IBU
Ibu adalah pelangi sajak
awan, hujan dan debu
bergumul berderak
di langit dadamu
yang sesak
tapi setiap reda airmata
seribu warna surga
berpendar dari matahatinya
itulah mengapa
Ibu senantiasa menjelma lautan
muara segala air segala garam
kesanalah aku pulang
ke dalam peluk tangannya yang kasar
sebab di ujung rahimnya yang kekal
tertulis lakon dan nasib kehidupan
yang tak pernah usai
Ibu adalah rumah segala unggun rimbun sajak
luka dan cinta tak ada lagi jarak
jantungmu dalam jantungku
terus berdetak
Desember, 2011
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Rabu, 21 Desember 2011
Lambaian Tangan IBU
Lambaian Tangan Ibu
Dari pinggiran kampung nelayan
antara terminal dan jalan besar
Ibu melambaikan tangan
pada bis yang membawaku pergi
merantau –
jauh dari kampung halaman
tempat ari ariku ditanam
bis terus melaju
melewati ratusan tiang lampu
tak hirau pada perpisahan itu
di kursi belakang bis malam
antara kantuk dan hari depan
airmata jatuh diam-diam
selalu ada yang pergi, selalu ada yang kembali
tapi tidak kasih sayangmu, ibu
ia punya rumahnya sendiri dalam memori
Ibu, kini terpisah tol dan gedung-gedung
tak bisa lagi kulihat wajahnya yang lebam
menahan pukulan zaman
tapi selalu kukenang matanya yang merah
menangis kala gundah
o, hidup yang mudah jadi hampa
ibu membuatnya penuh udara
itulah mengapa selalu ada jadwal pulang
ke rahimmu, Ibu
walau sebentar
Madura Mei, 2011
Senin, 19 Desember 2011
Kepada Seekor Kucing Liar di Seberang Jalan
Kepada Seekor Kucing Liar di Seberang Jalan
kemarilah, ke depan pintu rumahku
jangan biarkan tubuhmu gigil
karena hujan deras bercampur angin
bukankah kamu takut air?
aku punya sekepal nasi
dan sepotong kecil ikan pindang
sisa makan siang
yang tak mampu aku habiskan.
kau bisa makan sepuasnya.
lalu tidurlah dengan nyenyak
di keset hangat depan pintu
tak akan ada yang mengganggu
karena aku pernah hidup sepertimu
mencari makan dari pintu ke pintu
bis yang mangkal di terminal
dengan menjual koran
atau jika kau mau
sesudah makan kau boleh pergi sesukamu
tapi biarkan dulu aku
mengelus kepada dan tubuhmu
sebagai tanda bahwa
hidup mestinya saling berbagi, saling merasa
meski kau kucing
dan aku manusia
Senin, 12 Desember 2011
Sajak Kepada Sondang
Sajak Kepada Sondang
akhirnya kematian mengantarkanmu pada api
dibiarkannya lidah membara menjilat tubuh sendiri
berharap dijilat pula tubuh srigala berdasi
yang mengoyak-ngoyak harga diri
mengoyak-ngoyak berjuta-juta nasib rakyat sendiri
lihatlah, ada bintang merah
menyembul dari sungai darah
sungai yang mengalir dari rumah-rumah miskin
sungai yang mengalir dari nadi-nadi angin
menghembuskan kematian begitu dingin
membawa cinta yang pergi datang kembali
mengalir ke dalam api
akhirnya kematian mengantarkanmu pada api
kulit yang melepuh, daging yang jatuh
dari kerangka tubuh
adalah genta yang ditabuh
untuk memanggil berjuta manusia berdaki
membawa obor mereka sendiri
mengepung istana
membakar penguasa
yang terus menanamkan dusta
akhirnya kematian mengantarkanmu pada api
aroma daging terbakar
menjelma harum bunga mawar
bagi hati yang tidak tuli suara sunyi revolusi