Oleh: Edy Firmansyah*)
Buku bisa jadi seteru, juga bisa jadi sekutu. Itulah mengapa banyak
orang tua mengatakan buku adalah pengalaman yang bisu. Ia memberi hikmah
juga peringatan akan upaya pecah belah hanya lewat jahitan kata-kata di
bundelan kertas.
Begitulah, lamat-lamat saya ingat sebuah
cerita. Entah dari buku yang saya baca waktu kecil atau dari cerita
bapak saya. Tentang 10 pendekar silat yang tak tertandingi. Mengelilingi
wilayah-wilayah demi tugas suci; menegakkan kebenaran, membumi
hanguskan kejahatan lewat kelebatan pedang. Sepuluh pendekar itu
kemudian tiba di sebuah desa yang nyaris rata dengan tanah. Sebagian
besar penduduknya meregang nyawa dilalap api. Satu dua orang berhasil
selamat. Tapi dengan luka sayatan dan luka bakar parah. Dari beberapa
orang itu sepuluh pendekar tau pelakunya: kaisar. Alasannya
pembumihangusan itu; desa itu adalah pembangkang. Menolak membayar upeti
dan menolak menyerahkan perawannya untuk jadi pemuas birahi.
Sepuluh
pendekar itu serasa menemukan musuh terbesarnya; kekuasaan. Tak ada
kata lain, kebenaran harus ditegakkan pedang harus dihunuskan pada
segala yang keji hati. Maka dideraplah kuda mereka menuju istana. Tapi
tentara kerajaan terlalu besar jumlahlah untuk ditumbangkan dengan
sepuluh orang pendekar. Sepuluh pendekar itu mundur, mengatur strategi
menaklukkan sang kaisar jahat itu. Milisi rakyat dibentuk. Latihan
perang diberikan. Menuju sebuah jalan; menaklukkan kaisar busuk,
membebaskan diri dari penindasan.
Tapi kaisar tak tinggal
diam. Dia menyusun siasat. Membuat sayembara. Siapa yang bisa membunuh
satu saja dari sepuluh pendekar itu akan dijadikan raja. Sayembara
dengan hadiah yang luar biasa. Maka bisa ditebak, pertempuran tak lagi
bergerak di selingkaran pusat kekuasaan, yang diburu sekarang adalah
sepuluh pendekar. Tapi tak ada yang sanggup mengalahkan persatuan. Tak
ada yang sanggup mematahkan sepuluh pendekar yang terikat tali
persaudaraan. Tapi kerakusan kekuasaan bisa menghancurkan persatuan.
Atas nama jalan menegakkan kebenaran, atas nama menggulingkan kaisar
sang sepuluh pendekar bertempur satu sama lain. Persaudaraan runtuh.
Perang melawan kebajikan berubah menjadi perang menumbangkan saudara
seiring sejalan.
Seorang pendekar berhasil menjadi pemenang.
Dengan kondisi luka parah seusai bertarung, ia menderap kudanya sembari
membawa sembilan kepala saudaranya. Kaisar menyambutnya dan sang kaisar
menyerahkan mahkotanya. Pendekar itu senang. Pesta dilakukan
besar-besaran. Tapi lukanya terlalu parah. Sebelum pesta dimulai dia
sudah rebah ke tanah. Mati.
Kaisar tertawa. Penasehatnya
tertawa. Ahli strategi perangnya tertawa. Diambilnya lagi mahkota yang
hanya beberapa jam dipakai sang pendekar pemenang tadi. Dan kekuasaan
makin menggila. Kekejaman tak habis-habis mewarnai daerah kekuasaannya.
Cerita
itu terkenang lagi dalam ingatan saya setelah saya membaca sebuah pesan
dari Fatin Hamama yang discreenshot Khrisna Pabhicara dan disebarkan di
grup fesbuk. Pesan itu bermula dari telepon perempuan yang pernah duet
dengan Sudjiwo Tejo di video puisi esai Denny JA pada penulis novel
"Sepatu Dahlan" itu. Isinya; permintaan menulis resensi buku 33 tokoh
sastra paling berpengaruh pada “dedengkot” aliansi menolak pembodohan
buku tersebut. Nama-nama yang disebut di pesan tersebut: Saut
Situmorang, Halim HD, Faruk HT, AS Laksana, Ariel Heryanto, sisanya
hanya kalimat ‘dan lain-lain.’ Konon, menurut penulis novel sepatu
dahlan itu, honor untuk menulis resensi tersebut dua setengah juta
rupiah untuk resensi sepanjang lima ribu sampai sepuluh ribu karakter.
Bukan nominal yang kecil tentu saja. Apalagi kalau dibayar pakai recehan
seribu dan tunai pula. Bahkan penyair Saut Situmorang berkali-kali
berusaha dihubungi Fatin Hamama namun tak dihiraukannya.
Bersamaan
dengan itu, beredar sebuah pengumuman mengenai lomba menulis resensi
buku dan kritik sastra yang diselenggarakan inspirasi.co, sebuah situs
perpustakaan online milik Denny JA. Tak tanggung-tanggung, hadiah total
dari lomba itu 50 juta rupiah.
Kita boleh curiga, digelarnya
lomba resensi buku dan lomba kritik sastra, ditengah-tengah pendapat,
tulisan, opini tentang penolakan atas buku 33 tokoh sastra paling
berpengaruh yang digarap oleh tim 8, dimana Denny JA juga masuk di
dalamnya, masih ramai menggelombang dan belum ada tanda-tanda surut,
adalah upaya memecah belah aliansi yang memang masih cair itu.
Penyebutan nama beberapa orang juga bisa disinyalir sebagai upaya adu
domba itu. Bahwa yang tersebut namanya dalam pesan adalah 'pentolan' dan
yang masuk dalam lain-lain cuma 'anak buah' sisanya ikut-ikutan. yang
tersebut dalam dan lain-lain, tidaklah lah istimewa apalagi yang cuma
ikut-ikutan. Padahal aliansi adalah kerja bersama, tak ada pemimpin,
yang ada adalah kehendak menepis segala yang bisa merusak.
Kedua,
digelarnya lomba resensi buku dan kritik sastra jelas merupakan upaya
lain pengalihan isu agar badai kritik atas buku 33 tokoh sastra paling
berpengaruh agar lekas mereda. Kita tahu, telah banyak kritik ditulis
pasca terbitnya buku dengan cover lukisan Hanafi berjudul “Dalam
Genangan” (dan dicomot tanpa ijin pula dari pelukisnya) 3 Januari lalu
(satu hari menjelang ulang tahun Denny JA) itu. Beberapa pendukung Denny
JA juga telah menjawab kritik tersebut. Namun nyatanya jawaban para
pembela buku atas kritik tak cukup ampuh meredakan gelombang protes.
Aliansi penolakan terus menyebar. Para penandatangan petisi dari hari ke
hari terus bertambah. Twitwar di jejaring sosial twitter masih ramai
membahas keburukan dan cacat dari buku terbitan Gramedia Pustaka Utama
itu.
Dengan dibuatnya lomba resensi buku dan kritik sastra,
ditengah masih ramainya buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu
dibicarakan dengan sinis, setidaknya bisa meredakan serangan
bertubi-tubi dari aliansi yang menolak buku tersebut. Atau minimal bisa
mengurangi jumlah massa cair dari aliansi yang kemudian tergiur uang
hadiah dari lomba tersebut. Beruntung jika ada ‘pentolan’ dari aliansi
penolakan buku dimana Denny JA dinobatkan sebagai ‘sastrawan’
berpengaruh itu meloncat dan memberikan pembelaan atas buku tersebut.
Hal itu tentu bisa memberikan energi baru bagi Denny JA. Sekaligus kabar
buruk di lingkaran aliansi; pertarungan antar teman sendiri. Tentu kita
berharap ini tidak terjadi. tapi celah kecil untuk itu sering tak bisa
dihindari. Kenang-kenanglah pasemonan Fahd Jibran di akhir artikelnya
yang berjudul “Skenario Menantang Denny JA” sebagai sebuah tanda seru;
“bagi para pengritik, tetaplah menjadi pengritik yang baik, jangan
tergelincir menjadi para pencibir. Tak ada musuh selamanya, tak ada
teman selamanya. Mungkin suatu saat kalian, kita, akan berteman. Bahkan
sangat akrab. Mungkin.”
Energi baru lainnya dengan dibuat
lomba resensi buku dan kritik sastra adalah memberikan wadah nyata bagi
pernyataan Jamal D Rahman dalam sebuah wawancara dengan Koranopini.com
yang menyatakan; ”Tentu saja buku itu (33 tokoh sastra berpengaruh)
harus disikapi secara kritis, sekritis mungkin, dibarengi dengan sikap
terbuka, tidak apriori, apalagi berprasangka. Yang kita butuhkan adalah
polemik atau diskusi yang konstruktif dan dewasa dalam sastra kita.”
Barangkali hal tersebut dilakukan karena mendapat tantangan terbuka dari
Saut Situmorang dan mereka, kubu Denny JA itu membuat arenanya sendiri;
memuat segala bentuk polemik dalam buku, mendongkrak popularitas dan
pengaruhnya yang sedari awal sudah retak, sekaligus mengambil jalan
pecah belah sebagai pintu.
Dengan lain kata, kubu Denny JA sepertinya tak mau terus-menerus benjut dihantam aliansi
bertubi-tubi yang sepertinya tak habis-habis amunisinya. Diadakannya
lomba tersebut tentu mereka tidak ingin ditikam pisau bantahannya
sendiri. Serupa menjilat ludah sendiri. Ah, ternyata perang belum
selesai. Belum apa-apa. Dan cerita tentang sepuluh pendekar yang saya
ingat semaca kecil dulu makin terang dalam ingatan.
*) Jurnalis partikelir, tukang puisi, petani melon, tukang foto keliling
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Kamis, 30 Januari 2014
Tentang Lomba kritik sastra, resensi buku dan Cerita 10 Pendekar yang Perkasa
Selasa, 28 Januari 2014
Pernyataan Sikap Aliansi Menolak Pembodohan dari Madura
PERNYATAAN SIKAP
Aliansi Menolak Pembodohan Buku
33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
Madura
Terbit dan beredarnya buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH (KPG, 2014) susunan Tim 8 yang terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah (anggota), menuai polemik di tengah dunia sastra Indonesia. Sekelompok sastrawan, kritikus, pecinta buku dan aktivis mengeluarkan petisi yang ditujukan pada buku tersebut sekaligus mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menunda atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut.
Desakan ini ditujukan pada Kemendikbud dengan pertimbangan Kemendikbud adalah lembaga pemerintah yang punya hak dan wewenang untuk menilai dan memutuskan kelayakan buku yang terindikasi sebagai buku yang akan masuk dalam rancangan kurikulum pendidikan formal di Indonesia. Kemendikbud didesak untuk mengadakan atau memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut, yang di dalamnya termasuk pengujian validitas metode pemilihan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang pengujian terhadap ketepatan prinsip, metode, peraturan atau kriteria, postulat atau dalil, bukti, pembuktian, dan argumentasi.
Desakan ini kami lakukan karena buku ini berpotensi menyesatkan publik, penuh dengan klaim assersif disusun dengan definisi dan kriteria yang tak definitif, dan ditenggarai penuh dengan konflik kepentingan yang membawa pada potensi kecurangan. Maman S. Mahayana, salah seorang anggota Tim 8, menyatakan bahwa penaja buku ini adalah Denny J.A, dan Tim 8 memasukkan Denny J.A sebagai salah seorang tokoh sastra paling berpengaruh, meskipun ia tak memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam pemilihan.
Membiarkan kebodohan ini menjadi konsumsi publik adalah bentuk kejahatan. Cepat atau lambat, buku yang disusun tanpa standar yang jelas ini akan masuk ke sekolah-sekolah sebagai sebuah bentuk baru pembodohan lewat jalur pendidikan formal.
Dari pertimbangan di atas, maka kami yang tergabung dalam Aliansi Menolak Pembodohan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh di Madura menyatakan:
Mendukung PETISI TERHADAP BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH SUSUNAN JAMAL D. RAHMAN, DKK DAN SERTA MENDESAK KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL UNTUK SEGERA MENGAMBIL TINDAKAN.
Mendukung aksi demonstrasi untuk mendukung petisi yang dilaksanakan di Jakarta 17 Januari 2014 dan mendukung semua kreativitas dalam rangka membenahi sejarah sastra Indonesia yang dibuat semaunya dan dibelokkan oleh terbitnya buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH SUSUNAN JAMAL D. RAHMAN, DKK.
Dengan tegas mendesak peninjauan kembali buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH SUSUNAN JAMAL D. RAHMAN, DKK untuk dikaji ulang oleh Kemendikbud bersama figur-figur yang dianggap berkompeten di bidang sastra dan dibuka secara publik.
Menuntut pertanggung jawaban tim 8 atas buku yang mereka susun.
Menghimbau kepada para pecinta sastra dan buku, penulis, kritikus, akademisi, dan masyarakat umum untuk bergabung dalam aliansi menolak pembodohan yang ditularkan oleh buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH.
Demikian pernyataan sikap ini kami susun sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan kami terhadap sastra Indonesia.
Madura, 17 Januari 2014
Aliansi Menolak Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
Rabu, 22 Januari 2014
SAAT KAU MENELPONKU
Selasa, 21 Januari 2014
ROKAT BHUMIH
Rokat Bhumih
bergemalah angin di pucuk pucuk pohon
bergemalah dingin di tubuh para pelancong
bergemalah suara pesawat menderu
melintasi langit Branta yang lugu
bergemalah semua dalam sajakku
jadi koor seadanya
dengan klenang hujan
dan saronin musim tanam
sebagai musik peladang
lalu menarilah
menarilah kita
diantara gemulai tangan perempuan ladang menabur benih
dan Kekar tangan petani mencakul tanah nasibnya yang pedih
menarilah kita sebagai tanda bahagia
betapa petani masih setia memberi makan dunia
jika mereka menawari lintingan tembakau
dan segelas tuak pohon enau
terimalah. terimalah dengan bahagia
seperti khaddam bumi menerima segala rupa sesaji
seperti saweran rhemo dalam beha penari seksi
dengan begitu kepedihan akan tidur
dan kebahagiaan akan bangun
memeluk bumi. memanggil roh orang orang mati
mengiringi perantau pulang, perantau pergi
dan musim berganti
Madura, 19-20 Januari 2014
Senin, 13 Januari 2014
Surat buat Tuhan
Surat buat Tuhan
tuhan, kenapa akhir-akhir ini dikau sering pipis?
aku perhatikan dalam sehari ini sudah tiga kali dikau pipis
Sakitlah dikau tuhan?
masa tua memang masa istirahat
berapa usiamu tuhan?
pasti lebih tua dari usia kura kura atau buaya
sekali-kali periksalah kesehatanmu ke dokter
takutnya gejala diabetes atau
infeksi saluran kencing
masih ingat tempo hari, khan?
bapakku mati karena diabetes
aku gak mau tuhan mati
FPI bisa kalap nanti
HTI limbung kehilangan jati diri
makanya tetaplah jaga diri
meski manusia permintaannya makin aneh aneh aja
koruptor bisa aja minta surga
hidupnya ingin selamat dunia akherat.
tapi kok nyatanya emang banyak yang terkabul doa-doanya
yang ketangkap aja gak juga ditimpa bencana
sementara yang miskin, berdoa minta kaya
yang datang justru tentara
buat rampas tanahnya
o ya, kalo gak suka periksa ke dokter cobalah periksa ke dukun
siapa tau penyakit beser itu karena kesurupan roh dari Nyalaran
roh orang orang yang dituduh PKI lalu dibantai
kalo memang karena itu,
siapin Kembang tujuh rupa, sebatang rokok dan jajanan pasar
lalu lempar ke pintu Kodim saat siang
tuhan, gak terasa hari telah ashar
aku cabut dulu karena bentar lagi
dikau akan sibuk;
mencatat nama nama dan menginventarisir doa doa
bukan pekerjaan ringan tentu saja
tapi harus tetap semangat
dan jangan sampai salah alamat
hati hati juga dengan politisi
doanya banyak manis di bibir
tapi busuk di hati
Oya, pemilu nanti coblos capres siapa?
udah ya
cepat sembuh besernya
peluk cium selalu
Nb; oya, biar gak kesepian cobalah kawin siri. Masa kalah sama LHI
Jumat, 10 Januari 2014
BALADA BANGUN PAGI
tadi aku berbaring miring, sayangku
kala bangun tidur
aku dengar detak jantungku di bantal
sambil membaca temlen twitter di henpon yang sesekali bergetar
tak ada yang aku pikirkan pagi ini
selain mimpi malam tadi
menemukanmu di pojok sawah
memulai percakapan-percakapan panjang
menyusun huruf huruf menjadi nama sebuah sekolah
hei, hei, kita terbang ke Red Light District
kau menjadi pelacur di Frankfurt
aku jadi santri dalam kancut para pengemis
yang bau tapi selalu tersenyum manis
yang luput tercatat dalam puisi-esai Denny yang kinyis-kinyis
kau nulis puisi apa, Edy? kau nulis puisi apa?
Allen Ginsberg tertawa
Arthur Rimbaud tersenyum sambil memejamkan matanya
sebuah sms masuk
"beli leather case mediapad merah saja
aku berangkat ke suarabaya
jenguk suami teman sakit ginjal stadium lima"
aku masih dengar detak jantungku di bantal
dan trus membaca temlen twitter di henpon yang sesekali bergetar
sebuah berita: para perokok tidak akan mendapatkan BPJS
ah, negara makin bangsat saja
lalu cinta membakar sorga
dalam mimpiku
dan pagi terus bergetar dari kudukku
Januari, 2014
Selasa, 07 Januari 2014
Menunggu "Pasukan" Taufiq Ismail Datang
Menunggu "Pasukan" Taufiq Ismail Datang
Oleh: Edy Firmansyah*)
"Hendaknya
jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari
mereka agar berak di tempat lain yang pantas …atau saya akan
mendatangkan pasukan untuk mengusirnya" (Taufiq Ismail).
Itulah kalimat terakhir dari satu paragraf SMS Taufiq Ismail yang
dikirim berantai, untuk melarang bedah buku Asep Sambodja di gedung PDS
HB Jassin karena membahas tentang sepak terjang Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra), 2011 silam.
Bagi banyak masyarakat
sastra Indonesia, SMS Taufiq Ismail barangkali sudah jadi gunjingan
sekaligus lelucon. Norak. Bulus. sekaligus keji. Sama bulusnya seperti
airmata alumnus dokter hewan UI itu saat membaca puisi dan atau bicara
soal bahaya laten PKI (?).
Tapi bagi
masyarakat di luar sastra, yang menganggap sastra adalah dunia adiluhung
dan penuh kehalusan sikap dan budi pekerjanya, kata ‘berak’ barangkali
merupakan kata yang tak pantas diungkapkan seorang sastrawan “agung’
sekaliber Taufiq (pake Q bukan K) Ismail. Tapi apa boleh buat, kalimat
itu memang terlontar dari peraih cultural Visit Award dari pemerintah Australia tahun 1977 itu. Berak!
Dari
kalimat terakhir itu tersirat, betapa agungnya PDS HB. Jassin dimata
mantan guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pecis, Bogor itu. Tak boleh
ada satupun kekuatan atau kelompok yang boleh menista keagungan gedung
itu. Karena gedung itu, barangkali, di mata salah satu penandatangan
manifes kebudayaan (manikebu) itu adalah simbol keagungan sastra.
”Sastra jangan diinjak-injak. Menginjak-injak sastra berarti akan
berhadapan dengan saya.” Mungkin begitu saya tangkap dari kalimat akhir
SMS itu yang tersebar luas tiga tahun silam itu.
Kalau melihat sepak terjangnya, terutama ketika menghantam maraknya
sastra kelamin yang dinamai oleh Penerima beasiswa AFS International
Scholarship itu sebagai gerakan syahwat merdeka (GSM) pada awal tahun
2000, ultimatum yang saya sebut diatas ada benarnya. Pidato
kebudayaannya yang dia baca di IPB pada 9 Januari 2007 silam juga
mengisyaratkan itu. Sayatan pedang kata-katanya ketika berpolemik dengan
Hudan Hidayat soal sastra perkelaminan membekas di dinding google.
Sama membekasnya ketika palu godam dialamatkan pada sastrawan bergelar
Datuk Panji Alam Khalifatullah itu karena puisinya berjudul “Kerendahan
Hati” dituduh memplagiat puisi berjudul 'Be the Best of Whatever You Are' karya penyair Amerika Serikat kelahiran tahun 1877, Douglas Malloch.
Bermula dari kekesalan Bramantyo Prijosusilo karena SMS Taufiq Ismail
dengan kata ‘berak’ itu menyebar luas, akhirnya Bram memposting
kemiripan puisi “Kerendahan Hati’ dengan puisi Douglas Malloch. Cemoohan
di jejaring sosial membuncah. Polemik pecah. Meski penulis buku puisi
“Tirani dan Benteng” itu mengelak bahwa puisi itu miliknya, nyatanya di
buku pelajaran sekolah menengah puisi "kerendahan hati" ditulis atas
namanya. Hanya saja nama Taufiq menggunakan huruf K, bukan Q.
Meskipun baik Bramantyo Prijosusilo maupun Taufiq Ismail sudah sama
mengulurkan tangan dan saling berbagi maaf terkait polemik tersebut pada
acara silahturahmi sastra yang digelar di Fadli Zon Library Jakarta,
Kamis (14/4) silam, jejaknya tetap bertahan. Apapun bantahan mantan
ketua senat FKHP UI tahun 1960-1961, termasuk bantahan keponakannya,
Fadli Zon, soal huruf Q dan huruf K pada nama Taufiq Ismail, polemik itu
tak bisa serta merta menghapus stempel yang terlanjur ditabalkan
padanya; diduga kuat terlibat plagiator.
Betapa tidak,
sejumlah sinyamen secara tidak langsung membentuk premis kehadiran puisi
"kerendahan hati" karya Taufiq Ismail dalam kurun waktu 1998 sampai
2008. Bayangkan pada 2009, puisi itu masih sempat dibacakan pada
programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010 di TransTV dan Taufiq Ismail tak protes puisi itu menggunakan namanya sebagai pengarangnya. Bahkan beberapa puisi Kerendahan Hati karya Taufiq Ismail sudah terposting di beberapa blog sejak 2006. Dan tak ada yang menggugatnya, termasuk Taufiq Ismail.
Jum’at lalu, 3 Januari 2014, masyarakat sastra kembali terbeliak. Marah.
Protes. Pada hari itu sebuah buku berjudul “33 Tokoh Sastra Paling
Berpengaruh” diluncurkan di PDS HB. Jassin.
Kemarahan
itu karena Denny JA, bos Lembaga Survei Indonesia (LSI), tiba-tiba
masuk dalam daftar 33 tokoh Sastra Paling berpengaruh di Indonesia selama
114 tahun. Kemarahan itu juga dialamatkan pada tim 8 yang diketuai Jamal D
Rahman, seorang penyair asal Madura dan salah satu redaktur majalah
Horison, yang membuat nama bos tukang survei bernama Lembaga Survei
Indonesia (LSI) masuk. Parahnya lagi, peluncuran buku tersebut
bertepatan dengan perayaan ulang tahun pemilik akun twitter
@dennyJA_World itu. Bau uang menyebar dari acara peluncuran buku
tersebut. Jagat sastra merasa dikencingi seorang makelar politik. Tapi
apa boleh buat. Sastra adalah politik, tapi tindakan politik belum tentu
sastra. Beberapa gelintir sastrawan yang berhimpun dalam tim 8 telah menjual
jasanya untuk melegitimasi “dukun politik” bernama lengkap Denny Januar
Ali itu untuk mendapatkan ‘stempel sah’ sastrawan lewat buku
“puisi-esai’nya berjudul “Atas Nama Cinta.” Saking jengkelnya, seorang
pegiat sastra bernama Dwi Cipta sampai membikin status sarkasme;
“Siapapun yang punya uang banyak, bisa beli orang-orang di tim 8 untuk
menjadikan kalian sebagai sastrawan top. Dijamin 100% munafiknya.”
Hiruk
pikuk soal buku tersebut kembali mengingatkan saya pada Taufiq Ismail.
Peluncuran buku tersebut di PDS HB.Jassin jelas merupakan bentuk ‘berak’
yang mengotori PDS HB. Jassin. Persis seperti SMSnya ketika melarang
diskusi buku ASep Sambodja. Bedanya, yang dituduh ex. Lekra lewat
diskusi buku Asep Sambodja itu memang tak ‘berak’ digedung PDS. HB.
Jassin, tapi ‘berak’ di bawah tangga gedung PDS. HB. Jassin karena
diusir paksa. Sementara diluncurkannya buku 33 tokoh sastra paling
berpengaruh itu telah nyata dan terbukti ‘berak’ di gedung yang bagi
seorang Taufiq Ismail itu begitu agung.
Nama
Taufiq Ismail memang ada di dalam buku "33 tokoh sastra paling
berpengaruh" itu. Ada di urutan 17. Diapit nama Ajip Rosidi diatasnya
dan nama WS. Rendra di bawahnya. Nampak mentereng dan gemerlap. Tapi
kalau Taufiq Ismail Konsisten bahwa ultimatumnya tentang berak di PDS HB
Jassin akan berhadapan dengan dia dan 'pasukannya' harus juga
dibuktikan. Bukankah dulu, ancaman bahwa jika diskusi buku Asep Sambodja Menulis: Tentang Sastra Indonesia danPengarang-Pengarang Lekra (ULTIMUS 2011) tetap didiskusikan di ruang PDS. HB.Jassin, Taufiq Ismail akan mengirimkan ‘pasukan’ untuk mengusirnya?
Tentu
masyarakat sastra menunggu ‘pasukan’ Taufiq Ismail datang. Lalu
menggempur dan meluluhlantakkan semua yang terlibat dalam pembuatan dan
peluncuran buku ”33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” itu. Sebab PDS HB.
Jassin sudah diberaki ramai-ramai oleh segelintir sastrawan yang bisa
melakukan apa saja atas nama uang untuk menjadikan siapapun yang mau
membayar mereka mahal sebagai sastrawan berpengaruh.
Kecuali
kata ‘berak’ Taufiq hanya untuk ditujukan kepada segala hal yang berbau
Lekra dan Komunis (juga sastra kelamin) saja. Sementara 'berak' yang
lain, semisal buku "33 Tokoh Sastra paling berpengaruh" itu, yang tidak ada
hubungannya dengan lekra, komunis dan sastra kelamin, bukanlah 'berak.'
Tapi sekarung bunga melati harum yang baru dipetik di mana dia ada di
dalamnya. Meski sebagian lain melihatnya sebagai mencret! Walluhua’lam.(*)
Madura, 07 Januari 2014
*) Edy Firmansyah, petani melon. mantan loper koran. jurnalis sambil lalu. blogger. fesbuker. penyair.
Senin, 06 Januari 2014
Denny JA, Kuantitas dan Kualitas Kesusastraan Indonesia
Sampang - Pamekasan, 04 - 06 Januari 2013
Edy Firmansyah, wartawan sambil lalu. Fesbuker. blogger. penyair
Blues untuk Bapak
Blues untuk Bapak
bapak mati, aku peluk tubuhnya
ibu menangis, aku peluk tubuhnya
airmatanya bergetar
seperti suara seribu lonceng jiwa
yang bergetar sakit di dalam rumah sakit itu
"hidup adalah kenyataan hari ini, anakku"
suara itu. suara itu menyimpan tangisku
seperti tangis orang miskin
yang disimpan di puing-puing rumahnya
usai dibuldoser seperti sampah celaka
"hidup adalah kenyataan hari ini, anakku"
suara peringatan elektrokardiograf pecah. flat line. suara nafas yang payah. flat line.
suara orang mengaji. suara dokter yang seksi. suara pasien mau mati
o, bapakku sekarat. alat pacu jantung yang tak ada.
perawat berwajah mayat. pijatan jantung yang terlambat.
AC ruang ICU mati. tubuhnya begitu dingin.
aku memeluknya. mual. seharian belum makan. seribu nama tuhan bergema.
seribu kata puisi, murka.
tidak ada yang tidur di langit. tidak ada yang tidur di bumi.
tidak ada yang tidur
jika seseorang menutup matanya
maut akan menguntitnya
bapak mati, aku peluk tubuhnya
ibu menangis, aku peluk tubuhnya
airmatanya bergetar
seperti suara seribu lonceng jiwa
yang bergetar sakit karena kehabisan biaya
siang itu langit jadi begitu suram
seekor kupu-kupu hinggap di spion kiri motorku
18 Desember 2013 - 03 Januari 2014