Seandainya ia sedikit bersabar dengan segala tekanan batin yang
menggempur pikirannya hingga ambruk, ia tak harus ditulis dengan kisah
yang muram. Seandainya ia mau bersabar menunggu buku Noam Chomsky
terbit, ia mungkin akan tersenyum dan menikmati hari-hari penuh bunga
bersama istri dan tiga anaknya dengan bintang jurnalistik berkilau di
dadanya. Tapi siapa yang dapat menghapus ingatan? Tak banyak orang yang
sanggup bertahan dari stigma buruk yang terus diberondongkan padanya
seperti senapan mesin dalam setiap detik kehidupannya. Dan Gary Webb
merupakan salah satu dari banyak orang yang bertekuk lutut dihantam masa
silam. Mati karena berita.
Tahun 2004, Gary Webb, seorang
wartawan media lokal bernama The San Jose Mercury News, ditemukan
terkapar bersimbah darah di lantai apartemennya dengan dua luka tembak
di kepala. Ia mati karena depresi berat, kemudian bunuh diri.
Semua bermula dari sebuah hubungan telepon dengan seorang perempuan
bernama Coral Baca, seorang narasumbernya. Setelah telepon itu, Gary
Webb menemui Coral di sebuah café. Coral membagikan sebuah dokumen
rahasia milik CIA. Dokumen tersebut berisi catatan tentang perdagangan
kokain di Amerika. Tentu bukan perdagangan narkotika biasa. Dokemen
tersebut mencatat keterlibatan pejabat-pejabat penting di Amerika
(khususnya pejabat CIA, kejaksaan, kepolisian dan militer) dalam
perdagangan kokain. Sangat kontradiktif dengan kampanye pemerintah
Amerika yang berniat memerangi narkotika. Tak hanya itu saja. Dalam
dokumen tersebut dijelaskan bahwa uang-uang hasil skandal busuk
pemerintah Amerika dengan mafia narkoba Amerika Tengah justru digunakan
untuk membiayai peralatan perang paramiliter Contra bentukan CIA untuk
memerangi Sandinista, gerilyawan berhaluan komunis yang menentang
pemerintang Samoza di Nikaragua. Pemerintahan boneka bentukan AS.
Maklum, meski tembok berlin telah runtuh sebagai penanda akhir perang
dingin, komunismephobia Amerika ternyata tak sembuh-sembuh. Segala
bentuk negara yang berbau komunis harus jatuh.
Webb yang
beberapa waktu sebelum mendapat dokumen rahasia tersebut memang sedang
tekun meliput tentang peredaran narkoba di wilayahnya seakan mendapat
durian runtuh. Terlebih dalam dokumen tersebut dinyatakan pemerintah
Amerika justru terlibat dalam peredaran narkotika. Inilah liputan
investigasi pertama sekaligus terakhir yang dilakukan Webb. Webb melacak
semua nama yang disebut dalam dokumen tersebut. Bahkan ia rela terbang
ke penjara Tipitapa, Nikaragua, dengan biaya sendiri untuk menemui
Manasess, seorang mafia narkoba besar yang menjadi agen CIA dalam
memasok persenjataan dan kebutuhan pokok pada paramiliter Contra.
Dari Manasess, Webb mendapatkan nama Freid Weil, seorang agen CIA yang
menjadi penghubung gelapnya. Webb menemui Weil di Washington DC, dan
kebenaran dari dokumen tersebut makin terang mengenai keterlibatan
negara dalam peredaran narkotika. Meski demikian, Weil memperingatkan
Webb mengenai ancaman besar jika investigasi dia diterbitkan. nyawanya
bakal terancam. Webb mulai ragu.
Keragu-raguan Webb runtuh
ketika CIA memanggilnya secara khusus setelah mengetahui kerja
investigasinya. Webb diancam. Bukannya surut, Webb balik mengancam.
Investigasinya bakal tayang.
Dan benar, begitu berita Webb
tentang keterlibatan pemerintah dalam perdagangan narkoba dan pembiayaan
peralatan tempur dalam perang ilegal, khalayak Amerika gempar.
Media-media besar seperti Washington Post, New York Times, L.A Times
seakan tertampar. Berita besar tentang skandal negara AS itu justru
terbit di media lokal jauh dari hiruk pikuk pusat Amerika.
Terbitnya investigasi Gary Webb membuat ia laksana bintang jatuh. Dia
tiba-tiba menyala sebentar, tetapi kemudian lenyap ditelan langit malam.
Pujian demi pujian melayang padanya. Tapi itu tak lama. Hari-hari kelam
kemudian menantinya.Pemerintah AS, di tengah masa-masa kampanye
pemilihan presiden tahun 1998 kalap.
Sebuah konspirasi jahat
dijalankan untuk membungkam Webb. Media besar pesaing koran tempat Webb
bekerja mulai membuat berita tandingan. Termasuk mulai membuat opini
mengenai betapa meragukan validitas berita Webb. Tak hanya itu saja.
Berita gosip mengenai skandal perselingkuhan Webb di masa silam dengan
seorang reporter bernama Barbara juga diungkap. Rumah Webb terus diawasi
orang tak dikenal. Teror demi teror terhadap Webb dan keluarganya terus
terjadi.
Belakangan, semua narasumber Webb yang pernah ia
wawancarai tiba-tiba mengaku tak pernah bertemu dan diwawancarai Webb.
Imbasnya The San Jose Mercury News mendapatkan teguran dan dituntut
minta maaf atas berita 'palsu' hasil liputan Webb. Webb menolak menulis
permintaan maaf.
Atas kerja jurnalistiknya itu Webb mendapat
anugerah jurnalistik terbaik. Sejak itu ia mengundurkan diri dari
tempatnya bekerja, kemudian benar-benar gantung pena. Sampai kemudian
setelah tujuh tahun mengundurkan diri dari tempatnya menjadi kuli tinta
ia ditemukan terkapar bersimbah darah di lantai apartemennya dengan dua
luka tembak di kepala. Bunuh diri. Beberapa pendapat lain meragukan Webb bunuh diri dengan dua luka tembak. Webb dibunuh. Namun sebuah penelitian yang dilansir wikipedia menyebutkan dalam 138 kasus bunuh diri 5 diantaranya (3,8%) bunuh diri dengan dua tembakan di kepala. bahkan pernah dilaporkan sebuah bunuh diri dengan empat tembakan di kepala.
Film yang diadaptasi dari
kisah nyata kerja jurnalistik Gary Webb itu mengingatkan kita bahwa
memang tak mudah mengungkapkan kebenaran. Apalagi jika skandal kejahatan
melibatkan negara. Di negeri ini kita punya kisah muram yang tak jauh
beda dengan Gary Webb. Kita punya Munir yang diracun dalam
penerbangannya menuju Belanda dan hingga kini bahkan aktor intelektual
yang paling bertanggungjawab atas kematiannya tak pernah merasakan
dinginnya jeruji penjara. Kita punya kisah pedih Marsinah yang mati
disiksa dengan kemaluan rusak berat karena disodok laras senjata hanya
karena menuntut Haknya sebagai buruh. Kita juga punya Udin, wartawan
Bernas yang ditembak orang tak dikenal karena liputannya tentang korupsi
Bupati Bantul dan hingga detik ini pelakunya tak juga tertangkap. Kita
punya Widji Thukul yang dihilangkan negara karena puisinya menggedor
tembok kekuasaan yang retak. Kematian orang-orang yang saya sebutkan
itu, hanyalah contoh kecil dari banyak kematian di negeri ini yang suka
tidak suka juga melibatkan tangan-tangan keji kekuasaan. Negara
terlibat.
Berdurasi 111 menit, film yang dibintangi Jeremy Renner
benar-benar menjadi film yang layak ditonton. Meski bergerak dengan
datar tapi ketegangan demi ketegangan yang dibangun dalam film yang
diadaptasi dari buku karangan Nick Svhou berjudul sama dengan film
tersebut dan buku berjudul Dark Alliance karya Gary Webb sangat terasa
bahkan jika dibandingkan dengan film True Story yang punya tema sama;
tentang wartawan. Kita bisa menyaksikan betapa melelahkan dan penuh
bahaya mengungkap kebenaran melalui kerja investigasi.
Sudahlah,
saya terlalu banyak basa-basi. Ini film bagus. Pilihan hidup memang
memiliki resikonya masing-masing. Mau jadi penulis atau mau jadi petani,
jika sudah berhadapan dengan pemerintah korup dan keji resikonya sama
saja; disiksa dengan keji sampai mati atau ditembak di rumah sendiri.
Film ini tayang perdana pada 10 Oktober 2014 silam. Tentu sudah banyak
yang nonton. Saya saja yang terlambat menontonnya. Anda sudah?
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Kamis, 30 Juli 2015
Mati Karena Berita
Label:
Artikel,
Jendela Rumah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar