Syech
Siti Jenar dan Kenangan Gedung Bioskop Yang Dibakar
Tumenggung
Wilarikta, seorang adipati di Tuban, memergoki anaknya, Raden Mas Said tengah
mencuri beras di lumbung keluarga. Sang Tumenggung marah besar. Raden Mas Said
dihukum sekap di gudang makanan setelah sebelumnya tangannya dicambuk. Padahal
Raden Mas Said mencuri untuk membantu salah seorang keluarga dilingkungan
kadipaten yang tengah kelaparan. Anak itu terima hukuman bapaknya. Ia berdiri
di pojok gudang. Airmatanya pelan-pelan berlinang’
Saya ikut
sedih. Sedih sekali menyaksikan Said terdiam menahan tangisnya. Saya terus
merapatkan duduk saya ke dada Ibu untuk sekedar berbagi kesedihan. Itulah
adegan pembuka film Wali Songo yang ditayangkan di Bioskop Trunojoyo sebagai rangkaian
akhir dari peresmian dan pembukaan gedung bioskop pertama di Kabupaten Sampang.
Kala itu November tahun 1993. Saya lupa tanggalnya. Saya menonton film yang
disutradarai Soyjan Sharna itu karena diajak bapak. Saya tak tahu apakah bapak
membeli karcis atau mendapat undangan resmi sebagai PNS. Yang saya ingat
sebagian besar penonton bioskop yang terletak di Jalan Trunojoyo, Sampang,
berpakaian batik. Di deretan depan ada yang berpakaian polisi dan tentara. Juga
ada yang bersorban.
Kami sekeluarga
duduk di deretan tengah. Saya dipangku Ibu. Adik digendong bapak. Saat itu
filmnya berjudul Wali Songo. Belakangan setelah dewasa saya baru tahu Bahwa
film tersebut termasuk film yang sukses karena ditonton lebih dari 500 ribu
orang sejak ditayangkan pertama kali pada tahun 1984 di layar lebar.
Saya
tak ingat lagi cerita selanjutnya. Yang jelas Raden Mas Said kemudian menjadi
pencuri yang budiman. Mirip seperti Robin Hood. Dan akhirnya menjadi sunan
kalijaga. Selain itu ada satu lagi adegan yang saya ingat betul dari film itu,
yakni cerita tentang sosok antogonis Syech Siti Jenar. Dikisahkan ia berasal
dari cacing. Namun karena menempel di perahu saat Sunan Bonang mewariskan ilmu
pada Sunan Kali Jaga, maka ia menjelma manusia dan menjadi wali. Tapi ia
dianggap sesat karena mengajarkan pandangan manunggaling kawula gusti.
Pandangan ini merumuskan bersatunya Tuhan dalam
hamba-Nya. Sebab Tuhan telah ada dalam aku, maka akulah Tuhan. Pandangan
ini ditentang sembilan wali. Singkat cerita Syech Siti Jenar ‘dikeroyok’ wali
songo dan akhirnya ia dipenggal.
Namun
film Wali Songo adalah film pertama sekaligus film terakhir di Bioskop itu. Dua
hari setelah peresmian Bioskop oleh Bupati Sampang Kolonel Bagus Hinayana,
ribuan massa mengamuk di kota bertajuk Sampang Bahari itu. Mereka menuntut
Bupati mundur. Sembari meneriakkan tuntutan, massa merusak kios-kios SDSB. Merobohkan
lampu kota. Membakar mobil polisi dan membakar gedung bioskop. Media menulis
tak ada korban jiwa dalam peristiwa amuk itu. Hanya korban luka-luka. Tapi dari
cerita seorang intel polisi yang terlibat langsung dalam peristiwa itu korban
justru banyak. Mayat-mayat terpaksa ditumpuk di truk dan dibawa ke Omben untuk
menghindari wartawan. Terutama wartawan internasional. “Kami sampai mengerahkan
pemadam kebakaran untuk membersihkan genangan darah di sepanjang jalan raya” ujarnya.
Amuk
massa itu imbas dari peristiwa dua bulan sebelumnya. 25 September 1993, petugas
BPN kembali melakukan pengukuran untuk melanjutkan proses waduk Nipah di
Kecamatan Banyuates. Kali ini dikawal 60 tentara bersenjata lengkap. Warga kembali
protes. Menolak. Bentrok tak terhindarkan. Melihat warga tak tunduk, tentara
kalap. Akibatnya, tiga warga tewas diterjang timah panas tentara.
Sejak
amuk massa itu, Kabupaten yang terkenal dengan jambu air itu tak lagi punya gedung
bioskop hingga sekarang. Bekas gedung bioskop Trunojoyo itu kini menjadi gedung
BPU; Balai Pertemuan Umum. Dan hanya menjadi tempat acara pernikahan. Tapi film
wali songo dan adegan Syech Siti Jenar terus tersimpan dalam ingatan saya. Terutama
tentang Wali Songo sebagai hero dan Syech Siti Jenar sebagai penjahat.
Sampai
akhirnya saya membeli buku berjudul Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar;
Konflik Elite dan Lahirnya Mas karebet karangan DR. Abdul Munir Mulkhan
terbitan Kreasi wacana, Januari 2002. Sebenarnya apa yang ditulis doktor
sosiologi agama UGM kelahiran Banyuwangi itu merupakan tafsir atas terjemahan
bebas dari buku asli serat Syekh Siti Jenar karya tulis Raden Sosrowijoyo tahun
1958 yang diterbitkan oleh keluarga Brotokesowo (hal. 179). Artinya buku ini bisa
dikata tafsir atas tafsir. Namun bagi saya yang mahasiswa semester tiga
merupakan buku yang mengesankan.
Apa
yang ditulis Mulkan berbeda dengan yang telah menjadi keyakinan saya
berdasarkan film Wali Songo yang dulu saya tonton saat masih kanak-kanak. Bahwa
persoalan Jenar dengan Wali Songo tidak semata-mata soal ajaran sesat dan tidak
sesat belaka. Melainkan juga politik. Misalnya, dalam ajaran Jenar mengenai
hidup. Bahwa manusia hidup di dunia ini sejatinya adalah mati. Yang berkeliaran
itu semua mayat. Zombie. Jadi tubuh
pembungkus raga ini adalah najis, kotor dan penuh racun karena dipenuhi
keinginan-keinginan menumpuk-numpuk harga, berkuasa atas yang lemah,
berharap-harap pahala. itulah mengapa, lanjut jenar, didalam al-qur’an bahwa
seluruh alam dunia ini termasuk isinya (juga manusia) hanyalah mayyidun atau
mayat.
Mayat-mayat
itu berkeliaran, mencari makan, mencari rejeki, bersenggama dengan istrinya,
memakai perhiasan berkilau. mereka yang naik delman, kereta, dokar, memakai
baju kerajaan beserta paying kebesaran hanyalah mayat belaka, meskipun
seringkali berwatak keji terhadap sesamanya.(suluh siti jenar pasal 10).
Ajarannya
itu bukan saja nyeleneh, tapi juga mengancam domonasi kejayaan kerajaan demak yang despotik
dan keji itu! Artinya
ajaran Jenar adalah bentuk perlawanan dominasi Demak dan protes terhadap
kemapanan kaum agamawan, khususnya wali singo yang hidup bergelimang harta
sebagai penasehat spritual raja Demak. Karenanya Jenar mengajarkan pada
muridnya untuk menolak tunduk pada rejim kerajaan Demak, menolak membayar upeti dan mengajarkan pada pengikutnya untuk tak takut pada
sesama manusia. Sebab tak ada manusia
yang harus menguasai manusia lainnya. Karena sejatinya manusia dimuka bumi ini adalah mayat.
Ajakan
atau ajaran menolak tunduk itu tentu saja angin segar bagi rakyat kebanyakan
yang terus berada dalam represi feodal. Terutama melihat sepak terjang pasukan
Glagawangi yang bengis dan tanpa ampun memburu sisa-sisa Majapahit dan penganut
Budha.
Karena itulah perlu dilakukan
tindakan agar ajaran Jenar tak meluas dan menimbulkan pembrontakan. Tapi Wali
Songo tak mau mengotori tangannya dengan darah. Karena itu diatur siasat agar
Jenar mengakhiri hidupnya sendiri. Bahkan wali songo kemudian mengganti jasad
Jenar dengan seeokor bangkai anjing untuk meredam gejolak para pengikutnya.
Membaca buku Syekh Siti Jenar Abdul
Munir Mulkhan ini ingatan saya kembali pada tragedi Waduk Nipah di Sampang.
Bagaimana lihainya rejim orde baru memanipulasi fakta bahwa korban hanya tiga
orang tewas padahal ada puluhan orang yang terkapar dengan tubuh berlobang dan
bersimbah darah. Juga mengingatkan saya pada tragedi 1965. Bagaimana dengan
licik Tentara menggunakan tangan ormas Islam dan organisasi sipil untuk
menjagal hampir tiga juta orang komunis dan atau yang dituduh PKI.
Lamat-lamat kemudian adegan terakhir
film Wali Songo melintas dalam ingatan. Bagaimana Syekh Siti Jenar berjongkok
di halaman Masjid kemudian Sunan Kali Jogo menebas lehernya. Seakan kita diberi
warning dalam film itu; tunduklah. Patuhlah. Memberontak dan melawan kerajaan
(negara) kau akan bernasib seperti Jenar.
Ya hari ini kita tak lagi hidup di
era rejim orde baru. Tapi bau busuk rejim itu terus keluar masih terus tercium
hingga sekarang. Mirip bau bangkai anjing yang sengaja ditukar Wali Songo
dengan jasad Syekh Siti Jenar untuk menundukkan pengikut-pengikutnya.
#5Bukudalamhidupku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar