WAKTU

JEDA

Rabu, 24 Maret 2010

BAPAKKU BRIGADIR KEPALA SULAIMAN HASBI

Cerpen Oleh: Edy Firmansyah

Malam itu hujan turun dengan deras. Tapi Andini tak peduli meski bajunya basah karena menerobos hujan. Andini segera mencegat Taxi begitu mendapat pesan singkat bahwa Pacarnya, Irwan, menjadi korban penganiayaan dalam aksi pengrusakan sekretariat Himpunan Mahasiswa di Kota M oleh beberapa oknum kepolisian. Dalam perjalanannya ke rumah sakit berkali-kali Andini mengumpat dan mengutuk polisi. “Dasar Polisi Bajingan! Kalian tak berhak melakukan tindakan brutal itu. Tidak berhak. Shit!”

Sebenarnya Andini mencoba bersikap tegar. Bukankah memang begitu resiko perjuangan? Bukankah begitu resiko memiliki kekasih seorang aktivis, yang tiap kali turun ke jalan selalu dibayang-bayangi ancaman represi aparat Negara? Tapi tak terasa airmatanya leleh juga. Ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya tubuh dan hati Irwan ketika dihantam dan digebuki tangan keras polisi, diinjak-injak sepatu Lars sembari dicaci maki dan dipecundangi. Lelaki yang lembut, penuh pengertian dan penyayang itu, yang telah mengisi hidupnya hampir dua tahun lebih itu kini harus meringis kesakitan di rumah sakit. ” Benar-benar biadab!”

Meski berkali-kali mengumpat, sebenarnya Andini masih setengah hati membenci polisi. Betapa tidak. Ia lahir dan dibesarkan di keluarga polisi. Kakeknya adalah purnawirawan polisi. Tepatnya anumerta. Ayahnya juga seorang polisi. Kakaknya juga seorang polisi, anggota Densus 88 yang terkenal itu. Artinya, biaya hidupnya dari kecil hingga ia kuliah sekarang ini adalah hasil jerih payahnya Ayahnya yang berpangkat Brigadir Kepala mengabdi pada negara. Tapi ayahnya bukanlah sosok yang keras. Selama hidupnya, ayahnya tak pernah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Ia sosok penyabar dan penyayang. Tak hanya pada ibu, juga pada anak-anaknya. Meski seorang polisi yang didik dengan latihan militer yang penuh dengan kekerasan, ayahnya tak pernah membentak atau berteriak jika sedang marah.

”Kekerasan itu menghancurkan Andini. Tidak hanya fisik, tapi secara psikologis. Dan Ayah mencoba mengindari itu didalam menjadi kepala keluarga,” begitu nasehat Ayahnya pada Andini. ” Tak semua Polisi berwatak keji. Tak sedikit pula yang memiliki sikap ksatria dan tidak menggunakan kekerasan dalam menginterogasi pelaku kejahatan,” begitu penjelasannya ayahnya di waktu yang lain ketika Andini mengajak ayahnya diskusi usai mendengar pengakuan Kemat, salah satu korban peradilan sesat dalam acara Kick Andy, yang bercerita ketika ia dinterogasi polisi sambil disiksa dan diancam pistol agar mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, yakni membunuh sesosok mayat yang diduga bernama Asrori.

Kebanyakan Polisi yang memiliki anak yang kuliah selalu menasehati anaknya agar tidak masuk organisasi mahasiswa. Tapi Ayahnya pula, Brigadir Kepala Sulaiman Hasbi, yang justru mengijinkan ia bergabung dalam organisasi mahasiswa dengan alasan yang cukup sederhana; ”Anak muda harus banyak pengalaman dan wawasan yang luas. Dan organisasi mahasiswa bisa mengantarkanmu memperluas wawasan, memiliki banyak kolega dan mendapat banyak pengetahuan. ”

Pun ketika ia bercerita pada Ayahnya ketika sudah resmi menjadi anggota Himpunan Mahasiswa, salah satu organisasi ekstrakampus, ayahnya mengacungi jempol. ” Pilihan yang tepat. Organisasi itu banyak jaringannya. Kau bisa cepat mendapat kerja. Meski polisi begini aku pengagum pemikiran Nurcholish Madjid,” seloroh ayahnya. “Ah, seandainya semua polisi seperti ayahku. Pasti tak ada lagi kekerasan, tak ada lagi adu domba. Tak perlu intelejen polisi untuk mencetak preman-preman bayangan meresahkan masyarakat tapi jika diperlukan bisa membantu polisi. Dan polisi tak perlu harus fokus latihan fisik untuk mengekarkan otot tapi juga wajib baca buku diperpustakaan biar otaknya tak tumpul, sehingga bernas dalam menyelesaikan masalah,” begitu batin Andini.

Tapi Andini memang tak lama di Himpunan Mahasiswa. Hanya satu tahun ia aktif disitu. Berikutnya ia eksodus ke Liga mahasiswa yang menurutnya lebih progresif. Bagi Andini Himpunan Mahasiswa tidak banyak memberikan ghiroh berorganisasi pada dirinya. Himpunan Mahasiswa bagi Andirni bulanlah organisasi yang progresif. Sejarah organisasi itu bagi Andini amat kelam. Pada tragedi berdarah 1965 Himpunan mahasiswa justru bergandengan tangan dengan angkatan darat dalam membantai secara membabi buta jutaan kader-kader PKI dan aktivis organisasi progresif seperti Lekra dan Gerwani. Himpunan Mahasiswa pula yang menjadi pelopor bangkitnya Fasisme orde baru. Sungguh organisasi yang berlumuran darah. Itulah mengapa bagi Andini Himpunan Mahasiswa tak pernah jelas dalam gerakan. Andini masih ingat betapa Himpunan Mahasiswa begitu ultranasionalis ketika gencar berunjuk rasa soal isu-isu ganyang Malaysia, ketika ikon kebudayaan seperti tari pendet dan batik diklaim sebagai milik Malaysia. Tanpa pernah menjelaskan secara historis soal batik. Ya, memang Jawalah yang mempopulerkan budaya membatik sejak abad ke-17. Tapi kebudayaan yang hampir sama dengan batik sebenarnya telah ada di Afrika dan India sekitar 2.000 tahun yang lalu. Pola-pola batik juga amat dipengaruhi oleh budaya Hindu dan, setelah itu, oleh budaya Timur Tengah dengan motif Arabesque-nya. Justru karena "perselingkuhan" inilah motif-motif itu makin beragam.

Pun organisasi ini Tak garang ketika Indonesia memuluskan laju neoliberalisme dengan membiarkan investor asing menguasai sumber daya mineral penting dan memuluskan pakta pasar bebas dengan Cina yang nyata-nyata meluluhlantakkan kehidupan ekonomi masyarakat miskin.

Namun berorganisasi adalah pilihan politik. Itulah mengapa meski kini ia pindah organisasi, cintanya pada Irwan, tak pupus. Cinta tak ada hubungannya dengan organisasi. ”Aku tidak bersetubuh dengan organisasi. Aku bersetubuh denganmu, Mas Irwan,” seloroh Andini ketika berdiskusi dengan kekasihnya.
Soal pindah organisasi itu Ayahnya juga tahu. Dan ia tak banyak bicara soal itu. ”Jika menurutmu itu baik, lakukan. Tapi saran Ayah hati-hati dengan organisasi Liga Mahasiswa. Ia antek komunis gaya baru,” begitu nasehat ayahnya. Andini hanya tersenyum sembari menggeruti dalam hati. ”Isu klise. Sudah masuk keranjang sampah kok masih saja disebar-sebarkan. Huh….!”

Tapi Soal hubungannya Irwan, Ia memang tak pernah cerita pada Ayahnya. Belum, belum waktunya. Tak pernah Irwan diajak ke rumahnya. Pun tak pernah Irwan tahu silsilah keluarganya. ”Jika tiba waktunya aku akan bercerita banyak tentang aku dan keluargaku. Dan aku akan memperkenalkan kau dengan keluargaku. Tapi tidak sekarang,” begitu pinta Andini pada Irwan. Yang Irwan tahu, Andini adalah anak polisi. Titik. Hal itu dilakukan Andini karena tak ingin mengecewakan Ayahnya. Sebab sejak awal kuliah Ayahnya selalu berharap jika Ia menjalin hubungan serius dengan laki-laki, laki-laki itu haruslah Polisi. ” Aku ingin suamimu nanti Polisi, Andini. Aku ingin punya mantu polisi. Apalagi Perwira.” Begitu selalu pesan Ayahnya.

Sebenarnya apa yang dikatakan ayahnya soal keinginannya menjalin hubungan serius dengan polisi tidak tanpa alasan. Setidaknya sudah lima kali Letnan Dua Arbi, salah seorang teman SMA Andini dulu yang juga salah satu atasan Ayah main ke rumah. Juga sudah dua kali Andini diajak nonton film bareng di Twenty one. Tapi sama sekali Andini tak tertarik dengan Arbi. Benar memang waktu SMA Andini pernah pacaran dengan Arbi. Tapi hanya dua bulan. Hanya cinta monyet. Tak lebih.

“Tapi aku masih mencintaimu, Din!” ucap Asbi usai nonton film Bahwa Cinta itu Ada di Twenty One.
”Tapi aku tidak!”

“Lihatlah, Din. Aku dah kerja sekarang.”

”Maaf, Arbi. Bagiku cinta tak ada hubungannya dengan harta atau pangkat. Mungkin bagi Ayahku iya. Tapi Cinta soal hati. Dan aku tak tergiur dengan perwiramu itu. Aku tak pantas untukmu.”

Memang Ayah Andini berharap besar Andini bisa serius dengan Letnan Dua Arbi. Tapi Andini samasekali tak setuju dengan Ayahnya soal cinta. Meski begitu Andini semakin kagum pada Ayahnya, Brigadir kepala Sulaiman Hasbi. Itulah mengapa ia terus mendorong ayahnya agar segera naik pangkat. ”Harusnya Ayah ambil Sekolah Calon Perwira itu. Biar ayah bisa jadi Perwira. Biar Bisa memberikan pendidikan antikekerasan pada anak buah. Agar Polisi-polisi muda itu tak lagi anarkis dan menganggap dia paling hebat dan menganggap orang lain di luar institusi kepolisian atau institusi militer tepatnya sebagai masyarakat rendah yang layak ditindas dan digebuki.”

Tapi apa jawab ayahnya? ”Mau kamu Ayahmu jadi perwira tapi kau tidak bisa kuliah dan jadi sarjana? Mau? Andini, jadi perwira itu butuh uang yang tidak sedikit. Sudah hampir ratusan rupiah Ayah keluarkan untuk masukkan kakakmu ke kepolisian. Sudahlah, cukuplah begini saja, asal anak-anak ayah sukses masa depannya. Kamu bisa kuliah. Kalau mau, kamu sajalah yang cari suami perwira polisi nanti.”

Andini hanya mengulum senyum mendengar penjelasan Ayahnya. Ia kemudian memeluknya erat sekali. ”Ingin aku membahagiakan Ayah dan Ibu sebagai balas jasa membesarkan dan menyekolahkanku. Tapi, maaf Ayah, hingga saat ini aku masih mencintai Mas Irwan. Masih. Dimataku Mas Irwan sudah cukup sempurna. Tapi aku bangga jadi anak Brigadir Kepala Sulaiman Hasbi.” Batin Andini.

***
Hujan sudah reda ketika Andini tiba di Rumah Sakit Dharmala. Ia bergegas ke lantai tiga ruang Paviliun kamar C, tempat Mas Irwan dirawat. Di depan kamar tampak puluhan aktivis Himpunan mahasiswa menyambut Andini.

” Besok mau kita turun lagi. Kamu mau bikin front?” Kata Sidik, ketua Himpunan Mahasiswa

“Aku setuju. Biar jadi mimpi buruk presiden. Polisi sudah habis. Di Toraja Ratusan pelajar SMK
menghancurkan polsek hanya karena temannya dianiaya oknum aparat. Masyarakat semakin paham cara melawan kekerasan terorganisir. Masa kita kalah sama pelajar.”

”Tapi besok kita mencoba tidak tersulut.”

”Setuju. Aku dan kawan-kawan ikut turun besok. Sebelum Kapolda dicopot dan oknum pelaku ditindak tegas. Dan penindakannya disiarkan pada publik. Tapi isu gulingkan SBY-Boediono tetap jalan.”

Setelah beberapa menit berdiskusi, Andini masuk ke kamar rawat dimana Irwan terbaring. Irwan tersenyum. Meski kedua pipinya lebam dan matanya memar, aura ketampanannya masih kelihatan.

“Kau tidak apa-apa, Mas!”

”Tidak! Mungkin hanya sedikit nyeri dibagian ini dan ini.” Sambil menunjuk pipi dan dadanya. Kontan Andini memeluk kekasihnya itu.

” Sudah tahu pelakunya?”

” Tidak semua. Ketika aku tiba di Kantor Polisi untuk melaporkan aksi pengrusakan Sekretariat Himpunan Mahasiswa yang dilakukan beberapa oknum polisi, aku langsung dibekap dari belakang. Kemudian beberapa orang memukuliku ramai-ramai. Semuanya berjaket. Jadi tak kulihat papan nama didada mereka.”

” Kejam betul mereka itu. Tapi Mas ada yang kenal?”

” Ada. Salah seorang yang menginjak-injakku lupa tak pasang resliting jaketnya. Papan namanya kelihatan.”

” Siapa?”

”Sulaiman Hasbi.”

Andini tertegun. Wajahnya yang memerah karena amarah tiba-tiba cair. Kesedihan membekap dadanya. kesedihan yang aneh. Airmatanya leleh.

“Kamu kenal?”

” Sulaiman Hasbi. Ia Bapakku!”


Pamekasan, 07 Maret 2010

Rabu, 10 Maret 2010

SUMPAH POCONG

SUMPAH POCONG
Oleh: Edy Firmansyah


(Dimuat di ANNIDA ONLINE, 09 Maret 2010)

Mungkin kalau bukan karena permintaan Ibu aku tidak mau menemui Mbak Hindun lagi. Buat apa membujuknya lagi untuk mengurungkan niatnya? Percuma memberikan pandangan pada Mbak Hindun. Percuma. Mbak Hidun bergeming dengan keputusannya. Tekadnya sudah bulat untuk melakukan sumpah segala sumpah itu; Sumpah Pocong. Ini sudah kali ketiga aku bertemui dan berbicara pada kakak Sulungku itu. Tapi hasilnya masih sama saja.

“Aku sudah ndak tahan diinjak-injak terus, Din. Nggak tahan. Ini satu-satunya jalan aku mendapatkan harga diriku lagi sebagai perempuan. Aku berani melakukan itu, berarti aku benar. Biar masyarakat kampung sini tahu itu.” Ujarnya sambil menghapus titik air mata yang jatuh dipipinya.

Aku merasakan betul kesedihan Mbak Hundun. Ia memang perempuan sama seperti aku. Tapi ia adalah tulang punggung keluarganya. Kalau bukan Mbak Hindun yang rajin menyisihkan gajinya, ia pasti tak bisa punya rumah sendiri. Mbak Hindun bekerja sebagai pelayan di sebuah café. Sudah berkali-kali ia bercerita padaku bahwa tuduhan suaminya, Mas Purwa, adalah fitnah belaka. Ia bersumpah tak pernah menjual tubuhnya pada pria manapun. Tak pernah. benar memang sebuah café indentik dengan dunia remang-remang. Tapi tak semua perempuan yang kerja disana adalah perempuan gampangan. Bahkan berkali-kali ia sujud di kaki suaminya untuk membuktikan omongannya. Tapi Mas Purwa tak pernah mau mengerti. Sebaliknya, ia mulai kerap memukuli Mbak Hindun. Alasannya macam-macam. Nggak becus kerja rumahanlah. Membantah suamilah. Mbak Hindun memang tak pernah menuruti hobi suaminya yang suka main judi itu. Ia tak pernah kasih kalau suaminya minta duit untuk taruhan bola atau taruhan balapan burung dara. Tapi ia tak pernah mempermasalahkan soal Mas Purwa yang tak punya pekerjaan tetap seperti yang digunjingkan orang-orang kampung. Tak pernah.

Benar memang pernikahan Mbak Hindun dan Mas Purwa memang tak bisa dikatakan biasa. ceritanya begini, sebelum menikah Mas Purwa memang naksir mbak Hindun. Tapi Mbak Hindun selalu menolak cintanya. Entah alas an apa. Sampai akhirnya, Mas Purwa memperkosa Mbak Hindun di pematang sawah. Memang hanya satukali kejadian itu. Tapi Mbak Hindun Hamil. Ketika Mas Purwa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu ia tak mengelak. Itulah yang membuat benih-benih cinta Mbak Hindun tumbuh. “Laki-laki yang baik adalah laki-laki yang mau bertanggungjawab. Aku yakin Ia adalah laki-laki yang baik. Bukankah tak ada manusia yang sempurna, Din. Tak ada. Kita berhak member kesempatan pada manusia yang jahat sekalipun untuk berubah jadi baik. Dan Mas Purwa jelas bukan manusia jahat. ” Ujar Mbak Hindun pada hari pernikahannya.
Namun sejak Mbak Hindun keguguran dan sejak Mas purwa di PHK sebagai buruh pabrik rokok sikapnya berubah. Ia jadi suka memukul. Marah-marah. Kadang mencaci Mbak Hindun di hadapan orang banyak. Pernah Mbak Hindun dijambak rambutnya lalu diseret dari pasar hanya karena ia berbicara lama dengan Kang Usman, teman sekolahnya waktu SD yang baru pulang dari Arab sebagai TKI. Terlebih lagi sejak Mbak Hindun kerja di café. Mas Purwa semakin sering ringan tangan. Bahkan yang paling parah, ketika Mbak Hindun hamil anak keduanya, ia pernah diinjak perutnya oleh Mas Purwa hanya karena pulang Pak Rudi, bekas tetangga Ibu, yang kebetulan Satpam di Café tempat Mbak Hindun kerja. Untunglah jabang bayi diperutnya itu lahir dengan selamat.

Tapi Mas Purwa tak pernah mau mengakui Aldira, anak perempuannya, yang baru saja lahir itu sebagai anak kandungnya. Darah daging Mas Purwa sendiri. “Aku tak percaya padamu lagi, Dun. Anak itu pasti anak haram. Hasil selingkuhanmu. Ngaku saja. Tak perlu pura-pura,” begitu tuduh suaminya. Tak hanya itu Mas Purwa malah menyebarkan gossip pada masyarakat kampung bahwa Aldi, yang lahir dari rahim Mbak Hindun adalah anak haram. Anak selingkuhannya Mbak Hindun.

Itulah mengapa Mbak Hindun bersikukuh melakukan sumpah pocong. Perempuan mana yang tahan dituduh menjual diri. Perempuan mana yang tahan dirinya dituduh berselingkuh dan melahirkan anak haram. ”Perempuan merdeka adalah perempuan yang bebas berkreasi, bebas berekspresi, bebas menetukan nasibnya sendiri, bebas mengembangkan pengetahuan dan wawasan, dan upaya meraih itu semua mendapatkan dukungan dari laki-laki pendampingnya. Dan aku tak pernah mendapatkan itu. Karena itu aku ingin meraihnya, membuka hati suamiku untuk mengerti arti kmerdekaan perempuan,” ujar Mbak Hindun.

“Tapi tidak dengan sumpah Pocong, Mbak. Sumpah, apapun bentuknya tidak menyelesaikan masalah. Sumpah tak akan menyelamatkan pelakunya dari petaka. Entah ia orang jujur atau pembohong sekalipun. Celaka milik semua orang yang hidup. Sumpah tak memberikan pemecahan masalah.”

”Hanya orang yang jujur yang berani melakukan sumpah segala laknat itu, Din. Dan aku tak mau dituduh pembohong dan perempuan pezina. Biar masyarakat tahu itu.”
”Mbak sebaiknya melaporkan kasus KDRT itu pada komnas Perlindungan perempuan atau pihak berwajib. Itu lebih menjanjikan.”

“Menjanjikan apa? Siapa yang percaya hukum sekarang? Prosedur yang berbelit-belit. Birokrasi yang butuh biaya tinggi. Dan interogasi yang keji. Aku tahu Mas Purwa menyakiti aku. Tapi aku tak tega dia disakiti ketika interogasi. Aku tak tega.”

”Mbak……”

”Alah….sudahlah Din. Kau berbusa-busa dengan cara apapun tak akan mengurungkan niatku melakukan itu. Malah aku semakin gigih untuk segera melakukannya. Doakan saja Mbakmu ini selamat dan sumpah pocong itu berjalan lancar. Itu saja sudah cukup membantu.”

Dan lagi-lagi aku pulang dengan tangan hampa. Manusia memang sebuah enigma. Ia tak bisa ditebak isi hatinya hanya dengan sekali menatap matanya. Tidak. Ditengah kelemahan manusia tersimpan sebuah kekuatan yang tak tertuga. Kekuatan itu bisa muncul ketika penindasan sudah tak lagi bisa dibendung raganya.

***

Sumpah Pocong yang dipimpin KH. Minhari di Masjid Al-Hidayah berlangsung lancar. Hampir semua warga kampung menyaksikan prosesi sumpah itu. Beberapa warga menangis. Mungkin iba dan takut tuah yang akan menimpa pelaku sumpah jika ketahuan ia berbohong. Mungkin juga miris akan keberanian perempuan seperti Mbak Hindun berani melakukan sumpah segala laknat itu. Mbak Hindun juga mengucapkan sumpah dengan lancar. Itulah cerita Ibu padaku lewat telepon sehari usai prosesi sumpah pocong itu. Aku memang tak bisa datang. Tugas kuliahku sedang padat-padatnya waktu itu.
Bahkan setelah seminggu usai sumpah pocong itu, pandangan masyarakat pada Mbak Hindun seperti berubah. Mbak Hindun kini tak lagi dipandang sinis oleh masyarakat karena termakan isu Mas Purwa bahwa kakak sulungku itu perempuan nakal dan pengumbar nafsu. Masyarakat juga mulai menerima pekerjaan Mbak Hindun sebagai pelayan café yang menuntut Mbak Hindun harus keluar rumah di malam hari dan kembali menjelang subuh sebagai sebuah profesi yang tak ada hubungannya dengan prostitusi.

“Aku merasa lebih tenang menjalani hidup, Din. Sangat tenang sekali hari-hari ini,” begitu SMS Mbak Hindun padaku.

Sementara Mas Purwa seperti tak berubah. Ia masih menjadi suami yang ringan tangan. Tiap kali pulang ke rumah selalu saja ada pertengkaran dengan Mbak Hindun yang ujung-ujungnya berakhir pada tindak kekerasan. Bahkan Aldira, anak semata wayang mereka yang baru berusia delapan bulan kerap menjadi korban luapan kemarahan Mas Purwa. Yang paling parah Aldi sempat dibawa ke rumah sakit karena telinganya berdarah akibat ditampar Mas Purwa. Oh, perempuan mengapa tak usai-usai penderitaan yang datang menyelimuti hidupmu.

***

Liburan kuliah kali ini aku memutuskan pulang kampung. Selain aku kangen sama ponakanku Aldira yang katanya sudah mulai bisa bicara aku juga pengen rehat sebentar dari rutinitasku sebagai editor lepas. Lagipula sudah dua hari ini baik Ibu maupun Mbak Hindun tak lagi berkirim kabar. Berkali-kali aku hubungi HP Mbak Hindun tapi selalu nada sibuk. Ketika hendak berangkat tiba-tiba Pak De Karta, kakak Ibu yang bekerja sebagai tukang linting rokok di pabrik yang tak jauh dari kontrakanku, sudah ada di depan pintu kontrakanku.

“Tumben Pak De mampir kemari. Ada apa?”

“Nak Andin sendiri mau kemana?”

“Pulang ke Desa. Ada apa?”

“Desa kita kena longsor sejak kemarin. Ribuan rumah tertimbun tanah. Ratusan orang jadi korban. Sekarang masih dalam proses evakuasi. Juga rumah Ibu dan kakakmu. Tapi beruntung Jasad Ibu, Hindun dan Aldira sudah ditemukan. Tapi orang kampong tak berani menyentuhnyaa. Takut kena tulah laknat sumpah pocong. Sementara Purwa pergi entah kemana.”

Aku tertegun. Tiba-tiba tenggorokanku kering. Kering sekali. Oh, Ibu. Oh kakak. Tiba-tiba langit seperti sungsang. Tak kuingat lagi apa yang terjadi. Satu-satunya suara yang kurekam adalah suara Pak De berteriak minta tolong. Setelah itu aku lungrah. Gelap gulita menjelaga dimana-mana. ***


Sampang, Madura Awal Maret 2010

Jumat, 05 Maret 2010

Siang Kelabu Atawa Amir dan Aisyah

SIANG KELABU
Oleh: Edy Firmansyah


Nek, ceritakan padaku tentang Penderitaan.” Kata Fesha pada neneknya yang jago cerita itu. Maka sang nenek bercerita tentang Amir.

Tekad Amir sudah bulat untuk meminang Aisyah, perempuan yang ia pacari sejak setahun lalu. Surat Aisyah yang keduapuluhlima yang baru saja dibacanya itulah yang menjadikan tekad itu menggelora dan menuntut disudahi. Sekali lagi Amir membaca surat itu.

Mas Amir tercinta,
Barangkali Mas tidak menyangka aku akan membalas surat mas secepat ini. Itu karena aku dilanda kegembiraan yang sangat, Mas. Makanya aku segera menulis surat ini.
Mas, abah merestui hubungan kita. Kemarin abah memergoki aku membaca suratmu. Aku sempat takut, Mas. Takut sekali. Takut abah menamparku lagi, seperti waktu kita pertama kali bertemu di belakang pesantren itu. Tapi Abah tidak melakukan itu. Abah hanya berpesan agar kamu segera datang ke pesantren. Abah akan menikahkan kita Mas. Nikah siri. Baru nanti setelah Mas punya pekerjaan tetap, abah akan menikahkan kita di KUA.

Sungguh aku tak menduga Abah bisa secepat itu berubah. Sempat aku ragu kalau-kalau abah hanya hendak mempermainkan kita. Tapi nyatanya tidak. Abah sungguh-sungguh, Mas! Abah bahkan titip salam sama Mas dan meminta maaf atas kejadian di belakang pesantren enam bulan lalu. Karena itu aku bersegera berkirim surat ini, agar mas bisa memberi kabar kapan akan ke pesantren.

Mas, kegigihan kita membuahkan hasil. Mas benar, tak ada yang lebih ampuh usaha. Tak ada yang lebih sejuk dari do’a. Mas harus segera kesini. Aku menunggu dengan segenap cinta.

Yang mencintaimu
Aisyah.


Amir melipat kembali surat dari kekasih hatinya itu. Ya, tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan, batin Amir. Tak ada. Bahkan Haji Siraj, ayah Aisyah, pemilik pesantren putri Al-hidayah tak bisa lepas dari hukum itu. Haji Siraj yang pada awal-awal hubungannya dengan Aisyah begitu membenci dirinya akhirnya luluh juga. Amir masih ingat betul bagaimana Haji Siraj menampar dan mencacinya dihadapan Aisyah ketika ia tertangkap basah sedang berduaan dengan anak semata wayangnya itu.
“Dasar bajingan! Pertama datang kesini kau sudah bikin onar. Mengajak masyarakat berunjuk rasa menolak pembebasan tanah untuk perluasan pesantren. Kini kau ingin menzinai anakku. Dasar komunis sialan. Bertobatlah kamu sebelum dilaknat Allah. Laknat Allah jauh lebih kejam.”

“Plak-Plak!” tangan Haji Siraj cengan depat menampar pipi Amir. Raungan Aisyah tak dihiraukan Haji Siraj. Malah Aisyah diseret kembali ke dalam Pesantren oleh beberapa santriwati. Haji Siraj terus saja mengumbar caci maki dan sumpah serapah pada Amir. Amir tak melawan. Tak ada guna melawan orang yang penuh amarah. Jelas akal sehatnya sedang tertutup kabut benci. Juga orang macam beginian tak bisa lagi diajak diskusi.

Tapi Amir yakin apa yang ia lakukan benar. Bahwa penolakan atas pembebasan tanah untuk perluasan pesantren itu penting. Bagi masyarakat petani, tanah adalah sukma mereka. Ketika petani sudah kehilangan tanah, maka mereka kehilangan daya hidup mereka. Kehilangan rejeki mereka yang sedikit itu. Ketika tanah-tanah mereka sudah habis dijual dengan harga murah atas nama apapun, termasuk juga atas nama agama, mereka akhirnya hanya akan menjadi hamba. Yang laki-laki menjual tenaganya ke kota untuk jadi buruh murah. Sementara para perempuan terpaksa karena tuntutan ekonomi akan menjual tubuhnya. Jadi pelacur.

Boleh saja Haji Siraj bersikukuh bahwa menjual tanah dengan harga murah untuk perluasan pesantren adalah jihad. Jihad atas nama agama. Tapi bagi Amir pernyataan Haji Siraj tak lebih dari pernyataan kaum pemilik modal yang hendak menguasai tanah dengan hukum ekonomi keji; mendapatkan laba sebesar-besarnya (memperluas pesantren berarti menambah daya tampung santriwati. Jika daya tampung bertambah pemasukannya akan bertambah pula) dengan modal sekecil-kecilnya (membeli tanah dengan harga murah) dengan menggunakan agama sebagai tamengnya.

Toh, ketika kriminalitas mulai marak di Desa Sokoturo dan pelacuran mulai menggeliat Haji Siraj tak akan melihatnya sebagai dampak dari ketakbermilikan masyarakat akan akses bertahan hidup yang layak. Karena kemampuan mereka hanya macul dan bercocok tanam, ketika tak punya tanah mereka akan kelimpungan cari makan. Dan sisi paling negatif dari kondisi itu adalah kriminalitas dan pelacuran. Haji Siraj hanya akan berceramah soal kemaksiatan dan perbuatan keji imbas dari tak tekunnya beribadah. Bah….lagi-lagi nantinya ia hendak lepas tangan dengan tameng hadist dan ayat suci.
Itulah mengapa Amir dengan gigih memberikan pendidikan politik dan membangkitkan kesadaran massif pada masyarakat tempat ia KKN. Dan tak sia-sia Amir menggeluti dunia aktivis sejak kuliah. Agitasinya berhasil. Demo besar-besaran terjadi. Rakyat tak jadi menjual tanahnya.

Soal jatuh cinta Amir juga tak merasa dirinya keliru. Ia mencintai Aisyah setulus hati. Meski ayahnya membencinya, toh Amir tak membunuh cintanya. Bagi Amir Aisyah adalah perempuan idamannya. Cantik. Hatinya polos. Berjilbab pula. Amir memang sudah jengah dengan perempuan kota yang tak lebih hanya jadi korban iklan dan mode. Dan Aisyah menurut pandangan Amir tak masuk perempuan korban iklan. Tak hanya itu. Tiap melihat Aisyah, Amir seperti melihat almarhum bundanya. Hidup Aisyah mirip dengan hidup bundanya. Sejak kecil tinggal bersama Ayah karena nenek Amir, Ibunya bunda Amir meninggal. Begitu juga Aisyah. Ia sejak kecil diasuh Haji Siraj tanpa pernah mengenal belaian ibu. Dan entah mengapa hingga Aisyah dewasa haji Siraj tak pernah kawin lagi.

Bukan, bukan pula soal Aisyah anak sematang wayang Haji Siraj yang punya tanah luas dan harta banyak. Bukankah Amir pernah bersikukuh jika hubungannya tidak direstui ia akan bawa lari Aisyah. Itulah mengapa Meski KKN usai dan Amir harus kembali ke Surabaya ia tetap menjalin hubungan dengan Aisyah. Paling banyak memang lewat surat-surat. Tapi pernah dua kali Aisyah datang ke Surabaya untuk sekedar melepas rindu.
Dan memang tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Sebentar lagi ia akan memiliki Aisyah seutuhnya. Tak perlu ada niatan melarikan Aisyah. Tak perlu lagi. Sebab hubungannya kini direstu orang tuanya.

“Oh, Aisyah kabar itu semakin memantapkan cintaku padamu. Dan aku tak akan mengecewakanmu jika kita bersatu nanti. Tak akan. Aku akan menulis lebih giat lagi. Agar lebih banyak yang dimuat di Koran. Agar kita bisa makan dari honor-honor tulisan itu. Bukankah itu lebih membahagiakan, makan dari jerih payah dan keringat sendiri. Daripada sekedar menyusu pada orang tua atau mertua?” begitu batin Amir.
Amir kemudian mengambil Bollpoint dan mulai menulis surat balasan, bahwa minggu depan ia akan dating ke Pesantren Al-Hidayah memenuhi permintaan Haji Siraj.

***

Amir akhirnya tiba di Desa Sokoturo mengendarai vespa bututnya. Matahari sudah meninggi. Tapi Desa Sokoturo masih menyisakan sejuknya embun pagi. Desa yang terletak di Kabupaten Lumajang itu tak banyak berubah. Sepanjang jalan masih dipenuhi debu. Karena jalanan di desa itu tak pernah dikeraskan oleh batu apalagi aspal. Hanya tanah liat berwarna kekuningan. Jika panas berdebu. Jika hujan becek. Di sisi kiri jalan nampak dua-tiga orang mengendarai sepeda sembari membawa rumput, pakan untuk sapi-sapi pembajak. Di sisi kanan jalan nampak beberapa perempuan memikul bakul berisi sayur dan ubi-ubian hasil tanah mereka untuk dijual di pasar. Sawah-sawah terhampar luas. Pohon-pohon bambu yang berdaun lebat semakin menambah hijaunya Sokoturo.

Menuju Pesantren Al-Hidayah tidaklah susah. Cukup mengikuti jalan Desa ini saja sampai di pertigaan pertama, lalu belok kiri. Sekitar 500 meter setelah belok kiri akan terlihat bangunan pesantren yang luas.

Tapi ketika tiba di depan pesantren dada Amir tiba-tiba berdegup kencang. Bayangan Aisyah tiba-tiba melintas dalam benaknya. Tak lagi ditemukan bangunan pesantren yang megah. Yang ada hanyalah puing-puing gedung yang menghitam. Asap masih terlihat membumbung di beberapa bagian gedung. Serpihan kaca, genting dan batu bata memenuhi halaman yang ditumbuhi rumput. Pesantren Al-Hidayah tinggal puing-puing. Beberapa orang Nampak sedang mengais-ngais sisa-sisa reruntuhan.

Ada apakah gerangan? Oh, Aisyah dimanakah dikau berada kekasihku?

“Nak Amir?” sapa seseorang di belakang Amir. Amir menoleh.

“Pak Carik!” keduanya lantas berpelukan. Dulu di rumah Pak carik inilah Amir menginap selama KKN.

“Ada Apa ini pak? Kemana Haji Siraj? Kemana Aisyah?”

“Haji Siraj meninggal tiga hari lalu. Ia dihakimi massa. Ia tertangkap basah tengah menyetubuhi santriwatinya sendiri. Para santriwati yang melihat kejadian itu kemudian melapor ke kepala desa. Usut punya usut ternyata dari kesaksian beberapa santriwati, Haji Siraj tidak hanya sekali dua melakukan perbuatan biadab itu. Setidaknya ada 23 santri yang mengaku pernah ditiduri haji Siraj. Dan atas dorongan teman-temannya ke-23 santriwati itu berani mengaku. Bahkan dua diantara santriwati itu sedang hamil. Warga yang mendengar kesaksian itu langsung kalap. Ratusan warga kemudian menyerbu Al-Hidayah. Membakar pondok pesantren itu, kemudian menggebuki beramai-ramai Haji Siraj hingga tewas dengan mengerikan. Kedua tangannya putus. Di tubuhnya ada puluhan sabetan senjata tajam.”

“Bagaimana Aisyah, Pak? Dimana dia?”

Pak Carik diam lama sekali. Menarik nafas kemudian melanjutkan bercerita. “Aisyah meninggal. Jasadnya jadi abu. Ia mati hangus terbakar. Ketika massa membakar pesantren, Aisyah sedang tidur pulas. Abunya sudah kami kuburkan di belakang Pesantren kemarin bersebelahan dengan makam ayahnya.”

Amir tiba-tiba lungrah. Semangat hidupnya pecah berkeping-keping. Siang itu bumi seakan berhenti mengelilingi matahari. Amir tak sanggup lagi menyangga berat tubuhnya. Amir lindap kemudian jatuh ke tanah.

“Aisyahhhh……”

“Bagaimana nasib Amir selanjutnya, Nek?”

“Itu sama sekali tidak penting cucuku. Sama sekali tidak penting. Bukankah tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan?” Ujar nenek sambil membelai rambut Fesha yang lurus.

Sampang, Akhir Februari 2010

Cerpen ini dimuat di Harian SURABAYA POST, 03 Juli 2010

KENTUT-KENTUT CINTA (Dalam Empat Adegan Cinta)

KENTUT-KENTUT CINTA (Dalam Empat Adegan Cinta)
CERPEN: Edy Firmansyah


Alina menutup gorden warna biru. Kamar hotel yang terang tiba-tiba redup. Tapi sambil menutup gorden tangan Alina tak lepas menutup hidung yang mancung. Sedari tadi Alina dan brondongnya memang sedang mengumbar kentut.

“Tuuuut…..”

“Preeee…t”

“Kentut kamu bau sekali, Pras!”

“Kentut Mbak juga!”

Keduanya lantas tertawa. Kemudian berpelukan dan saling pagut.
“Tapi meski bau, orang perlu kentut setiap hari, Mbak! Kalau tidak bisa jadi penyakit. Kalau sudah jadi penyakit, biayanya mahal. Tapi menurutku bukan hanya perut saja yang perlu buang gas. Otak harus buang gas juga.”

“Ah kau mulai lagi dech….”

“Lha, ini serius. Banyak orang yang sekarang ngomongnya mencla-mencle. Suka menipu, berbohong, itu karena otaknya tak pernah kentut. Para wakil rakyat yang ngomongnya mencla-mencle dan presiden yang ngomongnya berbelit-belit itu karena otaknya tidak kentut. ”

“alah…ngedabrus dech! Seperti apa otak itu kalau kentut?…”

“Kenal semar?” Alina mengangguk. “Nah, semar itu dalam pewayangan jawa adalah tokoh paling bijaksana. Ia muncul ketika masalah menjadi sangat rumit dan butuh penyelesaian bijak. Dalam pertempuran senjata andalannya kentut. Kentutnya itu busuk sekali. Orang yang mencium baunya bisa terkapar. Tapi biasanya usai mencium kentut Semar, musuh-musuhnya langsung khilaf. Itu yang sadar, yang nggak sadar bisa stress. Gila. Nah, pikiran yang baik adalah pikiran seperti kentutnya semar itu. Dan yang paling ideal adalah berpikir secara materialism-historis. Itu penting, Mbak. Nah Mbak sebagai dosen, jika tidak punya bekal berpikir secara materialis akan terjebak pada determinisme sempit. Determinisme itu yang membuat Mbak akhirnya menjelaskan teori-teori di kuliah mencla-mencle, nggak jelas arahnya. Atau menyelesaikan masalah sering serampangan. Sehingga yang lahir bukan masalah selesai tapi memperumit keadaan. Nah biar "kentut otak"nya lancar mbak harus baca buku ini,” Prasetya mengambil buku dari tasnya kemudian menempelkan ke dada alina yang hanya ditutupi BH. Sebuah buku bersampul coklat berjudul Reason in Revolt: Revolusi berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern. Karangan Alan Wood dan Ted Gran.

“Nggak mau ah…”

“Terus maunya apa?”

“Mau kamu?”

Keduanya lagi-lagi tertawa lepas. Kembali saling pagut, tapi kali ini lebih panas. Dan suara Andy F Noya yang memandu acara Kick Andy dengan tema korban-korban peradilan sesat di Indonesia tak kedengaran lagi. Suara Kemat salah satu korban peradilan sesat yang bercerita ketika ia dinterogasi polisi sambil disiksa dan diancam pistol agar mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, yakni membunuh sesosok mayat yang diduga bernama Asrori sudah tertindih suara desah dan erang kedua kekasih yang tengah terbakar birahi.

***

Di sebuah kamar hotel lain, seorang perempuan bernama Lusi menutup pintu kamar sambil menutup hidung karena bau kentut.

“Kentut lagi kamu ya, mas!”

“He…eh”

“bau…k taukk..”

“Biarin. Emangnya kentutnya nggak pernah bau? Kalau sama-sama punya kentut bau jangan saling mencela. Tapi ngomong-ngomong kau suka khan?”

“Preeee….t”

“Ihhhh…najisss!” Lusi menutup hidungnya lagi.

“Cinta itu seperti kentut. Ditahan bikin gelisah, dilepas pengen kentut lagi, eh, maksudku pengen lagi.”

“Gombal”

“Plak!” tiba-tiba Reksa meloncat dari ranjang. Lalu menepuk pantat Lusi yang sedari tadi hanya mengenakan G-string warna hitam dipadu BH warna abu-abu.

“Aku kangen…”

“Ah…gombal. Buktinya aku telepon kemarin tak digubris. Diangkat nggak. Di sms juga nggak!”

“Aku lagi dirumah itu. Sama istri dan anak-anak.”

“istrimu aja kau urusin. Aku nggak.”

“Nah..ini sudah tak urusin. Sekalian tak urutin.”

Keduanya bersitatap. Lalu saling pagut. Tangan Reksa kemudian meraih remote di atas ranjang. Lalu Mematikan televisi yang sedari menyiarkan berita tentang banjir di kabupaten Bandung. Kamar hotel hening. Yang tinggal suara desah dan erang nafsu yang basah.

Diluar hotel, hujan terus mengguyur dengan deras. Dari lantai enam kamar hotel itu terlihat seorang pengemis perempuan yang menggendong anak lari menuju pohon beringin di depan hotel. Tapi hujan terlalu deras keduanya basah kuyup.

***

Di sebuah rumah yang mungil sepasang suami istri baru saja menunaikan sholat Maghrib berjamaah dalam kamarnya. Diarah kiblat tampak sebuah foto keluarga; Reksa, Alina dan keduanya anaknya yang menginjak remaja. Disamping persembahyangan tampak sebuah ranjang dengan sprai biru.

Usai menggulung sajadah, keduanya kemudian bercengkrama di tempat tidur.
“Gimana pelatihannya lancar?”

“Biasa saja. Nih dikasih buku sama mahasiswaku.” Alina menunjukkan buku Reason in Revolt: Revolusi berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern karangan Alan Wood dan Ted Gran, pemberian Prasetya.

“Bagus sepertinya”

“Bagus apanya!? Mahasiswaku pikir aku gampang dipengaruhi dengan buku-buku komunis macam beginian. Nggaklah…”

“Bruuuut….”

“Ah, papa mulai lagi deh kentutnya. Apa nggak bisa dikurangi to? Masak tiap berduaan bawaannya kentut mulu…”

“Tumben protes. Biasanya dengar bunyi kentut langsung nafsu.”

“Nafsu? Emangnya kentut itu obat perangsang apa? Nggak dech…”

“Alah…yang bener?”

“Adauwww. Sakit Pap!” Alina mengusap-usap pantatnya.

“Tapi kalau melihat perkembangan kayaknya pemikiran itu perlu juga dipelajari. Mengingat negeri ini sedang dalam krisis. Toh, Cuba, kemudian Venezuela dan Bolivia sukses besar menjalankan ideologi ini.”

“Kalau papa suka nih baca aja sendiri. Aku nggak.”

“Aku pengen baca kamu aja, dech, mam!”

Apanya yang mau dibaca?”

“Isi celana dalammu.”

“Hus…habis sholat kok ngomongnya porno begitu!?”

“Kalau sama orang lain porno. Tapi sama istri sendiri itu pahala.”

“Alah, mulai ngawur dah!”

“Aku memang sedang mabuk. Mabuk cinta.”

“Broooot……t”

“Ah, papa! Bau nih!”

“Sini kubantu hilangkan baunya”

“Ackhhh…papa jahat!”

Keduanya saling bersipagut. Lamat-lamat terdengar adzan Isya.’ Tapi kedua suami istri itu sudah tenggelam dalam nafsu yang sangat. Yang tinggal kemudian hanya erang dan desah. Dalam setiap erangnya, Reksa membayangkan Lusi yang akan ditemuinya dua hari lagi. Sementara dalam setiap desah, Alina melamunkan Prasetya sedang menggerayangi tubuhnya.

***

Di sebuah rumah yang lain, di sebuah kamar yang lain pula, Prasetya sedang duduk disamping Ibunya yang terbaring lemah akibat kanker stadium empat. Diraihnya tangan sang bunda kemudian menyusupkan jemarinya ke sela-sela jemari ibunya. Pras meresakan betapa dinginnya tangan perempuan yang melahirkannya itu.

“Preet………”

“Hus…nggak sopan. Didekat ibu masih berani kentut pula. Kebangetan kau itu“ teriak Lusi sambil menepuk pundak kakaknya.

“Daripada jadi penyakit. Weeekkk….” Prasetya menjulurkan lidahnya di wajah Adiknya yang manis itu.

“Bruuuu….t”

Sambil bertarung melawan nyeri, sang bunda mencoba menyunggingkan senyum. “Sudah berapa lama nggak pulang, kamu nak?” Suara perempuan itu terdengar sangat lirih seperti berbisik.

“Dua hari, mam!”

“kemana saja? ibu dan adikmu disini kesepian.”

“Cari uang, mam. Buat biaya pengobatan dan biaya kuliahku.”

“tapi lain kali kalau bisa cobalah pulang ke rumah. Jangan tidur di luar.”
“baik, mam!”

“bersihkan badan sana. Lalu kita Jama’ah Magrib bersama”

Prasetya berdiri dari kursi lalu ngeloyor keluar kamar, menuju kamar mandi. Tapi tangannya terus menyeret tangan adiknya.

“Lepasin ah…..”

“Kau harus ikut aku.”

“Kemana?”

“Mandi.”

“Ih…najiss! Mas, lepasin”

“Aku kangen…..”

Kedua kakak beradik itu lenyap dibalik pintu kamar mandi berwarna coklat. Beberapa saat kemudian terdengar suara air mengucur dari kran. Lamat-lamat terdengar suara erang dan desah dari balik kamar mandi bersamaan dengan adzan magrib yang berkumandang dari surau dekat rumah.

Sampang, 16 Februari 2010