Oleh: Edy Firmansyah*)
Ditetapkannya penyair gimbal asal Medan, Saut Situmorang
sebagai tersangka atas kasus pencemaran nama baik karena diskusi di
fesbuk terkait dengan terbitnya buku “33 tokoh sastra paling
berpengaruh” yang di dalamnya memuat Denny JA sebagai salah satu tokoh
sastra di dalam buku tersebut, membuat saya bertanya; masih adakah sastra
Indonesia?
Tentu kalau yang kita bicarakan adalah banyaknya
karya-karya sastra yang terbit dan beredar di pasaran buku, kita boleh
saja menjawab bahwa sastra Indonesia itu masih ada. Dan saya terlalu
berlebihan bertanya soal itu.
Tapi dalam kemerdekaan menggunakan
elemen-elemen bahasa sebagai alat komunikasi sastrawan baik dalam
berkarya maupun dalam berdiskusi di ruang publik, pertanyaan saya jadi
penting diajukan. Bermula dari kata bajingan, Saut Situmorang kemudian
dituntut dengan pasal karet pencemaran nama baik. Awalnya dipanggil
kepolisian sebagai saksi. Kemudian statusnya dinaikkan sebagai
tersangka. Dan status tersangka itu tidak menutup kemungkinan penyair
yang lama tinggal di Jogya itu akan menghadapi hari-hari panjang
pengadilan yang bisa menyeretnya meringkuk dalam penjara.
Pelapornya, seorang perempuan yang mengaku juga sastrawan yang juga
penyair bernama Fatin Hamama. Merasa tak tahan dengan ledekan dan
sindiran, karena terus menerus membela buku Denny JA yang dikritik Saut
Situmorang (dan kawan-kawannya) Fatin Hamama, melaporkan Saut Situmorang
dan Sutan Iwan Sukri Munaf dengan tuduhkan “pencemaran nama baik.”
Pelaporan itu kerena menurut sang karib Denny JA itu, dalam dunia
Sastra, bahasa yang dipakai para pengkritik tidak pantas, tidak sopan,
tidak tahu aturan dan sebagainya. Karena menurut pandangannya, dunia
sastra itu santun, kemayu, unyu-unyu, kayak manten jawa. Kuat dugaan,
tindakan pelaporan itu hanyalah upaya mengalihkan isu atas cacat
akademik buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang terus
dibeberkan para pengkritik Denny JA. Belakangan, Iwan Sukri Munaf
akhirnya harus tunduk pada kemauan Fatin Hamama. Ia memilih jalan damai.
Didampingi pengacaranya, Ia meminta maaf pada Fatin Hamama secara
terbuka. Meski ia selamat jadi cengkeraman pasal karet itu, tapi
tindakannya mendapat cibiran banyak pihak. Tapi tiap orang punya daya
tahannya sendiri dan punya keputusannya sendiri.
Sementara, Saut
Situmorang? Sangat tidak mungkin menekuk penyair yang sudah bicara
dengan Tuhan itu. Kalau Fatin Hamama ingin Saut bertindak seperti Iwan
Sukri Munaf, saya yakin itu hanya terjadi dalam mimpi indah diantara
mimpi-mimpi buruk tidur malamnya.
Soalnya sederhana, apakah
kata bajingan adalah tindakan melanggar hukum dalam dunia sastra?
Nyatanya tidak. Sarkasme masih menjadi bagian dalam majas. Ia diajarkan
di bangku sekolahan bahkan sejak bangku sekolah kelas menengah pertama.
Sebagai bagian dari gaya bahasa, sarkasme diijinkan digunakan siapa saja
dan pada siapa saja baik secara verbal maupun tekstual. Alegori juga
begitu. Ia juga masih diajarkan di bangku sekolahan sebagai bagian dari
majas. Penggunaan kata seperti lonte tua yang tak laku juga tidak muncul
begitu saja seperti kengawuran orang mabuk di sudut pasar. Dan Saut
Situmorang tentu tidak menggunakannya dengan kengawuran anak sekolah
yang baru belajar beladiri.
Lantas mengapa persoalan macam
begini harus berakhir di ranah hukum? Tentu banyak kemungkinannya. Bisa
jadi Fatin Hamama memang tidak serius menjadi sastrawan apalagi penyair
sehingga soal majas begini saja ia harus kebakaran jilbab dan perlu main
polisi. Sangat mungkin pula tindakan pelaporan itu hanyalah upaya
mengalihkan isu atas cacat akademik buku "33 Tokoh Sastra Indonesia
Paling Berpengaruh" yang terus dibeberkan para pengkritik Denny JA.
Dengan demikian buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" bisa
berlenggang kangkung di pasaran buku, dimamah dan dipercaya anak
sekolahan sebagai buku ajar sastra Indonesia meski menyesatkan. Atau
Fatin Hamama ingin sekali ikut terkenal seperti Denny JA. Dan
“menggebuk” Saut Situmorang adalah kunci? Entahlah.
Tapi kalau
memang yang terakhir yang dicari Fatin Hamama, kayaknya dia salah pilih
jalan. Fatin Hamama gagal menjadi penyair besar, cita-citanya sejak
kecil (menurut pengakuannya sih) itu. Dia belum matang secara mental
memasuki jagad yang penuh para pendekar. Terbukti, baru diledek bajingan
aja sudah main lapor polisi. Susah memang kalok anak rumahan yang
mainnya kurang jauh dan pulangnya kurang malam masuk dunia sastra yang
di dalamnya bukan hanya pendekar kata-kata, juga pendekar bogem mentah
nan digjaya.
Sebab, kalau mau jujur, dunia sastra nyatanya juga
penuh ledekan dan cacian. Perkelahian. Pukulan. bahkan tonjokan. Tapi
berkat itu semua seseorang bisa lantas terkenal sedemikian lama dan jadi
populer serta berpengaruh di dunia sastra. Bukan hanya tingkat nasional
pengaruhnya. Tapi bisa sampai nginternasional. Karena bukan cuma
kecerdasannya teruji, mentalnya juga teruji.
Saya ambil contoh
satu saja. dari Amerika Latin. Sebenarnya banyak sih, tapi satu saja
biar tulisan ini tak panjang-panjang amat. Kalau di Indonesia kita tahu
bagaimana HB. Jassin pernah menonjok muka Chairil Anwar karena
meledeknya saat main teater. atau Idrus yang meledek Pramoedya Ananta
Toer sebagai tukang berak, bukan penulis. Seandainya Chairil melaporkan
Jassin ke polisi dan Pram menanggapi Idrus dengan main lapor aparat,
kita tak mengenal Chairil dan Pram sebesar sekarang.
Nah yang di
Amerika Latin begini ceritanya. Gabriel García Márquez dan Mario Vargas
Llosa sahabat karib. Keduanya sastrawan besar Amerika Latin. Sama-sama
peraih nobel sastra. Tak jelas ujung pangkalnya kemana kemudian keduanya
bermusuhan hebat. Puncaknya, di sebuah bioskop di Meksiko pada 1976,
dalam acara pemutaran perdana film karya René Cardona La Odisea de los
Andes, begitu Vargas Llosa bertemu García Márquez, peraih nobel sastra
asal Peru itu langsung melayangkan tinjunya ke muka García Márquez. Mata
kiri García Márquez bengkak. Dan aneh bin ajaib bagai dalam novel-novel
realis magisnya, seorang teman lari ke toko daging dekat situ,
mengambil seiris daging, lalu menaruhnya di mata García Márquez yang
lebam sebagai kompres!
Tapi Garcia Marquez tak pernah melaporkan
sahabat karib yang sekaligus musuh bebuyutannya itu ke polisi. Dan
hingga kini karya keduanya sama-sama dikagumi dan disegani dengan
caranya masing-masing. Bahkan tanpa mereka, sastra Amerika Latin, bahkan
sastra dunia, takkan menjadi seperti adanya kini.
Kembali ke
soal sastra Indonesia. Oke, nasi sudah jadi bubur. Saut Situmorang sudah
resmi ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal pencemaran nama baik.
Soalnya adalah apakah kemerdekaan menggunakan majas sebagai gaya bahasa
dalam bahasa indonesia yang besar itu sudah tidak ada lagi? Sedemikian
suramkah kemerdekaan kita berpendapat dan mengkritik orang menggunakan
gaya bahasa yang sah dan diajarkan secara legal di bangku sekolahan
hingga harus berakhir di tangan polisi? kalau menyaksikan bagaimana
Ahok, Gubernur DKI itu dengan enteng menggunakan seribu satu caci maki
dalam merespon banyak persoalan kita sangsi. Tapi sepertinya yang boleh
mencaci hanya orang yang punya kuasa. Bukankah sudah tidak terhitung
orang yang kena jerat pasal pencemaran nama baik? Dan kini pasal itu
coba menekuk seorang penyair. Menekuk karena dia benar.
Tentu
kita tak ingin kehilangan kemerdekaan itu. Kita yang bangga pada sastra
dan bahasa Indonesia tak ingin bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
dikerdilkan sedemikian rupa hanya karena memilih menggunakan majas
sarkasme dan alegori sebagai gaya bahasa.
Kalau persoalan begini
didiamkan begitu saja, barangkali sastra Indonesia telah selesai.
Selesai ditekuk kuasa uang. Selesai ditekuk orang-orang kerdil dan punya
uang untuk mengobrak abrik jejak sejarahnya demi mendongkrak
popularitasnya. Dan kita akan terus menjadi bangsa yang seolah-olah
santun tapi munafik. Munafik pada kenyataan sosial. Kalau sastrawan ya
sastrawan yang lembek dan gampang patah kalau sudah dikukus sama dollar.
Dan Saut Situmorang akan mendekam juga di balik jeruji penjara.
Selanjutnya, mungkin kita.
Selamat beraktivitas. jangan lupa sisa kondomnya dibuang, nanti ketahuan.
*) Edy Firmansyah, penyair unyu-unyu dan petani melon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar