#5BukuDalamHidupku
Telepon dari Bapak dan Buku Menjadi Manusia Pembelajar
”Kamu lulus UMPTN. Berarti kamu anak muda pilihan. Kalau kamu tak sanggup
mempertahankan keberhasilanmu lulus UMPTN dengan IPK cuma 2,0 ini, mending
balik ke Madura. Bapak belikan becak. Kamu ngayuh becak di sini!”
Plak! Kalimat terakhir bapak di telepon benar-benar menampar perasaan
saya. Saya gemetar. Saya berjalan ke kamar kos dengan gontai. Hari itu, 12
November 2000. Udara di Jember begitu dingin. Sementara saya di kamar kos terbakar
sendirian. Marah, sedih, jengkel, berkecamuk jadi satu.
Saya paham bapak kecewa dengan hasil belajar saya di kampus. Membaca
transkip nilai saya yang dikirimkan ke rumah saya di Madura.
Tapi saya merasa bapak saya tidak paham bahwa saya tak menyukai jurusan
ini. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Kesejahteraan Sosial.
Jurusan apa ini? Saya memilihnya ketika ujian UMPTN sebagai pilihan kedua.
Pilihan pertama saya Hubungan Internasional UNAIR. Dan Bapak yang memaksa saya
mengambil kesempatan itu. Meskipun saya berniat untuk menganggur satu tahun dan
akan ikut UMPTN lagi tahun depan.
”Ambil. Itu rejeki kamu. Jangan sia-siakan rejeki yang udah kamu dapat.
Tahun depan, jika misalnya, kamu ikut lagi UMPTN tentu nggak akan seberuntung
itu. Lagipula sekolah kian tahun kian mahal. Makin cepat lulus, makin bagus.
Adikmu dua. Kau harus juga pikirkan itu. Tiap tahun bapak tambah tua. Dengan
ada satu anak yang lulus bapak bisa sedikit ‘bernafas’ dan nggak ngoyo cari
duit” ujar Bapak ketika kami berdua berjalan pulang dari pasar pagi depan rumah
sakit harapan kita Jakarta Barat.
Ya. Waktu pengumuman UMPTN tahun 1999 saya ada di Jakarta, diajak liburan
paman saya (adik ibu) yang tinggal di Jakarta. Bapak kebetulan baru aja usai
pelatihan penyuluh kehutanan di Bogor tiga bulan. Dan mampir untuk menjemput
saya pulang ke Madura.
Setelah telepon itu, seharian saya meringkuk di kamar. Tidak ikut jadwal
kuliah. Malas. Jiwa muda saya terusik. Saya merasa apa yang dibicarakan Bapak
benar. Saya menyia-nyiakan banyak kesempatan. Saya memang tak pernah
memperhatikan semua mata kuliah dengan baik. Datang, duduk, diam, dugem. Tak
pernah beli buku kuliah. Setiap uang kiriman selalu saya habiskan untuk beli
celana jeans dan baju baru. Tapi hati kecil saya yang lain berbisik; tidak
bolehkah saya bersenang-senang sejenak atas segala kejenuhan bersekolah di SLTA
dengan jadwal yang serba ketat dan membosankan itu? saya ingin santai.
Menikmati masa muda.
Tiba-tiba pikiran saya melintas ke masa silam. Pertengahan tahun 1998.
Saya tidak ingat tanggalnya. Tapi tengah malam itu saya terjaga dari tidur dan
bergegas ke kamar mandi. Buang air kecil. Sekeluarnya dari kamar mandi saya
lihat bapak saya belepotan darah.
“Kenapa, Pak?”
”Mimisan” ujarnya sambil membuang kapas yang penuh darah. Saya Bantu
bapak ambilkan daun sirih milik tetangga agar pendarahan di hidungnya berhenti.
”ingat. Jangan bilang-bilang Ibumu soal ini” ujarnya lagi. Setelah itu bapak
kembali ke meja kerjanya menyelesaikan tugas kantornya. Bapak kecapean. Begitu
batin saya.
Mengenang peristiwa itu saya terhenyak. Saya tak seharusnya terus-terusan
begini. Saya harus berubah. Minimal menyenangkan bapak saya. Saya bergegas
keluar kamar. Cuci muka lalu berlari ke pinggir jalan. Naik angkot. Tujuannya;
Gramedia. Saya ingin beli buku. Bukan yang bukan hanya bisa memotivasi saya.
Juga bisa membantah bapak saya, bahwa kuliah bukan satu-satu jalan menuju
sukses.
Ini pertamakali saya memasuki toko buku. Dan satu-satunya rak yang saya
kunjungi, rak best seller. Di situ saya menemukan buku yang pertamakali saya beli
selama kuliah di Jember dari tahun 1999; Menjadi Manusia Pembelajar karangan
Andreas Harefa.
Buku yang mengkritik ‘habis’ dunia pendidikan formal. Tulisan dalam buku
itu sangat provokatif menurut saya waktu itu. yang masih saya ingat betul
adalah paragraf ini;
Lalu, apa gunanya sekolah dan universitas kalau kita akhirnya hanya
memproduksi beo-beo seperti para doktor pertanian yang tak pernah mampu membuat
“Jambu Indonesia” atau “Durian Indonesai”, tetapi hanya membuat segala
hasil-hasil pertanian menjadi serba Bangkok? Mengapa orang-orang berteriak
seperti kebakaran jenggot ketika sejumlah oknum tak bermoral menjajakan gelar
seperti pedagang kaki lima menjual obat sakit ginjal seharaga Rp. 100,00 di
pinggir jalan? Tidakkah sekolah dan universitas juga hanya mampu melahirkan
sarjana-sarjana, bahkan juga belakangan doktor yang bisanya hanya menjiplak
karya orang lain? Bukankah kita semua tahu bahwa skripsi dan tesis sebagian
(besar?) sarjana kita tidak dibuat tidak lewat proses pembelajaran, tetapi
transaksi “jual- beli” yang dilayani para pembajak karya cipta diberbagai sudut
kota, yang sebagaian belum pernah masuk perguruan tinggi? Bukankah kita semua
tahu bahwa sebagian besar sarjana kita tidak pernah menghasilkan karya tulis
serius setelah diwisuda (bahkan juga para doktor dan profesor hanya sesekali
menulis dimedia cetak untuk disebut pakar?. Jadi, apakah ruginya negri ini bila
semua sekolah dan universitas dibubarkan saja seperti Gusdur membubarkan
Departemen Penerangan (yang menggelapkan dana) dan Departeman Sosial ( yang
sok-sial)?. (hal. 10-11).
Membaca buku Andreas Harefa kala itu membuat saya ‘menemukan’ diri saya
yang ‘sejati’; pemberontak. Saya berpikir setelah menyelesaikan buku ini saya
akan punya jawaban paling keren untuk membantah bapak saya yang menuntut saya
kuliah dan mendapatkan IPK tinggi. Ya. Saya telah membaca buku itu lebih dari
tiga kali setelah membelinya. Dan saya merasa lebih percaya diri. Lebih kritis.
Keberanian saya setelah membaca buku itu adalah mulai berani membantah setiap pernyataan
dosen saya, yang menurut ukuran saya tidak benar. Tapi saya tak cukup berani
mengambil pilihan untuk drop out dari kampus saya yang saya cemooh
habis-habisan itu. Sama tak beraninya saya membantah bapak saya dengan
teori-teori pendidikan yang dikutip Andreas Harefa dalam bukunya yang telah
cetak ulang kurang lebih 34 kali pasca penerbitan pertamanya di awal tahun 2000
itu.
Tapi sejak membeli dan membaca buku itu, saya menjadi orang yang
keranjingan membaca dan menulis sampai sekarang. Dan saya tidak pernah menyesal
lulus kuliah di semester 12 dengan IPK 2,9 pada tahun 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar