Mengabdikan Alam Melalui Puisi*)
Oleh: Imalah Hasanah
(Alumni Sastra Arab UIN Malang)
Sebuah
novel, Ciuman di Bawah Hujan ( Lan Fang ) sepintas dari sisi judul
memberi kesan seolah-olah novel ini bercerita soal romantisme. Seperti
novel ngepop, maka bila ada novel sebentuk itu seakan-akan berkisah
tentang percintaan yang melibatkan dua sejoli. Jika yang diharapkan
pembaca dari novel Lan Fang adalah plot romantis yang bertutur tentang
cinta dan pengorbanan, pembaca pasti kecewa. Sebab novel berjudul di
atas tidak berkisah tentang cinta dan romantisme melainkan cerita
tentang pergolakan politik terutama soal pemilu dan pemilukada hingga
pilpres.
Penyair muda asal Madura Edy Firmansyah dalam kumpulan puisi bertajuk Ciuman Pertama seakan-akan berkisah tentang kissing
an sich. Padahal apa yang dilakukan Edy dalam antologinya kali ini
adalah nasionalisasi diksi, dari Madura untuk Indonesia. Ini dibuktikan
dengan kondisi alam Madura yang dilakukan Edy ke dalam puisi.
Sekedar
menyebut contoh, dalam puisi Ciuman Malam Gerimis (Hal. 46) Edy
memasukkan Kecamatan Torjun (Sampang), Gunung Gegger (Bangkalan), hutan
jati dan penumpang yang turun dari bus (ekonomi) melalui kaca di sebelah
kiri kanan bus. Selain itu, diksi ciuman berikutnya dapat dibaca dalam
judul yang lain, Tentang Ciuman (halaman 53).
Sebagai
warga Pamekasan, Edy menemukan sesuatu yang unik, yang pertama meski
adegan ciuman tidak sekali saja dan berlangsung disitu. Meski sebagai
kota gerbang salam, di Pamekasan bukan tidak terjadi sepasang remaja
pacaran dan berciuman di pinggir jalan. Di sinilah ada kritik bahwa
dalam sekularisme memang tidak ada larangan dalam ciuman yang dilakukan
sukarela. Yang dikritik Edy justru bercinta yang seharusnya seperti
penyair menulis puisi, butuh ruang privacy dan bukan di tempat umum di
mana setiap mata yang lewat jadi malu karena melihat adegan seperti itu.
Ini Indonesia.
Kesembilan puluh tujuh puisi dalam Ciuman
Pertama ini semua bernada naturalis, alami. Edy, sastrawan yang juga
pernah menjadi wartawan ini ingin menampilkan dan mengatakan pada
pembaca bahwa alam itu indah. Bumi merupakan inspirasi yang paling
banyak dihilangkan dari ruang imajinasi. Padahal dengan alam, bumi dan
isinya, seseorang bisa kreatif, tidak saja untuk sastra, tetapi dapat
dijadikan alat untuk mewujudkan sesuatu yang lain melalui kreativitas
dan inovasi-kreatif.
Puisi sesungguhnya sesuatu yang
sederhana. Ini seperti cinta yang dipuisikan dengan sangat indah oleh
Sapardi Djoko Damono; Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan
kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Apa
yang ditulis Edy Firmansyah dalam Ciuman Pertama ini tak lebih dari
sesuatu yang sederhana. Ia berbicara tentang alam, cinta, kekerasan dan
sosialisme dalam sastra. Di sisi lain, keterlibatan sastra dalam
ideologi suatu komunitas mengakibatkan sastra mempunyai keberpihakan
atau terlibat secara langsung dalam dinamika masyarakat. Dengan
demikian, sastra menggambarkan alam sosial masyarakat dan media
propaganda perjuangan mewujudkan gagasan atau ide.
Pergumulan
sastra-sosial mengakibatkan adanya pertarungan alamiah yang berpijak
kepada sesuatu yang bersifat naturalistik. Di sinilah satra (puisi)
tidak hadir dalam rahim sosial yang kosong. Tetapi kelahiran sastra
penuh dengan makna. Plekhanov (Eagleton, 2002;7) mengurai penciptaan
karya yang tidak hadir secara misterius. Karya-karya tersebut adalah
bentuk persepsi, cara khusus dalam memandang dunia, dan juga memiliki
relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi mentalitas suatu
zaman.
Sastra dan ideologi suatu masyarakat tak luput
terefleksikan dalam karya sastra karena hasil gesekan sastrawan dengan
dunia realitas sosialnya. Keterkaitan antara sastra dan ideologi suatu
zaman, seperti yang diungkap Plekhanov adalah produk dari hubungan
sosial yang kongkret yang di dalamnya manusia memasuki ruang dan waktu
tertentu.
Antologi puisi Ciuman Pertama ini merupakan
refleksi untuk memberi pencerahan bahwa yang sederhana ternyata jauh
lebih fantastis, imajinatif, dan berasa. Ini ibarat seseorang yang mandi
tetapi menikmati setiap aliran air yang menyentuh tubuh. Mandi dengan
hanya membasahi diri lalu bersabun bahkan bershampoo, tak lebih dari
pengulangan dan rutinitas. Namun bagaimana indahnya mandi dan merasakan
sentuhan air yang pelan-pelan membasahi tubuh, hasilnya akan berbeda.
Begitu
juga, memandangi alam Madura yang sudah seperti ini adanya, terasa
begitu-begitu saja. Namun melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda dan
merasakannya, lahirnya puisi, lahirnya Ciuman Pertama (*)
*) Resensi ini dimuat di Majalah SULUH MHSA Edisi 14, Agustus-September 2012 Hal. 28-29
Tentang Peresensi
Imalah Hasanah adalah Alumni Sastra Arab Universitas Islam Negeri ( UIN) Malang.
---
Berminat dengan buku puisi "Ciuman Pertama"? Murah saja. Hanya Rp. 39.000,- (gratis ongkir se-Indonesia). silahkan kontak email stapers2002@yahoo.com jika berminat. Atau hubungi 081937381133 via SMS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar