Judul : Siddhartha
Penulis : Herman Hesse
Penerbit
: PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan
: I, 2014
Nomor ISBN : 978-602-03-0419-9
Tebal
: 166 Halaman
Peresensi :
HN. Amrif
Tahun 1922. Perang dunia pertama baru saja reda. Puing-puing sisa
perang berserakan bersama anyir darah, ketakutan dan airmata yang menyungai di
seantero eropa. Ekonomi limbung, nyaris ambruk. Kehidupan kacau. Masyarakat
Eropa tengah bergulat dengan kegamangan diri yang akut. Mereka mencari jalan
baru untuk ketenangan batin pasca perang sebelum jatuh dalam kubangan banalitas
yang menggila. Pada saat itulah kehausan religius melanda. Dan Herman Hesse
seakan menjadi oase diantara dahaga religi eropa itu.
Melalui tangannya yang dingin, peraih nobel sastra tahun 1946 yang
lahir di Cawl Jerman tahun 1877 itu menulis novel berjudul Siddhartha. Sebuah
novel pendek yang bercerita tentang kehidupan Siddartha, seorang pemuda yang
kebetulan bernama sama dengan sang Buddha. Dan bisa ditebak, dengan segera
novel itu memikat masyarakat Eropa yang tengah bergulat dengan kegamangan pasca
perang dunia. Novel tersebut kembali mengerek nama Hesse ke jajaran penulis
papan atas eropa.
Dalam Siddartha, Hesse melompati pagar pembatas spiritualitas pagan
yang kaku dan hitam putih dengan menggarap prosa yang mengupas intisari dari
perjalanan spiritualitas manusia beragama. Sejatinya novel tersebut terinspirasi
setelah perjalanan Hesse ke Burma dan Indonesia pada tahun 1911 untuk mendalami
Budhisme. Novel tersebut jadi best seller. Dicetak ulang berkali-kali dan
diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Eropa kemudian mengenang Siddartha
sebagai salah satu karya klasik garapan anak dan cucu misionaris Protestan itu
sebagai salah satu karya yang berhasil merangkum kata Om sebagai puncak pencapaian spiritual Budhisme.
Siddhartha berkisah tentang seorang anak muda yang cerdas dan keras
kepala bernama Siddhartha yang sedang bergulat dengan dirinya sendiri dalam
pencarian kebenaran spiritual. Bersama sahabatnya, Govinda, ia berkelana
mencari pencerahan. Melepas segala gelar dan kemewahan istana yang menjadi
takdir hidupnya. Melewati segala rintangan dan cobaan hidup, mengambil hikmah
atas semua perjalanan nasibnya mulai dari berkelana dengan Samana, para pertapa
musafir, bertemu Gautama, bercinta dengan pelacur bernama Kamala, menjadi
pedagang, hingga akhirnya bertemu Vasudeva si tukang tambang dan menemukan
pencerahan.
Novel yang ditulis pada tahun 1922, di tengah kecamuk perang dunia
pertama yang tengah mereda, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdari
empat subbagian; Putra Brahmana, Bersama Para Samana, Gautama dan Kebangkitan.
Berkisah tentang awal mula Sidharta mewujudkan tekadnya mencari kebenaran
spiritual. Bagian kedua yang terdiri dari delapan subbagian (Karmala, Bersama
orang-orang Kekanakan, Sansara, Di Sungai, Tukang Tambang, Si Anak Lelaki, Om,
dan Govinda) menceritakan tentang pergulatan hidup Sidharta hingga menemukan
titik terang spiritualnya (dan tak pernah lagi berpaling) ketika menjadi
seorang penambang.
Melalui
Novel ini, penulis buku berjudul Demian itu,
hendak mengajak kita untuk kembali melihat kearifan timur dan berjabat tangan
pada kedamaian. Perang tak akan memberikan apa-apa selain kerakusan dan
tindakan manusia yang paling banal: pembantaian. Kita diajak menekuni kearifan
melalui laku spiritual yang tak kosong. Yang tak hanya berisi aturan dan laku
ibadah panjang tapi samasekali hampa saat diejawantahkan dalam laku hidup
sehari-hari antar sesama manusia.
Sebagaimana pesan Gus Dur, bahwa
agama janganlah sekedar dijadikan sekedar emblem semata. Haji berkali-kali tapi
korupsi kian banter. Sholat duha dan tahajjud sepanjang hidup tapi menjadi
rentenir dan tukang peras penduduk kecil. Mengaku beragama tapi paling sibuk
mengutuki dan mengkafirkan agama lain.
Meski ditulis puluhan tahun silam,
novel ini masih juga tak kehilangan rohnya sebagai bahan perenungan kita bahwa
kedamaian adalah jalan terakhir tiap manusia. Tak akan ada kedamaian hidup
dalam gelimang harta dan kerakusan akan kuasa dunia. Tak akan ditemukan
kedamaian jiwa sejati ditengah ambisi dan harapan-harapan duniawi. Kebahagiaan
ditemukan dalam penyerahan penuh seluruh pada totalitas spiritual dan
kesederhanaan.
Membaca novel ini kita diajak
merasakan pahit getirnya hidup seorang pencerah. Siddharta melakoni semua itu
tanpa ada anasir dalam dirinya untuk menjadi nabi. “Sebab di dalam diri semua manusia terdapat jiwa
pencerah. Bahkan di dalam jiwa seorang pendosa paling berdosa sekalipun.” Ujar
Siddharta ketika menasehati Govinda dalam pertemuan terakhirnya di pinggir
sungai.(hal.158) Karena itu, lanjut Siddharta, “kearifan sebenarnya tidak bisa
disampaikan. Sebab kearifan yang selalu disampaikan orang bijak selalu
terdengar seperti kebodohan.”(hal.156). Sebab tiap manusia memiliki kearifannya
sendiri. Dan kearifan itu datang dari cara manusia membebaskan dirinya dari
penderitaan-penderitaan hidupnya. Karena itu tiap manusia punya jalannya
sendiri menjadi sang pencerah.
Meski Hesse tak hendak menulis otobiografi Sidharta Gautama dalam
novel berjudul nyaris sama dengan nama sang buddha itu, tapi banyak kisah dan
laku kehidupan Siddartha mirip dengan kehidupan sang buddha. Makanya tak heran
jika karya klasik ini dapat bertahan dan terus dicetak ulang hingga sekarang.
Bahkan tak sedikit yang menduga Novel ini adalah novel semiotobiografi sang
pencerah dari Nepal itu.
Di Indonesia sendiri, seingat saya setidaknya ada tiga penerbit yang
menerbitkan Siddartha. Yang pertama adalah penerbit Bentang, Yogyakarta pada
tahun 2002. Kemudian penerbit Jejak, Yogyakarta pada tahun 2007. Lalu
diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2014. Tentu saja,
mengingat betapa fenomenalnya novel ini, di tahun-tahun sebelum tahun yang saya
sebutkan Siddartha telah hadir ke hadapan pembaca Indonesia melalui berbagai
penerbit.
Bagi mereka yang ingin mengenal budhisme, novel bercover merah hati
dengan gambar kepala buddha di covernya ini bisa menjadi pintu masuk pertama.
Terlebih lagi terjemahan Gita Yuliani atas novel ini juga tak bisa dibilang
sembarangan. Dalam versi Indonesianya ini kita masih bisa menikmati keindahan
kata-kata dan pesan spiritual yang menjadi ciri khas Herman Hesse, meskipun
hurup yang digunakan dalam buku yang desain covernya dibuat oleh Eduard Iwan Mangopang
ini terbilang kecil dan cukup mengganggu cara baca.
Lagipula novel ini tidak dikhususkan pada penganut buddha, melainkan
pada semua manusia yang merindukan kedamaian hakiki melalui laku spritual.
Melalui novel ini kita diajak untuk meraba teladan dan mendekap kharisma tokoh
Siddhartha agar tak gagal mewarisi sebuhul kearifan dan rasa kasih sayang antar
sesama. Meskipun kadang manusia gagal menemukan secercah pencerahan dan melulu
larut dalam pertumpahan darah dan serang-menyerang atas nama Tuhan.
*) Resensi ini dimuat di harian Suara Madura, 24 Februari 2015
TENTANG PERESENSI
*HN. Amrif adalah alterego Edy Firmansyah, seorang penulis cerpen sekaligus penyair.
Mantan jurnalis Jawa Pos (2005-2006) yang telah menerbitkan satu Buku kumpulan cerpen dan dua
buku kumpulan puisi. Kini menjadi kerani di “Sanggar Bermain Kata (SBK)” sambil
terus menulis.