Apakah Cinta? Apakah?
(bagian kedua dari dua tulisan. Untuk yang pertama: Klik di sini )
Karena tahun 2222 berdasarkan ramalan Jihan Fahira bakal kiamat, dan di
akherat kemungkinan tak ada sinyal wifi, ada baiknya juga aku lanjutkan
saja apa yang sudah aku mulai kemarin, hari ini.
Apakah aku mencintai Nurfa Rosanti?
Sungguh jawaban yang rumit. Cinta memang tak mudah didefinisikan dengan
tepat. Tapi jika pertanyaannya diganti dengan; apakah aku rindu
istriku? Iya, selalu. Soalnya begini. Aku hidup bersama dengannya cukup
lama. 1 tahun pacaran, 4 tahun bertunangan, 11 tahun menikah. Bukan usia
yang pendek dalam hubungan asmara. Tak sedikit orang yang tahan hidup
dengan pasangannya selama itu. Beberapa diantaranya memilih berpisah.
Yang lainnya ada yang bunuh diri. Yang lainnya lagi, berpisah, menikah
lagi, berpisah lagi, lalu mati. Aku termasuk beruntung. Masih tahan
sampai sekarang. Meskipun sejak mula bersamanya, tak pernah berpikir
bisa bersama selama ini.
Kami sama-sama virgo. Sebisa mungkin
kami akan saling mengalah satu sama lain jika ada persoalan. Jika
marahan, kami cuma diam-diaman, sampai salah satu diantaranya menyerah
dan mulai membuka pembicaraan dengan; maaf.
Di awal-awal kami
berpacaran, aku tak pernah memintanya meninggalkan pacarnya. Dia
mengambil keputusannya sendiri untuk bersamaku. Persoalan itu buat dia
punya rumitnya sendiri. Aku tak pernah paham seperti apa rumitnya. Dan
aku tak pernah mau tahu. Karena memang nggak tahu.
Di awal-awal
aku menikah dengannya, aku tak pernah tertarik membahas soal masa lalu
itu. Meskipun hari-hari ini kita sering membicarakannya sambil lalu, itu
pun cuma buat mengisi waktu. Menikmati keluguan kita dulu sambil
tertawa bersama melintasi hari-hari yang sibuk dan kadang bikin remuk.
Ada masa-masa kami bersama, melakukan banyak hal bersama. Tapi ada juga
masa-masa kami harus berjauhkan karena tugas-tugas yang tak bisa
ditolak. Pada saat berjauhan itulah, Melakukan sesuatu yang biasa
dilakukan bersama sungguh betapa sangat kesepian.
Aku pernah
ditinggal dia selama setengah bulan karena dia mendapat tugas ke luar
kota. Aku dititipi anak-anak di rumah. Dua anak lelaki. Anak dia. Bukan
anak tetangga. Anakku juga sih sebenarnya.
Hari pertama dia
pergi, segalanya baik-baik saja. Aku bisa mencuci piring. Aku juga bisa
mencuci baju. Mencuci, menyapu, menjaring air dan memasak indomie goreng
sudah sering aku lakukan di rumah orang tuaku dulu, bahkan ketika aku
belum mimpi basah malah. Bukan pekerjaan yang gawat. Setelah pekerjaan
rumah selesai. Aku bermain dengan anak-anak. Makan siang bersama. Lalu
tidur. Nggak ada masalah.
Begitu maghrib tiba, barulah
“malapetaka” itu datang. Mengajari ngaji, membantu mengerjakan tugas
sekolah, kadang anak-anak berkelahi, susah diajak makan, merengek,
menangis. Pada saat-saat begitu, bayangan istriku muncul. Aku rindu dia
ada di sampingku. Di tangannya, semua urusan didik mendidik anak jadi
sedikit lancar. Tidak terlalu gaduh. Ajaib betul. Keadaan jadi rumit
hingga menjelang tidur malam. Dan hari kedua dan seterusnya, rumah makin
berantakan. Buku-buku yang aku baca ada di mana-mana. Mainan anak-anak
ada di mana-mana. Aku tak lagi sempat membereskannya. Semuanya jadi
berantakan. Untunglah ada pemadam kebakaran bernama mertua yang
membereskan.
Tapi tetap saja, kegaduhan demi kegaduhan muncul dan meluas. Dan aku kangen istriku cepat pulang.
Jadi poinnya apa sih? Tanpa ada hubungannya dengan cerita di atas, ada
satu hal yang rumit dari cinta; melupakan. Sampai saat ini aku tak bisa
melupakan wajah istriku. Senyumnya, pelukannya, ciumannya dan segala hal
yang telah kami lewati bersama. Aku masih ingin terus bersamanya.
Melalui hari-hari bersamanya. Banyak anak, banyak mimpi, tak apa-apa.
Banyak rejeki kalau diijinkan semesta, banyak istri kalau nggak
ketahuan. Asal jangan banyak utang. Aku tidak pernah berharap ia menjadi
perempuan yang sempurna. Kesempurnaan itu cuma kekurangan-kekurangan
yang tak tampak. Menjadi diri sendiri saja sudah lebih dari cukup.
Sungguh aku tak bisa membayangkan ada perempuan lain yang sanggup
menghadapi rumitnya diriku, kecuali dia dan super girl. Tapi aku nggak
mungkin pacaran sama super girl. Bisa marah besar Jerro si putra duyung
atlantis dan brainiac 5. Bisa gaduh komik Marvel nanti.
Aku
mencintainya. Aku tak paham benar sejak kapan mulai benar-benar
mencintainya. Mungkin sejak untuk pertamakalinya aku berani menggandeng
tangannya. Aku selalu merindukannya. Dan yang jelas jasanya begitu besar
buat hidupku hingga sekarang. Tanpa dia status panjang ini tak akan
pernah ada. Dia yang mula-mula mendorongku belajar menulis, mengantarku
jadi jurnalis. Tanpanya mungkin aku sudah disekolahkan ke sekolah sipir
penjara dan hari ini mungkin sedang bengong, bermain kartu dengan
taruhan uang honor lembur sambil menunggui sel dan para napi sebagaimana
dicita-citakan bapakku.
Besok hari pernikahan kami yang ke-11
tahun. Tahun lalu aku membelikannya jam tangan couple G-Shock&baby
G. Lumayan mahal untuk dompetku. Tapi tidak sampai menjual genteng
rumah. Tahun ini aku belum memikirkan sebuah hadiah untuknya di hari
pernikahan kami. Lagipula hari pernikahan sebenarnya tidak sakral-sakral
amat dirayakan. Bukankah banyak pasangan di kolong-kolong jembatan, di
bantaran sungai di kota-kota besar hidup serumah tanpa pernikahan, toh,
langgeng juga. Sampai bercicit-cicit. Itupun masih digusur-gusur pula.
Namun untuk pelipur lara, yang bisa kulakukan hanya menulis sebuah
surat sederhana saja, sebagaimana dulu aku sering menulis surat padanya
untuk membunuh rindu. (tapi jarang dia balas. Seingatku dari puluhan
surat yang aku tulis, hanya dua kali dia membalas suratku. Untung level
kesabaranku masih 78%. Seandainya lobet, aku akan benamkan wajahnya ke
dalam mesin fotokopi. Huh, dasar pemalas).
Ehm, begini aja dech isinya;
"Selamat hari pernikahan kita ya, Mok. Aku nggak bawa kue tar. Nggak
ada lilin untuk ditiup bersama. Kita meniup abu pembakaran sampah saja
ya?
Cium jauh. Cium dekatnya nggak usah bilang-bilang sama
anak-anak fesbuk. Nanti kepo. Nanti baper. Nggak usah pakai swafoto ato
selfie. Nanti dikira menebar pornografi.
Sudah makan, Mok? Kalo
belum, nelen batu ginjal atau batu empedu saja dulu, gih, buat ganjal
perut. Jangan batu vulkanik. Nanti mati. Kalau kamu mati, aku susah. Dan
sedih sungguh. Sebab aku sudah lupa doa dan cara memandikan jenazah
yang diajarkan waktu madrasah dulu.
Ntar aku pulang, aku traktir
indomie goreng dan telor mata sapi. Oya, hanimun kita di terminal
Purabaya saja, ya. Ingat khan, tempat itu adalah tempat saat kita
pertamakali ciuman. Kita berciuman seperti sepasang kekasih yang hendak
berangkat perang. Padahal, ya, cuma mau menemui pacar cadangan, Eh,
Kuliah.
Sayang selalu, dari pacarmu".
Dan barangkali sebuah puisi di bagian penutupnya. Seperti ini:
Aku tak punya kado spesial untukmu di hari pernikahan kita
terlalu banyak kado berarti terlalu banyak pengeluaran.
uangku tidak cukup untuk hidup dalam pemborosan.
negeri ini telah menuntut terlalu banyak
buat konsumsi yang kadang menghancurkan nalar
aku hanya ingin menulis surat, sekali lagi, padamu,
seperti bertahun-tahun lampau
saat aku dirundung rindu.
Awalnya aku ingin menulis surat yang unik.
menukil lagu Grace Simon berjudul “Sayonara, Sayangku.”
judul lagu itu akan aku tulis di balik salah satu foto mantanmu.
tidak, aku tak butuh syair lagunya, aku hanya butuh judulnya saja.
kemudian di belakang foto itu, di bawah judul lagu itu,
aku akan menulis namamu.
berikutnya sebuah kalimat sederhana
yang di antara kalimat-kalimatnya
ada judul lagu itu:
Bersamamu, hanya dua kata yang
tak pernah sanggup aku tulis atau aku ucapkan
dua kata, satu kalimat itu; Sayonara, Sayangku.
Tapi aku tidak jadi melakukannya
sungguh aku tak sanggup melakukannya
mantan adalah kita
lagipula ngapain nulis puisi cinta di foto mantan coba?
Nggak ada kerjaan banget. Mestinya nulis surat yasiin.
Jadi biarlah aku menuliskannya begini saja
di foto pernikahan kita yang menurutmu jelek itu
(kamu sih yang jelek, aku nggak merasa jelek kok):
aku masih ingat betul saat pertamakali mencium bibirmu.
perasaan nyaman itu mengalir dari lidahmu ke dalam lidahku.
menjalar terus ke kepala dengan hawa panas yang menyala.
saat mataku terpejam karena hangat bibirmu,
segala kenangan yang bukan engkau
terbakar
lalu jatuh berguguran.
dan aku jatuh cinta.
Sejak saat itu, hingga hari ini,
tiapkali kau menyentuhku,
aku merasa muda dan selalu jatuh cinta
lagi dan lagi,
padamu.
Romantis ya?! Biasa aja. Aku melakukannya sebagai ritual agar tidak dirasuki jin Ifrit dan mengalami mimpi buruk. itu saja.
19 November 2016
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Jumat, 25 November 2016
Apakah Cinta? Apakah?
Label:
Jendela Rumah,
PUISI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar