Mendung makin pekat di langit Madura. Saya menggeber motor saya agar bisa lekas tiba di rumah. Tapi kecepatan motor saya sepertinya tak bisa menandingi kecepatan alam. Hujan pertama itu akhirnya jatuh juga. Tepat di pertengahan bulan November 2014. Jarak rumah tinggal 1 kilometer lagi. Daripada basah, saya terpaksa berteduh di warung Pak Ri.
Siang itu warung terlihat sepi. Hanya ada tiga pembeli, termasuk saya. Saya memesan segelas teh hangat dengan satu sendok teh gula. Sambil menunggu pesanan datang, saya menyambar pisang goreng. Mengunyahnya pelan-pelan sambil menatap hujan di luar yang kian garang. Beberapa anak berseragam sekolah terlihat riang menerobos hujan. Begitu pesanan datang, saya langsung menyeruputnya, ketika tiba-tiba Pak Ri, menggebrak meja.
“Sialan!” pekiknya.
“Cocot mereka itu dulunya waktu reformasi khan mendukung pilkada langsung. Sekarang malah berbelok menolaknya. Mulut kalo nggak pernah disikat memang bau” Pak Ri melanjutkan ocehannya sambil mengaduk secangkir kopi jahe pesanan seorang pembeli yang baru saja datang.
Pak Ri memang termasuk penjual yang kritis kalau ngomong politik. Maklum, dulu waktu masih muda dia aktif di IPPNU. Beberapa kali menjadi salah satu tim sukses bayangan saat pilkada di Pamekasan, Madura. TSampai akhirnya berhenti pada tahun 2010. menggarap sawah dan membuka warung. Warungnya yang berdekatan dengan rumah sakit umum pamekasan bisa dibilang cukup strategis. Tak pernah sepi pembeli. Kesukaannya sejak muda acara dunia dalam berita. Makanya d warung berdinding anyaman bambu itu tersedia tv tabung ukuran 14 inci. Merk sharp.
Tapi ngomong-ngomong soal politik, celotehan Pak Ri saya pikir sebuah kemajuan besar buat ‘demokrasi’. Di masa Orde Baru, menurut cerita almarhum bapak saya yang cuma PNS penyuluh kehutanan, politik adalah barang terlarang bagi rakyat kasta rendahan seperti orang-orang macam Pak Ri. Tapi sekarang saya bisa melihat penjual kopi yang juga petani bisa berbincang dengan pembelinya soal politik, abang tukang becak bisa ngrasani pemerintah tanpa takut diciduk ke koramil. Malah sampai ada yang berkelahi hanya gara-gara jagonya saat pilpres kemarin diledek kawannya sesame tukang becak. Lepas dari saling ledek yang berujung perkelahian itu, betapa menyenangkan bisa ngomong apa saja sekarang ini. Dan memang beginilah seharusnya.
”Pertanyaan yang paling mungkin, Pak, kenapa dulu mendukung sekarang tiba-tiba menolak?” saya sengaja memancing pertanyaan sambil menyeruput teh lagi. Siaran televisi yang menayangkan berita poiitik kini sedang menayangkan iklan.
”Ya mereka sudah kalah mulu di banyak lini. Tepatnya sudah kehabisan lahan buat cari makan” ucapnya santai dengan bahasa madura yang kental tentu saja. (di tulisan ini saya menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia semua)
”Maksudnya, Pak?”
”Sini saya kasih tahu.” Lanjut Pak, Ri. Lelaki yang telah berusia 70 tahun itu memperbaiki letak duduknya di lincak. Menghisap kreteknya dan mulai bercerita panjang lebar. “Pilkada langsung itu menyerap uang yang banyak. Bukan cuma miliaran, Mas. Tapi trilyunan. Mereka yang mendukung pilkada langsung itu adalah mereka yang tahu melihat peluang, bahwa pilkada itu semata-mata bisnis. Kayak dagangan saya ini. Survey-surveian. Serangan fajar. Opini Koran. Pasang iklan. Itu semuanya pakek uang. makanya yang mendukung khan rata-rata orang atau perusahaan yang telah merasakan betapa penuh gelimang uang saat menjelang dan berlangsungnya pilkada. Laba berlipat-lipat saat itu. Koran menikmati iklan dari cagub cawagub atau cabup cawabup yang sedang bertarung. Tim sukses juga begitu. Yang survei-survei itu juga begitu. Kalau pilkada kemudian masuk DPRD lagi, lha mereka semua itu khan jadi seret kantongnya. Bisa Mas bayangkan khan?”
Saya manggut-manggut. Menyeruput teh lagi. Kemudian mengambil kretek sebatang. Ini buah dari demokrasi itu barangkali, pikir saya. Politik yang dulu menjadi komoditas eksklusif kasta priyayi dan kaum intelektual salon di tivi-tivi, kini telah bergeser sampai ke titik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya; kaum kere. Rakyat jelata yang dulu dilarang ikut-ikutan komentar politik, kini analisanya bisa lebih lancip dari kaum cerdik pandai yang sok pintar.
”Jadi Pak Ri setuju dengan pilkada tak langsung itu?” saya bertanya lagi.
”Halah itu sama saja. Kita orang kecil cuma bagian penghibur sebenarnya dari semua sistem politik di negeri ini. Baik pilkada langsung maupun tak langsung. Itu cuma akal-akalan politisi saja. Dianggapnya kita tak siap dengan pilkada langsung, terlalu banyak konflik saat pilkada langsung, kecurangan-kecurangan dan tidak sesuai dengan asas sila ke empat. Itu semua cuma akal-akalan. Tujuan; ya masih jalan lain bagi-bagi kue kekuasaan lewat jalur parlementer. Jadi kesimpulannya, soal pilkada langsung dan tak langsung itu bukan soal pertarungan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). itu cuma pertarungan bagi-bagi kue paling 'adil' antara elit politik”
Mendengar penjelasan ini saya nyaris tersedak karena terlalu dalam menghisap asap kretek. Saya tidak dapat membayangkan orang kecil macam Pak Ri bisa bicara seperti itu. Kemudian salang seorang pembeli, yang duduk di sebelah saya menyolek saya. Saya meliriknya, kemudian sang penyolek itu memiringkan ibu jarinya di dekat jidatnya. Saya mengerti maksudnya. Saya tersenyum.
”Pak Ri kemarin nyoblos presiden siapa?”
”Saya ke pasar. Cari kelinci aduan. Mending taruhan balap kelinci daripada ikut nyoblos.”
Saya tersenyum. Saya memandang ke luar warung. Sepertinya hujan telah reda. Tinggal gerimis tipis yang tersisa. Saya mohon pamit melanjutkan perjalanan. Membayar uang. dan bersalaman dengan pemilik dan pengunjung warung. Televisi yang ada di atas lemari di warung itu kini sedang menayangkan infotaimen. Hiruk pikuk pernikahan Raffi Ahmad dan Gigi yang diulang-ulang. Pak Ri masih terus berceloteh.
Hari ini minggu kedua bulan Desember 2014. Saya berkesempatan pulang kampung lagi. Dan saya liat langit Madura kembali mendung. Saya hendak mampir ke warung Pak Ri. Selain ingin bersilaturahmi saya ingin sekali mendengar komentar Duda beranak dua ini soal penenggelaman kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia yang digembargemvorkan Menteri Susi. Sayang kali ini warung tersebut tutup. Pada seorang tambal ban yang kebetulan berdekatan dengan warung Pak Ri saya bertanya mengapa warung tersebut tutup, tak seperti biasanya.
”Pak Ri meninggal, Mas. Kesetrum waktu memperbaiki lampu jalan kemarin” ujar si tukang tambal.
Saya terdiam. Langit Madura makin mendung. Berkali-kali suara geledek sambung menyambung.
Desember, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar