buat: Nurfa Rosanti
mestinya
kau tak perlu tahu
hal ini
karena aku mencintaimu
tiapkali aku menghirup udara pagi
dan angin gigil mengerutkan pori-pori
aku seakan menghirup aroma tubuhmu
yang bercampur wangi softener soklin
semesta pagi adalah tubuhmu
nafasku bertukar nafasmu
tubuhku menyentuh tubuhmu
menyalakan hari
mempersiang segala yang redup
di hidupku
namun jika kau menjauhkan cintamu dari cintaku
maka cintaku akan belajar memunggungimu
kemudian melenyap di tikungan jalan
jika kau menyakiti cintaku
ia akan memaafkan
tapi tak satu incipun melupakan
setiap kepedihan
jadi jangan pernah mencarinya lagi
ia akan menghilang bersama airmata
yang mengering di tangan
mungkin ini menyedihkan
tapi tak akan ada yang lebih menyedihkan
jika sepasang lengan tanganku
mencabut semua akar-akarnya dari pinggangmu
kemudian cintaku tumbuh di hati lain
di nama dan jiwa lain
selain dirimu
karena kau berhenti mencintaiku
dan aku pelan-pelan melupakan cintamu
cinta barangkali ibarat biji tumbuhan
ia akan hidup di tanah manapun
yang rela memberinya kehidupan
tapi jika setiap saat cintamu menyala untuk cintaku
percayalah
cintaku adalah api tanah yang tak mati
cintaku adalah benih yang tak henti bersemi
di keningmu
di bibirmu
di pinggangmu
di semua detail tubuhmu
yang pernah menyentuh tubuhku
cintaku tak akan berhenti memeluk cintamu
bahkan di sepanjang jalan
kematianmu
mestinya
kau tak perlu tahu
hal ini
tapi di hari ulang tahunmu ini
kau berhak tahu
untuk jadi rahasia
kita berdua
Madura, 26 Agustus-01 September 2015
WAKTU
JEJAK
- Artikel (93)
- Cerpen (20)
- Esai Budaya (31)
- Jendela Rumah (24)
- Kesehatan Masyarakat (5)
- Pendidikan (10)
- PUISI (71)
- Resensi Buku (25)
JEDA
Senin, 28 September 2015
RAHASIA
Senin, 14 September 2015
PESTA KECIL
antara hari lalu dan hari depan
bergelombang pesta kecil hari ini
cinta mengibas-kibaskan ekornya
di bibir angin september
saat fajar terbuka
hari ini lebih bermakna dari hari lain
meski usia berguguran
dalam hening
segalanya terlihat begitu dekat
cinta di tubuhmu
berbunga di tubuhku
dan nafas anak-anak yang tersengal-sengal
dalam mimpi malam mereka yang lugu
menjelma kebun putih di rambutku
namun yang dekat
tak selamanya bisa disentuh tapak tanganku
sebab waktu berdenyut
tidak selalu untukku
setiap waktu berdenyut
hariku menipis
dan akan tiba masanya
manakala hari pesta kecil
ulang tahunku
datang lagi
rumah ini, kamar ini,
rak buku ini, tumpukan buku ini
lampu tidur ini
akan terasa dingin
dingin dan asing
ketika setiap denyut waktu
kita hanya bisa saling bersentuhan
dalam pesta kecil ingatan
dengan sepasang mata bola
berlinang
14 September 2015
Senin, 07 September 2015
MASIH ADAKAH SASTRA INDONESIA?
Rabu, 05 Agustus 2015
Tentang Kretek: Dari Sehat Tentrem Sampai ke Divine
Kamis, 30 Juli 2015
Mati Karena Berita
Seandainya ia sedikit bersabar dengan segala tekanan batin yang
menggempur pikirannya hingga ambruk, ia tak harus ditulis dengan kisah
yang muram. Seandainya ia mau bersabar menunggu buku Noam Chomsky
terbit, ia mungkin akan tersenyum dan menikmati hari-hari penuh bunga
bersama istri dan tiga anaknya dengan bintang jurnalistik berkilau di
dadanya. Tapi siapa yang dapat menghapus ingatan? Tak banyak orang yang
sanggup bertahan dari stigma buruk yang terus diberondongkan padanya
seperti senapan mesin dalam setiap detik kehidupannya. Dan Gary Webb
merupakan salah satu dari banyak orang yang bertekuk lutut dihantam masa
silam. Mati karena berita.
Tahun 2004, Gary Webb, seorang
wartawan media lokal bernama The San Jose Mercury News, ditemukan
terkapar bersimbah darah di lantai apartemennya dengan dua luka tembak
di kepala. Ia mati karena depresi berat, kemudian bunuh diri.
Semua bermula dari sebuah hubungan telepon dengan seorang perempuan
bernama Coral Baca, seorang narasumbernya. Setelah telepon itu, Gary
Webb menemui Coral di sebuah café. Coral membagikan sebuah dokumen
rahasia milik CIA. Dokumen tersebut berisi catatan tentang perdagangan
kokain di Amerika. Tentu bukan perdagangan narkotika biasa. Dokemen
tersebut mencatat keterlibatan pejabat-pejabat penting di Amerika
(khususnya pejabat CIA, kejaksaan, kepolisian dan militer) dalam
perdagangan kokain. Sangat kontradiktif dengan kampanye pemerintah
Amerika yang berniat memerangi narkotika. Tak hanya itu saja. Dalam
dokumen tersebut dijelaskan bahwa uang-uang hasil skandal busuk
pemerintah Amerika dengan mafia narkoba Amerika Tengah justru digunakan
untuk membiayai peralatan perang paramiliter Contra bentukan CIA untuk
memerangi Sandinista, gerilyawan berhaluan komunis yang menentang
pemerintang Samoza di Nikaragua. Pemerintahan boneka bentukan AS.
Maklum, meski tembok berlin telah runtuh sebagai penanda akhir perang
dingin, komunismephobia Amerika ternyata tak sembuh-sembuh. Segala
bentuk negara yang berbau komunis harus jatuh.
Webb yang
beberapa waktu sebelum mendapat dokumen rahasia tersebut memang sedang
tekun meliput tentang peredaran narkoba di wilayahnya seakan mendapat
durian runtuh. Terlebih dalam dokumen tersebut dinyatakan pemerintah
Amerika justru terlibat dalam peredaran narkotika. Inilah liputan
investigasi pertama sekaligus terakhir yang dilakukan Webb. Webb melacak
semua nama yang disebut dalam dokumen tersebut. Bahkan ia rela terbang
ke penjara Tipitapa, Nikaragua, dengan biaya sendiri untuk menemui
Manasess, seorang mafia narkoba besar yang menjadi agen CIA dalam
memasok persenjataan dan kebutuhan pokok pada paramiliter Contra.
Dari Manasess, Webb mendapatkan nama Freid Weil, seorang agen CIA yang
menjadi penghubung gelapnya. Webb menemui Weil di Washington DC, dan
kebenaran dari dokumen tersebut makin terang mengenai keterlibatan
negara dalam peredaran narkotika. Meski demikian, Weil memperingatkan
Webb mengenai ancaman besar jika investigasi dia diterbitkan. nyawanya
bakal terancam. Webb mulai ragu.
Keragu-raguan Webb runtuh
ketika CIA memanggilnya secara khusus setelah mengetahui kerja
investigasinya. Webb diancam. Bukannya surut, Webb balik mengancam.
Investigasinya bakal tayang.
Dan benar, begitu berita Webb
tentang keterlibatan pemerintah dalam perdagangan narkoba dan pembiayaan
peralatan tempur dalam perang ilegal, khalayak Amerika gempar.
Media-media besar seperti Washington Post, New York Times, L.A Times
seakan tertampar. Berita besar tentang skandal negara AS itu justru
terbit di media lokal jauh dari hiruk pikuk pusat Amerika.
Terbitnya investigasi Gary Webb membuat ia laksana bintang jatuh. Dia
tiba-tiba menyala sebentar, tetapi kemudian lenyap ditelan langit malam.
Pujian demi pujian melayang padanya. Tapi itu tak lama. Hari-hari kelam
kemudian menantinya.Pemerintah AS, di tengah masa-masa kampanye
pemilihan presiden tahun 1998 kalap.
Sebuah konspirasi jahat
dijalankan untuk membungkam Webb. Media besar pesaing koran tempat Webb
bekerja mulai membuat berita tandingan. Termasuk mulai membuat opini
mengenai betapa meragukan validitas berita Webb. Tak hanya itu saja.
Berita gosip mengenai skandal perselingkuhan Webb di masa silam dengan
seorang reporter bernama Barbara juga diungkap. Rumah Webb terus diawasi
orang tak dikenal. Teror demi teror terhadap Webb dan keluarganya terus
terjadi.
Belakangan, semua narasumber Webb yang pernah ia
wawancarai tiba-tiba mengaku tak pernah bertemu dan diwawancarai Webb.
Imbasnya The San Jose Mercury News mendapatkan teguran dan dituntut
minta maaf atas berita 'palsu' hasil liputan Webb. Webb menolak menulis
permintaan maaf.
Atas kerja jurnalistiknya itu Webb mendapat
anugerah jurnalistik terbaik. Sejak itu ia mengundurkan diri dari
tempatnya bekerja, kemudian benar-benar gantung pena. Sampai kemudian
setelah tujuh tahun mengundurkan diri dari tempatnya menjadi kuli tinta
ia ditemukan terkapar bersimbah darah di lantai apartemennya dengan dua
luka tembak di kepala. Bunuh diri. Beberapa pendapat lain meragukan Webb bunuh diri dengan dua luka tembak. Webb dibunuh. Namun sebuah penelitian yang dilansir wikipedia menyebutkan dalam 138 kasus bunuh diri 5 diantaranya (3,8%) bunuh diri dengan dua tembakan di kepala. bahkan pernah dilaporkan sebuah bunuh diri dengan empat tembakan di kepala.
Film yang diadaptasi dari
kisah nyata kerja jurnalistik Gary Webb itu mengingatkan kita bahwa
memang tak mudah mengungkapkan kebenaran. Apalagi jika skandal kejahatan
melibatkan negara. Di negeri ini kita punya kisah muram yang tak jauh
beda dengan Gary Webb. Kita punya Munir yang diracun dalam
penerbangannya menuju Belanda dan hingga kini bahkan aktor intelektual
yang paling bertanggungjawab atas kematiannya tak pernah merasakan
dinginnya jeruji penjara. Kita punya kisah pedih Marsinah yang mati
disiksa dengan kemaluan rusak berat karena disodok laras senjata hanya
karena menuntut Haknya sebagai buruh. Kita juga punya Udin, wartawan
Bernas yang ditembak orang tak dikenal karena liputannya tentang korupsi
Bupati Bantul dan hingga detik ini pelakunya tak juga tertangkap. Kita
punya Widji Thukul yang dihilangkan negara karena puisinya menggedor
tembok kekuasaan yang retak. Kematian orang-orang yang saya sebutkan
itu, hanyalah contoh kecil dari banyak kematian di negeri ini yang suka
tidak suka juga melibatkan tangan-tangan keji kekuasaan. Negara
terlibat.
Berdurasi 111 menit, film yang dibintangi Jeremy Renner
benar-benar menjadi film yang layak ditonton. Meski bergerak dengan
datar tapi ketegangan demi ketegangan yang dibangun dalam film yang
diadaptasi dari buku karangan Nick Svhou berjudul sama dengan film
tersebut dan buku berjudul Dark Alliance karya Gary Webb sangat terasa
bahkan jika dibandingkan dengan film True Story yang punya tema sama;
tentang wartawan. Kita bisa menyaksikan betapa melelahkan dan penuh
bahaya mengungkap kebenaran melalui kerja investigasi.
Sudahlah,
saya terlalu banyak basa-basi. Ini film bagus. Pilihan hidup memang
memiliki resikonya masing-masing. Mau jadi penulis atau mau jadi petani,
jika sudah berhadapan dengan pemerintah korup dan keji resikonya sama
saja; disiksa dengan keji sampai mati atau ditembak di rumah sendiri.
Film ini tayang perdana pada 10 Oktober 2014 silam. Tentu sudah banyak
yang nonton. Saya saja yang terlambat menontonnya. Anda sudah?
Selasa, 12 Mei 2015
Mereka yang Menghabiskan 80 Juta Rupiah dalam Setengah Jam
Sebenarnya soal gerebek pelacuran satuan polisi pamong praja dan kepolisian memang paling jago. Cuma levelnya masih kelas coro. Pinggiran. Pelacuran kelas teri. Yang bahkan bagi seorang pelacur kelas pinggir jalan itu, untuk dapat 10 juta saja, mungkin harus rela kerja selama tiga bulan nonstop tanpa prei. Sementara yang ini, kelas elit. Padahal, ya, nikmatnya vagina masih begitu begitu juga. Cuma mungkin beda sensasi aja. Duh...pusing pala babi.
Bagaimana nggak pusing, uang sebanyak 80 juta hanya dibuat untuk memuntahkan sperma usai bergesekan dengan vagina yang barangkali hanya perlu waktu paling lama setengah jam. Waktu sependek itu membuat uang 80 juta sudah harus rela berpindah tangan. Orang macam apa yang begitu gampang melepas duit yang kalau dibelikan cendol itu bisa memenuhi dua kolam renang? Toh vagina perempuan di mana-mana sama saja. Masih vertikal. Tidak horisontal. Masih terus ditumbuhi bulu bukan ditumbuhi gedung-gedung pencakar langit. Masih licin kalau terangsang tidak keras seperti moncong senapan atau kenalpot telo. Jadi, laki-laki macam apakah gerangan yang mau menghabiskan uang untuk hal yang tak masuk akal bagi orang kebanyakan itu?
Pertama, jelas orang kaya yang penghasilannya sebulan bisa satu miliar sehingga angka 80 juta rupiah seperti sekedar uang dua puluh ribu di saat saya gajian. Begitu enteng dikeluarkan dan diberikan pada ponakan atau sepupu yang pulang kampung. Atau lebih tegasnya orang kaya yang sombong, sehingga uang 80 juta rupiah hanya dihabiskan hanya untuk short time main dengan pelacur. Kalaupun bukan orang kaya yang sombong, tentu kelas menengah yang stress berat, sehingga uang 80 juta yang bertahun-tahun ia tabung dengan laku hidup hemat akhirnya dihabiskan cuma buat ngasah keris tumpul di gua garba habis kehujanan. Tapi senekat-nekatnya kelas menengah, jelas susah ditemukan kebenarannya untuk menghabiskan tabungan 80 juta hanya untuk sekali crot.
Kedua, jelas orang kaya yang buruk rupa, yang di masa mudanya tak pernah bisa berkencan dengan perempuan yang cantik jelita dengan cara yang normal. Normal dalam artian, pacaran, tunangan, sampai akhirnya menikah. Sehingga untuk memuaskan obsesinya mengencani cewek-cewek jelita ciptaan bapak dan ibunya itu harus rela menghamburkan uang sedemikian banyaknya. Sebab orang-orang tampan macam saya tak perlu harus merogoh kocek sampai segila itu untuk hanya sekedar mengencani cewek cantik. Cukup tebar pesona dan pasang senyum, para perempuan yang tertarik pasti akan segera meminta tukeran nomor telepon.
Ketiga jelas orang kaya yang sadar betul bahwa adagium hidup kaya raya dan mati masuk surga bukanlah takdir dirinya. Mereka sadar takdirnya hidup kaya raya dan matinya disiksa dalam neraka. Karena duit sebanyak yang dia punya tak didapat dengan cara halal, melainkan dengan cara haram; menindas orang, merampas hak orang lain,menipu buruhnya sendiri, hingga korupsi. Akhirnya, daripada sama sekali tidak bisa menikmati peluk cium dan desah berahi para bidadari di surga maka ia memutuskan untuk menikmati bidadari-bidadari dunia. Terserah berapapun harga yang harus dibayarnya. Pokoknya ia harus menikmati sebanyak-banyaknya bidadari dunia yang mampu memuaskan syahwat liarnya sebelum ajal menjemputnya.
Buat mereka yang mengejar surga dan masih punya harapan untuk mendapat surga setelah kiamat, buat apa menghabiskan uang sebanyak itu untuk mengumbar syahwat. Mending diamalkan ke masjid atau mushalla. Atau buat menyantuni anak yatim dan orang miskin. Sebab balasannya jelas, surga. Dan orang-orang macam begitu boleh membayangkan bahwa memek bidadari di surga tentu lebih nikmat dari memek bidadari di dunia. Dan halal. Kecuali tidak digerebek FPI atau perlu stempel halal MUI.
Sabtu, 11 April 2015
Rumah Kaca Orwell
Surat Terbuka Buat Shania Twain
Apa kabar Kak Shania Twain? Apakah kakak baik-baik saja di Canada sana? Saya di Madura baik-baik saja kak. Saya membeli kaset kakak pertama dan terakhir kali di album "Come On Over", sekitar akhir tahun 1998. Tentu saja cukup terlambat sejak album itu diluncurkan tahun 1997. Tapi lebih baik terlambat khan daripada tidak beli.
Ketika membeli kaset itu usia saya masih 18 tahun. Usia kakak? Hem, 33 tahun. Sekarang usia saya 34 tahun. Pasti usia kakak sekarang 50 tahun. Lebih muda 5 tahun dari ibu saya dong. Tapi dulu saya kok bisa naksir kakak ya? :d
Hari ini saya mendengarkan lagu album "Came on Over" dari yutub. Pake headset nokia yang saya jepitkan batu di tombolnya, karena jika tidak begitu suaranya jadi cempreng. Dan ingatan saya kembali ke masa ketika usai mengikuti UMPTN dan hari keberangkatan meninggalkan Madura kian dekat. Saya mau kuliah di Jember, kak, waktu itu. Dan saya nampak jadi sangat cengeng.
Saya anak sulung yang nyaris tak pernah keluar kota sendirian. Kota paling jauh yang saya kunjungi cuma Surabaya. Kakak tahu Surabaya? Kalau nggak, main-mainlah ke Indonesia kalo sempat, nanti saya ajak keliling surabaya dan menginap di Madura. Nah, tiba-tiba, saya harus ke luar kota sendirian. Ke Jember. Kuliah. Sendirian. Sedih tentu saja. Ingin rasanya hari itu tak pernah tiba, hari dimana saya harus berpisah dengan ibu dan bapak saya di terminal untuk waktu yang lama. Bukan hari, tapi bulan. Bahkan tahun. Anak sulung yang baru pertama keluar kota sendirian. Tapi makin ditahan-tahan, yang namanya waktu, seakan bergerak secepat kuda pacuan. Dan hari itu tiba juga. Lagu "You’ve Got a Way" dan "Whatever You Do, Don’t!" baru saja lewat, kak. Saya pergi juga. Dan lagu kakak masih terngiang-ngiang di kepala kala itu.
Sedih saya meninggalkan kampung halaman. Bukan saja karena berpisah dengan orang tua, tapi pacar saya, kak, pacar saya yang waktu itu masih kelas III SMP juga terpaksa saya tinggal. Nggak mungkin khan saya bawa serta. Emang mau saya kasih makan apa di Jember coba? Cinta? Senggama? Aih…meski cengeng saya nggak sekacau itu sih dulu. Saya hanya meninggalkan dia dengan sepucuk surat. Semacam perpisahan. Prolognya? Syair pertama di lagu "You’re still The One". Picisan? Ya eyalah, Kak, namanya juga anak SMA. Dan saya nggak bilang kalok itu saya ambil dari lagu kakak. Biar nampak keren dan jago enggres. grin emoticon
Saya ndak tahu dia sedih atau tidak. Tapi saya sedih. Di bis patas Madura-Surabaya malam menjelang dini hari itu saya membayangkan dia terus. Kami bakal tak pernah bertemu lagi setelah itu. Hape? Belum punya hape kala itu kak. Ericson T10 itu mahalnya minta anjing. Kantong orang tua saya nggak cukup buat membelikan hape itu.
Sialnya, sampai di terminal Bungurasih, saya kecopetan. Nah, nasib anak sulung yang baru keluar kampung, begitu mentas langsung dicopet. Untung dompet selamat. Hanya uang duapuluh ribu lenyap. Tapi namanya apes tetap apes. Kecopetan. Lagu "When" baru saja selesai.
Saat mengetik paragraf ini lagu "Honey, I’m Home" baru saja di mulai. Awalnya saya kos di jalan Manggar, Jember, bersama seorang kawan. Kemudian saya pindah ke jalan Jawa ke kosan bernama Al-Cartoon (soal Al-Cartoon ini akan saya ceritakan terpisah kalo sempat). Saya masih cengeng. Tetap selalu ingin pulang. Sementara kawan saya dari kampung yang awalnya berangkat bersama ke Jember sudah pindah kampus. Ia mengadu nasib ke Malang. Mungkin kesepian atau mengejar cintanya yang kadung dianggap kekal. Memang di Malang lebih menggiurkan sih. Teman-teman sekelas saya waktu SMA numpuk kuliah di sana.
Tapi saya bukan remaja yang nekat. Juga bukan pelawan arus yang tangguh. Jadi pasrah saja. Tapi juga bukan mahasiswa yang baik. Begitu selesai ujian dan nilai IPK keluar, semester pertama, alhamdulillah, IPK saya tembus 2,1. Keren ya. Masih keren dong daripada nggak dapat nilai. Dan kakak masih sering saya dengarkan kalau lagi jalan-jalan ke Matahari. Lagu "come on over" baru saja dimulai. Suara kakak dari awal saya mendengarkan album "Come on Over" dari yutub masih seksi saja. Apakah setelah kepala 5 sekarang masih seseksi ketika album "come on over" terbit? Entahlah, semoga kakak sehat selalu.
Nasib saya mungkin lebih beruntung. Nasib para penunggu angin dan pengikut ke mana air mengalir memang begitu, mungkin. Kawan sekampung saya yang ketika pertamakali ke jember bersama-sama hancur karir pendidikan tingginya di Malang. Beberapa kali pindah sekolah nggak selesai semua. Sementara cinta yang ia kejar yang telah membuat hatinya jadi pelawan arus nasib paling garang justru pindah ke lain hati. Memilih menikah dengan guru. Kalau kemudian dia bertahan hingga sekarang, mungkin karena mental pelawan arusnya yang tak usai-usai. Dia telah berkeluarga sekarang. Saya juga. Semoga dia baik-baik saja dan terus bercahaya. Lagu "Don’t be Stupid" baru saja kelar ketika paragraf ini saya selesaikan.
Kakak mau tahu dari semua cerita panjang lebar di awal tadi sebenarnya apa tujuan saya menulis surat ini? Tentu saja saya kangen kakak. Semoga surat ini bisa kakak baca, kalau nggak ya saya sarankan kakak kursus bahasa indonesia. Sebab enggres saya masih belepotan kayak mulut balita yang baru belajar makan sendiri. Ngomong-ngomong, kapan kita bisa ketemu kak? Makan malam di warung sate atau kencan di warung Pak Dje. Maukah kakak jadi pacar saya?
Jangan dijawab dengan tergesa kak. Dipikir-pikir aja dulu. Lagu "Black Eyes, Blue Tears" telah usai. Saatnya pulang. Selamat tinggal.
Dari penggemarmu
Peluk cium lewat kenangan selalu
Selasa, 31 Maret 2015
'Tubuh' Madura dalam Tiga Kacamata*)
Senin, 16 Maret 2015
Kamar, Penulis dan Hal-hal yang tak Terduga
Senin, 09 Maret 2015
LAYAR TANCAP*)
Madura, 2015
*) Cerpen ini dimuat di harian RADAR SURABAYA, 08 Maret 2015