Judul : 1984
Penulis : George Orwell
Penerbit : Bentang Pustaka, Jogyakarta
Cetakan : I, 2014 (edisi II)
Nomor ISBN : 978-602-291-003-9
Tebal : vii + 392 halaman
Kabut
cemas masih menggantung di hampir seluruh belahan dunia meski perang dunia
kedua telah reda. Tahun itu, 1949. Gema
genderang perang baru, yang ditabuh dua tahun lalu masih terdengar nyaring di telinga;
perang dingin. Ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat yang dipimpin
oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan dunia Komunis yang dipimpin
oleh Uni Soviet di bawah Stalin beserta sekutu negara-negara satelitnya, terus memanas. Ekonomi
dunia bergerak seperti siput.
Pada
tahun penuh ketidakpastian dan rasa takut,
sebuah penerbit bernama Secker and Wardburg yang bertempat di London, Inggris,
meluncurkan sebuah novel distopian berjudul 1984. Penulisnya bernama George
Orwell yang belakangan baru diketahui merupakan nama pena dari Eric Arthur
Blair, seorang bekas opsir polisi Kerajaan Inggris kelahiran India.
Novel
itu membuat masyarakat eropa yang terbelah dalam arus perang dingin berguncang.
Mereka seakan mendapatkan
sokongan tenaga melawan otoritarianisme yang terus mencakarkan kuku-kuku
tajamnya. Tak lama setelah novel yang terdiri dari tiga bagian dengan satu
lampiran khusus mengenai kaidah bahasa newspeak itu tebit, istilah orwellian jadi semacam
kosakata baru untuk menunjukkan
pengebirian pendapat, kebebasan berpikir dan pemelintiran berita yang
dilakukan kekuasaan yang otoriter. Istilah
“Tuan besar sedang mengawasimu” jadi jamak digunakan masyarakat eropa
untuk mengolok-olok negara yang anti kebebasan berpendapat.
Apa
pasal? Masyarakat Eropa terpengaruh dengan tokoh Winston Smith dalam novel
tersebut. Dalam novel tersebut diceritakan, Winston bekerja di kantor
kementerian kebenaran. Tugas utamanya adalah menulis ulang artikel koran masa
lalu agar sesuai dengan garis kebijakan partai. Agar setiap ucapan dan isi
pidato partai dan tuan besar (sang ketua partai} yang berhubungan dengan prediksi
masa depan dapat terdokumentasi kebenarannya. Meskipun semuanya hanyalah hasil
rekayasa belaka. Kerja orang-orang di belakang meja yang bertugas melakukan
pemalsuan sejarah tingkat tinggi hingga tak seorangpun dapat menemukan bukti
bahwa sejarah dan kebenaran telah dipalsukan (hal.46-58).
Sejatinya
novel yang ditulis Orwell enam bulan sebelum ajal menjemputnya merupakan kritik
satir atas otoritarianisme Stalin di Uni Soviet yang berimbas pada partai buruh
dimana kala itu tengah berkuasa di Inggris. Dan barangkali banyak orang setuju
Stalin memang pantas dikritik. Kalau perlu dikutuk dan dicaci-maki. Di bawah
kakinya cita-cita revolusi Lenin untuk menciptakan masyarakat sosialis tanpa penindasan
luluh lantak. Marxisme jadi ‘kitab suci’ yang tak dapat ditafsir ulang.
Satu-satunya yang berhak menafsir pemikiran-pemikiran Karl Marx hanyalah partai
komunis. Masyarakat Uni Soviet hidup dalam ketakutan. Mereka seakan tersedot
dalam labirin kegelapan yang mengerikan. Kebebasan berpendapat dibungkam.
Pengkritik dilenyapkan. Leon Trotsky merupakan contoh bagaimana nasib
pengkritik kekuasaan Stalin. Diburu habis-habisan, hingga akhirnya kepalanya
dikapak mata-mata Stalin yang menyamar jadi pembantu Trotsky di
persembunyiannya di Siberia. Sastrawan Maxim Gorky juga mengalami nasib serupa
meski tak setragis Trotsky. Diasingkan. Pembabatan total pada orang-orang yang
dianggap makar pada kekuasaan Stalin dilakukan. Kuburan massal jadi pemandangan
yang mencekam.
Dalam
novelnya, Orwell menggambarkan kesepian, kegetiran dan ketakutan orang-orang
yang hidup dalam kungkungan negara diktator melalui tokoh Winston Smith. Meski
Winston bekerja di departemen milik negara dimana partai Sosing berkuasa, tapi
dalam pikirannya Winston selalu memberontak. Pemberontakannya terhadap segala
kebijakan tuan besar partai sosing yang despotik dan manipulatif itu ia
tuangkan dalam buku hariannya dengan cemas. Cemas karena di negara Oeceania
tempatnya tinggal terpasang teleskrin di mana-mana. Sebuah alat yang memantau
semua gerak gerik warga. Bahkan termasuk mimik muka dan gestur. Juga terdapat
polisi pikiran yang bertugas menyelidiki pikiran warga. Sehingga privasi
hanyalah fantasi di negeri Oceania. Negara berkuasa mutlak atas rakyatnya. Yang
membangkang, terpaksa diuapkan. Yang paling mengerikan, sebelum diuapkan para
pembangkang dikirim ke kamp-kamp penyiksaan untuk menjalani serangkaian
kebiadaban bernama alat siksa. Karenanya novel ini sengaja bergerak dengan alur
lambat dengan penggambaran suasana mencekam untuk mengajak pembaca merasakan
hidup berkalang ketakutan dalam pengawasan penuh negara.
Cara
Orwell menggambarkan bagaimana negara otoriter mengawasi masyarakatnya
mengingatkan saya pada novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer. Pram menulis
Rumah Kaca untuk menggambarkan bagaimana kolonialisme mengawasi gerak-gerik
para aktivis kemerdekaan. Dalam novel tersebut yang diawasi ketat adalah Minke.
Bedanya dengan 1984-nya Orwell, jika orwell menggambarkan bentuk pengawasan
ketat negara otoriter terhadap segala tindak tanduk warganya melalui novel
futuristik, Pram justru menggambarkan bagaimana cara perumahkacaan negara
kolonial melalui novel epik. Sementara tokoh Winston Smith adalah tokoh rekaan
Orwell, sedangkan tokoh Minke justru diadaptasi Pram dari tokoh nyata bernama
RM. Tirto Adisurjo, pendiri harian Medan Prijaji. Berkat novel 1984 dan Animal Farm, nama Orwell
melambung sebagai sastrawan penting eropa. Sementara Pram terus duduk di kursi
kandidat nobel sastra dunia. Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan Pram yang menjungkirkan ide Orwell dalam 1984 menjadi Rumah Kaca, mengingat 1984 terbit lebih dulu dibandingkan novel terakhir dari tetralogi pulau buru itu. Meskipun demikian, kedua sastrawan besar
tersebut memiliki muara yang sama; menolak tunduk. Dan karya mereka adalah
jalan perlawanan, jalan menuju kemerdekaan.
Pertanyaannya
kemudian, masih relevankah membaca 1984? Bukankah perang dingin telah usai dan Uni
Soviet sudah runtuh? Di Indonesia sendiri—negara yang dulu sempat menganggap
novel 1984 sebagai novel berbahaya—kekuasaan Soeharto yang mirip dalam novel 1984 sudah
lama jatuh? Bukankah tahun 1984 telah lama berlalu dan kini kita tengah
berjalan di tahun 2015? Jawabannya tentu saja masih.
Hari-hari
ini, di tengah gema teriakan revolusi mental di segala lini di negeri ini, kita
menyaksikan bagaimana negara terus melakukan kebohongan-kebohongan dan
pemelintiran berita. Alih-alih menurunkan harga BBM, negara justru menaikkannya
lagi. Alih-alih mensejahterakan rakyat, negara justru membiarkan harga
kebutuhan pokok terus melambung dan membiarkan tarif dasar listrik melonjak.
Alih-alih memberikan kebebasan berpendapat, pemolisian para pengkritik negara
hingga pemblokiran situs-situs yang dianggap radikal terus dilakukan.
Sementara itu, para
aktivis-ativis pergerakan yang dulu pernah merasakan nyerinya disiksa di ruang
penyiksaan orde baru, pernah merasakan ganasnya sepatu lars dan peluru tentara, seakan tutup mata atas
penderitaan rakyat. Malah
sebaliknya, menjadi bagian dari kekuasaan. Menjadi
pengurus partai penguasa, menjadi komisaris utama dan staf ahli negara. Mereka terlihat persis seperti Winston. Setelah
mengalami siksaan bertubi-tubi puluhan tahun, akhirnya Winston keluar.
Airmatanya jatuh. Siksaan yang memedihkan itu ‘merusakkan’ otaknya. Ia sadar
telah melakukan kesalahpahaman besar. Sekeluarnya dari kamp penyiksaan itu ia
merasa meraih kemenangan atas dirinya. Menang, karena keinginan memberontak dan perasaan takut disiksa lagi dengan amat
mengerikan saling bertarung. Winston jadi linglung. Ingin rasanya dirinya
ditembak mati saja. Tapi ia tak dilenyapkan sebagaimana para pemberontak yang
lain. Ia dibebaskan. Sekeluarnya dari kamp penyiksaan, Winston merasa
sangat mencintai bung besar, sang penguasa otoriter itu.
Sungguh
novel yang layak dibaca bagi mereka yang ingin mengetahui dari dekat seperti
apa hidup dalam pengawasan ketat negara. Lupakan
bahwa Orwell mungkin sedang mengikuti angin anti komunisme yang sedang
dihembuskan CIA lewat lembaga bernama Congress for Cultural Freedom (CCF), yang
tujuannya menjauhkan kaum intelektual maupun sastrawan (awalnya Eropa Barat,
tapi kemudian mendunia) dari Marxisme dan Komunisme. Suka tidak suka, Lu Tsun,
sastrawan Cina itu benar, karya sastra adalah propaganda, tapi tak semua
propaganda adalah sastra. Propaganda Orwell lewat 1984 bisa dibilang berhasil.
Sejak pertamakali terbit, novel ini telah
memberikan banyak pengaruh bukan hanya masyarakat eropa, tapi juga pada
kesusastraan Inggris. Karenanya tak heran jika majalah Time menjadikan novel
ini sebagai salah satu dari 100 novel terbaik sejak 1923-2005. Demikian
besarnya pengaruh Orwell, malah masyarakat Burma/Myanmar banyak memanggilnya
sebagai ‘sang nabi’, karena ramalan dalam novel 1984 masih relevan hingga hari
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar