Oleh: Edy Firmansyah*)
Buku bisa jadi seteru, juga bisa jadi sekutu. Itulah mengapa banyak
orang tua mengatakan buku adalah pengalaman yang bisu. Ia memberi hikmah
juga peringatan akan upaya pecah belah hanya lewat jahitan kata-kata di
bundelan kertas.
Begitulah, lamat-lamat saya ingat sebuah
cerita. Entah dari buku yang saya baca waktu kecil atau dari cerita
bapak saya. Tentang 10 pendekar silat yang tak tertandingi. Mengelilingi
wilayah-wilayah demi tugas suci; menegakkan kebenaran, membumi
hanguskan kejahatan lewat kelebatan pedang. Sepuluh pendekar itu
kemudian tiba di sebuah desa yang nyaris rata dengan tanah. Sebagian
besar penduduknya meregang nyawa dilalap api. Satu dua orang berhasil
selamat. Tapi dengan luka sayatan dan luka bakar parah. Dari beberapa
orang itu sepuluh pendekar tau pelakunya: kaisar. Alasannya
pembumihangusan itu; desa itu adalah pembangkang. Menolak membayar upeti
dan menolak menyerahkan perawannya untuk jadi pemuas birahi.
Sepuluh
pendekar itu serasa menemukan musuh terbesarnya; kekuasaan. Tak ada
kata lain, kebenaran harus ditegakkan pedang harus dihunuskan pada
segala yang keji hati. Maka dideraplah kuda mereka menuju istana. Tapi
tentara kerajaan terlalu besar jumlahlah untuk ditumbangkan dengan
sepuluh orang pendekar. Sepuluh pendekar itu mundur, mengatur strategi
menaklukkan sang kaisar jahat itu. Milisi rakyat dibentuk. Latihan
perang diberikan. Menuju sebuah jalan; menaklukkan kaisar busuk,
membebaskan diri dari penindasan.
Tapi kaisar tak tinggal
diam. Dia menyusun siasat. Membuat sayembara. Siapa yang bisa membunuh
satu saja dari sepuluh pendekar itu akan dijadikan raja. Sayembara
dengan hadiah yang luar biasa. Maka bisa ditebak, pertempuran tak lagi
bergerak di selingkaran pusat kekuasaan, yang diburu sekarang adalah
sepuluh pendekar. Tapi tak ada yang sanggup mengalahkan persatuan. Tak
ada yang sanggup mematahkan sepuluh pendekar yang terikat tali
persaudaraan. Tapi kerakusan kekuasaan bisa menghancurkan persatuan.
Atas nama jalan menegakkan kebenaran, atas nama menggulingkan kaisar
sang sepuluh pendekar bertempur satu sama lain. Persaudaraan runtuh.
Perang melawan kebajikan berubah menjadi perang menumbangkan saudara
seiring sejalan.
Seorang pendekar berhasil menjadi pemenang.
Dengan kondisi luka parah seusai bertarung, ia menderap kudanya sembari
membawa sembilan kepala saudaranya. Kaisar menyambutnya dan sang kaisar
menyerahkan mahkotanya. Pendekar itu senang. Pesta dilakukan
besar-besaran. Tapi lukanya terlalu parah. Sebelum pesta dimulai dia
sudah rebah ke tanah. Mati.
Kaisar tertawa. Penasehatnya
tertawa. Ahli strategi perangnya tertawa. Diambilnya lagi mahkota yang
hanya beberapa jam dipakai sang pendekar pemenang tadi. Dan kekuasaan
makin menggila. Kekejaman tak habis-habis mewarnai daerah kekuasaannya.
Cerita
itu terkenang lagi dalam ingatan saya setelah saya membaca sebuah pesan
dari Fatin Hamama yang discreenshot Khrisna Pabhicara dan disebarkan di
grup fesbuk. Pesan itu bermula dari telepon perempuan yang pernah duet
dengan Sudjiwo Tejo di video puisi esai Denny JA pada penulis novel
"Sepatu Dahlan" itu. Isinya; permintaan menulis resensi buku 33 tokoh
sastra paling berpengaruh pada “dedengkot” aliansi menolak pembodohan
buku tersebut. Nama-nama yang disebut di pesan tersebut: Saut
Situmorang, Halim HD, Faruk HT, AS Laksana, Ariel Heryanto, sisanya
hanya kalimat ‘dan lain-lain.’ Konon, menurut penulis novel sepatu
dahlan itu, honor untuk menulis resensi tersebut dua setengah juta
rupiah untuk resensi sepanjang lima ribu sampai sepuluh ribu karakter.
Bukan nominal yang kecil tentu saja. Apalagi kalau dibayar pakai recehan
seribu dan tunai pula. Bahkan penyair Saut Situmorang berkali-kali
berusaha dihubungi Fatin Hamama namun tak dihiraukannya.
Bersamaan
dengan itu, beredar sebuah pengumuman mengenai lomba menulis resensi
buku dan kritik sastra yang diselenggarakan inspirasi.co, sebuah situs
perpustakaan online milik Denny JA. Tak tanggung-tanggung, hadiah total
dari lomba itu 50 juta rupiah.
Kita boleh curiga, digelarnya
lomba resensi buku dan lomba kritik sastra, ditengah-tengah pendapat,
tulisan, opini tentang penolakan atas buku 33 tokoh sastra paling
berpengaruh yang digarap oleh tim 8, dimana Denny JA juga masuk di
dalamnya, masih ramai menggelombang dan belum ada tanda-tanda surut,
adalah upaya memecah belah aliansi yang memang masih cair itu.
Penyebutan nama beberapa orang juga bisa disinyalir sebagai upaya adu
domba itu. Bahwa yang tersebut namanya dalam pesan adalah 'pentolan' dan
yang masuk dalam lain-lain cuma 'anak buah' sisanya ikut-ikutan. yang
tersebut dalam dan lain-lain, tidaklah lah istimewa apalagi yang cuma
ikut-ikutan. Padahal aliansi adalah kerja bersama, tak ada pemimpin,
yang ada adalah kehendak menepis segala yang bisa merusak.
Kedua,
digelarnya lomba resensi buku dan kritik sastra jelas merupakan upaya
lain pengalihan isu agar badai kritik atas buku 33 tokoh sastra paling
berpengaruh agar lekas mereda. Kita tahu, telah banyak kritik ditulis
pasca terbitnya buku dengan cover lukisan Hanafi berjudul “Dalam
Genangan” (dan dicomot tanpa ijin pula dari pelukisnya) 3 Januari lalu
(satu hari menjelang ulang tahun Denny JA) itu. Beberapa pendukung Denny
JA juga telah menjawab kritik tersebut. Namun nyatanya jawaban para
pembela buku atas kritik tak cukup ampuh meredakan gelombang protes.
Aliansi penolakan terus menyebar. Para penandatangan petisi dari hari ke
hari terus bertambah. Twitwar di jejaring sosial twitter masih ramai
membahas keburukan dan cacat dari buku terbitan Gramedia Pustaka Utama
itu.
Dengan dibuatnya lomba resensi buku dan kritik sastra,
ditengah masih ramainya buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu
dibicarakan dengan sinis, setidaknya bisa meredakan serangan
bertubi-tubi dari aliansi yang menolak buku tersebut. Atau minimal bisa
mengurangi jumlah massa cair dari aliansi yang kemudian tergiur uang
hadiah dari lomba tersebut. Beruntung jika ada ‘pentolan’ dari aliansi
penolakan buku dimana Denny JA dinobatkan sebagai ‘sastrawan’
berpengaruh itu meloncat dan memberikan pembelaan atas buku tersebut.
Hal itu tentu bisa memberikan energi baru bagi Denny JA. Sekaligus kabar
buruk di lingkaran aliansi; pertarungan antar teman sendiri. Tentu kita
berharap ini tidak terjadi. tapi celah kecil untuk itu sering tak bisa
dihindari. Kenang-kenanglah pasemonan Fahd Jibran di akhir artikelnya
yang berjudul “Skenario Menantang Denny JA” sebagai sebuah tanda seru;
“bagi para pengritik, tetaplah menjadi pengritik yang baik, jangan
tergelincir menjadi para pencibir. Tak ada musuh selamanya, tak ada
teman selamanya. Mungkin suatu saat kalian, kita, akan berteman. Bahkan
sangat akrab. Mungkin.”
Energi baru lainnya dengan dibuat
lomba resensi buku dan kritik sastra adalah memberikan wadah nyata bagi
pernyataan Jamal D Rahman dalam sebuah wawancara dengan Koranopini.com
yang menyatakan; ”Tentu saja buku itu (33 tokoh sastra berpengaruh)
harus disikapi secara kritis, sekritis mungkin, dibarengi dengan sikap
terbuka, tidak apriori, apalagi berprasangka. Yang kita butuhkan adalah
polemik atau diskusi yang konstruktif dan dewasa dalam sastra kita.”
Barangkali hal tersebut dilakukan karena mendapat tantangan terbuka dari
Saut Situmorang dan mereka, kubu Denny JA itu membuat arenanya sendiri;
memuat segala bentuk polemik dalam buku, mendongkrak popularitas dan
pengaruhnya yang sedari awal sudah retak, sekaligus mengambil jalan
pecah belah sebagai pintu.
Dengan lain kata, kubu Denny JA sepertinya tak mau terus-menerus benjut dihantam aliansi
bertubi-tubi yang sepertinya tak habis-habis amunisinya. Diadakannya
lomba tersebut tentu mereka tidak ingin ditikam pisau bantahannya
sendiri. Serupa menjilat ludah sendiri. Ah, ternyata perang belum
selesai. Belum apa-apa. Dan cerita tentang sepuluh pendekar yang saya
ingat semaca kecil dulu makin terang dalam ingatan.
*) Jurnalis partikelir, tukang puisi, petani melon, tukang foto keliling
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Kamis, 30 Januari 2014
Tentang Lomba kritik sastra, resensi buku dan Cerita 10 Pendekar yang Perkasa
Label:
Artikel,
Esai Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar