WAKTU

JEDA

Senin, 26 Juli 2010

DONGENG SEBELUM TIDUR

DONGENG SEBELUM TIDUR


I
Malin kundang terpaksa melaporkan ibunya pada polisi. Ia kesal dikutuk jadi batu.
''Terpaksa saya lakukan. Karena hak saya sebagai anak dirampas'' ujar Malin ketika diwawancarai wartawan

II
Begitu jam 12 malam berdentang, semua pengunjung pesta berhamburan keluar. Melepas sepatu kaca, melompat ke kereta dan hilang entah kemana.
Kini tinggal Cinderella sendirian di ruang pesta. Ia memijit-mijit kedua kakinya, karena lelah berdansa menggunakan bakiak!

III
Tiap kali bapak bercerita tentang masa kecilku hidungnya selalu memanjang dan ibu tibatiba menjelma menjadi batu.

IV
Srigala itu akhirnya kena getahnya sekarang. Setelah sekian lama menyamar jadi domba, ia lupa melepas bulu dombanya dan lupa cara melolong. Begitu tiba dikomunitasnya, ia dibantai ramairamai.

V
''Mengapa tak segera kau cium kodok itu agar berubah jadi pangeran dan kalian hidup bahagia?'' tanya tukang cerita pada tuan putri.
''Aku lebih suka ia jadi kodok. Sebab ketika jadi pangeran ia selalu berencana kawin lagi'' ujar si putri.

VI

Bawang merah dan bawang putih kini saling mencintai. Malah keduanya memutuskan mengadopsi anak bernama bawang prei. Satusatunya orang yang mereka benci adalah pengarang cerita mereka. Pengarang itulah yang membuat mereka saling membenci. Itulah mengapa bawang merah melaporkan pengarang itu pada yang berwajib dengan tuduhan pencemaran nama baik.

VII
Si kancil kini bukan lagi anak nakal. Ia lebih tepat disebut kriminal. Ia tak mencuri timun sekarang. Tapi mulai berani memperkosa istri pak tani.

VIII
Para buaya tahun ini berbondong-bondong masuk TK. Mereka sudah lelah dikibuli kancil dan kelinci disetiap cerita.

IX
Niat Bandung bodowoso mengawini jongrang sudah didepan mata.Pembangunan candi tinggal satu stupa lagi. Tapi tiba2 semua jin berhenti kerja.
''Kenapa kalian berhenti! Masih jam. 01.00. Ayo lekas!
''Tuan lupa. Sekarang pas 1 mei. Jadi kita mogok kerja, persiapan demo ke senayan!'' ujar seorang jin yg jadi pimpro.

X

Padahal Aladin sudah lakukan sesuai buku petunjuk: Gosok lampunya tiga kali. Jika Jin penunggu lampu itu keluar segeralah ucapkan satu keinginanmu. Tapi ketika ia gosok lampunya yang terjadi justru Aladin terhisap masuk kedalam lampu itu dan tak bisa keluar hingga sekarang.

XI
”Mengapa kau menciumku?” ujar putri tidur
”Bukankah begitu jalan ceritanya. Aku datang, mengalahkan penyihir membangunkanmu dengan ciuman dan kita hidup bahagia.” Jawab Pangeran dari seberang
Si putri turun dari pembaringan. Kemudian menangis tersedu di sudut ruangan. Ia sedih karena harus berpisah dengan pangeran lain yang lebih tampan dalam mimpinya. Padahal ia sudah hamil dua bulan.

XII
Setelah ratusan tahun menyimpan dendam, tanpa sepengetahuan penulis cerita, si kelinci mendatangi si kura-kura dan menantangnya adu lari lagi. Dan si kura-kura setuju.
”Tapi ingat, tak ada kecurangan seperti pertandingan dulu itu!” ujar kelinci. Si kura-kura mengangguk pelan.
Pertandinganpun dimulai. Dan bisa ditebak si kura-kura lagi-lagi tertinggal di garis belakang. Tapi sekitar 500 meter mendekati garis finis, si kelinci jatuh tersungkur meregang nyawa karena serangan jantung.
”Itulah akibatnya kalok membuat cerita sendiri. Sudah renta begitu kok adu lari,” ujar penulis cerita sambil geleng-geleng kepala.(*)

Selasa, 13 Juli 2010

SENJA DI HALAMAN BELAKANG RUMAH

SENJA DI HALAMAN BELAKANG RUMAH

pada: Nurfa Rosanti

hujan baru saja usai sayang
awan hitam yang menggumpal sudah pecah digiring angin
burungburung yang berteduh dipohon akasia
bergerombol pulang kesarang

bau tanah basah
senja merah saga
dan kita menikmatinya berdua
dihalaman belakang rumah

tapi apakah pemulung yang baru saja berlalu menikmati keindahan itu, sayang?
mengais-ngais sampah; memungut botol aqua
memasukkan popok anak kita yang bau pesing ke keranjangnya
Mungkin ia alpa bahwa senja begitu sempurna sore ini
Yang ia ingat hanya sampah, keluarganya yang lapar dan perut sendiri yang keroncongan

sementara kita disini. berpelukan sembari menatap pelangi
karena kemarin baru saja gajian.

percuma sayang, uang 5000 yang kau berikan tak merubah masa depan mereka
rasa iba adalah kemewahan yang sia-sia. kita tak mendapat apa-apa kecuali
mengkalkulasi pahala.

Kalau kemiskinan adalah politik
puisi ini juga tak berarti apaapa
sampai kita turun ke jalan mengakhiri penindasan

hujan sudah usai sayang
mari mandi, hari sudah petang


[100710]

Jumat, 09 Juli 2010

KONSUMERISME DAN KETERPINGGIRAN SASTRA

Konsumerisme dan Keterpinggiran Sastra
(dimuat di Halaman Horizon RADAR SURABAYA , 04 Juli 2010)
Oleh: Edy Firmansyah



Boleh jadi Emha Ainun Nadjib benar jika mengatakan sastra relatif tidak tercantum dalam daftar prioritas kebutuhan masyarakat. Shampoo, lipstik, kondom, T-Shirt, obat jerawat, conditioner, obat nyamuk jelas lebih dianggap penting dibandingkan dengan karya sastra. Artinya, sastra dikategorikan sebagai sesuatu yang boleh tidak ada sementara celana Jeans atau jam tangan tergolong harus ada.

Kalau tiba-tiba buku Laskar Pelangi (LP) karya Andrea Hirata atau Ayat-ayat Cinta (AAC) karangan Habiburrahman Shiraizy mampu membius ribuan pembacanya sehingga bisa best seller kemudian difilmkan, bukan karena masyarakat Indonesia menjadi peduli terhadap karya sastra. Melainkan redupnya karya sastra berbau lendir yang sempat mencuat dipasaran buku. Juga karena gencarnya praktek promosi yang berhasil memaksa kesadaran mengambang masyarakat terutama kaum muda untuk menjadi latah.

Faktanya ketika pengumuman UN tingkat SMP dan SMA (yang rata-rata adalah penggemar LP dan AAC) justru tingginya angka ketidaklulusan siswa akibat jebloknya mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam masyarakat yang lebih luas, masih maraknya prilaku banal, anarkis dan korup jelas adalah indikasi rendahnya semangat bersastra kita. Bukankah sastra—meminjam Mochtar Lubis—adalah kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradap?

Meski demikian keterpingiran sastra dalam masyarakat tidak murni berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak bisa serta merta disalahkan dalam hal ini. Pengaruh eksternal di luar masyarakat justru lebih berpengaruh dalam tindakan masyarakat dalam menyikapi kesusastraan.

Setidaknya ada tiga faktor eksternal yang mempengaruhi respon masyarakat terhadap sastra. Pertama, sikap pemerintah yang relatif tidak mengakomodasikan atau kurang menyediakan peluang-peluang bagi terapresiasikannya seni sastra oleh warga masyarakat umumnya.

Dalam seluruh jenjang pendidikan formal misalnya, pelajaran yang paling dominan justru pelajaran eksakta seperti matematika (5 jam per minggu), fisika (5 jam per minggu), biologi (4 jam per minggu) dan kimia(3 jam per minggu). Sementara pelajaran sastra yang terangkum dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia alokasi waktunya sangat sedikit (5 jam seminggu) itupun diberikan tidak secara maksimal, karena banyak kasus guru pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak paham tentang sastra.

Yang terjadi kemudian, jangankan membaca Roman Layar Terkembang karya St Takdir Alisjahbana atau Belenggu karya Akhudiyat hingga tuntas, membuat synopsis cerpen robohnya surau kami karya AA Navis sungguh merupakan hal yang menjemukan bagi siswa. Dan bisa diterka, sastra hanya dihapalkan ketika di pendidikan formal saja, tepatnya menjelang ulangan saja. Selepas itu tidak lagi. Karena pendidikan formal tidak pernah menunjukkan betapa pentingnya sastra.

Padahal menurut Friedrich Schiller sastra adalah vitamin batin yang mampu mengasah kreativitas, kepekaan atau sensitivitas kemanusiaan sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil dan picik. Bukan hanya bagi pekerja sastra saja, tetapi juga bagi penikmat sastra.

Kedua media. Bukan rahasia umum lagi sastra di hadapan media hanyalah merupakan kolom mingguan. Karya sastra (puisi, cerpen dan essai budaya) hanya muncul dalam satu halaman penuh di hari minggu. Itu pun seringkali tidak lengkap. Bahkan bisa tidak muncul bukan karena tidak ada yang mengirimkan karya tapi lebih dikarenakan desakan iklan.

Akibatnya dalam benak masyarakat terbentuk image bahwa karya sastra hanyalah bacaan santai, dimana orang tidak perlu mengerutkan dahi dibandingkan dengan membaca artikel atau berita-berita politik.

Terakhir, sebenarnya keterpinggiran sastra di mata masyarakat tidak lain dan tidak bukan karena ulah para sastrawan itu sendiri. Ketika kran reformasi dibuka dan tak diberlakukannya sensor-sensor, sastra(wan) justru terseret ke dalam budaya pop. Bahkan untuk bertahan sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop. Bisa dilihat kemudian, yang lahir adalah sastra selangkang yang menurut sejumlah orang mendekati film biru. Sementara karya humanis-fenomenal yang bercerita realitas sosial, semisal milik pramoedya anata toer yang berkali-kali menghantarkan penulisnya (satu-satunya pengarang Indonesia) menjadi kandidat nobel sastra dunia masih dilarang beredar.

Paradoksal diatas tentu saja wajar jika melahirkan pertanyaan; kemana pengarang lain? Bukankah pengarang kata Pramoedya Ananta Toer adalah avant garde melawan ketidak adilan dan krisis kemanusiaan. Kemana pengarang yang lain? Sedang giat menulis atau justru terbelenggu di dalam arus reformasi sehingga tidak bisa berbuat apa-apa? Atau apakah justru kebebasan malah membuat sastra terus terpinggirkan?

Pertanyaan diatas tentu saja terasa aneh. Sebab tatkala intervensi dari luar—ketika orde baru berjaya—semakin ketat menghambat ruang gerak kreativitas sehingga banyak sastrawan menuding bahwa kebebasan yang menjadi roh bagi kesenian benar-benar tidak terjadi, justru lahir eksperimen-eksperimen kesusastraan yang penting semisal cerpen Seno Gumira Adjidarma, puisi Widji Thukul, Cerpen-cerpen Danarto.

Lalu untuk membangkitkan sastra yang mampu melekat dihati masyarakat apakah perlu diberlakukan sensor-sensor agar sastrawan bisa lebih lihai mencari celah untuk membuat karya? Tentu saja tidak. Yang terpenting justru kerja terus menerus sehingga menghasilkan karya monumental yang mampu menjadikan sastra sebagai bagian dari masyarakat dalam arti sejati. Yakni sastra yang terlibat. Yang melibatkan masyarakat moyoritas yang miskin dan tertindas bukan sekedar obyek sastra, melainkan menjadi bagian dari penciptaan sastra itu sendiri. Sehingga masyarakat kita bisa menjadi masyarakat yang lebih berbudaya dengan sastra. Terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, picik, korup dan memiliki semangat berlawan. Semoga!***