WAKTU

JEDA

Jumat, 28 Agustus 2009

Membumikan Puasa Ramadhan

Oleh: Edy Firmansyah
(Peneliti Muda pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta)

Banyak orang sering menyebut Ramadhan sebagai ujian bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan dan keberagamaannya. Karenanya miliaran pemeluk Islam di dunia menyambut kedatangan bulan suci yang penuh berkah ini dengan berbagai cara dan tradisi. Pasalnya, janji Tuhan bagi mereka yang dianggap lulus akan mendapatkan paket ‘bonus’ pahala di bulan Ramadhan yang nilainya lebih hebat dari ibadah seribu bulan (80 tahun) dan berhak menyandang gelar manusia yang fitri. Tentu saja sebagai ujian, Ramadhan menjadi tolok ukur peningkatan kualitas keberagamaan kita pada bulan-bulan berikutnya.

Menurut Gordon W. Allport, seorang psikolog—sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, setidaknya ada dua cara manusia beragama: ekstrinsik dan intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukannya untuk kehidupan, Something to use and not to live. Orang yang beragama dengan cara ini memang melaksanakan hampir semua ritual agama: salat, puasa, zakat, bahkan naik haji—tapi tidak di dalamnya, melainkan di bagian kulitnya yang paling luar.

Lain halnya dengan manusia yang beragama secara intrinsik. Cara beragama seperti ini lebih substansial, lebih ke dalam, agama menjadi faktor pemadu. Ia menghujam dalam aras kehidupan yang manusiawi. Inilah barangkali yang disebut Jalaluddin Rakhmat sebagai “Islam Aktual” yang coba bertarung hidup-mati melawan ganasnya kelaliman. Ia melawankan “Islam Aktual” ini dengan istilah “Islam Konseptual” yang tidak bisa ngapa-ngapain ketika berhadapan dengan realitas. Tegasnya, ibadah bagi manusia yang beragama secara intrinsik tidak sebatas menjalankan ritual semata. Lebih dari itu beribadah merupakan manifestasi keberagamaan yang mampu membangun kesalehan sosial (social piety) yang berdampak pada orang lain. Kesalehan sosial ini yang oleh Tuhan akan dinilai sebagai bentuk lain dari iman seseorang. Iman seseorang yang layak disisi Tuhan adalah mampu membebaskan manusia lain dari penindasan sesamanya atau minimal membebaskan diri sendiri dari penindasan.

Sayangnya tak sedikit umat Islam yang menganggap ibadah puasa dibulan Ramadhan hanyalah sekedar ibadah ekstrinsik, yakni sekedar menggugurkan kewajiban. Dalam hal puasa, mereka berlapar-lapar di siang hari, tidak melakukan hubungan seksual suami-istri, tidak berkata kotor namun tak mampu memaknai kurang mampu menggali nuansa religius secara mendalam pada bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan hanya jadi ajang menumpuk-numpuk pahala individualistik. Sehingga jangan mengharapkan cara beragama seperti ini melahirkan realitas hidup yang manusiawi. Yang lahir justru watak individualistik yang penuh dengan patologi sosial; irihati, kebencian, dan segala bentuk banalitas lainnya.

Makanya tak heran ketika sebuah ibadah hanya dimaknai sekedar ritual semata, ia mudah dikapitalisasi pemilik modal hanya sekedar untuk mendulang uang dan memperlancar arus produksi barang yang sengaja dibungkus pesan-pesan religius. Indikasinya setiap kali menjelang Ramadhan atau pada awal-awal Ramadhan yang dikunjungi pertama kali oleh umat Islam adalah pusat-pusat perbelanjaan.

Tak cukup disitu. Industri pertelevisian, juga mulai mengkapitalisasi dawah agama dengan menyajikan tayangan sinetron hingga reality show dengan nuansa religius selama Ramadhan. Umat Islam seakan dibius bahwa Ramadhan hanya untuk menahan hawa nafsu pribadi. Karena itu daripada keluar rumah sebaiknya menonton tv. Sehingga hakekat dari Ramadhan nyaris tak tersentuh. Kapitalisme telah menggiring manusia untuk menjalankan keagamaan secara individualistik, menumpuk-numpuk pahala, bahkan menguasai tuhan untuk diri sendiri, serta menutup peluang bagi orang lain untuk mendapatkan posisi serupa.

Karenanya jangan heran jika ada segolongan/sekelompok muslim yang menyongsong bulan suci Ramadhan dengan melakukan sweeping, termasuk men-sweeping warung yang buka siang hari, diskotik, hotel dan PSK yang kebetulan masih mangkal karena tidak punya ongkos pulang kampung. ironisnya fenomena tersebut terjadi hampir setiap tahun. Sehingga seakan-akan tindakan sweeping tersebut sah dilakukan demi menyambut bulan suci yang penuh berkah ini.

Dan yang lahir ketika ramadhan usai tentu saja lenyapnya kemanusiaan. Sudah berpuasa lebih dari 50 kali, tapi prilaku sosialnya tidak menunjukkan makna taqwa. Banyak pejabat, anggota pegawai, pemuka agama yang berpuasa sebulan penuh tapi prilaku korupnya, banalnya, penyalahgunaan kekuasaan dan watak penindasnya semakin membabi buta. Itu semua akibat keberpuasaan dan keimanannya dijalankan sebatas mencari pahala menghindari siksa.

Padahal tujuan ideal dari ibadah puasa ialah penumbuhan kesadaran kemanusiaan sekaligus kesadaran spiritual ilahiah. Kesadaran kemanusiaan adalah kunci bagi tumbuhnya kesadaran duniawi dan kepekaan sosial rohani. Kesadaran kemanusiaan adalah jalan mencapai kebebasan bendawi dan ego pribadi. Tegasnya ritual ibadah puasa (juga ibadah lainnya) lebih bersifat intrinsik daripada ekstrinsik. Secara intrinsik sejatinya puasa merupakan kritik kemanusiaan dan kritik pada praktik kehidupan duniawi yang tidak adil. Karena itu diturunkannya ibadah puasa untuk manusia adalah membangun keberpihakan kaum kaya dan berpunya terhadap kaum mikin dan tertindas. (Mulkhan, 2007). Inilah barangkali yang disebut Jalaluddin Rakhmat sebagai “Islam Aktual” yang coba bertarung hidup-mati melawan ganasnya kelaliman. Ia melawankan “Islam Aktual” ini dengan istilah “Islam Konseptual” (keberagamaan ekstrensik yang tidak bisa ngapa-ngapain ketika berhadapan dengan realitas).

Itulah mengapa puasa jauh lebih bermakna dan diwajibkan bagi mereka yang mampu (kaya dan mapan secara material) daripada kepada kaum miskin tertindas. Tujuannya untuk menghancurkan watak banal dan ego kapitalistik dalam pikiran kaum kaya. Bagi kaum miskin, berpuasa telah sering dilakukan bahkan sebelum ramadhan datang mereka telah terbiasa bekerja mencari makan dengan perut lapar. Memaksa kuli kasar, buruh angkut, tukang becak berpuasa berarti memaksa terjadinya penurunan produktivitas kerja yang berimbas pada pengurangan upah (gaji), dimana upah penuh mereka barangkali hanya 1 % persen dari gaji pejabat.

Perlu diketahui bahwa angka kemiskinan di Indonesia belum membaik. Hingga Juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005. Kondisi diatas semakin diperparah dengan adanya krisis global yang juga menerpa Indonesia. Imbas dari semua ini adalah PHK pekerja menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya tentu saja jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat. Kondisi ini semakin diperparah dengan perilaku korup para pejabat, tidak peduli orang lain, dan penyalahgunaan kekuasaan yang terus meningkat.

Kondisi diatas jelas amat berbahaya. Bukankah dalam hadist telah disebutkan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran. Dan kufur dalam hal ini bukan saja merupakan sikap berpaling pada keesaan tuhan tetapi juga berpaling pada kemanusiaan. Seperti misalnyanya melakukan kekerasan dan anarkisme sebagai bentuk eskapisme sosial sebagai wujud ketidak mampuan mendorong perubahan ekonomi-politik di pusat kekuasaan.

Karena itu manusia berpunya yang dianggap berhasil menjalankan ibadah puasa adalah ketika segala aktivitas hidupnya usai menjalankan ritual puasa (atau ditengah-tengah menjalankan puasanya) ditujukan untuk kepentingan publik, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kaum kaya mampu menghancurkan watak banal dan feodal-kapitalistiknya dalam dirinya menjadi kekuatan berlawan untuk kesejahteraan kaum tertindas. Kebahagiaan sejati bukan dengan menjadi miskin tetapi bagaimana menggunakan harta dan kekuasaan untuk membela kaum tertindas. Sedangkan puasa bagi mereka yang menderita akibat kemiskinan untuk tidak menyerah melakukan perubahan secara massif. Karena sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Ar-ra’du; 21; Tak akan berubah nasib suatu kaum jika ia sendiri tidak merubahnya. Inilah momentum untuk membangun Islam secara kaffah dan proses menjadi manusia yang fitri. Walluhu a’lam.

(Artikel ini Dimuat di Harian Radar Surabaya, 27 Agustus 2009)