WAKTU

JEDA

Rabu, 24 Juni 2009

Gelar....Gelar...Gelar.....

Gelar

Seorang pejabat tinggi di Pamekasan-Madura marah-marah pada saya. Pasalnya, saya masih saja mencantumkan titel di depan dan dibelakang namanya dalam setiap penulisan berita. “Khan sudah saya katakan, tak perlu dicantumkan titel-titel itu. Bagi saya tak penting,” begitu sergahnya. Saya yang memang merasa bersalah hanya menganggukkan kepala tanda khilaf dan setuju.

Saya memang tak habis pikir mengapa pejabat itu tak suka gelarnya dicantumkan. Lagipula sebenarnya apa yang saya lakukan tak lebih untuk menghormatinya. Jujur saja, masyarakat Madura adalah masyarakat feodal yang kental. Dalam masyarakat feodal, gelar merupakan sebuah kehormatan. Baik itu gelar kebangsawanan (ningrat) maupun gelar akademik. Orang seringkali mudah tersinggung kalau gelarnya lupa dicantumkan. Bahkan tak sedikit orang yang sengaja memanipulasi gelar. Sengaja mencantumkan gelar yang memang tak pernah ia miliki hanya sekedar untuk dihormati.
Seorang kawan saya yang beberapa bulan lalu kebetulan menjadi salah satu caleg pernah memberikan stiker tentang pencalonannya pada saya. Di stiker tersebut tertulis lengkap namanya; H. Mu’in (bukan nama sebenarnya), SH. Saya dibuat garuk-garuk kepala (meski tidak gatal) dengan titelnya itu. ”Darimana ia dapat gelar SH dan gelar Haji itu? Lha wong empat bulan sebelum pemilihan calon legislatif digelar ia pernah bercerita pada saya kalau ia drop out dari kuliahnya di PTS di Jatim,” begitu batin saya. Ketika saya singgung soal ucapannya beberapa bulan lalu itu, ia hanya nyengir kuda sambil berbisik; ”Ini Madura, bung, bukan Amerika. Kesan lebih penting daripada isi kepala,” mendengar kalimatnya itu saya juga nyengir.
Barangkali memang ada benarnya kata-katanya teman saya itu. Di Eropa sana gelar memang bukan barang yang istimewa. Orang-orang sudah tak lagi memikirkan gelar. Di kartu-kartu nama orang-orang eropa tak pernah ada embel-embel gelar. Cukup nama dan nomor telepon saja. Bagi mereka yang sudah memiliki peradaban maju tak terlalu risih berkenalan tanpa menyebut gelar. Masyarakat negara maju lebih menghormati orang-orang yang memiliki karya dan berdedikasi tinggi pada bidangnya. Entah orang itu lulusan SD atau SMA. Selama ia berkarya, ia dihormati.

Karenanya tak heran jika Pramodya Ananta Toer, sastrawan asal Blora yang namanya berkali-kali menjadi kandidat Nobel sastra dunia itu dalam novelnya Bumi Manusia mewanti-wanti masyarakat Indonesia; "Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama (juga gelar-gelar, Pen). Khan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama (juga gelar), dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya (hal. 77). Itulah ilmu padi sejati. Semakin berisi semakin menunduk. Meskipun kemudian karena ilmu pengetahuan itu pula eropa menjadi penjajah yang rakus dan keji itu soal lain.

Harus diakui memang beda jauh dengan masyarakat feodal seperti di Madura (Indonesia juga). Seorang loper koran yang wawasannya luas karena tiap hari baca koran kata-katanya tak akan pernah digubris. Sedangkan seorang ningrat (dalam kebangsawanan), haji (dalam keagamaan) atau doktor (gelar akademik, meski gelarnya beli dan tak pernah punya buku di rumahnya) akan terus dipercayai.

Makanya tak heran kalau kawan saya yang lainnya justru geram gara-gara saya meledek gelar ningratnya yang nangkring di depan namanya. Dengan berbagai apologi ia menerangkan pada saya bahwa gelarnya itu tak ada hubungannya dengan feodalisme. Pertama, gelar itu ia gunakan untuk menghormati ayahnya yang sudah meninggal. Kedua, gelar itu ia gunakan untuk memperjelas klan dalam keluarga besarnya. Ketiga, ia gunakan gelar itu sebagai ’benteng’ diri dari tindakan a-susila seperti mabok, main perempuan, judi dan sebagainya. ” Masak seorang Raden melakukan tindakan seperti itu. Malu sama masyarakat,” tegasnya.

Ketika ia menjelaskan apologinya itu saya memang tak banyak komentar. Meskipun secara prinsip saya tak terlalu setuju dengan pembelaannya yang—menurut saya—dibuat-buat itu. Terutama soal gelar ningratnya yang jadi benteng dalam bersikap. Pasalnya, sudah menjadi catatan sejarah nusantara bahwa masyarakat bangsawan-lah yang kerap menjadi ’perusak’ masa depan perawan-perawan desa. Para gadis desa belia itu diambil istri oleh pembesar untuk melayani ’kebutuhan’ seks laki-laki sampai akhirnya sang pembesar itu memutuskan untuk menikah dengan perempuan sekelas dan sederajat dengannya. Kisah Gadis Pantai yang diturunkan Pram—sapaan Pramodya Ananta Toer—menjadi bukti mengenai itu. Kisah pilu seorang gadis pantai yang menjadi istri seorang pembesar. Seorang Raden Mas. Awalnya perkawinannya memberikan prestise baginya dan kampung halamannya, karena dia dipandang telah naik derajatnya, menjadi bendoro putri (meski seorang selir). Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Gadis pantai akhirnya dicampakkan. Dibuang kembali ke asalnya; masyarakat nelayan miskin, oleh pembesar Jawa yang memilikinya, setelah ia melahirkan seorang bayi perempuan.

Dalam bentuknya yang lain, kisah gadis pantai diatas bisa muncul dalam masyarakat feodal. Misalnya beberapa kasus perawan desa yang dicampakkan pembesar Jawa akhirnya bermuara pada prostitusi-prostitusi, menjual diri. Beberapa lainnya bunuh diri. Bahkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap TKW/TKI adalah gambaran lain soal yang berkuasa dan dikuasai. Pun kalau kita mau membaca Jakarta Under Cover besutan Memoar Emka itu, akan kita saksikan betapa kaum ningrat memang gemar menghabiskan uang hanya untuk mengumbar syahwat.
Judi? Ah, jangan ditanya. Contoh yang sempat mencuat adalah kasus pengungkapan harta kekayaan Soeharto beserta anak cucunya dalam Majalah Time Edisi Mei 1998. Dalam majalah itu disebutkan hampir rata-rata anak laki-laki Soeharto gemar menghabiskan uang dengan berjudi. Barangkali ini hanya puncak gunung es fenomena perjudian kaum ningrat.

Kasus mencuatnya jual beli gelar akhir-akhir ini tak lepas dari ambisi seseorang untuk menjadi ningrat secara akademik. Di negeri feodal menjadi Ningrat adalah kebanggaan. Berdere-deret gelar berarti berderet-deret uang siap menjelang. Karena itu tak berlebihan kalau disebut bahwa kaum ningrat adalah pelopor berdirinya masyarakat instan.

Menurut Daniel Bell, salah seorang sosiolog posmodern, masyarakat Instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya. Tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang yang pembelajaran tanpa henti. Masyarakat instan, lanjut Bell, masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya satu-satunya keinginan dan asanya bisa dicapai dengan uang.

” Lalu kamu mau apa? Mau menghapus gelar-gelar ningrat, gelar-gelar akademik, begitu? He...he... nggak semudah itu tau??” cerocos hati kecil saya. ”Memangnya kamu siapa? Presiden juga bukan?” lanjutnya.

Saya memang selalu ’takluk’ dengan hati kecil saya yang bawel itu. Tapi ngomong-ngomong soal Presiden di masa-masa mendekati Pilpres ini saya jadi punya harapan. Pada pemilu kali ini tak ada satupun iklan Capres-Cawapres yang mencantumkan gelar-gelar. Tak ada titel bertaburan. Beda jauh dengan pemilu 2004 lalu. Capres-cawapres sibuk pasang gelar berderet-deret banyaknya. Mungkin Capres dan cawapres kali ini berkaca pada pemilu Amerika, dimana Obama lolos jadi presidennya. Seorang kulit hitam. Tanpa embel-embel gelar, ia jadi dekat dengan konstituennya. Barangkali semangat tanpa gelar yang diusung Capres-Cawapres kali ini bisa memberikan teladan bahwa bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki manusia dengan berjutal elar tapi kosong isi kepalanya.

Hanya dengan pengetahuan kemajuan bisa diraih. Dan memperoleh pengetahuan tak harus dengan gelar yang tinggi-tinggi. Sudah banyak buktinya. Seorang Adam Malik bisa duduk sebagai wapres meski hanya lulusan sekolah rakyat. Dan yang lebih membuat saya lebih optimis, ada seorang pejabat tinggi di daerah saya mau dengan rela hati menanggalkan gelarnya. Persis seperti yang diteriakkan sastrawan Achiat K. Mihardja; ”Saya telah membuang embel-embel Raden saya ke sungai ciliwung!”

Apakah pejabat tinggi itu tahu bahwa gelar hanya merupakan pagar pembatas antara individu dengan rakyatnya seperti halnya unggah-ungguh bahasa Jawa-Madura itu? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas saya setuju dengan Eka Budianta bahwa tanpa pelampung gelar yang banyak dan ’berat’ itu, orang lebih mampu menyelami lautan Ilmu sedalam-dalamnya. Sebab di dasar lautan itulah tersimpan mutiara yang tak ternilai indahnya.

Madura, Juni 2009

Senin, 22 Juni 2009

Suramadu vs Ferry

Jasa Ferry vs Jembatan Suramadu
Oleh: Edy Firmansyah


Akankah angkutan kapal ferry kamal-perak akan “kolaps” pasca dioperasikannya jembatan Suramadu? Pertanyaan ini mulai menjadi perbincangan publik akhir-akhir ini. Betapa tidak, sejak dioperasikan jembatan terpanjang di Indonesia itu, pengguna jasa ferry Surabaya-Madura menurun hingga 60 persen. Dengan penurun penumpang yang cukup drastis itu, disinyalir kerugian bisa mencapai miliaran rupiah.

Padahal sebelum jembatan yang menghubungkan madura dengan Surabaya itu diresmikan pada 10 Juni lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, angkutan ferry menjadi satu-satunya alat transportasi yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Para pengguna ferry memang harus ekstra sabar ketika misalnya, menjelang lebaran, baik itu idul fitri maupun idul adha, harus antre hingga lima kilometer. Antrean juga bisa dirasakan ketika akhir pekan. Terlebih lagi ketika, ada geladak atau kapal yang terpaksa tidak bisa beroperasi karena diperbaiki. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu, ferrylah satu-satunya angkutan yang menghubungkan Surabaya-Madura. Pun kita tak bisa berbuat banyak kecuali menerima dengan pasrah (meski ada yang menggeruti dalam hati), ketika pihak ASDP menaikkan tarif angkutan ferry ketika terjadi kenaikan harga BBM. Tak heran jikademo-demo mahasiswa untuk menurunkan tarif tersebut dianggap angin lalu oleh pihak ASDP. Karena ferry adalah transportasi penghubung jawa-madura.

Namun sekarang, setelah jembatan Suramadu resmi beroperasi para pengguna jalan tak lagi bergantung pada ferry. Apalagi tarif melintasi jembatan Suramadu terbilang murah jika dibandingkan dengan tarif ferry. Untuk angkutan motor, misalnya pengelola tol Suramadu mematok tarif Rp. 3.000,- sekali jalan. Sedangkan Mobil dan kendaraan sejenis dikenai tarif Rp. 30.000,-. Sementara untuk pengguna motor, PT Indonesia Ferry dibawah bendera Angkutan Sungai, Danau dan Pantai (ASDP) mematok tarif Rp. 5.000 sekali jalan. Sedangkan untuk mobil Rp. 60.000,-. Dengan perbedaan tarif itu, wajar jika kemudian banyak pengguna jalan lebih memilih menggunakan jembatan Suramadu ketimbang jasa angkutan ferry.

Hanya saja masalahnya tidak selesai sampai disini. Sejak Suramadu resmi dioperasikan, para pengguna jembatan yang tiang pancangnya diresmikan pertama kali oleh Megawati Soekarno Putri itu, juga harus rela antre. Terutama kendaraan motor. Bahkan antrean bisa mencapai 2 kilometer setiap harinya. Otomatis perjalanan tidak bisa lancar seperti yang dibayangkan. Maklum kecepatan motor dengan suasana macet hanya bisa maksimal hingga 30 km/jam. Bisa dibayangkan dampak polusi asap kendaraan bermotor bagi kesehatan pengguna jalan dalam kondisi macet tersebut.

Ironisnya kondisi seperti demikian tak hanya terjadi di jembatan Suramadu. Di negara maju seperti Amerika, kondisinya tak jauh beda. Jembatan-jembatan yang menghubungkan dua tempat dengan bentang yang cukup panjang selalu mengalami prodit (baca: macet). Artinya, jembatan sebagai alat penghubung dua tempat yang dibatasi sungai/selat ternyata tak mampu menjadi alternatif penyeberangan guna menekan pergerakan orang.

Karenanya tak berlebihan jika situs majalah Renegade menurunkan sebuah artikel dengan judul “Fuck Bridges, We Want Ferry!” artikel ini berisi ‘pertarungan’ jembatan dan feri di amerika. Dalam artikel tersebut dikecam kebodohan pengendara yang memacetkan jembatan. Pasalnya, kota yang ‘terbagi’ oleh sungai lebat/selat memang sering hanya ada satu dua jembatan penghubung. Sayangnya, Keberadaan jembatan tersebut ternyata tak berbanding lurus dengan pesatnya produksi dan konsumsi kendaraan bermotor masyarakat. Dampaknya, arus kendaraan jadi menumpuk di jembatan.

Melihat kondisi yang demikian, tidak berlebihan jika ferry ternyata masih akan dibutuhkan meski jembatan-jembatan alternatif terus dibangun. Dengan lain kata, pengelola kapal ferry tak perlu risau perusahaannya akan gulung tikar. Ferry justru menjadi solusi alternatif memecahkan kemacetan. Termasuk juga di jembatan suramadu.

Disamping itu ada beberapa hal unik pengguna ferry yang tidak bisa didapatkan pengguna jalan yang memilih melintasi jembatan. Pertama, ferry bisa jadi tempat istirahat bagi pejalan jauh tanpa harus kehilangan waktu tempuh. Benar memang Suramadu juga menyediakan tempat pemberhentian. Tapi pengguna jembatan akan kehilangan waktu tempuhnya. Lagipula bagi pengendara yang menempuh jarak jauh beristirahat harus kerap dilakukan untuk menghindari ngantuk ketika berkendara. Dengan beristirahat, kemungkinan terjadi kecelakaan akibat kelelahan dan kehilangan konsentrasi ketika berkendara bisa dikurangi. Jadi, bagi para pelancong atau pengendara motor yang menempuh perjalanan jauh, ferry masih bisa jadi pilihan beristirahat tanpa kehilangan waktu tempuh.

Kedua, bagi para pekerja, ferry bisa menjadi tempat rileks. Terlebih lagi kini ferry juga menyediakan penyanyi-penyanyi yang menghibur penumpang plus pramugari yang enak dipandang.

Ketiga, ferry masih bisa menjadi tempat interaksi antar pengendara atau penumpang. Ferry masih dapat menjadi alat transportasi yang menyediakan ruang sosial. Antar penumpang masih bisa saling ngobrol, curhat dan sebagainya. Sementara di jembatan para pengguna jalan cenderung individualistik karena harus berkonsentrasi kala berkendara. Bahkan ferry-pun disinyalir bisa memperamah wajah sebuah kota karena mampu mengurangi emisi gas buang (meski hanya satu jam) yang ditimbulkan oleh asap kendaraan bermotor. Para pengendara sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya bisa menggunakan ferry ketika jembatan suramadu menutup pintunya bagi jenis kendaraan jenis ini.

Tentu saja diperlukan reformasi dan pembenahan diberbagai lini jika ingin ferry akan tetap dilirik para pengguna jalan. Diantaranya dengan mulai pembenahan pelayanan pada para penumpang, kualitas kapal yang semakin baik (mengkandangkan kapal bobrok, dan membeli lagi kapal baru) serta waktu berlayar dan bersandar yang semakin dipersingkat. Sehingga ferry benar-benar menjadi alternatif penyeberangan yang layak dipertimbangkan pengguna jalan. Nah, sekarang tinggal pilihan pembaca masih setia dengan ferry atau menggunakan jembatan Suramadu untuk menyeberang?

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pengguna jalan jalur Madura-Surabaya. Pemerhati masalah sosial. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy), Jakarta.

Minggu, 21 Juni 2009

SEPI(RING) PUISI


Kucatat Ulang Tahunmu
:J dan NR

Sepertinya memang harus kucatat ulang tahunmu dengan pendar lilin
Parafin leleh perlahan, usia mencair di piring hening

Kau masih saja mengigau tentang hantuhantu masa silammu
Memilin-milin dosa, menyuruk-nyurukkan duka
Berharap lepas di sisa usia

“Akulah padi. Yang selalu diekori rumput
Hingga panen menguncup,” terangmu

Ah, usia memang tak abadi
Selalu tumbang di detik awal jarum jam
Tapi hidup dan maut masih saja bersipagut
Hingga ajal menghujamkan seringai
Seperti malam-malan yang kecut pada bulan
Yang menghunuskan sabit usai purnama penghabisan

Kucatat ulang tahunmu
Pada sepi(ring) puisi


Madura, 19 Juni 2009

***


Do(s)a

Masih saja purba kebersamaan kita;
memintal mantra pada petang yang bersayap
berkelana dari senyap ke senyap
dendam menggenang di jalanjalan, sesal berkecipratan
iba mengalir di selokan, gerimis asa tak berkesudahan
tanah-tanah basah oleh air mata
dukapun telanjang, bersenggama dengan kesunyian

Madura, Juni 2009


***


Tiga Dialog Subuh

1
Tak ada yang salah dengan jejak matahari di jendela kamarmu
ia hanya melaksanakan tugasnya;
menyandera pulas, menggantinya dengan pagi
mestinya kau mencatat, agar hari tak jadi khianat

2
Pulanglah,
subuh sudah dekat
kau tinggal menyusu pada puting pagi
setelah kenyang, mari berlayar
melarungkan rahim masasilam

3
Barangkali aku rindu
pagi yang basah
embun menggantung di ujung daun

matahari yang kau kulum
terbit dalam partitur senyum

tapi mengapa kau alpa
mengusap luka di gigir doa

Madura, 21 Juni 2009







Jumat, 19 Juni 2009

MONOLOG KENANGAN

Monolog Kenangan


Bagiku inilah Kamis yang penuh dengan kelebatan masa silam. Masa lalu yang tiba-tiba tumpah membasahi notebookku. Kemudian mengering dan menyuguhkan peta tentang kenangan. Memaksaku kembali bercerita tentang masa silam.

Kenangan memang bukan barang baru bagi manusia. Dari generasi ke generasi setiap anak manusia selalu menyimpan masalalu. Entah itu kenangan buruk atau kenangan bahagia. Baik itu dalam catatan atau hanya sebentuk ingatan. Dan beberapa orang diantaranya kerap membukanya kembali, membaca ulang, untuk sekedar berkaca atau mencari kekuatan berpijak merengkuh masa depan yang gemilang. Tapi kenangan pula yang bisa membuat seseorang ambruk dan tak bisa lagi bangkit menata hidupnya kembali.

***
Berawal dari fesbuk baruku
Kau datang dengan cara tiba-tiba


Lagu Group Band Gigi berjudul My Faceebook melantun tenang dari speaker notebookku. Ya, facebook itulah yang membawaku kembali mengingatmu. Mungkin bagi banyak orang pertemuan kita hanyalah sebuah pertemuan biasa. Kebetulan belaka. Kadang-kadang kita bertemu begitu saja dengan seseorang yang tidak kita kenal, dengan teman dekat yang lama tak bersua, kemudian menjadi karib seperti amplop yang ditempeli prangko yang sudah dijilat-jilat punggungnya, lantas mendadak berpisah begitu saja tanpa sebab. Tapi aku memang tak terlalu percaya pada kebetulan. Pertemuan kita bukan kebetulan, Fee. Jejaring-jejaring dunia maya yang sedemikian luas dan jlimet itu yang telah mendudukkan kita di satu meja. Kita memilihnya jalannya. Kita sendiri.

Tak perlu Fee. Tak perlu kau bersusah payah menceritakan kehidupanmu sekarang. Sebab barangkali kita berdua memang sudah tak peduli dengan itu semua. Lagipula aku hanya akan terus menjadi pendengar tanpa banyak komentar, karena aku memang tak banyak berubah, Fee, masih saja pria pendiam dan pemalu, seperti dulu. Barangkali salah satu keberanian yang kumiliki saat ini hanyalah memintal kata-kata. Tak lebih.

Matahari terus meninggi. Panasnya seperti tembus di ruang AC ini. Butir-butir keringat mulai keluar dari pori-pori. Dan aku kehilangan kata-kata. Yach, masih seperti masa lalu khan fee!? Setiap kita bertemu aku selalu kehilangan kata-kata. Padamu aku memang hanya sanggup bersapa tetapi tak pernah sanggup berbagi cerita. Jika sekarang, mungkin alasannya sudah cukup jelas, kita punya kehidupan yang berbeda. Semua orang tahu, menyusun kehidupan itu memang gampang-gampang susah. Karena itu tak banyak orang yang mau merusak kehidupan yang telah dibangunnya tanpa alasan yang logis.

Masih ingatkah kau bagaimana kita membangun hubungan? Ya, keberanianku hanya lewat telepon. Bercinta dengan suara. Aku bisa bicara apa saja jika lewat telepon. Kita bisa saling tertawa, saling ledek, saling senyum. Tapi ketika berjumpa, hanya sepatah-dua kata yang berhasil meloncat dari lidahku. Tak lebih. Setelah itu hening! Hening menjelaga disetiap perjumpaan kita.

Mungkin lebih tepat kalau aku disebut pejantan imajinasi yang bisa menjadi pria sejati lewat mimpi-mimpi. Ya, aku mencintaimu hanya lewat mimpi. Dalam dunia realitas kau barangkali hanya sekedar teman biasa. Tapi dalam setiap mimpi-mimpiku kau adalah perempuan yang layak untuk dicatat diujung hatiku.

Memang peristiwa itu sudah puluhan tahun lalu. Tapi jejaknya masih saja tak bisa dihapus dari ingatanku. Meski aku lupa kapan tanggal dan waktunya tapi setiap inci peristiwanya kini berkelebat dalam anganku. Ya semenjak pertemuan kita di dunia maya, kau muncul lagi. Menyapaku sembari mengulum senyum.

Tolol? Kau katakan bahwa kelebatan kenangan masa lalu adalah sebuah ketololan!? Aku rasa tidak. Kita memang tak bisa kembali ke masalalu. Waktu tak bisa mundur. Lagipula aku tak terlalu tertarik untuk mengulang masalalu kita. Aku lebih suka mengenangnya. Sebab sejarah adalah cermin kita untuk hadir pada masa depan dengan cemerlang. Bukan begitu kata para motivator?

Tapi bicara soal ketololan, memang cinta monyet seringkali bikin tolol. Upaya menarik perhatian lawan jenis sudah dilakukan para binatang jauh hari sebelum manusia ada dibumi. Bahwa pasangan yang dipilih adalah pasangan yang berkarakter. Seorang pejantan akan mencari betina yang memiliki kelebihan dan keunikan. Sebagaimana seorang betina menilai pejantan dari potensinya. Karena kelebihan dan potensi kadangkala bisa dimiliki oleh lebih dari satu pejantan, upaya kawin dunia hewan kerap diwarnai pertumpahan darah.

Dan dunia manusia aku rasa juga tak jauh-jauh beda. Gara-gara rebutan kekasih orang bisa saling tikam. Gara-gara perselingkuhan manusia bisa saling gorok. Dan memang syahwat itu khan juga kebutuhan dasar yang alamiah. Tapi bicara soal potensi aku memang nol kala itu. Aku tak lebih dari penjantan yang pesakitan. Tak ada yang bisa diandalkan waktu itu. Yang bisa kulakukan hanya bersikap “liar”, seliar-liarnya untuk terus menarik perhatianmu. Dan aku sadar cara itu memang tak efektif. Sejatinya seorang pecinta harus mampu menunjukkan produktivitasnya yang tinggi pada orang-orang yang dicintainya. Kerja-kerja produktif adalah kerja kemandirian. Tentu saja jangan disalahkan artikan produktif dengan kesibukan. Banyak orang menganggap produktif itu sibuk. Sibuk ikut organisasi, sibuk mengerjakan PR, sibuk mengurusi kerjaan kantor, kemudian pension dan hidupnya, aktivitasnya dianggap selesai. Padahal produktif itu berkarya. Menghasilkan karya sebagai modal bertahan hidup untuk kemandirian. Manusia yang berkarakter tidak diukur dari seberapa banyak ia mampu menjadi bagian dari manusia elitis, hidup dengan mengandalkan gaji bulanan. Manusia berkarakter diukur dari karya-karya yang dihasilkan. Semakin bermanfaat produktifitasnya bagi banyak orang, maka ia semakin dikagumi.

Hidup menjadi produktif itu memang bukan watak masyarakat negeri ini. Berabad-abad lamanya, sejak feudal hingga colonial kita dipaksa menjadi pemalas. Masyarakat negeri ini lebih bangga hidup menjadi manusia gajian. Padahal tak ada yang bisa diandalkan dari orang-orang gajian, kecuali penghambaan yang total pada birokrasi yang banal. Mudah memang hidup menjadi pendamping manusia gajian; kemapanan jelas didepan mata, kebutuhan hidup nyaris tak kekurangan. Tapi alangkah indahnya seorang manusia yang mampu bertahan dalam penderitaan karena pasangan hidupnya melakukan kerja-kerja produktif hingga akhir hayatnya. Bergembira diatas penderitaan sendiri, susah juga dibagi berdua. Bukankah masih lebih bermakna seorang istri petani miskin yang bersetia sampai mati menemani suaminya yang terus-menerus menyetubuhi sawah untuk produktif mengolah tanah hanya sekedar bertahan hidup, daripada istri pejabat yang mapan dan bahenol tapi selalu saja terangsang melihat pemuda-pemuda ingusan karena suaminya sudah mulai pesakitan?

Terimakasih fee akhirnya kau memang tak memilihku (karena akupun memang tak akan pernah sanggup mendampingimu). Kau telah memiliki pejantan yang mapan. Yang hidup dalam kemapanan dan masa depannya gemilang. Kau tak perlu takut keturunanmu hidup dalam kubangan kemiskinan, kecuali ekonomi keluargamu pailit akut. Tapi tak ada kaum mapan kelas menengah yang berani mempertaruhkan hartanya untuk hal-hal yang masih dalam mimpi. Dan kau bahagia? Pasti! Kemapanan memang kerap dianggap standar dasar kebahagiaan. Sementara akupun juga memlih betinaku sendiri yang lagi-lagi hanya bisa kupeluk dan kusetebuhi dalam mimpi-mimpiku. Sampai akhirnya aku terjaga dan harus mulai percaya bahwa satu-satunya cara bertahan hidup, penuh makna dan dihargai adalah hadir dengan produktifitas tinggi. Aku terus mencobanya fee, terus dan terus. Dan kenangan masa silam kerap menjadi pembuka jalan untuk menemukannya. Karena sesampah apapun sebuah kenangan, ia menyimpan mutiara yang tak ternilai.

Madura, Juni 2009


Jumat, 12 Juni 2009

Rahim dan Vagina Ibu


Aku lahir dari selongsong rahim
yang meludahi bumi dengan liur darah
aku tinggal di gigir musim
yang tak henti menancapkan sejarah


aku mencatat ibu
dengan liur darahmu
yang mulai mengental di bibir vaginamu


hingga malam tiba
hingga tak ada dinding putih yang tersisa
aku mencatat sisa-sisa perihmu
berharap sakit itu tenggelam dalam aduhmu


"sekuat apapun kau mencoba
derita ini tak akan lepas dari jejakmu, anakku.
seperti juga bahagia, ia adalah teman menuju
jalan pulang kita"


dan ketika detik-detik jatuh
bergelantungan di embun pagi
aku saksikan liur darah ibu
mengering dan menjadi peta
di tiap tarikan nafasku

aku mencatat ibu
dengan liur darahmu
yang mulai mengental di bibir vaginamu


Surabaya-Madura 12 Juni 2009