DEMI CINTA
Seorang lelaki tua, usia 70
tahun, yang sedang telanjang karena usai bersenggama, mengatakan sesuatu pada
kekasihnya yang juga tua dan telanjang, yang membuat perempuan itu berlinang.
“Aku sudah menunggu momen ini
selama 54 tahun”
“Ya, aku tahu, aku tahu, kau
sudah pernah mengatakannya padaku.”
Keduanya kemudian berpelukan
dalam kamar. Melanjutkan percintaan mereka. Di luar, angin laut berhembus
pelan. Semilir dan membius. Kapal, tempat sepasang kekasih itu mereguk
keindahan cinta, bergoyang pelan. Mengikuti riak gelombang laut di sore yang
pelan-pelan melarut ke dalam malam berkabut. Di tiangnya berkibar bendera
kuning diembus angin.
Lelaki tua itu bernama
Florentino Ariza. Sedangkan sang perempuan bernama Fermina Daza. Keduanya bukan
sepasang kekasih yang hidup bersama sejak muda seperti dalam novel Notebook
karya Nicholas Sparks yang kemudian difilmkan dengan judul sama dan mendulang
sukses di Amerika. Keduanya baru saja bertemu, setelah suami Fermina meninggal
karena terjatuh dari tangga. Keduanya kemudian menuntaskan takdir cinta mereka
yang terenggut dinding pembatas di kala muda. Sungguh penantian panjang dan
melelahkan.
Cinta mereka mula-mula bersemi
di Argentina, di tahun 1879, ketika wabah Kolera mengamuk dan mencabut banyak
sekali nyawa manusia. Florentino yang miskin dan bekerja sebagai pengantar
telegram mendadak jatuh hati pada pandangan pertama kepada si jelita Fermina
yang lahir dari keluarga kaya. Tak berpikir panjang, Florentino yang mahir
menulis puisi kemudian mulai menulis surat cinta atau menantikan Fermina di
luar rumahnya untuk sekedar menarik perhatian dan melihat wajah cantik pujaan
hatinya. berharap cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Gayung pun bersambut.
Bait-bait puisi yang ditulis Florentino dalam surat-suratnya dengan getar kata
penuh perasaan akhirnya meluluhkan hati Fermina, hingga gadis ini bersedia
menikah dengannya.
Sayang hubungan itu tidaklah
mulus. Memang tak ada yang mulus dalam cinta. Ayah Fermina, Lorenzo,
menentangnya. Soalnya sederhana, perbedaan kelas sosial. Untuk memutus jalinan
cinta itu, akhirnya sang ayah mengirim putrinya berdiam dengan keluarganya yang
lebih kaya, di luar kota hingga belasan tahun lamanya. Dan tak ada yang lebih
menyakitkan dari kehilangan cinta. Florentino remuk mengetahui kenyataan pahit
itu. Ia demam berhari-hari. Jiwanya limbung.
Meski begitu rasa cintanya
pada Fermina tak juga kemput. Florentino terus memelihara cintanya melalui
surat-surat cinta yang ditulis tanpa henti, dan tak terkirimkan sembari
menunggu pujaan hatinya kembali pulang.
Namun waktu bisa merubah
seseorang. Saat Fermina kembali, dia sudah menjadi perempuan yang berbeda. Baik
secara fisik maupun cara pandang. Dalam soal memaknai cinta Florentino, tentu
atas tekanan Ayahnya, Fermina akhirnya menganggap cintanya pada Florentino
sekedar cinta monyet belaka dan mustahil diharapkan berakhir di pelaminan
dengan bahagia.
"Cinta kita yang dulu
hanya ilusi. Jadi jauhi aku. Kita selesai" ujar Fermina pada Florentino
saat mereka untuk pertamakalinya bertemu di sebuah pasar, setelah perpisahan
itu.
Untuk mempertegas
pernyataannya, Fermina, terpaksa menikah dengan Juvenal Urbino, seorang dokter
muda yang ganteng, yang dianggap lebih sepadan oleh Fermina. Pertemuan keduanya
terjadi saat Fermina sakit dan diobati Juvenal.
Apakah Florentino Ariza
mengubur dalam-dalam cintanya pada Fermina Daza? Nyatanya tidak. Florentino
Ariza bersedia menunggu selama setengah abad untuk bisa hidup bersama dengan
pujaan hatinya. Namun ia menunggu dengan kegetiran yang amat sangat dalam.
Bercinta dengan banyak sekali perempuan untuk membunuh kebosanannya dalam
penantian. ia melakukannya dengan perasaan pedih dan begitu hampa. 622
perempuan sudah ia tiduri selama penantian panjang yang melelahkan dan
membuatnya nyaris sakit jiwa itu. Tubuhnya bersenggama dari satu perempuan ke
lain perempuan. Namun jiwanya masih memeluk bayangan Fermina.
Kisah-kisah Florentino dalam
meniduri perempuan-perempuan itu ia catat dalam jurnal hariannya, bukan dalam
format 3gp. Ia terpaksa melanggar janjinya sendiri untuk menjaga keperjakaannya
selama menunggu Fermina Daza. Hari demi hari, seiring kekayaannya berlimpah
karena sukses bekerja di perusahaan kapal sebagai sekretaris, ia bermain api
cinta semu dengan banyak wanita. Sampai hari yang ditunggunya tiba jua. Suami
Fermina meninggal dunia setelah jatuh dari tangga saat hendak menangkap burung.
Dan Florentino datang lagi dalam kehidupan Fermina. Mula-mula ditolak. Namun Florentino
kembali menulis dan mengirimkan surat-surat cintanya pada Fermina. Fermina pun
luluh juga. Keduanya kemudian menuntaskan cinta yang tertunda lebih dari
setengah abad.
Terkesan fiktif? Iya, ini
memang kisah novel klasik yang ditulis pemenang nobel sastra asal Kolombia,
Gabriel García Márquez, yang kemudian difilmkan ulang oleh Mike Newell di tahun
2007. Dengan penulis skenarionya Ronald Harwood, peraih Oscar untuk skenario
The Pianist. ketika Film ini ditayangkan perdana. banyak kritikus film menganggapnya film buruk dari berbagai
film yang diadaptasi dari novel. Pasalnya sederhana, plot film terlalu mengikuti plot novel. bagi mereka yang pernah membaca buku penulis novel 100 tahun kesunyian itu, film itu terasa sekedar sinopsis novel. Unsur realisme magis yang menjadi kekuatan Gabriel Garcia Marquez dalam novel-novelnya lenyap.
Tapi bukan itu yang hendak saya sampaikan.
Soalnya adalah tak ada yang fiksi dalam cinta. Cinta memiliki keajaibannya
sendiri. Di dunia nyata ada kisah yang hampir mirip dengan apa yang ditulis
Gabriel García Márquez. Salah satunya, Ah Ji asal Taiwan. Ah ji rela tinggal
dan menua selama 20 tahun di stasiun kereta api Tainan. Semuanya bermula dari
sebuah janji untuk bertemu di stasiun tersebut pada jam yang telah ditentukan.
Laiknya pria yang akan berkencan dengan pujaan hati, Ah Ji pun mengenakan
pakaian yang sangat rapi untuk menemui sang kekasih. Namun, hingga 20 tahun
kemudian, sang kekasih tak kunjung datang. Dan Ah Ji tetap setia menunggu,
sebab percaya kekasihnya akan datang.
Tindakan Ah Ji bagi beberapa orang menggelikan.
Bisa juga disebut keterlaluan. Tapi ini soal daya tahan saja. mereka yang tak
punya daya tahan menunggu cinta, akhirnya memilih beralih ke hati lain dan
menjalani hidup dengan orang lain. Membiarkan cinta lain tumbuh dan bersemi
sambil terus membunuh cinta silam yang tak jua memberi kejelasan nasib.
Itu bisa terjadi pada siapa saja. termasuk kita
juga. Benarkah kita telah menikahi atau memacari orang yang benar-benar
mencintai kita? Jangan-jangan dalam hatinya, ia sedang menunggu orang lain,
orang yang didambakannya dalam kenangan untuk bisa bersamanya. Jangan-jangan
kita yang sedang menghabiskan waktu bersama pasangan kita untuk sekedar
menghabiskan waktu sembari menanti momen yang tepat untuk bisa bersama dengan pujaan
hati yang karena berbagai keterbatasan di masa silam tak bisa dimiliki. Siapa
yang tahu isi hati seseorang? Kita bisa menikahi atau memiliki orang yang kita
cintai, tapi kita tak pernah bisa menikahi jiwanya secara total. Lagipula fisik
bisa terus menua, tapi gelora cinta akan tetap muda dan berbahaya.
Sungguh beruntunglah mereka
yang bersama karena cinta, karena benar-benar saling mencintai, bukan karena
pelarian dari perasaan cinta yang sejati yang tak bisa dimiliki.
Cinta dan kenangan itu seperti
iblis. Ia mengganggu, menghantui dan tak bisa mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar