WAKTU

JEDA

Senin, 06 Januari 2014

Denny JA, Kuantitas dan Kualitas Kesusastraan Indonesia

Denny JA, Kuantitas dan Kualitas Kesusastraan Indonesia
Oleh: Edy Firmansyah


Peluncuran buku 33 tokoh sastra palingberpengaruh di Indonesia selama 114 tahun (1900-2014) di Pusat DokumentasiSasta HB Jassin, 3 Januari lalu langsung menyulut api protes.

Dan kayu bakar api itu pertama-tama adalah Denny JA. Selain tim 8 yang diketuai Jamal D Rahman, seorang penyair asal Madura dan salah satu redaktur majalah Horison, sebagai bensinnya, yang membuat nama bos tukang survei bernama Lembaga Survei Indonesia (LSI) tiba-tiba masuk dalam daftar 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia selama seabad.

Apa debut pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan bernama lengkap Denny Januar Ali itu dalam jagat sastra Indonesia? Pertanyaan itu paling banyak dipertanyakan khalayak sejak buku tersebut resmi diluncurkan dan jadi bulan-bulanan cemoohan di jejaring sosial twitter. Pertanyaan lain yang sempat dipertanyakan dengan nada nyinyir adalah; Lha, sejak kapan Denny JA jadi sastrawan? Apa pengaruh dia pada saya, pada anda, dan pada sastra Indonesia? Ini benar-benar mengerikan!

Memang sepanjang tercatat di media massa, dalam kariernya, Denny JA populer karena Ia membuat riset opini publik (survei) dan marketing politik (konsultan politik) menjadi variabel baru pertarungan pemilu dan pilkada di Indonesia. Mesin risetnya yang bernama Lingkaran Survei Indonesia yang didirikan Denny JA pada tahun 2005 dianggap sebagai institusi pertama yang masif yang berperan dalam politik baru pemilu. Hasil riset lembaganya seringkali berhasil memprediksi kemenangan calon pemimpin dalam pilkada atau atau pemilu, sejak 2004. Alumni jurusan hukum Universitas Indonesia itu membantu kemenangan presiden dua kali (2004, 2009), 23 gubernur dari 33 propinsi seluruh Indonesia dan 51 bupati/walikota.  Ia memenangkan semua pemilu presiden langsung yang pernah ada di Indonesia ini. Ia memenangkan lebih dari 60% gubernur seluruh Indonesia. Keakuratan ‘ramalan’ sang “dukun politik” – meminjam istilah harian Republika – sampai membuat MURI memberikan lima penghargaan sekaligus pada LSI, lembaga yang ia pimpin itu.

 Sementara sastra? Sebagaimana diakui suami Mulia Jayaputri itu saat merespon tim 8 yang memilih dirinya masuk dalam daftar 33 sastrawan berpengaruh, dengan tulisan berjudul “menjadi sastrawan berpengaruh”, hanya ada satu karya sastranya; ‘puisi-esai’ berjudul “Atas Nama Cinta.” Secara kuantitatif, angka tujuh ribu lebih orang yang mengunjungi dan membaca situs www.puisi-esai.com, tempat Ia mempublikasikan puisi-puisinya tersebut tentu bukanlah angka main-main. Bagi seorang blogger pemula, angka itu tentu saja mewah. Tapi bagi seorang pengusaha sekaliber Denny JA, itu hal yang biasa. Konon dengan membeli akun twitter seharga puluhan juta dengan jumlah follower lebih dari satu juta, plus dibantu buzzer akun twitter lain, mempromosikan sebuah buku puisi baru dan mendapatkan komentar penuh pujian dari banyak orang bukanlah hal yang mustahil di era gadget ini.

Terlebih lagi kita berada di era di mana kapitalisme bercokol dengan gagahnya di balik kerapuhannya yang kasat mata. Di era kapitalisme, uang bisa menjadi jaminan bagi siapa saja yang ingin melambungkan dirinya. Dalam sebuah buku sejarah, atas nama kekuasaan dan modal nama-nama penting bisa dihapus dan digantikan nama lain. Dalam dunia sastra juga begitu. Tak ada bidang apapun yang bersih dari politik. Yang bersih dari tangan kotor kapitalisme. Termasuk sastra.

Masih secara kuantitatif, belum pernah ada karya sastra seperti ‘puisi-esai’ “Atas Nama Cinta” yang dibahas dan diapresiasi penuh puja-puji sedemikian 'heboh'. Dibikinkan video klip, bahkan di filmkan. Berapa dana yang dibutuhkan untuk membiayai video klip “atas nama cinta” yang melibatkan sastrawan plus budayawan semisal Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim, Sujiwo Tejo, danFatin Hamama? Tentu saja tak murah. Tapi bagi anda yang duitnya pas-pasan bolehlah memekik; ladhalah, akeh men le duite! Sebab biaya untuk itu bisa tembus ratusan juta. Atau meski hanya mencapai puluhan juta rupiah pun angka tersebut tidak bisa dibilang sedikit. Sebab tak ada makan siang gratis tentu saja! Tak ada. Bahkan pemeran video klip itu juga butuh sekedar minum es cendol di hotel bintang lima.

            Tapi membuat produk sastra dan menjadi sastrawan berpengaruh tidak hanya soal angka kuantitatif belaka. Kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Popularitas sebagai tolok ukur kuantitatif bisa saja dibeli. Tapi kualitas tidak. Waktu dan ketekunan sejati yang mengujinya. Buku Puisi Chairil Anwar tentu tak akan diapresiasi segempita “Atas Nama Cinta” Denny JA. Tapi tanpa dirayakan semeriah pasar malam di lapangan misbar (kalau gerimis bubar) pun “Atas Nama Cinta” tak akan sanggup menyamai kualitas puisi-puisi Chairil Anwar. Dan kalau bicara kualitas, seringkali angka-angka kuantitatif kerap bengkok dan gampang meleleh.

            Bisa dilihat misalnya, ketika penyair Saut Situmorang merespon dengan kritis buku puisi mantan host di acara politik Metro TV dan radio Delta FM itu, di situsnya www.puisi-esai.com, bukannya dimuat sebagaimana admin web tersebut memuat segala puja-puji puisi, komentar suami kritikus sastra Indonesia asal Jeman, Katrin Bandel, justru dihapusnya. Padahal Denny JA dikenal sebagai ‘tokoh’ anti diskriminasi dan pluralisme. Sedangkan menghapus pendapat orang bukankah juga bentuk tindakan anti diskriminasi dan anti pluralisme? Sungguh paradoks. Padahal komentar itu cuma lima paragraf saja. Berikut komentar tersebut saya tuliskan utuh;

            ”Satu Tulisan Pendek Atas Lima Puisi Panjang”, judul keren! Memang gak perlu panjang-panjang cumak untuk mengomentari sajak-sajak Lekrais di sini! Hahaha!!!

Kemenangan faktual dan kemenangan puitikal adalah dua hal yang berbeda. Ketika yang faktual ingin masuk alam domain puisi ia harus tunduk dalam hukum hukum puisi yang sering tak bisa ditetapkan secara jelas. Maka segala data fakta yang dimasukkan ke dalam daerah puisi belum tentu efektif membikin mesin puitika bekerja secara maksimal.

Nah! Kalok memang mau nulis Puisi, tulislah Puisi; kalok mau nulis Esei, tulislah Esei. Pakem kedua genre itu yang kelak akan menentukan apakah benar sebuah Puisi telah ditulis, atau sebuah Esei berhasil dikarang. Cumak para pemula yang gak tau diri yang ingin melahap semuanya, tanpa sedikitpun mau bersusah-payah untuk memahami dan menguasai keduanya terlebih dulu! Cumak biar dikira orang Pembaharu!!!

Kalok “ke-esei-an” sebuah “genre” bernama “sajak-esei” cumak dibuktikan dari Catatan Kaki yang dimilikinya, kasihan amat tuh genre! Kasihan amat pulak genre yang bernama “Esei” itu! Mosok Esei cumak macam begitu hakekatnya! Bukannya lebih tepat kalok “genre baru”mu ini disebut “sajak-skripsi” aja, hahaha!!! Atau “sajak-yang-bercatatan-kaki”! LOL

Cobak baca sajak “The Waste Land” karya penyair TS Eliot. Liat relasi intertekstual antara sajak dan catatan kaki yang berhalaman itu. Di situ, TANPA catatan kakinya, maka puisi Eliot tsb akan sangat susah untuk dipahami! Fungsi catatan kaki gak bisa dipisahkan dari keberadaan keseluruhan sajak. Itulah sifat ke-esei-an puisi Eliot tsb! Intertekstualitas adalah kata-kuncinya. Begitulah sosok sebuah “sajak-esei” kalok memang istilah gak jelas ini masih dianggap perlu untuk gagah-gagahan.”

Mari bicara lagi soal kualitas keberpengaruhan sastrawan di dunia sastra Indonesia. Saya yakin keberpengaruhan Denny JA, apalagi cuma satu tahun sebagai tamu di sastra Indonesia, tak akan sanggup mengalahkan kualitas penyair asal Sumba Timur yang diberi gelar presiden malioboro, Umbu Landu Paranggi. Umbu Landu Paranggi itu sangat dihormati oleh murid-muridnya di Persada Studi Klub (PSK) waktu dia tinggal di Jogya. Juga sangat dihormati murid-muridnya di Sanggar Minum Kopi(SMK) di Bali. Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Ebit G Ade, adalah beberapa gelintir muridnya di PSK. Raudal Tanjung Banua, Wayan Jengki, Riki Dhamparan Putra yang di SMK. Itu cuma sedikit yang bisa saya sebut. Banyak sastrawan murid Umbu yang mewarnai jagat sastra Indonesia. Umbu adalah guru sastra dalam arti sejati. Tak banyak memang puisi-puisinya. Tapi dari tangannya yang dingin dan ketekunannya membimbing, bibit-bibit sastrawan muda Indonesia lahir dan membiak. Tak ada pamrih dari proses itu. Yang ada hanya kecintaan pada sastra. Karena itu kebangetan menurut saya, orang yang mengaku penyair atau sastrawan yang tidak tahu guru Umbu, apalagi sepak terjangnya di jagat sastra Indonesia. Nah, kalo Emha saja bisa masuk 33 sastrawan berpengaruh, Kenapa guru Umbu tidak? Tim 8 itu tidak kenal Umbu kah? Saya aja kenal meski dari google. Dan juga takzim padanya. (Tim8 itu kurang gaul kali ya? ). Lantas apa kehebatan Denny JA dibandingkan guru Umbu dalam jagat sastra Indonesia ini kok dia bisa masuk sementara guru Umbu tidak? Apa kehebatan Denny JA dibandingkan Wiji Thukul kok bos tukang survei itu bisa masuk 33 sastrawan berpengaruh dan Wiji Thukul tidak? Apa hanya karena, baik Thukul maupun Guru Umbu tidak punya duit sebanyak Denny JA?

Bahkan kalau hanya karena semangat mengusung pluralisme dan anti diskriminasi yang membuat ayah dari Rafi Moeslim Auliya Denny dan Ramy Bary itu terpilih jadi 33 sastrawan berpengaruh dalam 114 tahun, saya rasa soal itu prestasi Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur belum ada tandingannya. Sekedar menyebut contoh, misalnya, keberaniannya mencoba mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang pelarangan ajaran komunis, Marxisme dan Leninisme dan pelarangan berdirinya partai PKI di Indonesia saat jadi Presiden belum ada yang berani meneruskan hingga sekarang. Lantas kenapa Gus Dur tidak masuk dalam daftar 33 sastrawan berpengaruh itu. Kurang apa Gus Dur coba? Pernah jadi ketua Dewan Kesenian Jakarta. Dan esai- esainya soal film dan sastra juga banyak. Bukankah esai-esai itu juga produk sastra selain puisi dan prosa yang membuat Gus Dur pantas disebut sastrawan?

Pertanyaan diatas penting dipertanyakan, meskipun bukan krusial, untuk kembali mempertajam akal sehat kita soal ketokohan seseorang, terutama di bidang sastra. Orang boleh dongkol bahwa membicarakan buku 33 Sastrawan berpengaruh selama 100 tahun di mana nama Denny JA ada di dalamnya hanya akan menaikkan popularitas buku itu. Karena polemik kerap jadi bagian dari strategi bisnis pemasaran. Sedangkan kita yang membicarakannya dengan nada cemooh adalah brand ambassador gratisan. Sebab brand ambassador bayarannya sudah menulis prolog dan epilog dan jadi bintang iklan di video klip buku puisi “atas nama cinta” itu. Namun berhenti membicarakannya adalah berbahaya dan tak termaafkan. Tak bisa dibayangkan jika buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia dan PDS HB Jassin itu masuk ke perpustakaan sekolah-sekolah dan dibaca anak-anak kita. Mereka akan mengingat Denny JA dan melupakan Sitor Situmorang, Wiji Thukul, Umbu Landu Parangggi dan banyak sastrawan-sastrawan besar lainnya yang lebih pantas disebut sastrawan berpengaruh daripada Denny JA. Bukankah sangat disayangkan jika hanya karena nafsu, ambisi dan kerakusan para penyusunannya, anak-anak kita akan jadi korban dan sastra terus mengalami kemunduran yang tak terperikan karena penulis sejarah sastra Indonesia bisa dibeli dan sejarah dan tokoh sastra Indonesia bisa diganti seenak orang kentut di kesunyian kamar atas nama kuasa uang.



 Sampang - Pamekasan, 04 - 06 Januari 2013

 Edy Firmansyah, wartawan sambil lalu. Fesbuker. blogger. penyair

3 komentar:

ellysuryani mengatakan...

Panjang, padat, dan intinya marah alias gak setuju Denny JA masuk dalam 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia versi tim 8.

Saya juga gak setuju kok. Wong cuma sekali bikin buku puisi ecek-ecek kok dianggap hebat, oleh siapa ya cuma oleh tim 8 dan para fans Denny. Seperti kata Saut, buku 33 Tokoh... itu buku sampah kok. Jadi tenang aja ed. Salam :)

Bulan Merah mengatakan...

Sedih dan marah ...

edyfirmansyah mengatakan...

makasih ya kalian udah komen. peluck cium selalu. :D