
tahun baru 2013.
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Sabtu, 05 Januari 2013
Love in Die
Label:
Artikel,
Esai Budaya,
Kesehatan Masyarakat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
tragis.. miris bacanya.. ikut prihatin. semoga Ayu sudah bahagia dan tidak menderita lg bersamaNya.
Amin. Semoga ya! Makasih ya udah mampir dan komen. Lam kenal!
Posting Komentar