Judul : Sosiologi Tubuh; Membentang Teori di Ranah Aplikasi
Penulis : Ardhie Radtya, M.A
Penerbit : Kaukaba Dipantara, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2014
Tebal : xxxvi+312 halaman
ISBN : 978-602-1508-52-7
Peresensi : HN. Amrif**)
APA jadinya jika
‘tubuh’ Madura dibedah melalui kacamata sosiologi tubuh? Buku berjudul Sosiologi
Tubuh: Membentang Teori di Ranah Aplikasi karangan sosiolog muda Madura
bernama Ardhie Raditya ini memberi jawabannya.
Dengan menggunakan
tiga kacamata sebagai obyek bantu menelisik soal madura itulah buku ini bergerak. Kacamata
pertama memandang Madura melalui tubuh perempuannya. Kacamata berikutnya,
memandang Madura dari kacamata tubuh
para jagoannya. Para preman Madura. Kacamata terakhir, melihat ‘tubuh’ Madura
dari klasifikasi para tukang pijat tradisional Madura.
Dalam kacamata
tubuh perempuan madura, dosen tetap di jurusan Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini memaparkan bahwa
perempuan Madura tidak hanya ditindas oleh budaya patriakat saja. Perempuan
madura, terutama perempuan dumeh (perempuan kelas bawah) ditindas oleh
sesama perempuannya, yakni perempuan dari golongan parjejih (baca: priyayi).
Menggunakan konsep pertentangan kelas ala feminisme marxis, kajian ini bergerak
pada pandangan tentang posisi subaltern, yakni subyek yang tertekan dan
tertindas. Berada dalam posisi inferior karena tersubordinasi oleh struktur
dominan, yakni dominasi perempuan priyayi terhadap perempuan dumeh. Yang
ditawarkan kemudian sebuah dekonstruksi untuk mensejajarkan posisi antara
priyayi dan dumeh dalam segala lini kehidupan masyarakat. (hal.
259-265).
Dalam kacamata
berikutnya, yakni tubuh Madura melalui para premannya, penulis buku ini
menjelaskan bagaimana para preman Madura menafsir ulang tentang sehat dan
sakit. Penulis buku ini memaparkan bagaimana para blater Madura menjaga
kualitas tubuh mereka dari sakit. Baik sakit karena lemahnya fisik, maupun
sakit karena berhasil ditembus senjata supranatural (baca: santet). Melalui
cara menafsir ulang definisi sakit dan sehat ala blater madura, penulis
kemudian menklasifikasi para blater bedasarkan tubuh mereka. Para preman
Madura yang berhasil menjaga tubuhnya tetap prima baik dalam aspek mental
(puasa berahi), ekonomi (sanggup puasa materi), dan kultural (menggendalikan
supranatural) maka akan dianggap sebagai jagoan rajeh (kelas atas dalam
dominasi jagoan Madura). Begitu juga sebaliknya. Yang gagal menjaga tubuhnya
dianggap jagoan keni’ (preman kelas teri) (hal. 269-299). Cara
mengklasifikasi para jagoan berdasarkan konstruksi tubuh dan kuasa tubuh atas
sehat dan sakit tergolong unik dalam banyak penelitian atas jagoan Madura.
Tapi, di samping
dua kacamata diatas dalam memandang tubuh Madura, ada kacamata lain yang
dipakai untuk mengupas budaya madura melalui sudut pandang sosiologi tubuh.
Yakni, tentang tukang pijat Madura. Melalui analisa sosiologi tubuh, alumni UGM
ini, mengklasifikasi berbagai jenis dukun pijat di madura. Termasuk darimana
asal usul tukang pijat tersebut mendapatkan ilmu pijat.
Bagi para
penikmat budaya Madura, kajian ‘tubuh’ Madura dari tiga aspek diatas tentu
menarik perhatian. Sebab hingga saat ini kebanyakan madura masih dipandang
melalui aspek antropologi dan budaya semata. Sementara jarang sekali peneliti
melakukan kajian dengan aspek sosiologi, apalagi sosiologi tubuh. Dan buku ini
setidaknya menjadi angin segar bagi makin luasnya kajian tentang masyarakat
Madura.
Hanya saja, kajian
tentang Masyarakat Madura dalam buku ini tidaklah mewarnai keseluruhan buku
ini. Kajian tentang Madura dengan tiga kacamata itu hanya ada di bab terakhir.
Sedangkan mengenai tubuh Madura melalui sudut pandang tukang pijat berada di
Bab I dan hanya diulas sekitar empat halaman saja (hal. 89-95). Padahal jika
tiga tubuh Madura itu menjadi inti dari buku ini tentu akan menjadi lebih
menarik bagi banyak orang, mengingat buku-buku mengenai Madura memang memiliki
segmentasi yang jelas.
Sejatinya buku
ini adalah buku mengenai teori sosiologi tubuh. Hal ini bisa dilihat dari
sebagian besar isi buku ini yang mengulas dan mengutip berbagai teori dan
pendapat tentang sosiologi tubuh. Tepatnya buku ini lebih identik sebagai buku
diktat kuliah sosiologi dilihat banjirnya kutipan dan teori di sana-sini. Hal
yang menguatkan lainnya bahwa buku ini merupakan diktat kuliah sosiologi adalah
kata sambutan dan epilog yang ditulis oleh Dekan FISIKUM Unesa dan Rektor Unesa
yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi pembaca.
Buku setebal
300an halaman yang dikata pengantari Prof. Yusraf Amir Piliang, seorang guru
besar kajian budaya pop di ITB dan penulis buku best seller berjudul “Dunia
Yang Dilipat” ini, terdiri dari empat Bab. Bab pertama mengurai tentang sejarah
dan teori-teori tentang sosiologi tubuh (hal.1-143). Bab kedua mengurai tentang
tubuh hubungannya dengan globalisasi dan teknologi (hal.151-209). Bab ketiga
memaparkan tentang tubuh dan media massa (hal. 213-266). Dan terakhir, pada bab
empat, mengurai tentang tubuh dalam aras lokal (hal.269-300).
Sebenarnya, bagi
sosiolog kontemporer kajian soal tubuh bukanlah barang asing. Sejak revolusi
industri menggerus masyarakat dalam gilda-gilda ekonomi kapitalis, sejak itu
pula sosiologi tubuh menjadi alat untuk mendekonstruksi kesadaran masyarakat
akan tubuh di bawah kungkungan kapitalisme.
Dalam pandangan
sosiologi tubuh, tubuh memiliki relasi kuasa dengan sistem sosial yang ada.
Tubuh bisa menjadi objek eksploitasi kekuasaan dan sekaligus bisa juga menjadi
subjek dalam eksploitasi terhadap tubuh lainnya. Dalam kondisi macam ini,
selama relasi kuasa dan eksploitasi tubuh tak tuntas didekonstruksi, maka tubuh
jadi bagian paling empuk dihajar tajam kuku kapitalisme. Dan ketika tubuh
ambruk, maka masyarakatpun bakal limbung dan terpuruk.
Melalui sosiologi
tubuh, para sosiolog mengungkap selubung gelap tubuh di bawah bengis tapak kaki
kapitalisme untuk menyadarkan masyarakat betapa tubuh begitu berharga dan punya
kuasa untuk melawan segala tindasan budaya terhadap dirinya.
Sayangnya, buku
bersampul wajah perempuan yang terbelah ini, terlalu sedikit membahas ‘tubuh’
Madura. Sebaliknya, justru buku ini menjenuhkan jika dilihat dari definisi,
teori dan kutipan dari berbagai pemikir yang disusun bertumpuk-tumpuk termasuk
istilah-istilah ilmiah yang bikin pembaca awam mengernyitkan dahi. Namun bagi mereka
yang ingin menekuni sosiologi tubuh, terutama mahasiswa, praktisi dan akademisi
masalah sosial yang ingin mengetahui bagaimana sosiologi tubuh bekerja membedah
tubuh Madura dalam aplikasi penelitian di lapangan buku ini pantas dibaca. Termasuk
mereka yang ingin mengenal masyarakat madura lewat sosiologi tubuh.
*) Resensi ini dimuat di Harian SUARA MADURA, 31 Maret 2015
**) HN. Amrif adalah alter ego Edy Firmansyah, seorang jurnalis partikelir, penyair dan penulis cerpen. Pernah bekerja di JAWA POS selama satu tahun (2005-2006). Menulis resensi di banyak media nasional, media daring dan lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar