Air
Mata di Sebuah Buku
“Ya, ya, pukul aku
lagi, Ibu. Pukul aku. Asalkan aku dapat makanan. Aku perlu makan untuk bertahan
hidup,” Aku berbisik dalam hati. Kemudian Satu pukulan lagi menyentakkan kepalaku
hingga membentur pinggiran dinding. Aku meneteskan air mata sebagai tanda tak
tahan menerima cemoohan Ibu. Ibu lalu keluar dari dapur, tampaknya ia puas akan
perlakuannya terhadapku. Aku menghitung langkah langkahnya untuk memastikan
bahwa ia benar-benar sudah jauh dari dapur, dan aku pun menarik napas lega. Sandiwaraku
berhasil. Ibu boleh memukuliku sesuka hatinya, tapi aku tak membiarkannya
mengalahkan tekadku untuk bertahan hidup.
Saya
membaca kalimat itu di halaman sepuluh Novel semiotobiografi karya Dave Pelzer
berjudul A Child Called It. Tapi dada
saya terasak sesak. Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Malam itu bulan Februari
2006. Saya lupa tanggalnya. Udara Surabaya begitu dingin. Sementara tubuh saya
sudah demikian lelah usai rapat redaksi di kantor. Alih-alih mencoba untuk
tidur dengan membaca buku terbitan Gramedia cetakan ke tujuh tahun 2006 itu, yang
saya beli kala ngaso di Delta Plaza usai liputan seharian, saya justru
menangis.
Dave
Pelzer benar-benar membuat saya tak bisa tidur. Saya terus membaca buku setebal
184 halaman yang diterbitkan pertamakali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun
2001 itu hingga selesai. Dan disetiap lembar demi lembar berlalu, airmata saya
terus mengalir. Di tahun-tahun sebelum saya membeli buku pertama dari Trilogi
Dave Pelzer itu, saya pernah membaca novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya
Hamka, tapi saya tak menangis. Pernah juga membaca Salah Asuhan, juga tak
menitikkan airmata.
Tapi
membaca A Child Called It itu saya
nyaris kehabisan energi hanya agar tidak tersedu. Cerita kekerasan yang dialami
Dave yang dilakukan oleh Ibunya benar-benar tak terperikan. David berhasil
menciptakan alur sehingga mampu menyeret imajinasi pembaca untuk turut serta mengalami
rasa takutnya, rasa kekalahannya, rasa kesendiriannya, rasa sakitnya, dan rasa
marahnya, sampai pada harapan terakhirnya. Di setiap lembar demi lembar novel
itu saya seakan diseret ke dunia gelap anak-anak korban kekerasan dalam
keluarga. Setiap suara isak tangis, suara
lenguh menahan rasa sakit seakan bergema di dalam kamar kos saya. Berkali-kali
kalimat kutukan saya gumamkan dalam hati untuk Ibu Dave sembari mengusap
airmata sendiri.
Mungkin
saya terlalu berlebihan. Mungkin saya terlalu sentimentil. Tapi tahun itu saya
memang belum pernah membaca novel Gadis Pantai, Bukan Pasar Malam, nyanyi sunyi
seorang bisu 1 dan 2 karya Pramoedya Ananta Toer. Benar memang saya telah
menuntaskan tetralogi pulau buru Prameodya Ananta Toer di masa-masa kuliah,
sekitar tahun 2003-2004. Tapi saya membacanya hanya sekedar saja. Baru pada tahun
2007 saya memiliki hampir semua karya Pramoedya Ananta Toer. Dan membaca Gadis
Pantai dan Bukan Pasar Malam tak kalah menyedihkan dan bikin sesak nafas
seperti membaca A Child Called It.
Meskipun
saat ini ketika kembali membaca A Child Call It saya merasa buku itu tak lebih
dari sekedar buku motivasi diri belaka, yang terbit untuk turut serta
mendapatkan laba penjualan buku ditengah booming buku-buku motivasi seperti
ESQ, Rich Dad Poor Dad karya Robert T
Kiyosaki, namun A Child Called It itulah buku novel pertama yang saya baca dan
berhasil membuat saya meneteskan airmata. Meskipun sebenarnya pesan yang ingin disampaikan buku itu; "Gue aja yang menderita bisa bertahan dan sukses masak lo lo kagak."
A Child Call It
adalah buku pertama dari tiga buku serangkai yang mengisahkan kehidupan Dave
Pelzer. Buku keduany berjudul A Lost Boy
dan yang terakhir A Man Named Dave. Buku
kedua dari trilogi kehidupan penulis yang pernah bekerja di angkatan udara AS
itu saya tak punya dan tak pernah ingin memburunya lagi. Sedangkan buku
ketiganya saya punya.
Berkisah
tentang seorang anak yang terus menerus mendapatkan kekerasan dari Ibu
kandungnya sendiri. Mulai dari dipukul, ditendang, ditusuk pisau karena
terlambat mencuci piring, hingga disuruh memakan kotoran adiknya sendiri yang
masih bayi. Yang paling sadis adalah hukuman kamar gelap. Dave dimasukkan ke
dalam kamar mandi yang dipenuhi asap amoniak. Ia nyaris kehilangan nyawa dan
sempat batuk darah jika tidak telungkup di lantai kamar mandi. Ya. Membaca buku
A Child Called It seakan-akan membuat
surga dibawah telapak kaki Ibu tiba-tiba runtuh. Yang ada adalah watak bengis
sang Ibu yang terus bergemuruh.
Seminggu
usai membaca buku itu saya berniat menulis novel serupa yang bercerita tentang
hubungan saya dengan Ibu saya. Ibu saya memang terbilang keras dalam mendidik. Menampar
dan memukul masih kerap dilakukannya meski saya telah SMA kelas 3. Karena saya
memang nakal dan badung. Baru setelah kuliah saya tak pernah lagi dipukulnya. Tapi
benarkah Ibu saya sebengis Ibu Dave? Pantaskah saya menuliskan itu? Bahkan
meski keras dalam mendidik saya dan adik-adik saya, Ibu belum pernah mencoba
mencelakai saya. Apalagi memberikan hukuman yang jauh diluar nalar manusia
normal.
Niat
tinggal niat. Saya tak pernah menuliskan novel sejenis A Child Called It. Justru saya
malah melupakan novel itu di tengah buku-buku bacaan saya yang kian hari kian
bertambah. Baru karena proyek #5bukudalamhidupku itulah saya kembali mengingat
novel itu. Dan alih-alih menuliskan novel sejenis, yang saya tulis akhirnya
hanya sebuah puisi berjudul “Aku Ingat Senyuman Itu.” Itupun saya tulis di
tahun 2011. Lima tahun setelah membaca novel bersampul putih dengan gambar anak
kecil yang bersedih itu.
Aku
Ingat Senyuman itu
langit penuh tinta cumi cumi
angin mati
aku meringkuk di sudut kamar
menghapus airmata yang menjelma kunang kunang
menahan perih punggung dan kaki
yang didera sapu lidi
o, betapa mahal ciuman
betapa mahal senyuman
dihadapan pukulan
sebab aku ketahuan merayap
di genteng rumah tetangga
Tuhan sedang apa di atas sana
ketika aku menangis
wajahnya bengis atau tersenyum manis
Mama sedang memikirkan apa di kamar
usai bikin tubuhku memar
memar jugakah hatinya dihantam kenangan dari dalam?
siaran dunia dalam berita. kekeh mak lampir
di serial radio misteri gunung merapi
tiktok jam.
bising! bising!
ingin aku mengamuk seperti Mama mengamuk
tapi memar di tubuh ini
menjadikan keberanian kanak kanak
menjelma ketakutan yang terus berbiak
aku sesegukan di sudut kamar. tak ada lagi airmata
hanya sesegukan. lalu tertidur.
dan bermimpi dicium Mama yang jadi bidadari
dan aku tersenyum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar