Blues untuk Bapak
bapak mati, aku peluk tubuhnya
ibu menangis, aku peluk tubuhnya
airmatanya bergetar
seperti suara seribu lonceng jiwa
yang bergetar sakit di dalam rumah sakit itu
"hidup adalah kenyataan hari ini, anakku"
suara itu. suara itu menyimpan tangisku
seperti tangis orang miskin
yang disimpan di puing-puing rumahnya
usai dibuldoser seperti sampah celaka
"hidup adalah kenyataan hari ini, anakku"
suara peringatan elektrokardiograf pecah. flat line. suara nafas yang payah. flat line.
suara orang mengaji. suara dokter yang seksi. suara pasien mau mati
o, bapakku sekarat. alat pacu jantung yang tak ada.
perawat berwajah mayat. pijatan jantung yang terlambat.
AC ruang ICU mati. tubuhnya begitu dingin.
aku memeluknya. mual. seharian belum makan. seribu nama tuhan bergema.
seribu kata puisi, murka.
tidak ada yang tidur di langit. tidak ada yang tidur di bumi.
tidak ada yang tidur
jika seseorang menutup matanya
maut akan menguntitnya
bapak mati, aku peluk tubuhnya
ibu menangis, aku peluk tubuhnya
airmatanya bergetar
seperti suara seribu lonceng jiwa
yang bergetar sakit karena kehabisan biaya
siang itu langit jadi begitu suram
seekor kupu-kupu hinggap di spion kiri motorku
18 Desember 2013 - 03 Januari 2014
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Senin, 06 Januari 2014
Blues untuk Bapak
Label:
Jendela Rumah,
PUISI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar