WAKTU

JEDA

Rabu, 30 Mei 2012

Review Buku SELAPUT DARA LASTRI

Selaput Dara Lastri, Keperawanan Dalam Pandangan kaum Urban
Oleh: Elly Suryani
Penulis dan Pecinta buku, tinggal di Palembang

Seminggu yang lalu seorang teman berjanji akan mengirimkan bukunya pada saya. Janji yang rupanya ditepati. Pada sebuah siang yang terik beberapa hari yang lalu, bertenggerlah buku itu di salah satu meja pabrik tempat saya bekerja. Judulnya "Selapaut  Dara Lastri". Inilah review yang saya buat untuk buku itu.

Sebagaimana judulnya yang cukup "Eyecathing", tentu saja buku itu menarik minat. Tak hanya bagi saya, juga beberapa temen sekerja. Ya, buku itu tertinggal di meja saya. Maka beredarlah ia dari meja ke meja. Cewek-cewek cekikan membacanya. Kata mereka, keren. Ceritanya spontan, mengalir juga  lucu meski penulisnya tak bermaksud melucu. Hm, hm, baiklah sayapun tak sabar ingin segera membacanya.


Setelah tadi saya ambil buku itu dan membacanya sembari lesehan di ruang keluarga, taulah saya mengapa buku ini dikatakan keren oleh teman-teman kerja saya. Ya...., buku ini memang keren. Sebuah buku Antologi Cerpen berisikan 15 cerpen. Diberi judul "Selaput Dara Lastri" sebagaimana cerpen pertama yang ditampilkan, saya kira juga yang ditonjolkan dalam buku ini.

Oh Lastri yang risau menjelang perikahan karena selaput dara tak utuh,
Apalah arti selaput dara di zaman modern ini....
Hanyalah konstruksi sosial masyarakat feodal/kapitalism yang menindas....
Hanya simbol kebengisan laki-laki dalam memarjinalkan posisi perempuan secara politis....


Tetap saja Lastri tak bisa lepas dari streotif yang melekat di kepalanya. Bahwa laki-laki menuntut keperawanan saat malam pertama. Maka lastri melakukan opreasi pemasangan selaput dara, he, biayanya 10 juta. Tiga bulan setelah malam pertama dengan selaput dara palsu itu, Lastri berteriak histeris. Laki-laki yang ia sebut suami itu rupanya seorang gay. Hahahahaha.

Pada titik tersebut, spontan saya teringat tulisan saya tentang Roro. Ya, cerpen Edy Firmasnyah berjudul "Selaput Dara Lastri" itu seolah mengatakan hal yang dikatakan Roro bahwa laki-laki itu hanya ada 2. Kalau tidak bajingan, ya homo. Hm, hanya kesan tidak langsung yang saya tangkap dari buku ini.

Ya ya ya. Apa yang dikisahkan dari cerpen Selaput Dara Lastri bagi saya cukup menggambarkan bagaimana pandangan kaum urban tentang "Keperawanan". Meski dalam dunia kosmopolitan di perkotaan yang notabene sering membahas bahwa keperawanan tidak identik dengan utuhnya selaput dara (Hymen), toh perempuan sendiri tidak bisa melepaskan diri dari stigma yang dibentuk masyarakat atas arti keperawanan dan tuntutannya pada malam pertama perkawinan.

Itu baru cepen "Selaput Dara Lastri. Lalu bagaimana dengan 14 cerpen lain ? Keren juga. saya suka Balada Suratmi. Sungguh, saya tidak menulis review yang baik jika saya tidak mengatakan kesan pribadi saya apa adanya atas buku ini. Buku ini bagus, dan saat membaca buku "Selaput Dara lastri" saya seperti menemukan sedikit gaya Seno Gumira Ajidarma di dalamnya. Ketika membaca cerpen "Kentut-kentut Cinta" saya seperti melihat gaya Seno di cerpen yang bercerita tentang pasangan selingkuh yag sama-sama gemar makan pete (lupa judulnya). Ini sah-sah saja. Saya kira ada banyak penulis yang sadar atau tidak sadar menulis dengan gaya penulis yang ia sukai. Mungkin, hanya perasaan saya saja.

Begitulah.  Buku berjudul "Selaput Dara Lastri" karya Edy Firmansyah ini jelas buku menarik. Sebagaimana yang saya tau, dia penulis yang cukup produktif. Mantan wartawan yang aktif menulis di beberapa media massa. Rugi bila anda tak memiliki buku (sudah diujicobakan pada rekan-rekan kerja saya, hehe). Bila anda ingin memilikinya, hubungi saja penulisnya Edy Firmansyah. Blog pribadinya, http://edy-firmansyah.blogspot.com. Twitternya id @semut_nungging. Atau cari di website Indie Book Corner. Selamat mencari. Salam. 


Sumber: http://newsoul-sayangidirimu.blogspot.com/2012/05/selaput-dara-lastri-keperawanan-dalam.html

Selasa, 22 Mei 2012

Sebuah Dunia

Sebuah Dunia

pada setiap beras terbayang petani menghujam cangkul
betapa sebagian hidup cuma menahan pukul
pada setiap barang ada keringat buruh
betapa sebagian hidup bangkit dari jatuh

sebuah dunia adalah kerling nasib nelayan di mata ikan
betapa hidup terus mengepal

pada setiap jalan aspal selalu ada lubang
betapa sebagian hidup hanya menghitung kekalahan
setiap melintasi lubang selalu ada kejut
betapa sebagian hidup cuma menahan rasa takut

sebuah dunia memang tak selebar sayap camar
sebab hidup cuma mengakhiri lapar