Sitok dan Budaya Kontol Kita
Mencuatnya kasus perkosaan seorang budayawan bernama Sitok Srengenge
terhadap mahasiswa UI berinisial RW yang tak kunjung usai karena sang pelaku
justru dibiarkan berkeliaran membuat saya berpikir; enak betul jadi laki-laki
di negeri dimana para pemerkosa memegang kekuasaan hari ini.
Saking enaknya sampai horni saya. Loh? Oke. Kali ini serius. Dari kecil
setidaknya saya berkali-kali melihat peristiwa hubungan laki-perempuan yang tak
lazim. Dan yang menang memang selalu laki-laki. Baiklah saya ceritakan dua
peristiwa saja. Waktu SMP, dalam sebuah ronda saya ikut serta dalam
penggerebekan sebuah rumah yang disinyalir sedang melakukan perselingkuhan.
Rumah tersebut digerebek. Pintu didobrak paksa
dan olala…di dalam rumah itu tidak hanya berisi satu laki-laki. Tapi
lima. Lima laki-laki. Si perempuan tetangkap basah tengah telanjang. Dua
laki-laki nyaris telanjang di dekatnya. Sisanya, satu laki-laki ditemukan
sembunyi di langit-langit. Satu lagi sembunyi di dapur. Satu lagi di kamar
mandi.
Esoknya, si perempuan yang telah bersuami itu diusir dari kompleks tempat
saya tinggal. Lima laki-laki yang digerebek juga hilang entah kemana. Tak
ditangkap tak di penjara. Si suami kawin lagi untuk ketigakalinya. Karena si
perempuan yang tertangkap basah sedang pesta seks itu ternyata istri simpanan.
Nah lo. Caci maki muncrat dari mulut penghuni kompleks, baik laki maupun
perempuan: “perempuan lacur!” “Sundal” ”tukang mesum.” Tapi tak ada caci maki
buat para lelaki. Enak ya!
Cerita berikutnya, kala saya sudah SMA. Teman-teman saya udah pada akil
balig semua tentunya ya. Baik laki maupun perempuan. Gossip beredar. Si cewek
berinisial A udah nggak perawan. Udah dibobol pacarnya waktu malam minggu di
pantai. Jadilah si cewek itu mulai banyak yang ngapelin. Termasuk saya. Sampai
akhirnya si cewek dibawa dua teman saya di rumahnya. Disetubuhi ramai-ramai
berdua. Serius! Tapi saya Cuma dengar ceritanya doang. Katanya sih kalo mau ngajak si A bersetubuh
ada kluenya; ”nanti aku bilang ibumu loh kalo kamu sudah pernah diperawani R,
pacarmu” klue itu beredar luas dan si A sering gonta-ganti laki. Yang
memperawani A tidak di penjara. Yang terus menggilir A dengan klue ajaib itu
juga bebas aja merdeka. Sebenarnya saya pernah dengar A mau lapor polisi, tapi
ada yang warning; ”Mau lapor polisi? Sana lapor, nanti kamu yang dipenjara dan
digilir polisi” Enak ya!
Lalu apa hubungannya dengan Sitok cerita itu? Ehm..begini. Hidup diantara
perempuan-perempuan yang dididik dalam budaya dimana menghargai seks dan keperawanan
di atas segalanya emang sebuah surga bagi laki-laki. Dan kita seringkali
mengamini keadaan ini. Tanpa pernah mau peduli siapa sebenarnya yang tengah
jadi penindas dan yang jadi tertindas dalam posisi itu.
Padahal faktanya, begitu keperawanan dirampas paksa, si perempuan merasa
tak berharga. Tak lagi punya mahkota. Merasa invalid. Cacat. Dan frustasi.
Dalam kondisi labil inilah gampang digasak laki-laki yang isi otaknya cuma
penis dan selangkangan aja.
Sementara perempuan-perempuan yang telah diperawani dan beruntung
pacarnya setia menemani di kos-kosan, biasanya jadi tergantung. Makin manja
sama pacarnya. Betul tidak? Berapa dari kalian perempuan-perempuan yang jadi
dependen sama pasangan setelah diperawani? (gak usah dijawab cukup gerundel dalam
hati aja).
Biasanya, yang mahasiswa dan agak isi otaknya (meskipun ya ujung-ujung
nanti ke urusan senggama juga), agar bisa cuci tangan atas dosa sosial yang
dilakoninya itu, mulai mencekoki si perempuan dengan teori-teori feminisme
liberal. Diberi ilusi segala hal tentang pembebasan atas konstruksi sosial
terutama mengenai keperawanan. Agar lebih tangguh dan merdeka, katanya. Dan
sanggup menjadi perempuan dewasa. (dewasa itu artinya ya diperawani dulu).
Beberapa perempuan nampaknya bisa disakiti macam itu: merasa diperkosa, lalu
ditipudaya dan dimanipulasi, dibuat malu, lalu menerima itu sebagai kenyataan
hidup dan bungkam soal itu. Yach..begitulah otak kontol. Begitulah kehidupan
budaya kontol kita. Dan banyak perempuan yang terima begitu saja (meski dalam
hati kecilnya menolak) diperlakukan seperti pesakitan dalam budaya kontol yang
terus menancapkan kuku beracunnya di setiap sendi kehidupan. Nggak terima?
Tersinggung? Baiklah dilanjut bacanya.
Jadi kalau kita bersetuju dengan semua logika diatas memang kita tak jauh
beda dengan Sitok dan antek-anteknya. Bahwa cukuplah selesaikan dengan
kekeluargaan. Musyawarah dan nikahi RW baik-baik. Habis perkara. Gak usah
teriak-teriak dicaci maki si laki-laki. Wah, sedap betul. Setelah menghancur
leburkan masa depan RW, lalu RW disuruh menikahi pemerkosanya. Ada yang
menjamin setelah RW menikah dengan Sitok ia tak akan mengalami kekerasan
keluarga? Artinya, menikahkan korban perkosaan dengan pemerkosaan itu sama aja
keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya.
Mungkin RW termasuk perempuan berani yang penolakan hati kecilnya atas
perlakuan tak manusiawi yang dilakukan Sitok diejawantahkan dalam perlawanan. Melaporkan
Sitok ke pihak berwenang. Menantang Sitok ke meja hukum. Menolak jalan damai
dinikahi setelah berkali-kali diperkosa hingga hamil dan melahirkan bayi
perempuan yang mungil. Tak banyak perempuan yang berani mencakar budaya kontol
yang menancap dalam hidupnya.
Maka semangat itu harus kita jaga. Kalau perlu ditularkan seperti virus. Agar semua kita kembali ke jalan yang lurus. dan selalu berani berkata; perkosaan
tetep perkosaan. Apapun dalihnya. Pandangan ini harus kita sepakati bersama
untuk tidak terjebak pada upaya ‘pendamaian’ pemerkosa dengan korban. Upaya
pendamaian itulah yang membuat sistem hukum tidak bekerja dengan benar. Di
samping memang hukumnya tidak benar sebab kacamatanya masih pakai kacamata
patriakat. Ditambah lagi keberpihakan hukum pada yang kaya. Sudah cukup dengan
pendamaian yang menipu itu. posisi perempuan tetaplah korban dalam kasus
perkosaan yang dilakukan laki-laki. Dalam posisi itu tak pantas lagi disebut
dengan jalan damai, tapi jalan lain penindasan.
Maka bagi mereka yang menolak jalan penindasan, mestinya harus berani
menantang jalan damai itu. Tak ada jalan damai buat pemerkosa. Seret Sitok ke
pengadilan. Karena sebuah fakta; pelecehan seksual. Dan kemungkinan besar
disertai perkosaan. Ada kejahatan terencana dengan metode yang rapih untuk
meloloskan diri dari jeruji penjara dengan selubung logika budaya patriarkis;
tindakan krimimal pemerkosaan menjadi hubungan seksual atas dasar suka sama
suka. Sungguh sebuah kejahatan yang penuh tipu daya.
Dari hal tersebut mestinya aparat kepolisian berani mengambil langkah
tegas. Dengan beraninya aparat kepolisian menangkap Sitok dan menyeretnya
ke Pengadilan, kita bisa percaya bahwa polisi
ada untuk mengayomi rakyat tertindas bukan melindungi pemerkosa. Kita juga bisa
percaya bahwa ada harapan buat perempuan menuntut hak dan keadilannya sebagai
perempuan. Bahwa posisinya benar-benar setara dengan laki-laki di negeri ini.
Bukan kesetaraan yang penuh ilusi.
Tapi jika keberanian tak ada lagi, jika tak ada lagi yang peduli untuk
menolak jalan penindasan itu, kita sebenarnya sedang duduk bersama para
penindas sambil minum kopi dan menikmati hujan rintik-rintik yang jatuh begitu
sentimental hari ini. Sementara di belakang kita teriakan perempuan minta
tolong karena diperkosa nyaring terdengar. Tapi semuanya tak peduli. Ih…betapa
mengerikan.
Madura, Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar