WAKTU

JEDA

Kamis, 30 Januari 2014

Tentang Lomba kritik sastra, resensi buku dan Cerita 10 Pendekar yang Perkasa

Oleh: Edy Firmansyah*)

Buku bisa jadi seteru, juga bisa jadi sekutu. Itulah mengapa banyak orang tua mengatakan buku adalah pengalaman yang bisu. Ia memberi hikmah juga peringatan akan upaya pecah belah hanya lewat jahitan kata-kata di bundelan kertas.

Begitulah, lamat-lamat saya ingat sebuah cerita. Entah dari buku yang saya baca waktu kecil atau dari cerita bapak saya. Tentang 10 pendekar silat yang tak tertandingi. Mengelilingi wilayah-wilayah demi tugas suci; menegakkan kebenaran, membumi hanguskan kejahatan lewat kelebatan pedang. Sepuluh pendekar itu kemudian tiba di sebuah desa yang nyaris rata dengan tanah. Sebagian besar penduduknya meregang nyawa dilalap api. Satu dua orang berhasil selamat. Tapi dengan luka sayatan dan luka bakar parah. Dari beberapa orang itu sepuluh pendekar tau pelakunya: kaisar. Alasannya pembumihangusan itu; desa itu adalah pembangkang. Menolak membayar upeti dan menolak menyerahkan perawannya untuk jadi pemuas birahi.

Sepuluh pendekar itu serasa menemukan musuh terbesarnya; kekuasaan. Tak ada kata lain, kebenaran harus ditegakkan pedang harus dihunuskan pada segala yang keji hati. Maka dideraplah kuda mereka menuju istana. Tapi tentara kerajaan terlalu besar jumlahlah untuk ditumbangkan dengan sepuluh orang pendekar. Sepuluh pendekar itu mundur, mengatur strategi menaklukkan sang kaisar jahat itu. Milisi rakyat dibentuk. Latihan perang diberikan. Menuju sebuah jalan; menaklukkan kaisar busuk, membebaskan diri dari penindasan.

Tapi kaisar tak tinggal diam. Dia menyusun siasat. Membuat sayembara. Siapa yang bisa membunuh satu saja dari sepuluh pendekar itu akan dijadikan raja. Sayembara dengan hadiah yang luar biasa. Maka bisa ditebak, pertempuran tak lagi bergerak di selingkaran pusat kekuasaan, yang diburu sekarang adalah sepuluh pendekar. Tapi tak ada yang sanggup mengalahkan persatuan. Tak ada yang sanggup mematahkan sepuluh pendekar yang terikat tali persaudaraan. Tapi kerakusan kekuasaan bisa menghancurkan persatuan. Atas nama jalan menegakkan kebenaran, atas nama menggulingkan kaisar sang sepuluh pendekar bertempur satu sama lain. Persaudaraan runtuh. Perang melawan kebajikan berubah menjadi perang menumbangkan saudara seiring sejalan.

Seorang pendekar berhasil menjadi pemenang. Dengan kondisi luka parah seusai bertarung, ia menderap kudanya sembari membawa sembilan kepala saudaranya. Kaisar menyambutnya dan sang kaisar menyerahkan mahkotanya. Pendekar itu senang. Pesta dilakukan besar-besaran. Tapi lukanya terlalu parah. Sebelum pesta dimulai dia sudah rebah ke tanah. Mati.

Kaisar tertawa. Penasehatnya tertawa. Ahli strategi perangnya tertawa. Diambilnya lagi mahkota yang hanya beberapa jam dipakai sang pendekar pemenang tadi. Dan kekuasaan makin menggila. Kekejaman tak habis-habis mewarnai daerah kekuasaannya.

Cerita itu terkenang lagi dalam ingatan saya setelah saya membaca sebuah pesan dari Fatin Hamama yang discreenshot Khrisna Pabhicara dan disebarkan di grup fesbuk. Pesan itu bermula dari telepon perempuan yang pernah duet dengan Sudjiwo Tejo di video puisi esai Denny JA pada penulis novel "Sepatu Dahlan" itu. Isinya; permintaan menulis resensi buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh pada “dedengkot” aliansi menolak pembodohan buku tersebut. Nama-nama yang disebut di pesan tersebut: Saut Situmorang, Halim HD, Faruk HT, AS Laksana, Ariel Heryanto, sisanya hanya kalimat ‘dan lain-lain.’ Konon, menurut penulis novel sepatu dahlan itu, honor untuk menulis resensi tersebut dua setengah juta rupiah untuk resensi sepanjang lima ribu sampai sepuluh ribu karakter. Bukan nominal yang kecil tentu saja. Apalagi kalau dibayar pakai recehan seribu dan tunai pula. Bahkan penyair Saut Situmorang berkali-kali berusaha dihubungi Fatin Hamama namun tak dihiraukannya.

Bersamaan dengan itu, beredar sebuah pengumuman mengenai lomba menulis resensi buku dan kritik sastra yang diselenggarakan inspirasi.co, sebuah situs perpustakaan online milik Denny JA. Tak tanggung-tanggung, hadiah total dari lomba itu 50 juta rupiah.

Kita boleh curiga, digelarnya lomba resensi buku dan lomba kritik sastra, ditengah-tengah pendapat, tulisan, opini tentang penolakan atas buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh yang digarap oleh tim 8, dimana Denny JA juga masuk di dalamnya, masih ramai menggelombang dan belum ada tanda-tanda surut, adalah upaya memecah belah aliansi yang memang masih cair itu. Penyebutan nama beberapa orang juga bisa disinyalir sebagai upaya adu domba itu. Bahwa yang tersebut namanya dalam pesan adalah 'pentolan' dan yang masuk dalam lain-lain cuma 'anak buah' sisanya ikut-ikutan. yang tersebut dalam dan lain-lain, tidaklah lah istimewa apalagi yang cuma ikut-ikutan. Padahal aliansi adalah kerja bersama, tak ada pemimpin, yang ada adalah kehendak menepis segala yang bisa merusak.

Kedua, digelarnya lomba resensi buku dan kritik sastra jelas merupakan upaya lain pengalihan isu agar badai kritik atas buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh agar lekas mereda. Kita tahu, telah banyak kritik ditulis pasca terbitnya buku dengan cover lukisan Hanafi berjudul “Dalam Genangan” (dan dicomot tanpa ijin pula dari pelukisnya) 3 Januari lalu (satu hari menjelang ulang tahun Denny JA) itu. Beberapa pendukung Denny JA juga telah menjawab kritik tersebut. Namun nyatanya jawaban para pembela buku atas kritik tak cukup ampuh meredakan gelombang protes. Aliansi penolakan terus menyebar. Para penandatangan petisi dari hari ke hari terus bertambah. Twitwar di jejaring sosial twitter masih ramai membahas keburukan dan cacat dari buku terbitan Gramedia Pustaka Utama itu.

Dengan dibuatnya lomba resensi buku dan kritik sastra, ditengah masih ramainya buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu dibicarakan dengan sinis, setidaknya bisa meredakan serangan bertubi-tubi dari aliansi yang menolak buku tersebut. Atau minimal bisa mengurangi jumlah massa cair dari aliansi yang kemudian tergiur uang hadiah dari lomba tersebut. Beruntung jika ada ‘pentolan’ dari aliansi penolakan buku dimana Denny JA dinobatkan sebagai ‘sastrawan’ berpengaruh itu meloncat dan memberikan pembelaan atas buku tersebut. Hal itu tentu bisa memberikan energi baru bagi Denny JA. Sekaligus kabar buruk di lingkaran aliansi; pertarungan antar teman sendiri. Tentu kita berharap ini tidak terjadi. tapi celah kecil untuk itu sering tak bisa dihindari. Kenang-kenanglah pasemonan Fahd Jibran di akhir artikelnya yang berjudul “Skenario Menantang Denny JA” sebagai sebuah tanda seru; “bagi para pengritik, tetaplah menjadi pengritik yang baik, jangan tergelincir menjadi para pencibir. Tak ada musuh selamanya, tak ada teman selamanya. Mungkin suatu saat kalian, kita, akan berteman. Bahkan sangat akrab. Mungkin.”

     Energi baru lainnya dengan dibuat lomba resensi buku dan kritik sastra adalah memberikan wadah nyata bagi pernyataan Jamal D Rahman dalam sebuah wawancara dengan Koranopini.com yang menyatakan; ”Tentu saja buku itu (33 tokoh sastra berpengaruh) harus disikapi secara kritis, sekritis mungkin, dibarengi dengan sikap terbuka, tidak apriori, apalagi berprasangka. Yang kita butuhkan adalah polemik atau diskusi yang konstruktif dan dewasa dalam sastra kita.” Barangkali hal tersebut dilakukan karena mendapat tantangan terbuka dari Saut Situmorang dan mereka, kubu Denny JA itu membuat arenanya sendiri; memuat segala bentuk polemik dalam buku, mendongkrak popularitas dan pengaruhnya yang sedari awal sudah retak, sekaligus mengambil jalan pecah belah sebagai pintu.

    Dengan lain kata, kubu Denny JA sepertinya tak mau terus-menerus benjut dihantam aliansi bertubi-tubi yang sepertinya tak habis-habis amunisinya. Diadakannya lomba tersebut tentu mereka tidak ingin ditikam pisau bantahannya sendiri. Serupa menjilat ludah sendiri. Ah, ternyata perang belum selesai. Belum apa-apa. Dan cerita tentang sepuluh pendekar yang saya ingat semaca kecil dulu makin terang dalam ingatan.

*) Jurnalis partikelir, tukang puisi, petani melon, tukang foto keliling

Tidak ada komentar: