3PUISI Mengenang 4 Tahun Lumpur Lapindo
Kuburan para pengungsi
kami tak berani menginjak kampung halaman lagi
lumpur yang menyungai
menghisap tangis orangorang
antrean panjang menuntut ganti rugi
telah menjadi kuburan para pengungsi
yang tenggelam dalam linang air matanya sendiri
dan kita saksikan: harapan berserakan di jalanjalan
menjadi luka dan batu nisan
Sampang-madura, mei 2010
Menjadi Batu
Kini sembab itu kemudian menjadi lumpur, meluberi kampungkampung
Menenggelamkan rumah, pertokoan dan hari depan
Kau dan aku tinggal getir, menatap senja yang menggigil di penampungan terakhir.
Ibuibu membasuh rahimnya
Disumursumur yang tercemar
”Lihatlah, nak! Tapak surgaku kini jadi neraka”
Dan langit terus saja menyebarkan berita
tentang buble-buble metana yang terus menyembur dari mulut penguasa.
Masihkah kau dan aku mengutuk diri menjadi batu?
Sampang-Madura, 2008-2010
Duka Lapindo
Lumpur itu menyemburkan duka. ketika
rumah, toko, pabrik, dan sekolah tergenang
karnaval para pengungsi
kampungkampung mati
air mata sudah tak mampu lagi melarungkan kesedihan.
Sebab kita membatu dicekoki janjijanji
dan perhitungan untung rugi
nasib mengerang mengkafani masa depan
lumpur itu menjelma keranda
mengangkuti mayatmayat dan kehidupan kita
sementara belatungbelatung menggerogotinya
hingga tinggal rangka
[Sampang-Madura, 29 mei 2010]
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Senin, 21 Juni 2010
PUISI-PUISI 4 TAHUN LAPINDO
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar