TEROR SEBUAH BUKU
Proyek #5Bukudalamhidupku telah memasuki hari ke empat. Ini berarti Irwan
Bajang, sebagai supir, sekaligus pimpinan proyek dan para penumpangnya sudah
menulis tentang tiga buku. Sementara saya baru menulis satu buku. Itupun terlambat
pula.
”Boleh aja ikut. Tapi tak dapat ikut seleksi untuk dapat hadiah karena
telat” ujarnya, ketika saya melaporkan buku pertama yang saya tulis. Apa boleh
buat. Dari awal saya sudah terlambat. Jadi saya lupakan ‘jadwal’ proyek itu. Disiplin
memang susah. Tapi saya punya tanggung jawab lain selain ikut ‘piknik’
#5bukudalamhidupku itu.
Tapi kesempatan kembali datang. Jum’at. Istri dan anak-anak berangkat
lebih pagi dari biasanya. Jam 05.00 mereka sudah berangkat. Istri saya mengantar
anak-anak ke rumah neneknya. Sementara istri saya berangkat ikut senam pagi. Rutinitas
tiap minggu seorang guru. Otomatis saya sendirian di rumah. Dan saya mulai kembali
ikut piknik lagi. Gak apa-apa meski berangkat sendirian naik kuda besi. Bajang
dan penumpangnya boleh naik bis patas sambil bernyayi.
Ada dua hal yang tak bisa saya lupakan ketika jadi anak-anak di era tahun
90-an. Pertama, gembot. Dan kedua, persewaan buku. Gembot adalah game portable
sejenis PSP kalau sekarang. Satu gembot satu permainan. Cuma anak orang kaya
yang bisa punya game itu. Sementara anak kampung, bisanya nyewa di kakang
gembot. Harga sewanya Rp. 100,- sampai gemover. Kalau jago bisa berjam-jam
mainnya. Uniknya, gembot yang disewakan itu diikat sama tali. Fungsi tali itu,
selain agar gembot tak hilang, juga buat menarik gambot dari anak-anak ketika
gemover. Yang terkenal kala itu merek Casio. Permainannya macam-macam. Yang paling
sering saya mainkan westen bar (coboy cengeng) dan subbattle marine (perang
laut).
Saya tak perlu panjang lebar cerita soal gembot. Karena itu bukan fokus
utama tulisan ini. Berikutnya, persewaan buku. Di tahun itu persewaan buku juga
menjamur. Sama menjamurnya dengan persewaan kaset video. Di kampung saya
setidaknya ada dua persewaan buku. Tapi persewaan buku langganan saya bernama
persewaaan buku “mutiara.” Letaknya tepat di mulut gang jalan mutiara sampang. Ibu
saya kenal dengan pemiliknya. Cukup bawa kartu anggota, pilih buku, nanti
tinggal bilang sama penjaganya: “Tante biar Ibu nanti yang bayar.”
Kebanyakan isinya buku komik. Saya lupa sudah berapa buku komik yang
sudah saya baca kala itu. Mulai dari Donal bebek, Gundala Putra Petir, Si Buta
dari Goa Hantu, dan sebagainya. Tapi ada satu komik yang tak bisa saya lupakan
ketika pertama kali mulai menyewa dan membaca komik. Judulnya; "Siksa Neraka." Sebenarnya
banyak versi dan banyak penerbit yang mereproduksi cerita siksa neraka. Saya tidak
ingat penulis dan penerbit buku tersebut.
Komik itu benar-benar membuat saya yang masih anak-anak kala itu tak
nyenyak tidur. Saya sSeringkali bermimpi buruk setelah membacanya. Betapa tidak,
dalam komik itu diceritakan tentang betapa kejamnya siksa neraka disertai
gambar-gampar yang mengerikan. Anak kecil mana yang tak bergidik melihat gambar
lidah ditarik kemudian digunting disertai sebuah kalimat pendek; hukuman bagi
para pembohong. Anak kecil mana yang tak ngeri melihat gambar mulut dirajam
besi panas sampai ke dubur sebagai hukuman bagi mereka yang memakan hak orang
miskin dan anak yatim. Ada juga seorang perempuan yang direndam di sungai darah
dan nanah sementara vaginanya ditusuk besi panas karena menjadi pelacur. Kengerian
makin bertambah, karena penulisnya menulis kalimat begini (kira-kira): “Kekejian
di dalam neraka itu tidak terjadi sekali. Melainkan terjadi berkali-kali. Setelah
nyawa lepas dari badan, Allah SWT mengembalikannya lagi, lagi dan lagi. Dan
siksaan serupa akan dialaminya lagi”
Saya tak ingat berapa tebal buku komik itu. Tidak terlalu tebal menurut
saya jika dibandingkan dengan comik kungfu boy yang berseri-seri itu. Boleh dibilang
tipislah. Covernya juga tidak bagus. Tapi gambar di cover itu benar
menyeramkan. Pada tahun 2006, saya pernah mencoba mencari komik itu di lapak
buku bekas di kampung saya. Hanya sekedar ingin tahu seperti apa rupa komik itu
di tahun 2000an ini. Tapi sayang, saya gagal menemukannya.
Komik itu bermula dengan cerita perjalanan Nabi Muhammad saat Isra’ Mi’raj. Selain mendapatkan
perintah sholat lima waktu, Nabi terakhir umat Islam itu mendapat
kesempatan melihat surga dan neraka yang
akan dihuni seluruh umat manusia nanti setelah kiamat. Cerita terus mengalir. Landai
di halaman-halaman pertama. Bahkan cerita Surga hanya diberi porsi 2-3 lembar
saja. Kengerian baru dimulai kala putra tunggal Siti Aminah yang bergelar
al-amien itu memasuki neraka. Dan sejak itu pembaca yang kebanyakan anak-anak disuguhi
gambar-gambar siksaan-siksaan yang mengerikan dan abadi bagi manusia yang di
dunia suka berbuat maksiat dan enggan bertobat. gambar-gambar mengerikan terus
bermunculan sampai halaman terakhir.
Tak ada teman saya kala itu yang tak membicarakan komik itu. Apalagi
tidak menyebutnya. Jika seorang teman ketahuan berbohong, maka teman yang lain
yang pernah baca komik Siksa Neraka itu akan berkata: ”Awas dipotong lidahnya
lho besok kayak di buku siksa neraka.” Tentu saja dengan logat madura yang
kental.
Karenanya tidak berlebihan jika
majalah Islam Madina (edisi Agustus 2009) kala membuat laporan tentang 100 buku Islam yang
paling berpengaruh, komik Siksa Neraka masuk juga di dalamnya. ”Sebuah komik
yang memberikan mimpi buruk banyak anak Indonesia sejak tahun 1970-an. Dan
Tatang S, komikusnya, berhasil menggambarkan siksa neraka secara gamblang”
begitu tulis redaktur majalah tersebut.
Sebenarnya buku komik Siksa Neraka bukanlah buku komik pertama yang
berkisah dan menggambarkan kengerian di hari pembalasan. Menurut Marcel
Bonneff, penulis buku “Komik Indonesia,” justru komik berjudul “Taman Firdaus”
karya KT Ahmar yang tercatat sebagai komik surga-negara pertama yang terbit
tahun 1961.
Saya sendiri belum pernah membaca Taman Firdaus. Namun yang pasti buku
Komik “Siksa Neraka” benar-benar membuat sisi keberanian saya sebagai anak-anak
tergerus. Bayangan tentang siksa neraka dan keindahan surga seperti menjadi
bius yang melenakan saya yang sedari awal dididik dalam keluarga agamis. Tak ada
keberanian dalam benak saya yang masih anak-anak kala itu untuk bertanya;
sebegitu pendendamkah Tuhan hingga menciptakan sebuah kamp penyiksaan yang maha
hebat dan abadi itu? Sebegitu kejamkah sang Khalik yang maha pengasih dan
penyayang itu? Yang ada adalah ketakutan-ketakutan. Ketakutan untuk
mempertanyakan segala yang serba gaib dan tak ‘tersentuh akal.’ Dan buku komik
itu benar-benar menteror saya. Sama menterornya kala saya pertama kali menonton
film “kekejaman G 30 S/PKI” garapan Arifin C. Noer.
Tapi apa boleh buat. Kala itu saya hidup di zaman orde baru yang angkuh
tapi rapuh. Rejim itu paling suka menebar teror dan ketakutan-ketakutan pada
masyarakatnya hanya untuk satu tujuan; tunduk dan patuh. Dan komik Siksa Neraka
senafas dengan teror orde baru. Ia efektif mematikan keberanian anak-anak
dengan ancaman-ancaman neraka.
Barangkali jika anak saya membaca buku itu, ketakutan-ketakutan seperti
yang pernah dialami saya di masa kanak-kanak dulu saat pertamakali membaca buku
itu akan ia rasakan juga. Sementara jika saya kembali membaca komik itu mungkin
kali saya tidak akan ketakutan, malah tertawa sambil berkata; “ih, serem banget
ya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar