Menunggu "Pasukan" Taufiq Ismail Datang
Oleh: Edy Firmansyah*)
"Hendaknya
jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari
mereka agar berak di tempat lain yang pantas …atau saya akan
mendatangkan pasukan untuk mengusirnya" (Taufiq Ismail).
Itulah kalimat terakhir dari satu paragraf SMS Taufiq Ismail yang
dikirim berantai, untuk melarang bedah buku Asep Sambodja di gedung PDS
HB Jassin karena membahas tentang sepak terjang Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra), 2011 silam.
Bagi banyak masyarakat
sastra Indonesia, SMS Taufiq Ismail barangkali sudah jadi gunjingan
sekaligus lelucon. Norak. Bulus. sekaligus keji. Sama bulusnya seperti
airmata alumnus dokter hewan UI itu saat membaca puisi dan atau bicara
soal bahaya laten PKI (?).
Tapi bagi
masyarakat di luar sastra, yang menganggap sastra adalah dunia adiluhung
dan penuh kehalusan sikap dan budi pekerjanya, kata ‘berak’ barangkali
merupakan kata yang tak pantas diungkapkan seorang sastrawan “agung’
sekaliber Taufiq (pake Q bukan K) Ismail. Tapi apa boleh buat, kalimat
itu memang terlontar dari peraih cultural Visit Award dari pemerintah Australia tahun 1977 itu. Berak!
Dari
kalimat terakhir itu tersirat, betapa agungnya PDS HB. Jassin dimata
mantan guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pecis, Bogor itu. Tak boleh
ada satupun kekuatan atau kelompok yang boleh menista keagungan gedung
itu. Karena gedung itu, barangkali, di mata salah satu penandatangan
manifes kebudayaan (manikebu) itu adalah simbol keagungan sastra.
”Sastra jangan diinjak-injak. Menginjak-injak sastra berarti akan
berhadapan dengan saya.” Mungkin begitu saya tangkap dari kalimat akhir
SMS itu yang tersebar luas tiga tahun silam itu.
Kalau melihat sepak terjangnya, terutama ketika menghantam maraknya
sastra kelamin yang dinamai oleh Penerima beasiswa AFS International
Scholarship itu sebagai gerakan syahwat merdeka (GSM) pada awal tahun
2000, ultimatum yang saya sebut diatas ada benarnya. Pidato
kebudayaannya yang dia baca di IPB pada 9 Januari 2007 silam juga
mengisyaratkan itu. Sayatan pedang kata-katanya ketika berpolemik dengan
Hudan Hidayat soal sastra perkelaminan membekas di dinding google.
Sama membekasnya ketika palu godam dialamatkan pada sastrawan bergelar
Datuk Panji Alam Khalifatullah itu karena puisinya berjudul “Kerendahan
Hati” dituduh memplagiat puisi berjudul 'Be the Best of Whatever You Are' karya penyair Amerika Serikat kelahiran tahun 1877, Douglas Malloch.
Bermula dari kekesalan Bramantyo Prijosusilo karena SMS Taufiq Ismail
dengan kata ‘berak’ itu menyebar luas, akhirnya Bram memposting
kemiripan puisi “Kerendahan Hati’ dengan puisi Douglas Malloch. Cemoohan
di jejaring sosial membuncah. Polemik pecah. Meski penulis buku puisi
“Tirani dan Benteng” itu mengelak bahwa puisi itu miliknya, nyatanya di
buku pelajaran sekolah menengah puisi "kerendahan hati" ditulis atas
namanya. Hanya saja nama Taufiq menggunakan huruf K, bukan Q.
Meskipun baik Bramantyo Prijosusilo maupun Taufiq Ismail sudah sama
mengulurkan tangan dan saling berbagi maaf terkait polemik tersebut pada
acara silahturahmi sastra yang digelar di Fadli Zon Library Jakarta,
Kamis (14/4) silam, jejaknya tetap bertahan. Apapun bantahan mantan
ketua senat FKHP UI tahun 1960-1961, termasuk bantahan keponakannya,
Fadli Zon, soal huruf Q dan huruf K pada nama Taufiq Ismail, polemik itu
tak bisa serta merta menghapus stempel yang terlanjur ditabalkan
padanya; diduga kuat terlibat plagiator.
Betapa tidak,
sejumlah sinyamen secara tidak langsung membentuk premis kehadiran puisi
"kerendahan hati" karya Taufiq Ismail dalam kurun waktu 1998 sampai
2008. Bayangkan pada 2009, puisi itu masih sempat dibacakan pada
programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010 di TransTV dan Taufiq Ismail tak protes puisi itu menggunakan namanya sebagai pengarangnya. Bahkan beberapa puisi Kerendahan Hati karya Taufiq Ismail sudah terposting di beberapa blog sejak 2006. Dan tak ada yang menggugatnya, termasuk Taufiq Ismail.
Jum’at lalu, 3 Januari 2014, masyarakat sastra kembali terbeliak. Marah.
Protes. Pada hari itu sebuah buku berjudul “33 Tokoh Sastra Paling
Berpengaruh” diluncurkan di PDS HB. Jassin.
Kemarahan
itu karena Denny JA, bos Lembaga Survei Indonesia (LSI), tiba-tiba
masuk dalam daftar 33 tokoh Sastra Paling berpengaruh di Indonesia selama
114 tahun. Kemarahan itu juga dialamatkan pada tim 8 yang diketuai Jamal D
Rahman, seorang penyair asal Madura dan salah satu redaktur majalah
Horison, yang membuat nama bos tukang survei bernama Lembaga Survei
Indonesia (LSI) masuk. Parahnya lagi, peluncuran buku tersebut
bertepatan dengan perayaan ulang tahun pemilik akun twitter
@dennyJA_World itu. Bau uang menyebar dari acara peluncuran buku
tersebut. Jagat sastra merasa dikencingi seorang makelar politik. Tapi
apa boleh buat. Sastra adalah politik, tapi tindakan politik belum tentu
sastra. Beberapa gelintir sastrawan yang berhimpun dalam tim 8 telah menjual
jasanya untuk melegitimasi “dukun politik” bernama lengkap Denny Januar
Ali itu untuk mendapatkan ‘stempel sah’ sastrawan lewat buku
“puisi-esai’nya berjudul “Atas Nama Cinta.” Saking jengkelnya, seorang
pegiat sastra bernama Dwi Cipta sampai membikin status sarkasme;
“Siapapun yang punya uang banyak, bisa beli orang-orang di tim 8 untuk
menjadikan kalian sebagai sastrawan top. Dijamin 100% munafiknya.”
Hiruk
pikuk soal buku tersebut kembali mengingatkan saya pada Taufiq Ismail.
Peluncuran buku tersebut di PDS HB.Jassin jelas merupakan bentuk ‘berak’
yang mengotori PDS HB. Jassin. Persis seperti SMSnya ketika melarang
diskusi buku ASep Sambodja. Bedanya, yang dituduh ex. Lekra lewat
diskusi buku Asep Sambodja itu memang tak ‘berak’ digedung PDS. HB.
Jassin, tapi ‘berak’ di bawah tangga gedung PDS. HB. Jassin karena
diusir paksa. Sementara diluncurkannya buku 33 tokoh sastra paling
berpengaruh itu telah nyata dan terbukti ‘berak’ di gedung yang bagi
seorang Taufiq Ismail itu begitu agung.
Nama
Taufiq Ismail memang ada di dalam buku "33 tokoh sastra paling
berpengaruh" itu. Ada di urutan 17. Diapit nama Ajip Rosidi diatasnya
dan nama WS. Rendra di bawahnya. Nampak mentereng dan gemerlap. Tapi
kalau Taufiq Ismail Konsisten bahwa ultimatumnya tentang berak di PDS HB
Jassin akan berhadapan dengan dia dan 'pasukannya' harus juga
dibuktikan. Bukankah dulu, ancaman bahwa jika diskusi buku Asep Sambodja Menulis: Tentang Sastra Indonesia danPengarang-Pengarang Lekra (ULTIMUS 2011) tetap didiskusikan di ruang PDS. HB.Jassin, Taufiq Ismail akan mengirimkan ‘pasukan’ untuk mengusirnya?
Tentu
masyarakat sastra menunggu ‘pasukan’ Taufiq Ismail datang. Lalu
menggempur dan meluluhlantakkan semua yang terlibat dalam pembuatan dan
peluncuran buku ”33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” itu. Sebab PDS HB.
Jassin sudah diberaki ramai-ramai oleh segelintir sastrawan yang bisa
melakukan apa saja atas nama uang untuk menjadikan siapapun yang mau
membayar mereka mahal sebagai sastrawan berpengaruh.
Kecuali
kata ‘berak’ Taufiq hanya untuk ditujukan kepada segala hal yang berbau
Lekra dan Komunis (juga sastra kelamin) saja. Sementara 'berak' yang
lain, semisal buku "33 Tokoh Sastra paling berpengaruh" itu, yang tidak ada
hubungannya dengan lekra, komunis dan sastra kelamin, bukanlah 'berak.'
Tapi sekarung bunga melati harum yang baru dipetik di mana dia ada di
dalamnya. Meski sebagian lain melihatnya sebagai mencret! Walluhua’lam.(*)
Madura, 07 Januari 2014
*) Edy Firmansyah, petani melon. mantan loper koran. jurnalis sambil lalu. blogger. fesbuker. penyair.
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Selasa, 07 Januari 2014
Menunggu "Pasukan" Taufiq Ismail Datang
Label:
Esai Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar