WAKTU

JEDA

Selasa, 24 Februari 2015

Prosa Spiritual dalam Kecamuk Perang*)





Judul                 : Siddhartha
Penulis             : Herman Hesse
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan            : I,  2014
Nomor ISBN     : 978-602-03-0419-9
Tebal                 : 166 Halaman
Peresensi         : HN. Amrif
Tahun 1922. Perang dunia pertama baru saja reda. Puing-puing sisa perang berserakan bersama anyir darah, ketakutan dan airmata yang menyungai di seantero eropa. Ekonomi limbung, nyaris ambruk. Kehidupan kacau. Masyarakat Eropa tengah bergulat dengan kegamangan diri yang akut. Mereka mencari jalan baru untuk ketenangan batin pasca perang sebelum jatuh dalam kubangan banalitas yang menggila. Pada saat itulah kehausan religius melanda. Dan Herman Hesse seakan menjadi oase diantara dahaga religi eropa itu.
Melalui tangannya yang dingin, peraih nobel sastra tahun 1946 yang lahir di Cawl Jerman tahun 1877 itu menulis novel berjudul Siddhartha. Sebuah novel pendek yang bercerita tentang kehidupan Siddartha, seorang pemuda yang kebetulan bernama sama dengan sang Buddha. Dan bisa ditebak, dengan segera novel itu memikat masyarakat Eropa yang tengah bergulat dengan kegamangan pasca perang dunia. Novel tersebut kembali mengerek nama Hesse ke jajaran penulis papan atas eropa.
Dalam Siddartha, Hesse melompati pagar pembatas spiritualitas pagan yang kaku dan hitam putih dengan menggarap prosa yang mengupas intisari dari perjalanan spiritualitas manusia beragama. Sejatinya novel tersebut terinspirasi setelah perjalanan Hesse ke Burma dan Indonesia pada tahun 1911 untuk mendalami Budhisme. Novel tersebut jadi best seller. Dicetak ulang berkali-kali dan diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Eropa kemudian mengenang Siddartha sebagai salah satu karya klasik garapan anak dan cucu misionaris Protestan itu sebagai salah satu karya yang berhasil merangkum kata Om sebagai puncak pencapaian spiritual Budhisme.
Siddhartha berkisah tentang seorang anak muda yang cerdas dan keras kepala bernama Siddhartha yang sedang bergulat dengan dirinya sendiri dalam pencarian kebenaran spiritual. Bersama sahabatnya, Govinda, ia berkelana mencari pencerahan. Melepas segala gelar dan kemewahan istana yang menjadi takdir hidupnya. Melewati segala rintangan dan cobaan hidup, mengambil hikmah atas semua perjalanan nasibnya mulai dari berkelana dengan Samana, para pertapa musafir, bertemu Gautama, bercinta dengan pelacur bernama Kamala, menjadi pedagang, hingga akhirnya bertemu Vasudeva si tukang tambang dan menemukan pencerahan.
Novel yang ditulis pada tahun 1922, di tengah kecamuk perang dunia pertama yang tengah mereda, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdari empat subbagian; Putra Brahmana, Bersama Para Samana, Gautama dan Kebangkitan. Berkisah tentang awal mula Sidharta mewujudkan tekadnya mencari kebenaran spiritual. Bagian kedua yang terdiri dari delapan subbagian (Karmala, Bersama orang-orang Kekanakan, Sansara, Di Sungai, Tukang Tambang, Si Anak Lelaki, Om, dan Govinda) menceritakan tentang pergulatan hidup Sidharta hingga menemukan titik terang spiritualnya (dan tak pernah lagi berpaling) ketika menjadi seorang penambang.
Melalui Novel ini, penulis buku berjudul Demian itu, hendak mengajak kita untuk kembali melihat kearifan timur dan berjabat tangan pada kedamaian. Perang tak akan memberikan apa-apa selain kerakusan dan tindakan manusia yang paling banal: pembantaian. Kita diajak menekuni kearifan melalui laku spiritual yang tak kosong. Yang tak hanya berisi aturan dan laku ibadah panjang tapi samasekali hampa saat diejawantahkan dalam laku hidup sehari-hari antar sesama manusia.
            Sebagaimana pesan Gus Dur, bahwa agama janganlah sekedar dijadikan sekedar emblem semata. Haji berkali-kali tapi korupsi kian banter. Sholat duha dan tahajjud sepanjang hidup tapi menjadi rentenir dan tukang peras penduduk kecil. Mengaku beragama tapi paling sibuk mengutuki dan mengkafirkan agama lain.
            Meski ditulis puluhan tahun silam, novel ini masih juga tak kehilangan rohnya sebagai bahan perenungan kita bahwa kedamaian adalah jalan terakhir tiap manusia. Tak akan ada kedamaian hidup dalam gelimang harta dan kerakusan akan kuasa dunia. Tak akan ditemukan kedamaian jiwa sejati ditengah ambisi dan harapan-harapan duniawi. Kebahagiaan ditemukan dalam penyerahan penuh seluruh pada totalitas spiritual dan kesederhanaan.
            Membaca novel ini kita diajak merasakan pahit getirnya hidup seorang pencerah. Siddharta melakoni semua itu tanpa ada anasir dalam dirinya untuk menjadi nabi. “Sebab  di dalam diri semua manusia terdapat jiwa pencerah. Bahkan di dalam jiwa seorang pendosa paling berdosa sekalipun.” Ujar Siddharta ketika menasehati Govinda dalam pertemuan terakhirnya di pinggir sungai.(hal.158) Karena itu, lanjut Siddharta, “kearifan sebenarnya tidak bisa disampaikan. Sebab kearifan yang selalu disampaikan orang bijak selalu terdengar seperti kebodohan.”(hal.156). Sebab tiap manusia memiliki kearifannya sendiri. Dan kearifan itu datang dari cara manusia membebaskan dirinya dari penderitaan-penderitaan hidupnya. Karena itu tiap manusia punya jalannya sendiri menjadi sang pencerah.
Meski Hesse tak hendak menulis otobiografi Sidharta Gautama dalam novel berjudul nyaris sama dengan nama sang buddha itu, tapi banyak kisah dan laku kehidupan Siddartha mirip dengan kehidupan sang buddha. Makanya tak heran jika karya klasik ini dapat bertahan dan terus dicetak ulang hingga sekarang. Bahkan tak sedikit yang menduga Novel ini adalah novel semiotobiografi sang pencerah dari Nepal itu.
Di Indonesia sendiri, seingat saya setidaknya ada tiga penerbit yang menerbitkan Siddartha. Yang pertama adalah penerbit Bentang, Yogyakarta pada tahun 2002. Kemudian penerbit Jejak, Yogyakarta pada tahun 2007. Lalu diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2014. Tentu saja, mengingat betapa fenomenalnya novel ini, di tahun-tahun sebelum tahun yang saya sebutkan Siddartha telah hadir ke hadapan pembaca Indonesia melalui berbagai penerbit.
Bagi mereka yang ingin mengenal budhisme, novel bercover merah hati dengan gambar kepala buddha di covernya ini bisa menjadi pintu masuk pertama. Terlebih lagi terjemahan Gita Yuliani atas novel ini juga tak bisa dibilang sembarangan. Dalam versi Indonesianya ini kita masih bisa menikmati keindahan kata-kata dan pesan spiritual yang menjadi ciri khas Herman Hesse, meskipun hurup yang digunakan dalam buku yang desain covernya dibuat oleh Eduard Iwan Mangopang ini terbilang kecil dan cukup mengganggu cara baca.
Lagipula novel ini tidak dikhususkan pada penganut buddha, melainkan pada semua manusia yang merindukan kedamaian hakiki melalui laku spritual. Melalui novel ini kita diajak untuk meraba teladan dan mendekap kharisma tokoh Siddhartha agar tak gagal mewarisi sebuhul kearifan dan rasa kasih sayang antar sesama. Meskipun kadang manusia gagal menemukan secercah pencerahan dan melulu larut dalam pertumpahan darah dan serang-menyerang atas nama Tuhan.

*) Resensi ini dimuat di harian Suara Madura, 24 Februari 2015

TENTANG PERESENSI

*HN. Amrif adalah alterego Edy Firmansyah, seorang penulis cerpen sekaligus penyair. Mantan jurnalis Jawa Pos (2005-2006) yang telah menerbitkan satu Buku kumpulan cerpen dan dua buku kumpulan puisi. Kini menjadi kerani di “Sanggar Bermain Kata (SBK)” sambil terus menulis. 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Best 1xbet Korean Betting Sites ⚡ Is 1xbet.korean onsite legal
1xbet korean is a sports betting septcasino site that focuses on delivering an extremely competitive and user friendly 바카라 platform. 1xbet korean