Kenangan Buku Menolak
Tunduk dari Aktivis Kelas Empat
Pencoblosan
di TPS di kampung saya pada 7 Juni 1999 baru saja usai. saatnya penghitungan
suara. Itu pertamakalinya saya menjadi pemilih. Saya menunggu dengan cemas. Tak
saya perhatikan hasil perolehan suara partai lain. Begitu nama Partai Rakyat
Demkratik (PRD) disebut dengan perolehan 1 suara, saya merasa lega. Cuma itu
yang bisa saya berikan buat sebuah perubahan di negeri ini.
Teman
sebangku saya juga cerita hal serupa saat ngumpul malam harinya. Di TPSnya cuma
dia yang mencoblos partai dengan pimpinan Budiman Sudjatmiko kala itu. Saat itu
kami baru saja lulus SMA. ”PRD itu partainya anak muda.” Bergitu ujar Didit,
teman saya dengan nada bangga.
Sedikit
sekali informasi yang saya dapat tentang PRD dan Budiman Sudjatmiko kala itu. Satu-satunya
sumber informasi hiruk pikuk politik Indonesia di era kepemimpinan BJ. Habibie
adalah koran. Sebuah partai kecil yang militan yang dibangun anak-anak muda. Partai
yang di koran dicap sebagai PKI gaya baru. Tentu saja sumber yang dikutip koran
dengan stigma PKI itu dari pejabat tentara. Soeharto memang telah tumbang. Kepemimpinan
telah berganti. Tapi semangat orde baru masih subur rupanya di negeri ini.
Kekaguman
saya pada Budiman Sudjatmiko dan PRD kian bertambah ketika membeli buku “Menolak
Tunduk: Catatan Anak Muda Menentang Tirani” karya FX. Rudy Gunawan. Buku itu
mengenai kehidupan Budiman Sudjatmiko dan sepak terjangnya melawan rejim Orde Baru.
Ditulis dengan nada penuh heroik. Mulai dari aksi pengorganisasian massa PRD,
hingga aksi kucing-kucingan petinggi PRD meloloskan diri dari kejaran militer
pasca tragedi 27 Juli 1997. Menegangkan sekaligus mengharukan. Membacanya kala
itu membuat berandai-andai; ‘’seandainya saya seusia mereka, mungkin saya akan
turut berjuang bersama mereka.’’
Karena
buku itu pula saya akhirnya memutuskan bergabung dalam organisasi Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) di Jember. Organisasi underbow PRD. Sekitar
tahun 2003 kalau tidak salah ingat. Dari organisasi itulah kali pertama saya
kenal karya-karya Karl Marx, Lenin, Che Guevara, Wiji Thukul, Frans Fanon, dsb.
Dari organ mahasiswa underbow PRD itu pula saya belajar, untuk pertamakalinya,
menulis selebaran-selebaran yang biasa dibagikan tiap kami melakukan
demonstrasi. Juga dari organisasi itu saya mengenal Prameodya Ananta Toer dan
membaca hingga selesai tetralogi pulau buru hanya karena satu alasan yang kerap
diucapkan kawan-kawan aktivis senior saya di organisasi itu; ”Bukan aktivis
revolusioner kalau belum tuntas membaca Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah dan Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer”
Dibadingkan
teman satu organisasi yang pernah turut serta mendirikan LMND Jember itu, saya
termasuk aktivis yang tidak terlalu militan. Kadang kala juga tak turut serta
demonstrasi hanya karena ‘sibuk’ berlama-lama di warnet untuk membaca
tulisan-tulisan di cybersastra.net. Tindakan tidak ‘patuh’ sama perintah
organisasi sering diolok-olok oleh aktivis lain yang merasa dirinya paling
militan dengan;’ jiwanya masih liberal.’ Tapi saya cuek aja.
Toh,
saya juga mendapat pujian ketika tulisan pertama saya dimuat di Jawa Pos di kolom
prokon aktivis karena dibiografinya menggunakan nama; aktivis LMND. ”Itu salah
satu cara membesarkan organisasi. Harus juga terus dilakukan” Ujar teman saya.
Membicarakan
PRD dan para kadernya pada upaya penggulingan Soeharto di tahun 1998 menjadi
cerita yang paling ingin saya dengar usai melakukan rapat-rapat atau
kajian-kajian rutin di organisasi tersebut. Saya bisa begadang sampai malam,
jika senior bercerita kedekatannya dengan petolan PRD seperti; Budiman, Faisol
Reza, Ken Budha Kusumandaru, dan banyak lagi. Meski ceritanya hampir mirip
dengan yang ditulis di buku bersampul merah dengan wajah Budiman oleh alumnus
filsafat UGM tahun 1992 dan bekerja di majalah Jakarta-Jakarta itu, saya senang
mengikutinya.
Dari
organisasi itu pula saya jadi tahu kalau ditangkap polisi saat melakukan
demonstrasi ternyata menyenangkan. Karenanya kadang-kadang aksi saling dorong
dengan aparat harus dilakukan. Pertama, nilai tawar sebagai aktivis naik. Kedua,
bisa dapat makan gratis. ”Sering juga dikasih uang 50 ribu usai ditanya-tanyai.”
Ujar Aditya Fajar, ketua LMND Jember kala itu.
Namanya
juga aktivis ‘sambil lalu’ kadang saya perlu juga merasa sok heroik. Misalnya,
ketika aksi pembakaran bendera empat partai di Jember, kawan-kawan organisasi
saya blingsatan sembunyi dari buruan intel. Saya yang tak ikut aksi itu sok-sok
juga ikut sembunyi di kos teman sambil bercerita dengan bangga kalau organisasi
baru saja melakukan pembakaran bendera partai-partai besar yang masih mendukung Orde Baru dan kini diburu polisi.
Keterlibatan
saya yang terakhir bersama LMND kala mendapat ‘tugas’ membangun organ untuk
persiapan pemilu 2004 di Pamekasan, Madura. PRD hendak maju ikut pemilu dengan
partai bernama Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional). Saya korbankan
KKN (Kuliah Kerja Nyata) saya untuk melakukan ‘tugas mulia’ itu.
Basecamp
tempat menampung aktivis PRD Jawa Timur yang akan mengawal pendirian kantor
Papernas adalah rumah saya. Dari situ saya kenal, Mbak Jum, Mas Rudi Hartono,
Fauzi Bayu. Dan satu orang lagi saya lupa. Di kamar sayalah para kader PRD jawa
Timur itu menginap. Dan perluasan basis organisasi dan perluasan kontak,
teman-teman saya yang antar. Saya bolak balik Jember-Pamekasan karena harus
juga menyelesaikan kegiatan KKN.
Bagi
aktivis kelas empat macam saya, mendapatkan tugas semacam itu, tidak dibayarpun
pasti semangat. Saya hubungi teman-teman sekampung saya. Beberapa setuju. Bukan
karena sepakat dengan ideologi LMND, PRD atau Papernas. Hanya karena pertemanan
saja. Salah satu diantaranya anak pejabat Bulog yang masih duduk di bangku SMA
kelas dua (atau tiga?) bernama Arif Dwicahyo. Di rumah dia berkas-berkas
diprint. Karena di kampung saya cuma dia yang punya seperangkat komputer
lengkap. Dan berdirilah DPC Papernas Pamekasan. Lengkap dengan struktur
organisasinya. Kantornya? Rumah milik teman bapak saya, yang kebetulan kosong. Kantor
sementara saja. Hanya untuk lolos verifikasi DepKumHAM. Dan plang partai
dinaikkan. Bendera Papernas berkibar di samping plang.
Seminggu
setelah plang Papernas naik, ketua DPC dipanggil ke Yonif 516. Diinterogasi dan
ditanyai soal pendirian partai. Termasuk juga AD-ARTnya. Tentara minta plang
itu diturunkan dan kantor ditutup karena partai itu komunis gaya baru. “Kalau
tidak, urusannya bisa panjang!” Ujar Ahmad menirukan kalimat interogator.
Teman
saya sempat keder juga. Baru pertamakali ini berurusan dengan tentara. ”gimana
ini mau dilanjutkan?” tanya Ahmad pada saya. Saya kemudian menceritakan tentang
perjuangan PRD dan Budiman Sudjatmiko seperti yang ditulis oleh penulis buku “Pelacur
dan Politikus” itu untuk memompa semangat teman-teman saya. Dan mereka setuju
untuk terus lanjut.
Hasilnya,
Papernas tidak lolos verifikasi DepKumHAM. Plang diturunkan. Bendera bergambar
bintang itu juga diturunkan. Yang tersisa hanya kenangan. Juga kekecewaan-kekecewaan.
ternyata Orang-orang PRD yang dalam benak saya teguh dan sekeras baja, mulai menjelma seperti seng dimakan karat. Rapuh.
Misalnya
ada teman satu organisasi yang mengaku marxist, tapi begitu menggagungkan Ayu
Utami sebagai penulis feminis Indonesia. Punya pacar dia tiduri pacarnya atas
dasar cinta dan suka sama suka. Begitu putus, dia menulis surat berantai yang
dikirimkan ke email teman-temannya justru untuk menjelek-jelekkan pacarnya. Yang
‘diselingkuhi’ dosennya lah, kemudian disuruh aborsilah, membacanya saya justru
merasa iba pada si perempuan. Betapa tega dia melakukan itu, yang atas email
berantai itu dia justru menjadi penindas perempuan, mantan pacarnya sendiri.
Di
samping itu, belakangan saya mulai tahu PRD bukanlah partai yang benar-benar
bersih. Fauzi Bayu, Ketua Komite Pimpinan Wilayah (KPW) PRD Jawa Timur terlibat
korupsi pada tahun 2002. Bermula dari pemilihan Gubernur Jatim. Dia ‘main mata’
dengan Imam Utomo, mantan Pangdam Brawijaya yang hendak maju sebagai calon
Gubernur. Ketika maju sebagai Cagub Jawa Timur, mantan Pangdam Brawijaya itu
terus-terus didemo dan dosa-dosanya yang banyak menangkap dan menyiksa aktivis
pasca tragedi 27 Juli 1997 diumbar di muka publik.
Entah
bagaimana mulanya, akhirnya Imam Utomo berhasil mendekati Bayu. Dan memberikan
uang ‘tutup mulut’ sebesar 20 juta. Uang tersebut tak dilaporkan ke pusat. Akhirnya,
ia didakwa melakukan korupsi. Dipecat. Yang tidak jelas terungkap sampai
sekarang adalah pertanyaan-pertanyaan seperti; kemana uang itu mengalir? Dihabiskan sendirikah? Atau sudah
dibagi-bagikan ke kader/pimpinan yang lain?
Kasus
Bayu sebenarnya bukan kasus korupsi pertama di tubuh PRD yang saya dengar.
Konon katanya siempunya cerita, sebelum kasus Bayu terkuak, sempat beredar
kabar kalau di pusat seorang Kader menyimpan uang 100 juta di rekeningnya. Tak jelas
dari mana uang sebanyak itu. Tapi terkuaknya uang tersebut membuat kader lain
geram. Pasalnya, kehidupan aktivis kelas tiga dengan aktivis kelas satu, yang jadi pucuk pimpinan terasa sekali perbedaannya. aktivis kelas satu kerap gonta ganti henpon dan bajunya selalu licin. itulah yang bikin kader kelas tiga geram. Sempat pemilik rekening itu akan dikeroyok massal seperti maling ayam.
Yang
terakhir yang sampai ke telinga saya korupsi yang dilakukan Yusuf Lakaseng,
Ketua PRD. Kalau tak salah ingat, juga ketua Papernas. Ia kedapatan mendapatkan
aliran dana sebesar 20 juta. Aliran dana tersebut tak dilaporkan ke bagian
keuangan. Terkuaknya aliran tersebut karena banyak kader lain yang curiga
karena dari hari ke hari penampilan ketua partainya kian perlente. Baju batu. Sepatu
batu. Akhirnya dicurilah buku rekening ketua partainya itu. dari situ praktek korupsi itu terbongkar. Ia akhirnya
dipecat.
Namanya
juga petualang politik, dipecat dari partai lain tak membuat aura politiknya
redup. Malah justru kian terang. Dipecat dari PRD Lakaseng masuk PBR. Dari PBR
hijrah ke Nasdem. Dari Nasdem lompat lagi ke Hanura dan menjadi Caleg DPR-RI
pada pemilu 2014 nanti. Slogan di Balihonya, menurut cerita, sungguh membuat geram. Bunyinya:
“Politik itu Kehormatan. Jangan Kotori dengan Korupsi!!!
Rasa kecewa juga mulai bercampur dengan
rasa jengkel, manakala mendengar berita aktivis PRD yang menjadi korban penculikan
justru bergabung dengan penculik. Aan Rusdianto, misalnya. 15 tahun silam,
kader PRD bertubuh tambuh ini dijemput orang tak dikenal. Dengan mata tertutup
ia dibawa ke sebuah tempat. Disekap selama dua hari untuk diinterogasi tentang
pandangan politik dan kawan-kawannya sesama aktivis PRD. Selama dua hari itu,
ia mengalami siksaan brutal. Tapi kini ia justru bergabung dengan Prabowo
Subianto, salah satu yang diduga kuat sebagai aktor intelektual penculikan
banyak aktivis pada 1998, dibawah partai Gerindra. Aan tidak sendirian. Pius
Lustrinalang, yang juga pernah diculik Tim Mawar dibawah komando Prabowo telah
lebih dulu bergabung dengan Gerindra. Malah ia telah jadi anggota DPR di Komisi
Energi dan Lingkungan Hidup.
Alasan
yang biasanya dilontarkan soal diatas; upaya melawan dari dalam. Melebur untuk
membangun perlawanan dan banyak lagi retorika indah lainnya. Lalu apa guna dulu
menolak dwi fungsi ABRI dan mengutuk penculikan para aktivis jika kemudian
memilih memeluk penculik? Atau jangan-jangan saat diculik mereka melakukan deal
politik, sehingga dibebaskan. Sementara yang lenyap dan tentu nisannya justru
mereka yang teguh memegang pendirian? Tak ada yang tahu.
Lepas
dari semua itu, tentu tak semua kader PRD adalah petualang politik. Selalu ada
kader yang benar-benar total menjaga integritas dan memperjuangan sosialisme
yang dicita-citakan. Dan mereka melakukan dengan banyak cara semampu yang
mereka bisa. Angkat topi dan penghargaan yang tinggi harus juga diberikan pada
kader-kader yang konsisten. Sementara pada mereka yang munafik, menjilat ludah
sendiri, bolehlah kita mengutukinya habis-habisan.
Tapi faktanya, banyaknya aktivis kiri yang kemudian ikut menjadi gerbong dari lokomotif partai-partai borjuis sebagai dalih 'melakukan perlawan dari dalam' bahkan diantaranya menjadi anggota dewan belum terdengar gebrakannya yang frontal mengusung idealisme sosialisnya di masa lalu. Misalnya, sejak Alm. Gus Dur menyuarakan untuk mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, belum satupun aktivis kiri eks. PRD itu yang berani menyuarakan pencabutan itu lagi hingga sekarang. Padahal upaya pencabutan kebijakan itu penting, menurut saya, minimal untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas demi berdirinya partai buruh yang progresif yang berani menantang rejim despotik, memberikan angin segar bagi perlawanan rakyat dan menantang partai-partai besar yang cuma jadi mesin kapitalisme.
Tapi faktanya, banyaknya aktivis kiri yang kemudian ikut menjadi gerbong dari lokomotif partai-partai borjuis sebagai dalih 'melakukan perlawan dari dalam' bahkan diantaranya menjadi anggota dewan belum terdengar gebrakannya yang frontal mengusung idealisme sosialisnya di masa lalu. Misalnya, sejak Alm. Gus Dur menyuarakan untuk mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, belum satupun aktivis kiri eks. PRD itu yang berani menyuarakan pencabutan itu lagi hingga sekarang. Padahal upaya pencabutan kebijakan itu penting, menurut saya, minimal untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas demi berdirinya partai buruh yang progresif yang berani menantang rejim despotik, memberikan angin segar bagi perlawanan rakyat dan menantang partai-partai besar yang cuma jadi mesin kapitalisme.
Kembali
ke soal Buku Menolak Tunduk. Memang sudah lama saya tak baca buku yang kata
pengantarnya dutulis Xanana Gusmo itu lagi. Ketika hendak menulis kisah inipun
saya mengambilnya di rak paling bawah berjejer dengan buku Catatan Pinggir
Goenawan Mohammad, Prahara Budaya nya Taufiq Ismail dan Setelah Politik Bukan
Panglima Sastra karya Fadli Zon. Bukan rak istimewa seperti buku-buku Pram yang
saya letakkan di rak atas dan mudah dijangkau untuk saya baca lagi dan lagi.
Dan
seandainya tak ada proyek #5bukudalamhidupku yang digawangi Irwan Bajang saya
tak akan ingat pengalaman dengan buku biografi Budiman Sujatmiko terbitan
Grasindo, yang cetakan pertamanya terbit pada Februari 1999 itu. Buku yang
pernah selalu saya bawa kemana mana dan diceritakan pada banyak teman. Kalau
tidak ada proyek itu saya mungkin tak akan bercerita bahwa saya pernah keliru
memfethiskan seseorang dan sebuah partai. Tulisan ini juga sebagai otokritik
saya, bahwa meminjam Frase Chairil Anwarr, belajar belumlah selesai. Belum apa-apa.
Masalahnya
proyek itu sudah kelar. Tepat pukul 00.00 17 November 2013. Saya sendiri sudah
setor review buku kelima, meskipun dari awal saya tak masuk hitungan sebagai
peserta lomba yang sah. Saya penumpang gelap yang oleh Bajang diledek sebagai;
peserta yang ngoyo. Udah tahu gak masuk hitungan masih saja ngejar-ngejar bis
yang dia supiri. Ah, terserahlah kata dia.
Karena
proyek sudah kelar, biarlah saya kasih tagar tulisan ini dengan
#5bukudalamhidupkuplus1. ini buku pamungkas saya sebenarnya.
2 komentar:
Terimakasih telah menulis catatan ini. Saya sedang butuh
makasih udah komen kakak! :D ambil aja sepuasnyah
Posting Komentar