WAKTU

JEDA

Minggu, 31 Agustus 2008

Best of The Best Jurnalisme Sastrawi Indonesia

Dimuat di Media Indonesia, 30 Agustus 2008


Judul : Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan
Memikat
Penyunting : Andreas Harsono dan Budi Setiyono
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan : II (Edisi Revisi), Mei 2008
Tebal : xxvi + 324 halaman
Presensi : Edy Firmansyah


Buku yang ada di tangan pembaca ini barangkali merupakan 'warisan terakhir' majalah Pantau. Delapan cerita yang dimuat antologi ini adalah hasil kerja kontributor majalah Pantau antara 2001 dan 2004. Semua karya dalam kumpulan ini dipilih ramai-ramai lewat mailing list. Isinya macam-macam. Mulai dari cerita soal tentara Indonesia di Aceh, cerita soal warga Malaysia yang mengebom Atrium Senen, hingga cerita seorang pemulung bernama Kebo yang mati dibakar warga Jakarta. Bahkan bisa disebut kumpulan ini adalah best of the best reportase majalah Pantau.

Memang buku ini cukup berhasil dalam hal menyuguhkan reportase yang hidup. Bahasanya renyah, alur ceritanya runut. Seakan-akan kita tak sedang membaca sebuah reportase, melainkan sedang membaca cerpen. Para penulis dalam kumpulan ini benar-benar pelari maraton yang tangguh dalam jurnalisme.

Siapa pun bahkan dari kalangan manapun bisa menikmati seluruh isi buku ini. Bahkan keinginan kuat buat menerangkan kepada khalayak ramai tentang jurnalisme sastrawi, atau juga dikenal sebagai narrative reporting, cukup tersampaikan lewat buku ini.

Melalui kumpulan artikel itu pengelola majalah Pantau mencoba membuat perubahan baru jurnalisme di Indonesia. Setidaknya, sejarah tentang jurnalisme sastrawi pernah lahir di Indonesia. Buku ini buktinya. Sebagaimana galibnya sejarah, buku memiliki perjalanan hidupnya sendiri. Apakah disambut antusias atau sepi-sepi saja kita serahkan saja pada pasar.

Edy Firmansyah, Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura.

Selasa, 26 Agustus 2008

Demokrasi Pasar dan Krisis Kesejahteraan

Dimuat di BALI POST, 26 Agustus 2008

Demokrasi Pasar dan Krisis Kesejahteraan
Oleh: Edy Firmansyah

Setelah melewati seabad Kebangkitan nasional, 10 tahun Reformasi dan 63 tahun kemerdekaan, Indonesia seharusnya menjadi bangsa yang semakin kokoh dan sejahtera. Namun ironisnya sampai saat ini negeri ini belum mampu memenuhi kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat.


Buktinya, nasib rakyat tidak berubah. Angka kemiskinan di Indonesia belum membaik. Hingga Juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.

Kondisi diatas semakin diperparah dengan dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 28,6 persen. Pasalnya, harga seluruh komoditas (yang sebelumnya telah merambat naik) akan kembali melonjak. Akibatnya transaksi antarkota, antar propinsi dan antarpulau dipastikan turun drastis, bahkan berhenti total. Sebab harga barang dagangan tak akan mampu bersaing karena harus menyesuaikan dengan biaya transportasi yang juga akan naik.

Akibatnya banyak usaha yang gulung tikar. Sehingga PHK pekerja menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya tentu saja jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat. Berdasarkan perkiraan Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebsar 8,55 persen atau sekitar 15, juta jiwa. Padahal data badan Pusat Statistik mencatat jumlah orang miskin se-Indonesia adalah 16,85 persen dari total populasi atau sekitar 36,8 juta jiwa.

Mempolitisir Demokrasi
Kondisi diatas jelas sangat berbahaya. Sebab di negara-negara dengan jumlah penduduk miskin miskin banyak, tingkat pendidikan rendah, angka buta aksara tinggi, institusi sosial-politik lemah, demokrasi gampang dimanipulasi oleh elite-elite politik oportunis dan pemimpin despotik yang menawarkan janji-janji populis agar bisa terpilih sebagai wakil rakyat di parlemen atau pejabat pemerintahan. Namun, setelah terpilih terbukalah kedok aslinya. Bahwa tujuan para elite politik dan para pemimpin despotik itu merebut kekuasaan tak lain hanya untuk kepentingan pribadi(memperluas kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, menumpuk materi). Dengan tanpa rasa iba, mereka meninggalkan rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Dengan kata lain, demokrasi tak ubahnya ’mesin pencetak uang’ untuk membeli suara dalam pemilu sehingga proses manipulasi demokrasi berlangsung siklikal mengikuti kalender lima tahunan. Yang terjadi kemudian eskapisme kemiskinan yang berujung pada tindakan banalitas massa. Lihat saja, tindak kriminal, teror, penganiayaan, kekerasan dan konflik yang terus menjadi berita sehari-hari di negeri ini pemicu utamanya lebih disebabkan oleh kemiskinan. Dan itu akan terus berlangsung selama demokrasi belum mampu menghasilkan kesejahteraan rakyat yang signifikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan demokrasi bisa meregang nyawa.

Berikutnya akan lahir lahirnya para elite politik, birokrat dan intelektual yang menghamba pada pasar. Mereka berlomba-lomba untuk menguasai segala sumber daya kapital, membangun jaringan untuk kepentingan pasar dan mengambil kebijakan yang melancarkan proses akumulasi modal tanpa peduli dampak itu semua bagi masyarakat miskin.

Dan ketika para elite politik ’pasar’ ini masuk dalam kancah demokrasi, maka yang diterapkan adalah demokrasi dagang. Pembelian suara seakan sudah menjadi fenomena legal dikalangan masyarakat miskin yang buta politik. Demokrasi tak lagi murni dari aspirasi rakyat, melainkan dikendalikan oleh mereka yang memegang uang. Dan sebenarnya kita tengah menyaksikan kematian demokrasi. Dan kesejahteraan hanya akan jadi mimpi.

Menyelamatkan Demokrasi
Karena itu agar ramalan diatas tidak menjadi kenyataan dalam waktu dekat, penting kiranya untuk segera menyelamatkan demokrasi. Dan satu-satu cara yang paling memungkinkan adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat. Penelitian Przeworski dan Limongi (1997) terhadap ratusan rezim otoriter dan demokratis selama tahun 1950-1990 menunjukkan ada keterkaitan erat antara kesejahteraan dan usia demokrasi. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan, semakin lama demokrasi bertahan.

Hanya saja yang menjadi masalah adalah tiap berbicara kesejahteraan maka wajah para intektual dan ekonom akan langsung merujuk pada sistem ekonomi pasar (baca: kapitalisme) sebagai pintu gerbang menuju kesejahteraan. Seakan-akan itulah jalan tunggal menuju langgengnya demokrasi dan terwujudnya kesejahteraan. Pasalnya, sistem ekonomi pasar seiring sejalan dengan kemajuan demokrasi. Sebagaimana yang diutarakan Joseph Siegel (2007) bahwa ”demokrasi di negara-negara industri dikenal sebagai yang paling dinamis, inovatif dan ekonomi yang paling produktif di dunia; demokrasi ini telah memungkinkan negara-negara maju mengakumulasi dan mempertahankan perbaikan kualitas hidup warga negara mereka selama beberapa generasi.” padahal sistem ini telah gagal dalam upaya memberikan kesejahteraan di banyak negara dunia ketiga. Yang lahir justru membengkaknya kemiskinan, meningkatnya jumlah kejahatan, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya utang negara, dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Untuk itu perlu kiranya menerapkan sistem ekonomi alternatif sebagai jawaban atas kebuntuan sistem ekonomi konvensional yang sudah lama kita kenal tapi terbukti gagal menegakkan demokrasi dan mewujudkan kesejahteraan. Sistem alternatif itu bisa diambil dari kebiasaan masyarakat luas, atau digali dari tradisi-tradisi lokal. Dengan begitu, kita tak lagi memnghamba pada sistem asing, melainkan membangun negeri dari keringat sendiri. ***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Sudahkah Indonesia Mencapai Batas Kemerdekaannya?

Dimuat di SURYA, 16 Agustus 2008

Sudahkah Indonesia Mencapai Batas Kemerdekaannya?
Oleh: Edy Firmansyah


Tan Malaka dalam karyanya ”Merdeka 100 persen” menyatakan bahwa merdeka harus ada batasnya. Sebab jika kebebasan yang jadi acuan kemerdekaan, maka lambat laun negara tersebut akan berubah menjadi fasis. Yang menganggap dirinya paring kuat dan benar, sehingga berhak menjajah bangsa lain.

Batas kemerdekaan itu adalah batas keluar dan batas kedalam. Batas keluar adalah tiap-tiap negara merdeka harus mengakui kemerdekaan tiap-tiap negara merdeka lain, besar atau kecil. Tegasnya, kemerdekaan satu negara terletak pula pada kemerdekaan negara lain. Sedangkan batas ke dalam ialah tiap-tiap orang dalam negara yang merdeka mesti menghargai kemerdekaan tiap-tiap warga lain. Sehingga kemerdekaan manusia bisa mengandung ’perdamaian’ buat seluruh manusia. Perdamaian itulah dasar kemakmuran. Dan kemakmuran merupakan esensi dari kemerdekaan.

Kedua batas tersebut harus dipenuhi setiap bangsa jika ingin mendapatkan kemerdekaannya yang sejati. Nah, pertanyaan yang pantas diajukan untuk Indonesia adalah, sudahkah batas dalam dan batas luar kemerdekaan itu diraih oleh negeri ini yang sudah 63 tahun merayakan kemerdekaannya? Terutama ketika kita bicara mengenai kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat miskin yang notabene adalah masyarakat mayoritas di negeri ini.

Benar memang kalau kita kita memaknai batas luar kemerdekaan Indonesia sebagai kemenangan pesatuan bangsa dan terbebasnya Indonesia dari dominasi dan eksploitasi bangsa asing tentu saja semua sepakat bahwa kini kita merdeka.
Namun ketika kita disodorkan dialektika soal kemerdekaan dari dominasi dan eksploitasi model baru dalam konteks perkembangan global, kemandirian Indonesia sebagai bangsa tentu saja patut digugat. Pasalnya, arus globalisasi yang menjadi tren abad ke-20 dimaknai oleh banyak kalangan sebagai bentuk penjajahan baru yang tak kalah garangnya. Tujuannya tetap sama, yakni eksploitasi dengan dampak yang nyaris sama, yakni kemelaratan.
Terkait dengan hal itu, tak heran ketika Kompas menggelar jajak pendapat menyambut hari jadi ke-63 Indonesia terhadap 863 pemilik telepon di sepuluh kota di Indonesia, sebanyak enam dari sepuluh (60,1 persen) responden menyatakan belum merdeka dari tekanan bangsa lain. Artinya, ketergantungan Indonesia pada investor asing dan pinjaman-pinjaman dari IMF dengan syrakat-syarat yang justru merugikan bangsa sebenarnya merupakan bentuk lain dari penjajahan model baru.
Bagaimana dengan batas dalam kemerdekaan kita? Tak jauh beda. kehidupan masyarakat miskin kian hari kian tertekan. Belum selesai penderitaan mereka akibat melonjaknya harga minyak goreng dan beras beberapa waktu lalu, kini mereka dihadapkan dengan melambungnya harga minyak tanah akibat langkanya minyak tanah di pasaran. Di beberapa daerah di Indonesia masyarakat harus rela antre untuk mendapatkan minyak tanah. Kondisi ini disinyalir akibat diterapkannya konversi minyak tanah ke gas oleh pemerintah. Namun ketika minyak tanah telah berkurang dipasaran, masyarakat justru dibuat kelimpungan dengan langkanya gas di pasaran.
Belum lagi maraknya penggusuran PKL, anak jalanan dan pemulung di pusat-pusat kota oleh aparat. Parahnya lagi, tindakan tersebut tidak diimbangi dengan solusi yang tepat. Akibatnya pengangguran terus berlipat-lipat.
Bagaimana dengan pendidikan? Tak jauh beda. Pendidikan yang sejatinya hendak dijadikan pintu keluar dari lembah kemiskinan bagi masyarakat kelas bawah (terutama agar anak-anaknya mereka tidak lagi terjerembab dalam jurang kemiskinan) justru terkunci rapat. Pasalnya, biaya sekolah kian hari kian mahal dan nyaris tak terjangkau masyarakat kelas bawah. Akibatnya angka putus sekolah, angka buta huruf terus meningkat.
Parahnya lagi, pendidikan (baca: sekolah) yang sejatinya menjadi tempat mengasah kreativitas dan mengembangkan imajinasi justru dikebiri hanya sekedar transfer ilmu belaka. Tak ada ruang sedikitpun bagi imajinasi. Murid hanya dianggap kendi kosong yang bisa diisi apa saja oleh guru. Pengajar masih sering menggunakan system pengajaran gaya bank; Yakni siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber yang mencekoki siswa. Sehingga siswa lebih banyak diam (pola hamba-tuan). Siswa tidak dibantu mengembangkan imajinasi dan bernalar jadi kritis.
Padahal bangunan kebangsaan kita terdiri atas varian-varian kebudayaan (subkultur) yang majemuk. Dan bangunan tersebut bisa berdiri ditengah kemajemukan karena, mengutip Benedict Anderson, merupakan komunitas terbayang (Imagined Communities) yang terbentuk atas dasar pembayangan anggota-anggotanya mengenai kehidupan dan cita-cita bersama.
Kondisi ini semakin diperparah dengan prilaku korupsi para pejabat negara yang kian hari kian menjadi-jadi. Seakan-akan mereka sudah tidak peduli lagi dengan nasib jutaan masyarakat miskin di negeri ini.

Padahal sebuah bangsa yang merdeka haruslah mematuhi undang-undang dasar yang menjadi payung hukum bagi sebuah negara untuk menjalankan roda pemerintahannya menuju kemakmuran. Ironisnya undang-undang hanya macan kertas di negeri ini. Benar memang ditegaskan bahwa segala sumber daya alam diolah untuk kemakmuran rakyat, anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, dan pendidikan menjadi hak setiap warga negara. Namun semua itu berbanding 180 derajat dalam realitas.
Jadi tak salah jika kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun sekali hanyalah kemerdekaan lahiriah. Yakni perayaan proklamasi kemerdekaan semata. Namun tidak bagi perayaan kemerdekaan batiniah. Sebab hak batiniah warga mayoritas negeri ini seperti hak atas keperluan hidup seperti;makanan, pakaian, perumahan penghasilan, pendidikan dan sebagainya justru tergerus hingga ketitik nadir. Bahkan ditengah semarak lomba-lomba dan acara seremonial menyambut hari kemerdekaaan.
Karena itu penting untuk kembali mereinterpetasikan lagi makna kemerdekaan yang kita yakini. Sebab hal itu menyangkut sikap kita ke depan terhadap batas terdalam dari esensi kemerdekaan. Dirgahayu Indonesia!***



TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.


Selasa, 12 Agustus 2008

Merdeka Dengan Membaca

Dimuat di WACANA, SUARA MERDEKA, 12 Agustus 2008

Merdeka Dengan Membaca

Oleh: Edy Firmansyah

Barangkali para pendiri negeri ini bakal kecewa jika hakekat dan tujuan proklamasi kemerdekaan 63 tahun lalu hanya dimaknai dengan kesuksesan membangun gedung pencakar langit, mal, plasa, sementara disparitas kemiskinan terus membengkak. Mungkin pula mereka sedang berduka menyaksikan anak cucu bangsa yang lebih suka menghabiskan waktu menonton televisi dan jalan-jalan di mal ketimbang membaca buku.

Padahal, republik ini didirikan supaya anak cucu bangsa bisa terus mengembangkan diri, berkreasi dan melakukan inovasi sebagai modal kemandirian bangsa. Karena saat tidak lagi dikhawatirkan serangan senapa dan bom tiba-tiba. Yang dikhawatirkan adalah serbuan globalisasi yang bisa menjadikan masyarakat negeri ini tergantung pada negeri lain. Melawan ketergantungan dengan kemandirian, kreativitas dan inovasi hanya bisa terwujud jika masyarakat negeri ini adalah masyarakat yang rakus membaca.

Sayangnya hal tersebut tidak terjadi. Meski banyak masyarakat kita yang sudah dapat membaca, namun ternyata belum mampu membaca secara benar, yakni membaca untuk memberi makna dalam meningkatkan nilai kehidupannya.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan (Ajidarma; 2005;133).

Makanya jangan heran jika kualitas sumber daya manusia (SDM) kita masih masih jauh tertinggal dengan negara lain. Kita lebih senang menjadi bebek (baca: mengekor) daripada menjadi trendsetter. Itu karena wawasan pengetahuan kita amat rendah untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru yang memajukan peradaban.

Padahal kalau kita mau menilik sejarah awal kebangkitan bangsa ini, minat baca masyarakat kita ternyata tidak separah yang kita bayangkan sekarang. Pada awal kebangkitan nasional minat baca masyarakat juga tak kalah menakjubkan. Douwes Dekker mencatat setidaknya ada 34 majalah terbitan bangsa Indonesia. Dan pada tahun 1923, ketika diadakan survei terhadap ”pers pribumi Hindia Belanda” ternyata jumlah majalah meningkat jadi 107 macam! Bisa dibayangkan betapa tinggi minat baca dan hasrat menulis bangsa kita waktu itu.

Makanya jangan heran generasi era 45 adalah generasi pilih tanding. Betapa tidak, karena kekuatan imajinasinya yang diperoleh dari berbagai bacaan mereka akhirnya mampu merumuskan secarik kertas proklamasi yang menjadi tonggak berdirinya negeri ini.

Sikap Paradoks
Memberikan pendidikan yang layak bagi setiap warga negaranya adalah tugas pemerintah. Gerakan ini keaksaraan dan pengembangan literasi yang dimotori oleh beberapa elemen masyarakat, tentu akan jauh lebih efektif jika gerakan ini juga didukung penuh oleh pemerintah. Kader-kader baca tentu akan lebih leluasa melakukan pendampingan dan pendidikan literasi pada masyarakat. Terlebih lagi jika didukung dengan kebijakan yang sangat pro literasi.

Tapi hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, sikap pemerintah seringkali paradoks dalam upaya meningkatkan literasi masyarakat. Benar memang pemerintah gencar melakukan program pemberantasan buta aksara. pemerintah juga kerap memasang slogan-slogan di berbagai pusat keramaian dan sudut kota untuk menumbuhkan minat baca seperti: Budayakan membaca buku, Buku adalah jendela dunia, Biasakan memberi hadiah buku, dan lain sebagainya. Tapi dorongan untuk menumbuhkan minat baca tersebut seringkali kontradiktif.

Mau bukti? pemerintah telah memangkas anggaran untuk perpustakaan sebagai dampak dari pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10 persen. Akibatnya, bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat sebesar sektiar Rp. 41 miliar di 33 proponsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga terancam batal. Sedangkan pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya yang sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya. (Kompas, 21/0408).

Padahal perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan. Sejarah telah membuktikan betapa perpustakaan mampu melahirkan orang-orang besar. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Gusdur, tak akan mungkin memiliki pemikiran brilian yang mampu memberikan perspektif baru dalam kemajuan bangsa jika tidak ditunjang oleh buku-buku. Bahkan Eka Budianta, salah seorang budayawan Indonesia, dari kecil sudah biasa nangkring di perpustakaan umum Kota Madya Malang, meskipun harus bersepeda 5 kilometer.

Tapi yang terjadi di negeri ini justru kebalikan dari semua itu. Bukan rahasia umum kalau perpustakaan umum dan daerah yang sudah ada justru tak terurus dan terkesan diterlantarkan. Koleksi bukunya sudah usang, tempat penyimpanan tidak representatif dan nyaris tidak ditemukan buku-buku baru. Toh, meskipun ada buku baru, biasanya buku dengan sampul dan isinya masih mulus (karena tak tersentuh) tapi terbitan lama. Pengunjung setianya pun bisa dihitung dengan jari.

Karena itu satu-satu jalan melejitkan kemampuan SDM manusia secara maksimal adalah pemerintah harus proaktif dan terlibat penuh dalam kerja-kerja literasi. Negara Jepang sudah membuktikan betapa dasyatnya kekuatan buku. Setelah gagal dalam Perang Dunia II dan porakporanda dihantam bom atom AS, Jepang mulai membangun kembali negerinya dengan membaca.

Mereka mulai memasukkan ratusan bahkan ribuan buku dari luar Jepang, menerjemahkannya ke dalam bahasa Jepang, lalu mulai menganjurkan masyarakatnya untuk terus dan terus membaca. Hasilnya luar biasa. Hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun, Jepang mampu bangkit. Bahkan kemudian mengimbangi kemajuan Amerika Serikat dan banyak negara maju lainnya dalam membangun ekonomi dan teknologi. Saya yakin semua elemen negeri ini tak mau terus-terusan menjadi bangsa benalu. Karena itu, tidak ada kata lain untuk membangkitkan lagi ghiroh kemerdekaan, selain membangkitkan semangat membaca masyarakat.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Senin, 11 Agustus 2008

Bagai Ayam Mati di Lumbung Padi

Dimuat di KPO Bali, Edisi 157, 1 - 15 Agustus 2008

Bagai Ayam Mati di Lumbung Padi


Judul : Ironi Negeri Beras
Penulis : Khudori
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2008
Tebal : xvi + 366 Halaman
Peresensi : Edy Firmansyah


Hampir semua negara di dunia kelimpungan ketika tiba-tiba harga beras melonjak dan mulai langka di pasaran akhir-akhir ini. Antrean penduduk di berbagai belahan dunia untuk mendapatkan jatah beras subsidi mewarnai media cetak dan stasiun televisi. Pasalnya, beras merupakan pangan pokok (stape food) bagi sekitar 3 miliar orang atau sekitar separuh penduduk dunia. Bahkan di banyak negara di Asia, beras menyediakan 30 – 80 persen kebutuhan konsumsi kalori per kapita.

Sejatinya petani Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang paling beruntung dengan keadaan tersebut. Indonesia adalah salah satu produsen dan konsumen penting beras dunia. Sekitar 70 persen dari 25,4 juta rumah tangga petani adalah petani beras (baca: padi) (hal. v). Para petani akan menuai hasil karena di tangan petanilah produksi pangan dilakukan. Melalui tangan petani pula distribusi pangan disalurkan. Tapi yang terjadi justru jauh panggang daripada api. Di tengah melonjaknya harga pangan dunia, para petani ibarat ayam mati di lumbung padi. Sebab penghasil pangan manusia itulah yang menjadi kelompok pertama yang menderita kelaparan, bagaikan ayam mati di lumbung padi.

Berdasarkan data Badan Bimas Ketahanan Pangan tahun 2004, jumlah kabupaten/kota yang termasuk kategori rawan pangan berisiko tinngi dan sedang terus mengalami peningkatan drastis. Pada tahun 2000 jumlah kabupaten/kota yang mengalami rawan pangan mencapai 138 kabupaten/kota atau 42,59 persen. Namun pada tahun 2002 jumlah masuk daerah rawan pangan naik menjadi 139 kabupaten/kota atau 48 persen. Ironisnya lagi, propinsi-propinsi yang tergolong lumbung pangan nasional dan pangannya selalu surplus, seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan justru dilanda rawan pangan.

Sebenarnya masalah rawan pangan ditengah gelimang beras bukanlah monopoli Indonesia. Berdasarkan laporan United Nation Population Funds (UNFPA) yang diterbitkan akhir September 2001 menyebutkan bahwa meski secara teoritis semua penduduk dunia bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, tapi kenyataannya hampir semua penduduk mengalami kekurangan pangan, dan kebanyakan terjadi di negara berkembang, termasuk hampir semua negara Afrika sub-sahara. Di negara berpendapatan rendah ini, tak kurang 800 juta orang kekurangan makan kronis (hal. 105).

Apa penyebabnya? Khudori dalam bukunya berjudul Ironi Negeri Beras ini memberikan jawabannya. Setidaknya ada tiga hal mendesak yang ditekankan dalam buku setebal 366 halaman ini agar negeri ini kembali bangkit menjadi negeri yang kaya beras. Pertama, mempertimbangkan pengolahan pertanian dengan prinsip keragaman hayati dan kearifan lokal. Dengan kearifan lokal, terbukti nenek moyang kita mampu membangun kebutuhan akan obat farmasi, bahan kosmetika dan pangan bergizi dari flora dan fauna. Dari cara-cara itu, usia hidup nenek moyang kita bisa melebihi 80-90 tahun.

Pasalnya sejak Revolusi Hijau ditancapkan di negeri ini sepanjang tahun 1960-an hingga 1970-an para petani seakan kehilangan falsafah hidupnya. Bahkan Greertz (1973) menghipotesakan sebagai agricultural involution (pemungretan pertanian). Para petani telah terpisah dalam alam lingkungannya. Revolusi Hijau telah memaksa petani memenuhi asupan produksi berupa bibit unggul, pupuk buatan, pestisida dengan membeli pada toko-toko besar yang menjadi perusahaan transnasional milik bangsa-bangsa utara. Memang dengan revolusi hijau produksi bisa digenjot. Hanya dalam tempo 14 tahun, produksi padi di Indonesia bisa dipompa dari 1,8 ton per hektar menjadi 3,01 ton per hektar. Puncaknya Indonesia bisa berswasembada beras pada tahun 1984. Namun kebanggaan itu tidak berlangsung lama.

Sebab asupan kimiawi yang tidak terkendali dan pola tanam monokultur dari program Revolusi Hijau telah menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Tidak banyak disadari bahwa penggunaan pestisida justru lambat laun menciptakan mutasi gen pada hama sehingga hama pertanian menjadi kebal terhadap pestisida. Disamping itu, pestisida juga turut membunuh predator hama yang sejatinya memberikan perlindungan pada hasil pertanian. Makanya jangan heran jika saat ini para petani sering gagal panen karena serangan hama. Belum lagi kerugian petani karena lepasnya keragaman bibit lokal ke tangan korprasi transnasional.

Kedua, sudah saatnya Indonesia tak lagi menjadi ’anak manis’ kebijakan internasional semacam IMFdan WTO. Indonesia harus berdiri diatas kaki sendiri dalam menentukan ketahanan pangan. Sebab terbukti liberalisasi pasar pangan domestik justru memperburuk ketahanan pangan nasional. Sudah semestinya Indonesia belajar dari sejarah. Sejauh ini, negara-negara maju masih memberikan subsidi demikian besar kepada para petaninya bukan semata-mata karena negara-egara tersebut kaya, melainkan karena pangan adalah cerminan kedaulatan bangsa (hal.305). Sungguh merupakan sebuah ironi ketika pemerintah Indonesia justru menarik subsidi sehingga menyebabkan petani berada dalam kubangan kemiskinan.

Ketiga, segera melakukan reformasi agraria. Ibarat sebuah rumah, reformasi agraria merupakan pekerjaan memasang fondasi rumah. Rumah bisa saja berdiri tanpa pondasi, amun rumah tak akan bertahan lama reformasi agraria merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam merombak dan menata kembali bentuk-bentuk penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria dan hubungan sosial agraria bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.(hal. 335-336)

Tanpa reformasi agraria, seluruh usaha teknologis dan moneteris di pedesaan dan pertanian untuk menjadikannya sebagai motor penggerak industri manufaktur hanya akan berakhir dengan ketimpangan, karena akar masalahnya sebenarnya berasa pada alokasi sumberdaya yang tidak adil.

Dan untuk memenuhi tuntutan mendesak tersebut diperlukan keberanian baja pemerintah sebagai penentu kebijakan. Sebab tanpa memiliki keberanian untuk melakukan perubahan, saya rasa kesejahteraan—para petani khususnya dan masyarakat luas pada umumnya—hanya tinggal mimpi. Semoga tidak!

(Peresensi: Edy Firmansyah, pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura). Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy) Jakarta.

Rabu, 06 Agustus 2008

Sisi Lain Keberanian Para Laskar Mawar

Dimuat di BEDAH PUSTAKA, MEDIA INDONESIA 02 Agustus 2008


Sisi Lain Keberanian para Laskar Mawar
Oleh: Edy Firmansyah



Judul : Laskar Mawar: Drama Perempuan-Perempuan Pelaku Bom Bunuh
Diri di Palestina
Penulis : Barbara Viktor
Penerjemah : Anna Farida
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : xlii + 404 Halaman

Dalam derita penjajahan Israel, telah lama perempuan menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Mereka adalah anak yang menyaksikan ayahnya ditawan, istri yang merelakan suaminya hilang tanpa jejak, ibu yang menguburkan putranya. Bahkan sebagian perempuan Palestina menempuh jalan perjuangan baru. Mereka memilih meledakkan diri sebagai ”Laskar Mawar.”

Adalah Wafa Idris, seorang perempuan berusia 26 tahun yang menjadi pelopor kamikaze perempuan Palestina. Pada siang hari, 27 Januari 2002, ia meledakkan dirinya hingga berkeping-keping di tengah Kota Jerussalem di sebuah pusat perbelanjaan, dan menewaskan seorang lelaki Israel dan melukai 131 orang-orang yang lalu lalang.

Meski sejatinya buku ini merupakan sebuah liputan investigasi, pembaca tidak akan merasakan kejenuhan sebagaimana halnya membaca sebuah berita umumnya. Karena Barbara menggunakan teknik jurnalisme sastrawi yang dikenalkan sejak tahun 1960-an oleh Tom Wolfe. Wawancaranya dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya berbulan-bulan. Dan hasilnya, sebuah tulisan yang panjang yang memadukan teknik jurnalisme ketat serta gaya bercerita novel. Bahkan buku ini berhasil menggambarkan dengan begitu jelas posisi kaum perempuan Palestina ditengah kepungan penjajahan Israel dan dibawah tekanan budaya Patriakat.


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.