Oleh: Edy Firmansyah
Fuad hanya terpaku ketika Ripin, bapaknya, dimasukkan ke dalam liang
lahat. Matanya sembab. Pikiran berkecamuk. Mengapa Tuhan memanggil bapaknya dengan
cara keji begitu? Seandainya ia menuruti bapaknya untuk tak nonton layar tancap
malam itu, mungkin pagi ini ia masih bisa membuatkan bapaknya kopi. Tapi takdir
berkehendak lain. Bapaknya mati. Tuhan begitu kejam. Fuad terus membatin. Fuad
tak tahan. Fuad tak sanggup sendiri.
”Bapak…bapak…!” orang-orang terus memegangnya erat.
”Jangan sampai lepas. Nanti dia nekat” teriak yang lain sambil terus
mencangkul.
Pelan-pelan jasad bapaknya yang dibalut kafan yang sebagian memerah
karena darah tak kelihatan lagi. Ditimbun tanah. Fuad menangis sejadi-jadinya
diantara gemuruh langit dan lafal doa.
***
Fuad baru saja melompat ke sungai, ketika kawan-kawannya bergegas naik
dan meninggalkannya. Meski tak puas menikmati sejuk air sungai, Fuad menepi
juga. Mengenakan celananya, tanpa sempat mengenakan baju, lalu berlari mengejar
kawanannya ke lapangan. Bajunya ia pegang di tangan.
”Mobil itu datang. Mobil itu datang.” Teriak kawannya, Kharis, yang
berlari paling depan.
Mobil yang dimaksud adalah mobil jenis van berpengeras suara dan
digantungi poster besar berbagai jenis film. Mesin mobil itu bergerung memecah
kesunyian lapangan di terik siang di tengah kampung. Suara mesin yang tumpang
tindih dengan suara pengeras suara membuat soundtrack iklan KB terdengar buruk.
Bergemerisik dan kerap membuat gendang telinga gatal.
Kawanan itu terus berlari mendekati mobil berwarna biru buram dengan
beberapa bagian cat terkelupas itu kemudian membuntutinya dari belakang. Kharis
berhasil melompat ke belakang van sambil terus tertawa jumawa. Yang lainnya
masih terus berlari di belakang mobil van itu sambil bersorak sorai kegirangan.
Fuad terus berlari agak jauh tertinggal di belakang. Sambil berlari ia
kenakan bajunya yang sedari tadi digenggamnya. Sebenarnya Fuad ingin terus
mengikuti kawan-kawannya berlari dan biasanya berhenti di samping sekolah dasar
di sisi lapangan tempat mobil van itu juga berhenti. Fuad memang terpesona
dengan segala peralatan bioskop keliling itu. ia heran mengapa bisa dari
proyektor film dan gulungan pita itu keluar gambar di layar putih yang
ditancapkan di belakang gedung SD itu. Tapi pikiran anak-anaknya belum juga
nyampek. Fuad hanya melongo. Heran. Kemudian berdecak kagum dalam hati.
Tapi kali ini ia urungkan niatnya mengejar kawanannya. Fuad kemudian
memutuskan berbelok, berlari lekas-lekas menuju rumahnya. Dari pengeras suara
mobil van itu ia dengar nanti malam akan digelar misbar. Layar tancap. Akan
diputar lima filem. Dua film horor, dua film silat dan satu film komedi. Tutur
tinular dan koboi cengeng adalah dua film favoritnya. Dan ia harus memberi tahu
bapaknya, Ripin, bahwa ia akan nonton misbar sampai malam. Misbar adalah
singkatan dari gerimis bubar. Dinamakan demikian karena layar tancap yang
diputar akan dihentikan jika gerimis turun. Sebab peralatan itu bisa rusak jika
terkena air.
Sudah hampir satu tahun bioskop keliling itu tak mampir ke kampungnya
memberi hiburan. Biasanya hampir tiap bulan misbar itu digelar. Dan orang-orang
kampung akan berduyun-duyun datang ke lapangan. Duduk bersila sampai larut
malam menyaksikan film-film yang barangkali hanya bisa dinikmati di
gedung-gedung biokop di Kabupaten.
Ripin sedang mengasah batu akiknya di ruang tamu, ketika Fuad tiba-tiba
berlari masuk menuju dapur, menyambar kendi dan menenggak isinya, kemudian kembali
ke ruang tamu.
”Ada apa kok ngos-ngosan begitu. Seperti dikejar demit aja.” Ujar
bapaknya sambil menimang-nimang bacan yang baru saja digosoknya.
Dengan nafas tersenggal-senggal Fuad menceritakan keinginannya nonton
misbar di lapangan seusai mengaji di surai haji Tholib malam nanti. Ia meminta
sejumlah uang jajan. Tapi Ripin menggeleng tanda tak setuju. Fuad terus
merajuk. Tapi Ripin terus menggeleng sambil menimang-nimang akiknya.
”Bapak tak bisa antar. Nanti malam bapak ada perlu ke rumah Haji Romli.ngurus
acara sholawatan.”
”Pak, Fuad bisa pergi sendiri. Nanti berangkat ramai-ramai sama teman.”
”Bahaya pulang malam-malam. Sekarang banyak pembunuhan dan anak hilang.”
Ripin tahu bahwa ia memang terlalu keras pada anak semata wayangnya itu.
banyak melarang ini itu. terutama aktivitas anaknya pada malam hari. Tapi apa
boleh buat. Ia tak mau anaknya bernasib seperti dirinya. Jadi anak jalanan,
kemudian jadi preman. Ia ingin anaknya tumbuh seperti anak normal lainnya.
Sekolah, mengaji, membantu orang tua, setelah lulus bisa cari kerja. Kalo bisa
jadi pegawai negeri atau guru ngaji.
Masih lekat dalam ingatan Ripin hari terakhirnya bertemu ibu dan
bapaknya. Malam itu, karena tak tahan dipukuli terus sama bapaknya, emaknya
akhirnya memilih minggat dari rumah. Membawa serta Ripin menyusuri jalan yang
semakin gelap ke arah kota. Tapi tanpa tujuan pasti. Emaknya berjalan dengan
langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin yang waktu itu masih sekecil Fuad
sempat kepayahan mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Enaknya.
Sedangkan Ripin melangkah dengan penuh perasaan takut. Jalan raya sudah dekat,
kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Emak berhenti. Terlihat berpikir keras,
lalu berbalik arah. Setengah bergumam, Emak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa,
Emak menyuruh Ripin menunggu. Tidak
menunggu jawaban, Emak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian
Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung yang lengang itu dan bermaksud
menuruti Emaknya, namun kemudian kecemasan bergumul dan meningkat cepat. Ripin
memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah. Tas besar yang dibawa
Emaknya ditinggalkannya tergolek di atas jalan. Terengah-engah, di depan rumah,
Ripin mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, Ripin melihat
bapaknya sedang menjambak rambut Emak dan sedang menghantamkan kepala Emak yang
kecil itu ke arah dinding. Melihat itu, Ripin kemudian berlari menjauhi rumah,
menuju pasar malam dan tak pernah kembali.
Beruntung Ripin diambil anak seorang guru ngaji. Dan kemudian jadi
pedagang ayam. Hidupnya tak lagi susah seperti waktu masih kecil. Ia tak harus
menjadi preman seperti bapaknya hanya sekedar untuk cari makan. Sekali waktu,
setelah tahu nasib emaknya, ia datang ke kuburnya. Membersihkan nisan Emaknya
dan memanjatkan doa agar Emaknya tenang selalu di alam kubur. Sementara
bapaknya sendiri ia tak tahu. Setelah mendengar cerita kalau bapaknya ditembak
petrus, Ripin tak pernah tahu di mana kubur bapaknya.
Karena itu Ripin tak mau Fuad seperti dirinya. Cukup dia saja yang
mengalami hidup sebatang kara dan sempat jadi anak jalanan dan pencopet. Fuad
jangan. Samasekali jangan.
Fuad menghentikan rajukannya. Ketika bapaknya menyebut tentang maraknya
pembunuhan dan orang hilang, bayangan tentang seonggok mayat mengapung di kali tempat ia
biasa mandi melintas. Mayat itu perutnya sobek, isinya terburai. Kata orang,
mayat itu orang jahat. Mati dibantai ramai-ramai karena suka mengguna-gunai
orang. Mengerikan. Mayat yang mengapung di kali itu membuat ia dan
kawan-kawannya tak pernah lagi mandi di kali untuk beberapa waktu lamanya.
Tapi Fuad lekas-lekas menghapus bayangan itu. Ingatan tentang misbar
menempel lagi dalam kepalanya. Fuad merajuk lagi. Kali ini dengan nada keras
dan mulai merengek sambil menangis. Tapi bapak bergeming. Menggeleng dan
ngeloyor pergi ke kamar mandi, berwudhu, lalu berjalan ke mushalla Haji Romli,
meninggalkan Fuad yang terus sesegukan di ruang tamu, sendirian. Beberapa saat
kemudian terdengar suara bapaknya mengumandangkan adzan dhuhur dari toa
mushalla.
Tangis Fuad makin keras. Ia membayangkan seandainya ibunya ada di
sampingnya, ia akan merajuk pada ibunya untuk meluluhkan hati bapaknya agar
bisa menonton misbar. Tapi apa daya, ibunya tak akan pernah membelainya untuk
meredakan tangisnya. Ibunya sudah di surga bersama adiknya. Ibunya mati saat
hendak melahirkan adiknya. Sementara adiknya hanya bertahan seminggu di dunia
kemudian juga menyusul ibunya menuju surga. Fuad kini berdua dengan bapaknya.
Malam begitu bersahaja dengan beribu bintang dan bulan berbentuk perahu
di langit. Angin membawa gigil udara ke dalam kulit. Ripin sedang duduk
diberanda sambil menghisap kretek dan memutar tasbih ketika Fuad pulang
mengaji.
”Cuci tangan, cuci kaki. Setelah itu tidur” perintah Ripin.
Fuad melengos masuk rumah. Langsung naik ke tempat tidur tanpa menuruti
perintah bapaknya. Memejamkan mata. Tapi tak bisa tidur. Ia membayangkan
kawan-kawannya sedang berlarian di lapangan sambil makan ancang menunggu misbar
dimulai. Ia membayangkan aroma sedap kacang rebus dan gulali menyeruak ke dalam
hidungnya.
Beberapa saat
kemudian Fuad mendengar langkah kaki bapaknya menuju kamar. Fuad lekas-lekas
merapatkan matanya. Pura-pura tertidur lelap. Dirasakan tangan bapaknya
membelas rambutnya. Didengarnya suara shalawat keluar dari mulut bapaknya
sebaliknya tiga kali. Kemudian dirasakan tiupan dari mulut bapaknya di
ubun-ubunnya. Fuad terus merapatkan matanya. Tapi tak bisa tidur. Bayang-bayang
misbar masih menerkam pikiran kanak-kanaknya.
Rumah hening. Suara dengkur Ripin bersautan dengan suara jangkrik di
luar. Dingin menyergap ke dalam sumsum ke dalam tulang. Fuad pelan-pelan
membuka mata. Melihat ke arah bapaknya yang rebah di sampingnya. Berkali-kali
mengguncangkan tangan bapaknya pelan untuk memastikan bapaknya tertidur pulas.
Setelah yakin, ia pelan-pelan beringsut dari ranjang menuju dapur. Menaiki
lemari dan mengambil kaleng tempat bapaknya menyimpan uang hasil jualan ayam.
Selembar uang seribu ia kantongi, lalu menuju pintu belakang, membuka grendel
dan bergegas berlari menuju lapangan. Nonton misbar.
Saat Fuad sampai di lapangan, film koboi cengeng baru separuh jalan. Film
komedi yang diperankan Ateng, Iskak dan Dartok Helm kesukaannya. Fuad segera
duduk di kerumuman kawan-kawannya sambil menikmati kacang rebus yang baru saja
dibelinya. Ia terpingkal-pingkal bersama kawannya tiap melihat adegan lucu di
film itu. Ia ngakak seakan lupa bahwa siang tadi ia menangis hebat.
Sementara itu, saat Fuad tertawa lepas menonton layar tancap, sebuah
mobil jenis station wagon berhenti di
depan rumah Ripin. Tak lama kemudian kabel listrik diputus. Listrik padam. Tiga
orang berbadan tegap dan bertopeng ala ninja menerobos masuk ke rumah Ripin
dengan mendobrak pintu. Tanpa kesulitan mereka menemukan Ripin tengah terlelap
tidur. Tanpa banyak komentar mereka mengeluarkan pisau dan pedangnya.
"Cras...crasss" Ripin langsung bersimbah darah dan meninggal.
Lehernya nyaris putus digorok.
Mayatnya kemudian diseret ke luar rumah. Dilemparkan ke pinggir jalan. Beberapa orang sempat melihat station wagon itu.
Berpenumpang empat orang berambut cepak dan selalu menenteng handy talky. Orang-orang merubung mayat
Ripin. Desas-desus beredar, Ripin mati dibunuh ninja.
Fuad masih tertawa terpingkal-pingkal tiap berlangsung adegan lucu dalam
koboi cengeng.
Madura, 2015
Madura, 2015
*) Cerpen ini dimuat di harian RADAR SURABAYA, 08 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar