Denny JA, Kuantitas dan Kualitas Kesusastraan Indonesia
Oleh: Edy Firmansyah
Peluncuran
buku 33 tokoh sastra palingberpengaruh di Indonesia selama 114 tahun
(1900-2014) di Pusat DokumentasiSasta HB Jassin, 3 Januari lalu langsung
menyulut api protes.
Dan kayu bakar api itu
pertama-tama adalah Denny JA. Selain tim 8 yang diketuai Jamal D Rahman,
seorang penyair asal Madura dan salah satu redaktur majalah Horison, sebagai bensinnya, yang membuat nama bos tukang survei bernama Lembaga Survei Indonesia
(LSI) tiba-tiba masuk dalam daftar 33 tokoh sastra paling berpengaruh di
Indonesia selama seabad.
Apa debut pria kelahiran
Palembang, Sumatera Selatan bernama lengkap Denny Januar Ali itu dalam
jagat sastra Indonesia? Pertanyaan itu paling banyak dipertanyakan
khalayak sejak buku tersebut resmi diluncurkan dan jadi bulan-bulanan
cemoohan di jejaring sosial twitter. Pertanyaan lain yang sempat
dipertanyakan dengan nada nyinyir adalah; Lha, sejak kapan Denny JA jadi
sastrawan? Apa pengaruh dia pada saya, pada anda, dan pada sastra
Indonesia? Ini benar-benar mengerikan!
Memang sepanjang
tercatat di media massa, dalam kariernya, Denny JA populer karena Ia
membuat riset opini publik (survei) dan marketing politik (konsultan
politik) menjadi variabel baru pertarungan pemilu dan pilkada
di Indonesia. Mesin risetnya yang bernama Lingkaran Survei Indonesia yang
didirikan Denny JA pada tahun 2005 dianggap sebagai institusi pertama
yang masif yang berperan dalam politik baru pemilu. Hasil riset
lembaganya seringkali berhasil memprediksi kemenangan calon pemimpin
dalam pilkada atau atau pemilu, sejak 2004. Alumni jurusan hukum
Universitas Indonesia itu membantu kemenangan presiden dua kali (2004,
2009), 23 gubernur dari 33 propinsi seluruh Indonesia dan 51
bupati/walikota. Ia memenangkan semua pemilu presiden langsung yang
pernah ada di Indonesia ini. Ia memenangkan lebih dari 60%
gubernur seluruh Indonesia. Keakuratan ‘ramalan’ sang “dukun politik” –
meminjam istilah harian Republika – sampai membuat MURI memberikan lima
penghargaan sekaligus pada LSI, lembaga yang ia pimpin itu.
Sementara
sastra? Sebagaimana diakui suami Mulia Jayaputri itu saat merespon tim 8
yang memilih dirinya masuk dalam daftar 33 sastrawan berpengaruh,
dengan tulisan berjudul “menjadi sastrawan berpengaruh”, hanya ada
satu karya sastranya; ‘puisi-esai’ berjudul “Atas Nama Cinta.” Secara
kuantitatif, angka tujuh ribu lebih orang yang mengunjungi dan membaca situs www.puisi-esai.com,
tempat Ia mempublikasikan puisi-puisinya tersebut tentu bukanlah angka
main-main. Bagi seorang blogger pemula, angka itu tentu saja mewah. Tapi
bagi seorang pengusaha sekaliber Denny JA, itu hal yang biasa. Konon
dengan membeli akun twitter seharga puluhan juta dengan jumlah follower lebih dari satu juta,
plus dibantu buzzer akun twitter lain, mempromosikan sebuah buku puisi
baru dan mendapatkan komentar penuh pujian dari banyak orang bukanlah hal
yang mustahil di era gadget ini.
Terlebih lagi kita berada di
era di mana kapitalisme bercokol dengan gagahnya di balik kerapuhannya
yang kasat mata. Di era kapitalisme, uang bisa menjadi jaminan bagi siapa
saja yang ingin melambungkan dirinya. Dalam sebuah buku sejarah, atas
nama kekuasaan dan modal nama-nama penting bisa dihapus dan digantikan
nama lain. Dalam dunia sastra juga begitu. Tak ada bidang apapun yang
bersih dari politik. Yang bersih dari tangan kotor kapitalisme.
Termasuk sastra.
Masih secara kuantitatif, belum
pernah ada karya sastra seperti ‘puisi-esai’ “Atas Nama Cinta” yang
dibahas dan diapresiasi penuh puja-puji sedemikian 'heboh'. Dibikinkan video klip, bahkan di
filmkan. Berapa dana yang dibutuhkan untuk membiayai video klip “atas
nama cinta” yang melibatkan sastrawan plus budayawan semisal Putu Wijaya,
Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim, Sujiwo Tejo, danFatin Hamama? Tentu saja tak murah. Tapi bagi anda yang duitnya pas-pasan bolehlah memekik; ladhalah, akeh men le duite!
Sebab biaya untuk itu bisa tembus ratusan juta. Atau meski hanya mencapai puluhan juta rupiah pun angka tersebut tidak bisa
dibilang sedikit. Sebab tak ada makan siang gratis tentu saja! Tak ada. Bahkan pemeran video klip itu juga
butuh sekedar minum es cendol di hotel bintang lima.
Tapi membuat produk sastra dan menjadi sastrawan berpengaruh tidak hanya
soal angka kuantitatif belaka. Kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Popularitas sebagai tolok ukur kuantitatif bisa saja dibeli. Tapi kualitas tidak. Waktu dan ketekunan sejati yang mengujinya. Buku Puisi Chairil Anwar tentu tak akan
diapresiasi segempita “Atas Nama Cinta” Denny JA. Tapi tanpa dirayakan
semeriah pasar malam di lapangan misbar (kalau gerimis bubar) pun “Atas
Nama Cinta” tak akan sanggup menyamai kualitas puisi-puisi Chairil
Anwar. Dan kalau bicara kualitas, seringkali angka-angka kuantitatif kerap
bengkok dan gampang meleleh.
Bisa dilihat
misalnya, ketika penyair Saut Situmorang merespon dengan kritis buku
puisi mantan host di acara politik Metro TV dan radio Delta FM itu, di
situsnya www.puisi-esai.com, bukannya
dimuat sebagaimana admin web tersebut memuat segala puja-puji puisi,
komentar suami kritikus sastra Indonesia asal Jeman, Katrin Bandel,
justru dihapusnya. Padahal Denny JA dikenal sebagai ‘tokoh’ anti
diskriminasi dan pluralisme. Sedangkan menghapus pendapat orang bukankah
juga bentuk tindakan anti diskriminasi dan anti pluralisme? Sungguh
paradoks. Padahal komentar itu cuma lima paragraf saja. Berikut komentar
tersebut saya tuliskan utuh;
”Satu Tulisan Pendek Atas Lima Puisi Panjang”, judul keren! Memang gak
perlu panjang-panjang cumak untuk mengomentari sajak-sajak Lekrais di
sini! Hahaha!!!
Kemenangan faktual dan kemenangan
puitikal adalah dua hal yang berbeda. Ketika yang faktual ingin masuk
alam domain puisi ia harus tunduk dalam hukum hukum puisi yang sering tak
bisa ditetapkan secara jelas. Maka segala data fakta yang dimasukkan ke
dalam daerah puisi belum tentu efektif membikin mesin puitika bekerja
secara maksimal.
Nah! Kalok memang mau nulis Puisi,
tulislah Puisi; kalok mau nulis Esei, tulislah Esei. Pakem kedua genre
itu yang kelak akan menentukan apakah benar sebuah Puisi telah ditulis,
atau sebuah Esei berhasil dikarang. Cumak para pemula yang gak tau diri
yang ingin melahap semuanya, tanpa sedikitpun mau bersusah-payah
untuk memahami dan menguasai keduanya terlebih dulu! Cumak biar dikira
orang Pembaharu!!!
Kalok “ke-esei-an” sebuah “genre”
bernama “sajak-esei” cumak dibuktikan dari Catatan Kaki yang dimilikinya,
kasihan amat tuh genre! Kasihan amat pulak genre yang bernama “Esei”
itu! Mosok Esei cumak macam begitu hakekatnya! Bukannya lebih tepat kalok
“genre baru”mu ini disebut “sajak-skripsi” aja, hahaha!!!
Atau “sajak-yang-bercatatan-kaki”! LOL
Cobak baca sajak
“The Waste Land” karya penyair TS Eliot. Liat relasi intertekstual
antara sajak dan catatan kaki yang berhalaman itu. Di situ, TANPA catatan
kakinya, maka puisi Eliot tsb akan sangat susah untuk dipahami! Fungsi
catatan kaki gak bisa dipisahkan dari keberadaan keseluruhan sajak.
Itulah sifat ke-esei-an puisi Eliot tsb! Intertekstualitas adalah
kata-kuncinya. Begitulah sosok sebuah “sajak-esei” kalok memang istilah
gak jelas ini masih dianggap perlu untuk gagah-gagahan.”
Mari
bicara lagi soal kualitas keberpengaruhan sastrawan di dunia sastra
Indonesia. Saya yakin keberpengaruhan Denny JA, apalagi cuma satu tahun
sebagai tamu di sastra Indonesia, tak akan sanggup mengalahkan kualitas
penyair asal Sumba Timur yang diberi gelar presiden malioboro, Umbu Landu
Paranggi. Umbu Landu Paranggi itu sangat dihormati oleh murid-muridnya
di Persada Studi Klub (PSK) waktu dia tinggal di Jogya. Juga sangat
dihormati murid-muridnya di Sanggar Minum Kopi(SMK) di Bali. Emha Ainun
Nadjib, Linus Suryadi AG, Ebit G Ade, adalah beberapa gelintir muridnya
di PSK. Raudal Tanjung Banua, Wayan Jengki, Riki Dhamparan Putra yang di
SMK. Itu cuma sedikit yang bisa saya sebut. Banyak sastrawan murid Umbu
yang mewarnai jagat sastra Indonesia. Umbu adalah guru sastra dalam
arti sejati. Tak banyak memang puisi-puisinya. Tapi dari tangannya yang
dingin dan ketekunannya membimbing, bibit-bibit sastrawan muda Indonesia
lahir dan membiak. Tak ada pamrih dari proses itu. Yang ada hanya
kecintaan pada sastra. Karena itu kebangetan menurut saya, orang yang
mengaku penyair atau sastrawan yang tidak tahu guru Umbu, apalagi sepak
terjangnya di jagat sastra Indonesia. Nah, kalo Emha saja bisa masuk 33
sastrawan berpengaruh, Kenapa guru Umbu tidak? Tim 8 itu tidak kenal Umbu
kah? Saya aja kenal meski dari google. Dan juga takzim padanya. (Tim8 itu
kurang gaul kali ya? ). Lantas apa kehebatan Denny JA dibandingkan
guru Umbu dalam jagat sastra Indonesia ini kok dia bisa masuk sementara
guru Umbu tidak? Apa kehebatan Denny JA dibandingkan Wiji Thukul kok bos
tukang survei itu bisa masuk 33 sastrawan berpengaruh dan Wiji Thukul
tidak? Apa hanya karena, baik Thukul maupun Guru Umbu tidak punya duit
sebanyak Denny JA?
Bahkan kalau hanya karena semangat
mengusung pluralisme dan anti diskriminasi yang membuat ayah dari Rafi
Moeslim Auliya Denny dan Ramy Bary itu terpilih jadi 33 sastrawan
berpengaruh dalam 114 tahun, saya rasa soal itu prestasi Abdurrahman
Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur belum ada tandingannya. Sekedar
menyebut contoh, misalnya, keberaniannya mencoba mencabut TAP MPRS Nomor
25 Tahun 1966 tentang pelarangan ajaran komunis, Marxisme dan Leninisme
dan pelarangan berdirinya partai PKI di Indonesia saat jadi Presiden
belum ada yang berani meneruskan hingga sekarang. Lantas kenapa Gus Dur
tidak masuk dalam daftar 33 sastrawan berpengaruh itu. Kurang apa Gus Dur
coba? Pernah jadi ketua Dewan Kesenian Jakarta. Dan esai- esainya
soal film dan sastra juga banyak. Bukankah esai-esai itu juga produk
sastra selain puisi dan prosa yang membuat Gus Dur pantas disebut sastrawan?
Pertanyaan
diatas penting dipertanyakan, meskipun bukan krusial, untuk kembali
mempertajam akal sehat kita soal ketokohan seseorang, terutama di bidang
sastra. Orang boleh dongkol bahwa membicarakan buku 33
Sastrawan berpengaruh selama 100 tahun di mana nama Denny JA ada di
dalamnya hanya akan menaikkan popularitas buku itu. Karena polemik kerap
jadi bagian dari strategi bisnis pemasaran. Sedangkan kita yang
membicarakannya dengan nada cemooh adalah brand ambassador gratisan. Sebab brand ambassador
bayarannya sudah menulis prolog dan epilog dan jadi bintang iklan di
video klip buku puisi “atas nama cinta” itu. Namun berhenti
membicarakannya adalah berbahaya dan tak termaafkan. Tak bisa dibayangkan
jika buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia dan PDS HB Jassin itu
masuk ke perpustakaan sekolah-sekolah dan dibaca anak-anak kita. Mereka
akan mengingat Denny JA dan melupakan Sitor Situmorang, Wiji Thukul,
Umbu Landu Parangggi dan banyak sastrawan-sastrawan besar lainnya yang
lebih pantas disebut sastrawan berpengaruh daripada Denny JA. Bukankah sangat disayangkan jika
hanya karena nafsu, ambisi dan kerakusan para penyusunannya, anak-anak
kita akan jadi korban dan sastra terus mengalami kemunduran yang tak
terperikan karena penulis sejarah sastra Indonesia bisa dibeli dan sejarah dan tokoh sastra Indonesia bisa diganti seenak orang kentut di kesunyian kamar atas
nama kuasa uang.
Sampang - Pamekasan, 04 - 06 Januari 2013
Edy Firmansyah, wartawan sambil lalu. Fesbuker. blogger. penyair
3 komentar:
Panjang, padat, dan intinya marah alias gak setuju Denny JA masuk dalam 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia versi tim 8.
Saya juga gak setuju kok. Wong cuma sekali bikin buku puisi ecek-ecek kok dianggap hebat, oleh siapa ya cuma oleh tim 8 dan para fans Denny. Seperti kata Saut, buku 33 Tokoh... itu buku sampah kok. Jadi tenang aja ed. Salam :)
Sedih dan marah ...
makasih ya kalian udah komen. peluck cium selalu. :D
Posting Komentar