Kutukan Buku
Oleh: Edy Firmansyah
Buku
adalah anak rohani. Sementara penulis dan penerbit adalah ibu dan bapak
bagi anak-anak rohaninya. Bagi bapak dan ibunya anak rohani itu boleh
jadi merupakan mahkota sekaligus penopang hidup. Sungguh tragis jika
kemudian seorang bapak, karena anak rohaninya dianggap ‘cacat’, tega
membakar anaknya.
Tapi itulah yang dilakukan penerbit
Gramedia Pustaka Utama pada buku berjudul “5 Kota yang Paling
Berpengaruh di Dunia” yang disadur dari buku penulis barat, Douglas
Wilson ( 13/06/2012). Bermula dari laporan Organisasi masyarakat Front
Pembela Islam (FPI) ke Polda Metro Jaya yang melaporkan manajemen
perusahaan penerbitan PT Gramedia terkait soal penerbitan buku berjudul
"5 Kota Paling Berpengaruh Di Dunia" yang isinya diduga menodai agama
Islam. "Ada kalimat yang menyatakan Nabi Muhammad menjadi perampok dan
perompak, kemudian menyerbu kalifah (pemimpin)," kata Jurubicara FPI
Munarman di Markas Polda Metro Jaya, (Antara, 11 Juni 2012).
Laporan
tersebut segera disikapi pihak penerbit Gramedia. Tak tanggung-tanggung
penyikapannya. Bukan hanya menarik buku dari toko buku gramedia yang
tersebar di seluruh Indonesia, tetapi juga membakarnya. Upacara
pembakaran dilakukan secara terbuka dan disaksikan berbagai pihak. Malah
Gramedia turut mengundang MUI dan FPI untuk menyaksikan aksi vandal
tersebut. Setidaknya sekitar 900 lebih anak rohani ‘cacat’ itu dilalap
api.
Sejatinya aksi Pembakaran buku atau yang
sering disebut biblioklasme atau librisida bukanlah hal baru dalam
sejarah perbukuan dan lazim dilakukan pihak-pihak yang merasa berkuasa
untuk melenyapkan buku-buku yang dianggap mengganggu “ketertiban umum”
dan kelanggengan kekuasaan. Itulah mengapa pembakaran buku kerap menjadi
ciri dari rezim yang kejam dan menindas. Hampir di sepanjang sejarah
umat manusia sejak mengenal budaya tulis, selalu terdapat pihak yang
keblinger untuk membakar “puncak-puncak peradaban” demi melanggengkan
posisinya dalam panggung sejarah tanpa perasaan berdosa seakan-akan yang
dibakar bukan pintu pembuka peradaban, melainkan 'sampah'.
Beberapa
peristiwa pembakaran buku yang sangat dikenang—karena buku-buku yang
dihancurkan tidak dapat tergantikan dan hilangnya buku-buku itu
menimbulkan kerusakan berat terhadap warisan budaya—diantaranya;
pemusnahan Perpustakaan Iskandariyah, pemusnahan Perpustakaan Baghdad,
pembakaran buku dan pembantaian cendekiawan pada masa Dinasti Qin di
Cina, pemusnahan Naskah kuno Maya oleh penakluk dan pendeta Spanyol,
pembakaran buku Nazi, dan pemusnahan perpustakaan nasional Sarajevo.
Di
Indonesia sendiri aksi pembakaran buku bukanlah hal baru. Sejak orde
lama hingga orde reformasi sekarang pembakaran buku terus menerus
terjadi. Namun merupakan sebuah ironi atau anomali di orde reformasi
yang dikelola penguasanya dengan mekanisme demokrasi paling baik saat
ini jika pembakaran buku masih terus terjadi. Apalagi tindakan vandal
tersebut justru dilakukan oleh negara yang kemudian praktek tersebut
menjalar ke sebagian masyarakat. Pasalnya, semangat membakar buku adalah
semangat antiperadaban.
Buktinya, rejim berganti tapi
aksi librisida bukannya menyurut malah terus berlanjut. Pada tahun 2007,
misalnya, berbekal Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor
019/A-JA/10/2007, Kejaksaan Agung membakar ribuan buku pelajaran SMP dan
SMA karena tidak menyertakan peristiwa Madiun 1948 serta menghilangkan
setiap kata PKI dari frasa G-30-S. Pada tahun 2009, dipicu tulisan
bersambung Dahlan Iskan di harian ini (14-16 Agustus 2009), Front
Antikomunis (FAK) berdemonstrasi dan membakar buku karya Soemarsono,
Revolusi Agustus. Tudingan FAK baik tulisan Dahlan maupun buku
Soemarsono berpotensi memanipulasi sejarah dengan menjadikan Soemarsono
seakan pahlawan.
Pada oktober 2010, setidaknya
lebih dari 50 Al-Quran dibakar di Kampung Cisalada, Desa Ciampea,
kawasan pemukiman jama’ah Ahmadiyah. Al-Quran yang dibakar sama seperti
Al-Quran yang digunakan umat Islam di seluruh dunia. Kejadian itu
terjadi pada Jumat (3/10) sekitar pukul 19.30 WIB. Tindakan tersebut
merupakan bagian dari penyerangan yang dilakukan sekitar 30 remaja ke
arah Masjid At-Taufiq, milik Ahmadiyah. Masjid itu juga tak luput dari
pembakaran (Bingkai Merah Indonesia, 4 oktober 2010
(http://indonesiabuku.com/?p=7214) ).
Namun pembakaran
buku yang dilakukan oleh pihak penerbit sendiri barangkali baru
pertamakali terjadi di Indonesia. Dan Penerbit Gramedia mempeloporinya.
Sungguh menyedihkan sebenarnya. Pasalnya, buku adalah pengusung
peradaban. Tanpa buku sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu
pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan analisa menjadi mandek. Dalam
keadaan seperti ini peradaban manusia berada dalam ambang kehancuran.
Sebagai
penerbit, Gramedia tentu saja akan mengamini bahwa buku adalah jendela
dunia. Penopang maju mundurnya peradaban sebuah bangsa. dan Gramedia
sendiri didirikan untuk memajukan budaya literasi di Indonesia melalui
bisnis perbukan. Tapi mengapa kemudian penerbit Gramedia Pustaka Utama
tega melakukan biblioklasme, mengabukan anak rohaninya sendiri dengan
api?
Pertama, bukan rahasia umum lagi kalau bisnis buku
adalah bisnis terbuka dan penuh persaingan. Sementara penerbit-penerbit
terus berdiri bak jamur di musim hujan. Dengan begitu roti bisnis kian
mengecil karena harus dibagi-bagi banyak kepala. Ancaman krisis over
produksi terbuka lebar. Nah, jangan-jangan Gramedia sengaja membakar
bukunya untuk ‘memukul” mundur saingannya di dunia perbukuan, terutama
buat penerbit-penerbit kecil yang ingin cari hidup dari bisnis
pengetahuan ini. Dengan membakar bukunya atas tekanan ormas FPI
seakan-akan Gramedia memberikan terapi kejut dan berkata; ”Tutup saja
usahamu wahai penerbit-penerbit kecil. Aku aja yang besar terpaksa bakar
buku. Cukup aku saja yang buka usaha” sebuah trik monopoli dagang.
Dalam posisi ini tekanan yang dilakukan FPI terhadap Gramedia sehingga
penerbit besar itu membakar bukunya sendiri juga patut dicurigai sebagai
kepanjangan tangan dari persaingan antar penerbit.
Kedua,
sudah umum diketahui rekam jejak ormas FPI kerap melakukan tindakan
vandalisme terhadap segala yang menurutnya merusak atau melecehkan
Islam. Nah, bagi Gramedia memperbaiki aset-aset yang dirusak jauh lebih
mahal daripada membela anak rohaninya habis-habisan. Karenanya kemudian
Gramedia sengaja menumbalkan buku “5 Kota yang paling berpengaruh di
Dunia” itu untuk selamatkan bisnisnya dan menyenangkan FPI. Bisa
dibayangkan jika Gramedia tetap bergeming membiarkan anak rohaninya
terbit. Kemungkinan FPI melakukan aksi pembakaran asset-aset Gramedia
seperti toko buku yang tersebar di mana-mana dan buku-buku yang ada di
dalamnya, gedung perkantoran, dsb sangat besar mengingat rekam jejak
organ tersebut. Belum lagi jika konfrontasi yang dibangun adalah
konfrontasi Gramedia (katolik) versus Islam.
Tindakan
menjadikan buku tersebut sebagai tumbal tentu tidak asal jadi. Meskipun
melalui proses panjang sebelum menjadi buku, tapi dibandingkan buku
lainnya, dilihat dari prospek pasar dan kemungkinan menangkup laba
sebesar-besarnya bagi penerbit, buku tersebut tidaklah cerah. Dengan
cara memenuhi kehendak ormas tersebut dianggap pilihan yang ‘baik.’
Selain untuk menjaga citra bahwa penerbit Gramedia juga peduli dengan
suara publik muslim.
Tapi buku yang dibakar akan
menghantui para pembakarnya. Alih-alih menjaga citranya sebagai penerbit
‘baik’ dengan menarik buku itu dan kemudian membakarnya Gramedia justru
mendapat banyak kecaman di jejaring sosial karena aksi vandalnya itu.
Sampai ada seruan boikot membeli buku terbitan Gramedia dan boikot beli
buku di toko buku Gramedia. Citra Gramedia sebagai penerbit ‘arus utama’
pelan-pelan ‘runtuh.’
Tapi penerbit yang beralamat di Palmerah Jakarta ini tak pilih jalan ‘perang’. Gramedia memilih mengibarkan bendera putih sebelum pertempuran dimulai pada tekanan ormas dan membakar bukunya, anak rohaninya, sebagai cara aman dalam kelangsungan bisnisnya. Padahal sebenarnya tanpa harus tunduk pada tekanan apapun, Gramedia bisa menempuh jalur hukum melalui MK untuk menguji apakah buku layak dan tidak layak dibaca publik. Tapi sayang seribu sayang Gramedia memilih jalan membakar buku. Maka ketika seorang bapak dengan tega hati membakar anak rohaninya, Heinrich Heine salah satu penyair Jerman (1797-1856) memberikan “kutukan”nya; ”Di mana buku dibakar, di sana pula manusia—pada akhirnya—dibakar.” Semoga “kutukan’ itu tak terjadi di negeri ini di masa depan, atau jangan-jangan pembakaran manusia tengah terjadi di sekitar kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar