WAKTU

JEDA

Rabu, 24 Desember 2008

Lingkaran Setan Kekerasan Guru Terhadap Murid

Dimuat di RADAR SURABAYA, 18 Desember 2008



Lingkaran Setan Kekerasan Guru Terhadap Murid
Oleh: Edy Firmansyah

Daftar Kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid kian hari kian panjang. Beberapa waktu lalu di Jember kita dikejutkan oleh tindak kekerasan oknum kepala sekolah terhadap muridnya. Sang kepala sekolah tega memukuli 5 muridnya hingga mengalami luka agak serius. Di Tapanuli, seorang guru Matematika tega menghajar muridnya hingga babak belur. Ironisnya perbuatan tersebut berhasil direkam kamera ponsel.

Berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang paruh pertama tahun 2008, kekerasan guru terhadap anak (baca: murid) mengalami peningkatan tajam, yakni 39 persen dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku kekerasan anak lainnya. Data tersebut belum termasuk perlakukan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis ini dimasukkan presentasinya akan kian tinggi.

Fenomena diatas jelas sebuah ironi. Pasalnya Sekolah (baca: Pendidikan) sejatinya merupakan sarana untuk membebaskan diri dari kebodohan, keterbelengguan, kemiskinan, penderitaan, penipuan serta penindasan. Sekolah yang menggunakan kekerasan dalam belajar–mengajar hanya akan merusak masa depan peserta didik secara psikologis.

Sayangnya banyak guru sering berpikir keliru soal masa depan anak. Para guru menganggap tindak kekerasan terhadap anak lazim dilakukan sebagai bentuk agak berlebihan sekolah dalam menjalankan ’hak’ mereka guna mendisiplinkan anak-anak didiknya. Tujuannya sederhana, semakin disiplin manusia, maka semakin mudah meraih kesuksesan.
Padahal yang terjadi bisa kebalikan dari itu semua. Dalam pandangan Freud kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid akan terekam dalam alam bawah sadarnya. Dan sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya. Ini bisa dilihat misalnya, ada murid yang tega membunuh temannya sendiri hanya karena rebutan buah kersen (cheri), tawuran antar pelajar, maraknya seks bebas di kalangan siswa hingga peredaran narkoba dikalangan pelajar merupakan sedikit bukti dari ekses kekerasan terhadap murid.

Pertanyaan yang kemudian layak diajukan mengapa guru tega melakukan kekerasan terhadap siswanya? Tidakkah mereka berpikir—mengutip Khalil Gibran, penyair Lebanon —bahwa Anak didikmu bukanlah anakmu. Mereka adalah kehidupan. Cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu, karena mereka mempunyai pikiran sendiri. Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tidak melalui mimpimu.

Pertama, rendahnya intelektualitas guru. Yang berimbas pada rendahnya metode mengajar. Jamak diketahui bahwa menjadi guru—yang notabene PNS—adalah pilihan banyak orang di negeri ini. Maka berbondong-bondonglah masyarakat menempuh pendidikan guru. Artinya, mereka memilih sekolah tersebut bukan karena bercita-cita menjadi guru. Melainkan karena peluang untuk mendapat pekerjaan di dunia pendidikan ini memang jauh lebih besar.

Akibatnya ketika diterima dan mulai mengajar, mereka tak mau ambil pusing dalam proses belajar mengajar. Yang penting mengajar dan dapat gaji. Mereka tak akan menerapkan psikologi pendidikan atau menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan kharakteristik siswanya. Guru yang tidak paham psikologi pendidikan akan mengajar serampangan dan kerap bertindak diluar nalar kemanusiaan manakala tertekan.

Kedua, adanya hegemoni sistem pendidikan yang ada selama ini. Dimana hanya pejabat yang berkuasa yang berhak memberikan tafsiran atas realitas pendidikan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan kepala sekolah, guru pengajar, guru bantu, dan guru tidak tetap hanya diminta patuh melaksanakannya. Misalnya ketika, anggaran pendidikan hanya dipatok 20 persen dari total anggaran APBN yang kemudian berimbas pada rendahnya gaji guru. Guru ‘dipaksa’ diam. Pun ketika gaji mereka yang rendah itu dikenai potonngan di sana-sini. Mereka tetap diminta loyal mengajar sembari memenuhi kebutuhan ekonomi yang kian melangit dan biaya pendidikan anak-anak mereka yang kian tak tersentuh.

Imbas dari itu semua kemudian muncul prilaku emosional yang destruktif dan violence. Mengajar asal-asalan dan sesekali diringi dengan tindak kekerasan. Sasarannya siapa lagi Sasarannya, siapa lagi kalau bukan anak-anak di rumah serta siswa-siswinya disekolah sebagai strata paling bawah.

Karena itu pemerintah harus segera mengambil tindakan mengatasi semua itu. Langkah yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki seleksi rekruitmen guru. Menyeleksi secara ketat para calon guru mutlak dilakukan, baik kapabilitas keilmuan dan unsur psikologisnya. Karena bekerja menjadi guru bukan hanya berdasarkan paradigma gaji saja. Sebab yang dihadapi para guru adalah generasi penerus bangsa.

Hanya saja SDM yang baik dan mumpuni tidak cukup menunjang jika tidak didukung sistem pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan. Artinya, selain menjamin kesejahteraan guru, penting kiranya merombak kurikulum yang kerap memberatkan anak, menjadi kurikulum yang lebih ’nyeman’. Terakhir, menindak segala bentuk kekerasan sekecil apapun dalam sekolah adalah keputusan bijak. Karena sangat tidak mungkin murid bisa mengembangkan kratifitas dan membuat inovasi baru sementara mereka belajar dalam represifitas.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Direktur People’s Education Care Institute (PECI) Surabaya. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Hitam Putih Dunia Remaja

Dimuat di KPO Bali Edisi 165, 15-31 Desember 2008


Hitam Putih Dunia Remaja


Judul : A Young Girl’s Diary (Catatan Harian Gadis Belia)
Penulis : Grete ”Rita”Lainer von Lainsheim
Penerjemah : Fauzia Wardhani
Penerbit : Visi Media, Jakarta
Cetakan : I, April 2008
Tebal : x + 286 Halaman
Peresensi : Edy Firmansyah

Masa Remaja adalah masa yang paling menentukan dalam pembentukan karakter manusia. Pada usia sekitar 11-14,5 tahun, selain mengalami masa pubertas, kaum remaja akan mengalami berbagai romantika dalam persahabatan, percintaan serta pasang surut hubungan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Jika masa tersebut berhasil mereka lalui dengan gemilang, maka ketika dewasa mereka akan mudah menumbuhkambangkan pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude) dan ketrampilan (know-how, skill) sebagai bekal bertahan hidup dan bersosialisasi dengan masyarakat.


Sayangnya, masih banyak orang tua dan masyarakat yang tidak paham dengan karakter remaja ketika memasuki masa pubertas. Buktinya sebagian besar anak-anak kita berada dalam posisi sub-altern. Yakni, sebuah keadaan dimana manusia kehilangan suara kemanusiaannya. Mereka dibungkam. Dibuat tunduk dan takluk pada peraturan tertentu. Kasus pernikahan Lutfiana Ulfa, Gadis belia berusia 12 tahun dengan Syech Puji alias Pujiono yang hingga kini terus menuai kontroversi adalah sedikit bukti tentang posisi subaltern anak-anak. Seolah anak adalah hak milik orang dewasa yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut orang tua masuk akal. Sehingga ketika dewasa nanti anak-anak akan menjadi harapan orang tua.

Padahal menurut Gibran, penyair Lebanon dan pengusung humanisme universal; Anak bukanlah milik orang tua. Mereka adalah kehidupan. Cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu, karena mereka mempunyai pikiran sendiri. Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tidak melalui mimpimu.

Seperti apa sebenarnya kehidupan anak-anak pada masa belia? Buku yang berisi catatan harian seorang gadis belia (muda) bernama Grete ”Rita” Lainer Von Lainsheim) dari kelas sosial menengah atas di Wina, Austria barangkali mampu memberikan gambaran yang utuh tentang masa pubertas yang penuh gejolak itu. Dalam buku ini, Rita (begitu orang-orang dekatnya memanggilnya) menceritakan bagaimana ia mengungkapkan perasaannya yang berkembang menuju kearah kematangan. Bagaimana dia memaknai perasaan bahagia, cinta, benci dan marah. Bagaimana dia menjalin hubungan dengan orang tua, saudara dan sahabat hingga bagaimana awal dia menjalin hubungan dengan lawan jenis sehingga menjadi hubungan yang serius terungkap detail dalam catatan harian ini. Bahkan tanpa tedeng aling-aling Rita juga menceritakan tentang kebingungan-kebingungannya soal seks. Sampai akhirnya ia menguak rahasia-rahasia kehidupan menurut pemahamannya sendiri.

Membaca catatan harian ini seakan kita berada di belakang Rita dan mengikuti setiap gerak geriknya dan masuk dalam perasan-perasaannya. Ditulis dengan cukup memikat dan runut dengan kepolosan khas gadis belia. Karena tak heran jika Sigmund Freud, sang penemu Psikologi Analis itu memuji catatan harian ini. ”Catatan harian ini laksana sebuah intan. Saya yakin, tidak pernah ada sebelumnya suatu karya tulis yang mampu membuat kita melihat sedemikian jelas ke dalam jiwa seorang gadis belia, selama menjalani tahun-tahun perkembangan masa puber. Karena catatan harian ini wajib diterbitkan.(hal. iv).

Setidaknya ada dua hal mengapa pendapat Freud diatas patut diamini bermasa. Pertama, secara sosiologis catatan harian ini berhasil mendudukkan tiga macam kekuatan eksternal yang mempengaruhi kehidupan sosial. Pertama, lingkup keluarga (family power). Kedua, lingkup masyarakat (Society Power) Ketiga, lingkup negara (State power). Dan perlu diketahui bawah karakter manusia dipengaruhi oleh tiga kekuatan tersebut. Jika salah satu dari tiga kekuatan tersebut timpang, maka yang lahir adalah generasi timpang. Kedua, secara psikologis Rita melalui catatan hariannya berhasil melewati masa belia dengan gemilang. Artinya, ia mampu mengungkapkan setiap seluk beluk kehidupannya dengan lancar. Tanpa ada tindak kekerasan, tanpa ada intervensi. dan menariknya, itu semua dilakukan dengan menulis.

Sebab dalam teori dasar psikologi dijelaskan bahwa energi seseorang yang tidak tersalurkan melalui kegiatan (baik fisik maupun intelektual) akan cenderung menjadi destruktif. Beberapa kasus semisal tindak pemerkosaan, pelecehan perempuan di jalan, pemerkosaan bocah perempuan oleh pemuda atau kakak lelaki hingga mengandung merupakan bukti tersumbatnya saluran sublimasi psikologis.

Dengan menulis catatan harian, Rita berhasil melepaskan penumpukan trauma masa kecil dalam alam bawah sadar yang bisa menyebabkan seseorang bertindak banal. Dan mestinya cara menyalurkan energi muda yang penuh gejolak ini adalah dengan menulis dan mengembangkan imajinasi sebagaimana dilakukan rita dan catatan hariannya.

Karenanya buku ini wajib dibaca orang tua dan para guru agar bisa mengerti perasaan anak-anak dan murid-muridnya yang seusia dengan Rita sehingga bisa memberikan perhatian dan pendidikan yang tepat. Tepat juga dibaca para remaja, baik laki-laki maupun perempuan atau semua orang yang ingin memahami karakter dan pola pikir para ABG (Anak Baru Gede) pada umumnya.


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Pustakawan di Sanggar Bersastra Kita (SBK) Madura.

Senin, 15 Desember 2008

Proletarisasi Spiritual Dalam Kurban

Dimuat di LAMPUNG POST, 09 Desember 2008




Proletarisasi Spiritual Dalam Kurban
Oleh: Edy Firmansyah



Merayakan Idul Adha (Hari raya Kurban) yang kali ini jatuh pada 8 Desember 2008 bukan sekedar sholat Idul Adha di pagi hari dan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ritualitas semata. Lebih daripada itu, perayaan hari raya Idul Adha harus dijadikan momentum untuk membela nilai-nilai kemanusiaan.

Perintah Tuhan terhadap Nabi Ibrahim untuk mengurbankan anak semata wayangnya, Ismail, dan dipenuhi sepenuh hati oleh Ibrahim, janganlah dimaknai sebagai sebuah tanda legalnya tindak kekerasan atas nama agama sebagaimana yang diamarkan Rene Girard.

Sebaliknya, praktek kurban justru merupakan peletakan fondasi humanisme di atas segala hasrat dan egoisme pribadi. Sebab menurut Ali Syariati, dalam bukunya berjudul Hajj, ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail, lalu Tuhan menggantikannya dengan seekor kampung, merupakan sebuah bentuk penghapusan tradisi kuno masyarakat di zaman Nabi Ibrahim yang suka mengorbankan nyawa manusia demi kepentingan para dewa dan roh suci yang mereka yakini. Dengan kata lain, melalui praktek qurban, Tuhan hendak menyerukan; hentikan tindak kekerasan antar manusia.

Karena itu setiap tetes darah hewan kurban yang jatuh ke bumi, dimaknai sebagai bentuk penghancuran sikap individualistik dan prilaku culas manusia digantikan dengan solidaritas sosial dan sikap kemanusiaan terhadap sesama tanpa pamrih. Dan itulah yang menjadi bekal seorang itu menjadi muslim sejati. Sebagaimana yang diungkapkan Sayyid Qutb bahwa Islam adalah sebuah perlawanan yang bertujuan menghancurkan segala bentuk hubungan manusia yang menuhankan sebagian diatas sebagian yang lain. Segala ritual keagamaan dalam Islam haruslah menjadi sumber kekuataan hukum dalam melawan segala bentuk kesewenang-wenanganan sebagai bentuk ego pribadi manusia. dan tindakan penuhanan manusia atas manusia tersebut (dalam Prasetyo, 2007).

Pasalnya nafsu ego pribadi yang tak jarang menyebabkan penderitaan dan kemiskinan umat manusia dengan dibungkus pengalaman spiritual. Banyak orang enteng membelanjakan ratusan ribu rupiah untuk membeli hewan untuk disembelih dengan harapan memperoleh pahala dan rejeki berlimpah dari Tuhan, tapi malas mengeluarkan puluhan ribu rupiah bagi pembebasan kebodohan dan penderitaan orang lain.

Padahal kita tahu bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini angka kemiskinan di Indonesia belum membaik. Hingga juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.
Kondisi diatas jelas sangat berbahaya. Bukankah dalam hadist telah disebutkan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran. Dan kufur dalam hal ini bukan saja merupakan sikap berpaling pada keesaan tuhan tetapi juga berpaling pada kemanusiaan. Lihat saja, tindak kriminal, teror, penganiayaan, kekerasan dan konflik yang terus menjadi berita sehari-hari di negeri ini pemicu utamanya lebih disebabkan oleh kemiskinan. Dan angka kemiskinan diatas tidak akan tuntas bahkan sampai hari kiamat jika hanya mengandalkan pembagian daging kurban setahun sekali. Dengan kata lain, konflik, kekerasan, teror, tindak kriminal akan terus mewarnai perjalanan kehidupan masyarakat negeri ini. Jika kondisi ini dibiarkan, jelas negeri ini sedang menuju kehancurannya.

Karenanya perayaan Idul Adha dapat dijadikan sebagai pembuka kunci pemecahan masalah yang tengah dihadapi seandainya ada keberanian para elit politik dan keagamaan negeri ini untuk mulai mengorbankan gengsi jabatan, kekayaan dan keagamaan bagi pemulihan spirit kemanusiaan yang telah lama pudar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan mengurbankan anaknya, Ismail.

Tapi masalahnya, praktek kesalehan keagamaan manusia negeri ini masih dimaknai sebagai bentuk penumpukan pahala, bahkan menguasai tuhan bagi dirinya sendiri, serta menutup peluang bagi orang lain memperoleh posisi serupa. Akibatnya, praktek ritual keagamaan seperti hampa manfaat duniawi dan fungsi sosial-ekonomi produktif. Pemeluk agama berlomba-lomba mengumpulkan pahala, tanpa pernah peduli ritual kegamaannya itu bermanfaat bagi publik (terutama kaum mustadla’ afin) atau tidak.

Bahkan dengan cukup lihai kapitalisme telah membungkus ritual perayaan keagamaan yang individualistik tersebut hanya sebagai ajang belanja baju-baju koko dan mukenah mewah di plasa-plasa, dan mal-mal ternama dengan diskon besar. Sehingga timbul kesan bahwa perayaan keagamaan bukanlah momentum untuk perlawanan terhadap sikap antikemanusiaan, melainkan perayaan sebuah pesta. Karena jangan heran jika korupsi semakin menggila ditengah kemiskinan yang merana hanya untuk memenuhi kaidah pasar.

Nah, pertanyaannya siapa yang bakal memulai? Tentu saja kita semua yang sadar bahwa Islam dengan segala hari besar keagamaan didalamnya adalah wujud dari pembebasan semua umat manusia dari penderitaan dan penindasan. Dan yang paling penting adalah kepedulian para elit politik, birokrat dan ulama keagamaan—meminjam kata-kata Ali Syariati—untuk tidak berlaku pasif atas ketidakadilan dan kesengsaraan orang yang tidak berdaya dan tertindas.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pemerhati Masalah Keagamaan. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).


Melepas Belenggu Diskriminasi Kaum Difabel

Dimuat di RADAR SURABAYA, 05 Desember 2008



Melepas Belenggu Diskriminasi Pada Kaum Difabel
Oleh: Edy Firmansyah


Tak banyak yang tahu jika tanggal 3 Desember kerap diperingati sebagai hari Difabel (singkatan; Different Ability) atau Penyandang Cacat Internasional. Padahal kaum difabel di negeri ini masih terus mengalami diskriminasi di segala bidang.

Bahkan perhatian negara terhadap kaum difabel masih sangat minim. Benar memang pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk kaum difabel. Diantaranya, Undang-Undang (UU) 4/1997 tentang Penyandang Cacat; Peraturan Pemerintah (PP) 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (Kepmen PU) Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Namun penerapan di lapangan atas undang-undang tersebut masih jauh panggang daripada api.

Dalam hal mengakses fasilitas umum, misalnya, nyaris tidak kita temukan fasilitas pendukung bai kaum difebel seperti lift dan ramp bagi pemakai kursi roda serta guilding block bagi penyandang tunanetra di gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan kantor pemerintahan di negeri ini. Padahal jumlah difabel yang ada saat ini tidak bisa dikatakan sedikit.

Berdasarkan laporan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) 1998 yang didasarkan pada data Departemen Sosial (Depsos), terdapat enam juta orang atau sekitar 3% difabel dari 200 juta penduduk Indonesia (pada saat itu). Sementara itu menurut asumsi data dari PBB, terdapat sekitar 10 juta difabel di Indonesia.

Data yang diperoleh itu belum sepenuhnya valid, mengingat masih banyak keberadaan difabel yang disembunyikan oleh keluarga karena masih dianggap aib. Kuantitas data tersebut masih perlu direvisi dengan mempertimbangkan keadaan Indonesia sepuluh tahun belakangan ini, yang dipenuhi berbagai bencana. Bencana yang terjadi telah membuat jumlah difabel bertambah. Bencana tsunami Aceh 2005, gempa di Yogyakarta 2006, dan sederet bencana lain yang menimpa seluruh pelosok Nusantara, membuat jumlah difabel bertambah banyak. (Ida Puji astuti, Suara Merdeka, 02/12/08)

Dalam upaya mendapatkan pekerjaan yang layak, keadaannya lebih memprihatinkan lagi. Walaupun keputusan Menteri tenaga Kerja Nomor 205/Men/1999 tentang pelatihan kerja dan penempatan Kerja Difabel yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa setiap 100 pekerja di sebuah perusahaan harus ada satu pekerja difabel belum juga terpenuhi hingga saat ini. Lihat saja dalam persyaratan pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu syarat yang membuat kaum difabel harus ’gigit jari’ dalam upaya mendapatkan kesempatan kerja adalah dicantumkannya syarata bahwa seorang pelamar harus ’sehat jasmani dan rohani.’

Bahkan untuk mendapatkan pendidikan kaum difabel terpaksa harus dimasukkan dalam sekolah luar biasa, yang sejatinya bersifat ’mengucilkan’ kaum difabel daripada memberikan pencerahan. Padahal menurut John Dewey, pendidikan sejati merupakan jalan untuk melahirkan manusia yang merdeka yang saling bergaul satu sama lain dalam kesetaraan.

Dalam wacana difabel ini pandangan Deway ada benarnya. Kaum difabel juga manusia biasa, sebagaimana manusia normal umumnya. Sebagai manusia, mereka juga punya hak yang sama dengan warga negara lainnya. Hanya saja kemampuan mereka yang berbeda. Ada yang dibatasi dengan kemampuan gerak, bicara, mendengar atau mental. Meski demikian kaum difabel juga mampu berpikir dan merespon fenomena yang terjadi. Bahkan tidak sedikit para difabel yang mampu memanfaat indera yang lain secara optimal melebihi manusia normal.

Siapa yang tidak kenal dengan Franklin Delano Roosevelt dan KH Abdurrahman Wahid? Meski memiliki keterbatasan fisik mereka mampu mengoptimalkan pemikirannya sehingga menghantarkan mereka menjadi pemimpin negara. Bahkan Gus Gur—sapaan KH. Abdurrahman Wahid—dikenal sebagai salah satu intelektual Indonesia yang sulit dicari tandingannya. Siapa yang tidak kenal musisi handal, Ludwig van Beethoven? Meski tuli Beethoven mampu menciptakan komposisi nada klasik yang hingga saat ini masih dinikmati banyak orang.

Fakta diatas menyatakan bahwa sejatinya para difabel bisa mengembangkan diri dan mengasah potensi dirinya hingga ke taraf maksimal jika diberi kesempatan. Artinya deretan kaum difabel yang mampu membawa harum negeri ini bisa bertambah panjang seandainya pemerintah memberikan peluang sebesar-besarnya pada mereka untuk berkreasi, berinovasi di segala bidang tanpa diskriminasi. Dengan mengakomodasi potensi dan memberikan kesempatan pada para difabel untuk terlibat dalam berbagai kerja-kerja kreatif tanpa diskriminasi, bisa jadi dari kaum difabel akan lahir seorang penulis sekaliber Karl May, atau Ernest Hemingway. Atau seorang tunanetra ternyata memiliki kemampuan komposer serta Zubin Zehta.

Jujur saja, tak pernah lahir kaum difabel Indonesia yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang diimbangi dengan tidak hanya kemampuan IQ, melainkan juga perpaduan dengan EQ (interaksi sosial) dan SQ (kematangan rohani) yang memadai, jika segala akses untuk mengembangkan diri justru dikunci rapat-rapat. Sebab energi positif yang ada di dalam diri para difabel akan dihabiskan untuk mendobrak diskriminasi yang ada. Yang lahir kemudian ketidakpercayaan pada pemerintah dan berujung pada ’perlawanan. Lagipula sebuah bangsa dikatakan besar bukan hanya karena pesat secara ekonomis, melainkan juga mampu menghapuskan diskriminasi di segala lini dan menyediakan rasa aman bagi semua warga negaranya tanpa terkecuali.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Iklan Politik, Swing Voters dan Titik Balik Demokrasi

Dimuat di Surabaya Post, 02 Desember 2008



Iklan Politik, Swing Voters dan Titik Balik Demokrasi
Oleh: Edy Firmansyah



Kehidupan demokratis tidak bisa lepas dari political marketing. Political marketing merupakan rangkaian kegiatan memasarkan cita-cita politik untuk mendapatkan dukungan publik. Salah satu rangkaian penting dari political marketing adalah iklan politik. Karenanya jangan heran jika akhir-akhir ini kita kerap menyaksikan calon presiden, parpol dan para caleg muncul di televisi, di lembaran koran atau tersenyum di baliho pinggir jalan.

Iklan politik dianggap paling efektif membentuk dan menggiring persepsi masyarakat. Iklan politik mampu membungkus kekurangan menjadi kelebihan. Mampu menampilkan seorang politisi medioker dengan standar biasa-biasa menjadi politisi yang kharismatik dan penuh dedikasi. Ya, sebab iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai polihan yang tepat. Bahkan tak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokoh yang tampil dalam iklan mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.

Bagi masyarakat pengkonsumsi media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka dihadapan media, manusia akan mudah—meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang—dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Dimana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’ Dengan demikian para pengelola iklan politik—yang notabene adalah para politikus—bisa menjelma menjadi ’dewa’ yang layak dipilih menjadi pemegang kekuasaan.

Dan yang paling lemah dihadapan iklan adalah para pemilih pemula atau swing voters. Kelompok pemilih ini belum memiliki pijakan politik cukup kuat sehingga membuka peluang besar untuk dirangkul caleg, capres maupun partai politik manapun melalui iklan.

Kelompok pemilih yang berentang usia 17-21 tahun ini adalah mereka yang berstatus pelajar, mahasiswa serta pekerja muda. Berdasarkan proyeksi dari populasi penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, jumlah penduduk muda (usia dibawah 40 tahun) sekitar 95,7 juta jiwa pada tahun 2009. jumlah tersebut setara 61,5 persen dari 189 juta penduduk usia pemilih. Di antara penduduk usia muda, paling banyak (22,3 persen) adalah mereka yang pada tahu ndepan berusia 22-29 tahun. Mereka merupakan kelompok penduduk yang baru berpengalaman satu atau dua kali mencoblos dalam pemilu sebelumnya. (Kompas, 24/11/08).

Padahal pandangan akibat hipnotisme iklan politik jelas membahayakan. Bukan saja karena iklan politik berpengaruh besar terhadap nasib dan masa depan bangsa, melainkan juga karena ancaman ironi politik justru di depan mata. Artinya, mereka yang bekerja keras, yang mempunyai kompetensi dan kapabilitas, terpaksa kalah dengan mereka yang populer. Akibatnya, rakyat yang mendambakan pemimpin yang mampu membebaskan mereka dari segala penderitaan akibat kemiskinan dan penindasan hanya bisa gigit jari.

Sebab yang lahir dari itu semua adalah para elite politik, pemimpin dan presiden yang menghamba pada pasar. Mereka berlomba-lomba untuk menguasai segala sumber daya kapital hanya untuk kepentingan pribadi(memperluas kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, menumpuk materi). Dan dengan tanpa rasa iba, mereka meninggalkan rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Benar memang perilaku pemilih yang lebih rasional semakin meningkat di tengah derasnya semangat keterbukaan yang berkembang selama 10 tahun terakhir. Artinya, masyarakat sudah lebih mampu menilai performa pemimpin dan partai politik. Tapi peningkatannya masih kalau jauh dengan peningkatan para pemilih pragmatis, yang memilih hanya karena dibayar sejumlah uang atau diimingi-imingi jabatan atau pekerjaan. Tentu kita tak ingin para pemilih pemula menjelma menjadi pemilih yang pragmatis.

Yang kita butuhkan untuk terus mengawal demokrasi adalah para pemilih radikal. Siapakah pemilih radikal itu? Menurut Fadjroel Rachman (2004; 130-131) Pemilih radikal adalah pemilih yang dihasilkan melalui pendidikan pemilih radikal (radical voters education). Mereka berdiri pada kriteria demokrasi paling dasar yang merupakan prasyarat demokrasi yang dapat memandu kita menuju demokrasi ideal, yaitu, (1) Penegakan HAM; (2) Penegakan hukum konstitusional-demokratis yang adil dan tidak memihak; (3) Supremasi sipil; (4) pemisahan kekuasaan pemerintahan (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang memungkinkan dilakukan check and balance; (5) kemakmuran ekonomi dengan jaminan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi setiap orang tanpa terkecuali.

Karena itu untuk memaksimalkan pemilih radikal ini, peran aktivis dan mahasiswa progresif diperlukan. Para mahasiswa progresif harus mulai turun gunung, bergerilya ke basis-basis massa dan mulai memberikan pendidikan politik radikal tingkat dasar pada semua lapisan masyarakat. Terutama masyarakat kelas bawah. Sehingga manipulasi politik para politisi busuk dapat ditekan seminimal mungkin.

Dengan pendidikan radikal maka mereka akan memilih caleg berdasarkan kriteria berikut. Pertama, tidak terlibat pelanggaran HAM. Kedua, tidak terlibat KKN di masa pemerintahan lalu (Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan SBY). Ketiga, tidak pernah menjadi mesin politik atau terlibat langsung dalam institusi bentukan orde baru. Keempat, bertempat tinggal di daerah pemilihannya. Sehingga memungkinkan terpraktekkannya perwakilan politik. Karenanya, misalnya, caleg dari PDI-P Guruh Soekarnoputra, Adik Megawati Soekarno Putri, mesti ditolak menjadi caleg DPR Propinsi Jawa Timur karena berdomisili di Jakarta. Kelima, berpihak pada caleg perempuan dan pemuda untuk menuntaskan regenerasi kepemimpinan politik. Karena tanpa perubahan generasi, demokrasi tak ubahnya tari poco-poco.

Dengan standar tersebut, nantinya tidak ada lagi istilah memilih kucing dalam karung. Rakyat tidak lagi ragu menentukan pilihan. Dan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) pada pemilu 2009 akan berjalan lancar tanpa intervensi. Semoga!

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember


Selasa, 09 Desember 2008

Politik Perempuan Sebagai Jalan Pembebasan

Dimuat di harian PELITA, 02 Desember 2008

Politik Perempuan Sebagai Jalan Pembebasan
Oleh: Edy Firmansyah


Hari anti kekerasan terhadap perempuan yang jatuh setiap tanggal 25 November masih diperingati dengan kondisi memprihatinkan oleh perempuan negeri ini. Kampanye-kampanye antikekerasan terhadap perempuan yang kerap dilakukan para artis, aktivis perempuan bahkan istri pejabat belum cukup efektif mendudukkan perempuan sejajar dengan kaum adam.

Betapa tidak, perempuan Indonesia masih ibarat katak dalam tempurung. Mereka lebih memilih tenggelam dalam kabut patriakat daripada tampil dalam kancah politik. Dalam pandangan patriakat, perempuan tak lebih hanya sekedar perhiasan semata. Mereka lebih layak berada dalam etalese domestik; dapur, kasur, sumur. Kodratnya sebagai kholifah (baca: pemimpin) dan berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar. Artinya perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah.

Padahal sejarah negeri ini telah membuktikan bahwa perempuan juga dapat menjadi pemimpin. Misalnya saja, di Aceh kita kenal pemimpin perempuan Cut Nyak Dien. Di Maluku kita pernah memiliki Martha Tiahahu. Bahkan kita punya Kartini sebagai perempuan pertama pelopor pencerahan.

Ironisnya, kaum perempuan sendiri justru ragu tentang kapabilitasnya sebagai pemimpin. Pasalnya, perempuan dikenal dengan prilakunya yang lemah lembut dan lamban dalam mengambil keputusan. Jika kaum perempuan menjadi pemimpin kemungkinan gerak politik kekuasaan akan berjalan lamban. Sifat tersebut justru dituding sebagai penghambat pembangunan dan politik. Pandangan ini jika tidak segera diluruskan akan menimbulkan gelombang ketidak percayaan publik pada gubernur terpilih dan hal ini jelas bakal menghambat laju pemerintahan.

Sebenarnya pandangan tersebut sebenarnya berangkat dari watak maskulinitas yang telah mengakar kuat di negeri ini. Maskulinitas kekuasaan artinya penyelenggaraan kekuasaan secara keras, macho dan top down. Kekuasaan maskulin ini termanifestasikan dalam bentuk-bentuk militerisme, otoritarianisme maupun feodal konservatif dan antikritik. Dan kekuasaan model demikian kental kental dengan sifat kelaki-lakian, karenanya secara personal kekuasaan haruslah didominasi laki-laki.

Ideologi maskulinitas itu dapat kita saksikan pada kebijakan-kebijkan pemerintah yang cenderung menindas. Lihat saja, demi keindahan kota, pemerintah melalui Sat Pol PP dengan tanpa rasa iba menggaruk pada PKL dan Gepeng, menggusur pemukiman kumuh tanpa solusi yang jelas. Bahkan demi kalkulasi kapitalisme tega memiskinkan buruh dengan menekan UMR serendah mungkin.

Sejatinya maskulinitas sebagai ideologi akan tetap ada walaupun secara personal kekuasaan tersebut dipegang perempuan. Artinya pergantian pemimpin dari laki-laki pada perempuan hanyalah pergantian kepemimpinan belaka, sementara watak dan ideologi maskulinitas masih terus mengakar kuat.

Karenanya perempuan haruslah berani tampil dalam politik untuk mengeliminasi maskulinitas kekuasaan yang cenderung menindas terutama pada masyarakat kecil. Artinya sebagai kepemimpinan perempuan haruslah menjadi spirit feminitas dan mengelola kekuasaan secara ramah dan humanistik.

Feminisme menurut Vandana Siva merupakan ideologi yang bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih dan kebersamaan. Artinya dengan ideologi feminisme diharapkan segala sumber daya politik dan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tidak dioperasikan secara keras dan menindas. Dengan kebijakan yang berbasis feminisme akan tercipta hubungan anatar manusia (baik masyarakat dengan negara dan negara dengan masyarakat) secara fundamental baru, lebih baik dan lebih adil.

Hal tersebut lambat laun akan menciptakan sebuah demokrasi yang ideal. Demokrasi ideal menurut Menurut Fadjoel Rachman demokrasi yang ideal adalah (1) terciptanya penegakan HAM, (2) penegakan hukum konstitusional-demokratis yang adil dan tidak memihak; (3) supremasi sipil, (4) pemilu berskala bebas, dimana mayoritas penduduk ikut memilih dan dipilih (baik memalui partai maupun independen), (5) kemakmuran ekonomi dengan jaminan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi setiap orang tanpa terkecuali.

Sebenarnya dalam upaya menciptakan demokrasi yang ideal dengan semangat feminisme kekuasaan baik pemimpin laki-laki maupun pemimpin perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengoptimalkan pola kekuasaan tersebut. Dengan kata lain siapapun mampu membangkitkan feminitas dalam kekuasaan. Tinggal bagaimana seorang pemimpin mampu mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang lemah lembut, ramah dan antikekerasan. Hanya saja kepemimpinan yang ada selama ini justru menerapkan pola-pola kepemimpinan maskulin. Karenanya pemimpin perempuan memiliki peluang besar untuk mengembangkan hal tersebut.

Dan inilah sebenarnya yang menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk mendudukkan posisinya sebagai kholifah. Artinya, pandangan agama bahwa manusia adalah kholifah di muka bumi bukan hanya diperuntukkan bagi kaum adam semata. Melainkan juga bagi kaum hawa. Dan perempuanlah yang sejatinya harus mengakhiri hegemoni budaya patriakat yang melilitnya. Hanya dengan tampil dan berjuang secara politik pula kaum perempuan bisa melepaskan dirinya dari penindasan baik secara fisik, mental maupun kebudayaan dari kaum patriakat. Ditangan patriakat perempuan tak lebih sebagai pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, 2006).

Mendudukkan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki di kancah politik bukan hanya sebagai upaya pembebasan perempuan semata. Melainkan sebagai upaya memperjuangkan pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan ketertindasan. Dan hal itu bisa optimal dengan menumbuhkan feminitas dalam kekuasaan.

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Jumat, 28 November 2008

Masyarakat Instan dan Intelektual Karbitan

Dimuat di Harian Umum PELITA, 25 dan 27 November 2008


Masyarakat Instan dan Intelektual Karbitan
Oleh: Edy Firmansyah


Menurut Daniel Bell, salah seorang sosiolog posmodern, masyarakat Instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya. Tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang yang pembelajaran tanpa henti. Masyarakat instan, lanjut Bell, masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya satu-satunya keinginan dan asanya bisa dicapai dengan uang.

Pandangan Daniel Bell diatas nampaknya cukup relevan bagi masyarakat Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia yang dikenal pekerja keras dan gigih meraih cita-cita kini berubah menjadi masyarakat yang serba instan. Maraknya kasus ingin kaya instant dengan korupsi, jual beli ijasah instan, bisnis gelar instan (entah oleh institusi atau oknum beberapa Perguruan Tinggi ) merupakan buktinya.

Kapitalisme dengan mesin giling produksinya telah menyeret kita dalam sekrup-sekrup produksi sehingga kita lahir menjadi manusia yang seragam, yang tunduk pada kaidah pasar. Mulai dari ekonomi, politik, sosial, budaya hingga pendidikan. Dalam dunia pendidikan, misalnya mata pelajaran dicacah menjadi kepingan pengetahuan yang berujung pangkal pada hubungan jual beli yang sarat dengan kaidah individualistik. Dengan kata lain, pendidikan bukan lagi pengetahuan yang mengasah humanisme untuk kemaslahatan umat.

Makanya jangan heran jika praktek jual beli ijasah instan semakin marak dilakukan. Temuan maraknya ijasah di Surabaya sebenarnya merupakan puncak dari gunung es praktek jual beli ijasah instan. Maklum, masyarakat kita terbiasa silau dengan gelar akademik. Semakin tinggi gelar yang disandang seseorang, maka akan semakin terangkat pula status sosialnya. Karenanya ijasah yang kerap menjadi incaran masyarakat gila gelar ini terutama ijasah sarjana, pasca sarjana dan doktor seperti; Drs, Dr, MA, MEd, MSi, MM, dan seterusnya. Lihat saja, di instansi pemerintahan. Banyak pejabat yang menyandang gelar akademik tinggi. Bahkan sampai tingkat doktor.

Bagaimana kualitasnya? Sungguh menyakitkan dunia pendidikan. Sebab diantara para Magister dan doktor itu kebanyakan tak bisa menuliskan pemikirannya ke media massa atau membuat penelitian bertaraf nasional. Dengan lain kata, logika dan retorika mereka stagnan. Mereka merasa cukup bangga dengan titel tinggi tapi memiliki kemampuan jongkok.

Tak heran jika negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini justru terpuruk karena Human Development Index (HDI) berada di urutan paling buncit diantara Negara dunia ketiga,. Merupakan negeri terkorup, salah satu negeri penghutang terbanyak, serta negeri yang berada tepat di depan jurang krisis ekonomi. Dan hal ini salah satunya disebabkan banyak masyarakatnya yang hanya sekedar menjadi intelektual instan. Cukup menyandang gelar kesarjanaan, meski hasil membeli.

Padahal, menurut D.J Drost (2005:80) ciri khas calon intelektual Indonesia yang matang adalah fasih dalam menguasai bahasa Indonesia, baik saat bertutur maupun saat menulis. tata bahasa dan ejaan harus dikuasai secara mutlak. Logika bahasa mencirikan segala cara berkomunikasi. Logika bernalar dan bertutur diperoleh dan dibentuk selama mengenyam pendidikan, terutama lewat matematika dan bahasa Indonesia.

Matematika mengajar kita berpikir Logis. Namun karena matematika adalah ilmu kuantitas, perlu juga ditunjang pengetahuan yang lain. Seperti misalnya bahasa asing. Hanya saja yang paling menunjang dan memperluas perolehan lewat matematika adalah bahasa. Seseorang baru bisa bernalar dan bertutur dewasa baik dengan lisan maupun tulisan bisa sudah menguasai ortografi, gramatika dan sintaksis bahasanya sendiri.

Di samping itu, penting juga untuk menguasai tekhnologi. Karena dengan tekhnologi mereka dapat memperoleh informasi dengan mudah. Dengan begitu para intelektual akan mampu mengembangkan wawasannya. Sayang itu tak pernah terjadi di negeri ini. Bahkan para penyandang gelar S1, S2 atau S3 instan yang kini duduk di jajaran pejabar pemerintahan atau pendidik ada pula yang tidak dapat mengoperasikan Komputer. Apalagi Internet.

Yang jadi pertanyaan untuk apa menyandang gelar tinggi tapi tidak mumpuni secara dalam pengetahuan? Apalagi jika bukan untuk mempertahankan siklus feodalistik. Mempertahankan klas borjuasinya. Seperti mendapatkan kedudukan yang tinggi di birokrasi. Setelah kedudukan telah diraihnya, korupsi akan dijadikan pilihan untuk mengembalikan modal setelah dihabiskan untuk meraih gelar instan itu.

Kondisi diatas berbeda jauh dengan kondisi di negara-negara maju. Belum pernah Margaret Teacher memasang gelar Dra. Maupun MA. Apalagi Mikhail Gorbachev S.H!Bahkan untuk ilmuwan-ilmuwan penting, penggunaan gelar itu juga tidak lazim. Tidak pernah kita mendengar Prof. Dr. Charles Darwin, atau Prof. Albert Einstein PhD.(Eka Budianta, 1993;137-138). Ya. Di negara maju ukuran kemampuan seseorang bukan karena gelar yang disandangnya. Melainkan karya yang dihasilkannya. Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan tetapi mampu menciptakan pembaharuan, mereka akan dihormati.

Karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk mengakhiri semua fenomena yang melecehkan dunia pendidikan ini. Tidak cukup dengan menindak tegas oknum pelakunya saja. Kedepan harus segera dilakukan perombakan sistem pendidikan. Dari pendidikan yang bertujuan sekedar mencetak lulusan sebanyak-banyaknya, menjadi pendidikan yang melejitkan kualitas peserta didiknya. Dan mengembalikan pendidikan sebagai jalan pengangkatan manusia muda ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh, tangguh dan membudayakan diri. Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi membantu manusia muda untuk berkembang menjadi manusia, bermoral, bersosial, berwatak, berpribadi, berpengetahuan dan beruhani. Artinya lulusan sekolah, terutama para sarjana tidak hanya fasih berteori, tetapi mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri bahkan di tengah badai krisis sekalipun.

Jujur saja negeri ini tak akan pernah maju dan masyarakatnya tidak akan pernah sejahtera jika dipegang oleh intelektual yang berangkat dan melambungkan namanya melalui kepalsuan. Yang terjadi justru korupsi dan penindasan yang kian menyakitkan.***

Tentang Penulis
Edy Firmansyah adalah Direktur People Education Care Institutes (PECI) Surabaya.

Deforestasi dan Peta Penanggulangan Banjir

Dimuat di harian RADAR SURABAYA, 24 November 2008


Deforestasi dan Peta Penanggulangan Banjir
Oleh: Edy Firmansyah


Musim hujan kembali tiba. Masyarakat Jawa Timur mulai diliputi rasa rasa getir, waswas, dan khawatir. Kekhawatiran masyarakat Jawa Timur sangat beralasan. Pasalnya, pada musim penghujan tahun 2007 lalu, setidaknya ada 14 wilayah di Jatim yang terkena banjir dan tanah longsor. Wilayah tersebut diantaranya; Surabaya , Sidoarjo, Jember, Situbondo, Lamongan, Gresik, Bojonegoro, dan Tuban.

Akibat bencana tersebut, pemukiman penduduk, sawah, fasilitas sosial, rumah sakit, sekolah di wilayah tersebut tenggelam. Ribuan penduduk terisolasi dan kelaparan. Jalur transportasi juga lumpuh total. Kerugian nyaris tak terkirakan. Bayangkan saja, dalam hitungan kasar kerugian akibat banjir di 15 Kecamatan di Bojonegoro mencapai Rp 93,3 miliar. Kerusakan sawah dan tambak di Tuban mencapai Rp, 25,6 miliar.

Tentu saja sejarah kelam diatas tidak ingin terulang lagi. Hanya saja sepertinya alam belum mau bersahabat dengan kita. Buktinya, meski menurut ramalan BMG curah hujan masih normal, beberapa di Jawa Timur sudah dilanda banjir dan longsor.

Benar memang musim penghujan tahun ini pemerintah tidak tinggal diam. Beberapa persiapan mengantisipasi bencana akibat musim penghujan telah dilakukan. Pemerintah Kabupaten Lamongan misalnya, sudah mengaktifkan satuan pelaksana penanggulangan bencana. Mulai mengeruk embung dan waduk-waduk desa. Juga telah dibangun bendung gerak untuk mengendalikan banjir. Sementara itu pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga telah memperbaiki lima titik tanggul. (Kompas Jatim, 17/11/08)

Memang tidak ada yang keliru dari usaha pemerintah mengantisipasi bencana banjir. Hanya saja pemerintah belum pernah memikirkan untuk memperluas hutan di wilayahnya. Padahal berdasarkan data yang disimpan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) sejak tahun 1945 hingga masa reformasi tahun 1997 telah terjadi deforestasi sebanyak puluhan juta hektar. Di Sumetera, pada tahun 1945 luas hutannya mencapai sekitar 48 juta hektar, tetapi pada tahun 1997 tinggal 18 juta hektar. Di Sulawesi, luas hutan pada tahun 1945 sekitar 20 juta hektar. Namun pada 1997 justru menjadi 10 juta hektar. Di Jawa tak jauh beda. Jika pada tahun 1945 hutan di Jawa mencapai 10 juta hektar, pada tahun 1997 justru menyusut 10 juta hektar. Jadi kini tinggal 2 juta hektar saja.

Bahkan tak menutup kemungkinan angka deforestasi tersebut saat ini meningkat tajam mengingat pola pembangunan kita yang nyaris tidak pro-lingkungan (baca: hutan). Banyak hutan kita dibakar dengan sengaja karena ingin mendirikan pabrik, bangunan kapitalisme, dan lahan ekonomis. Pemegang HPH dan elite pemerintah yang berkepentingan dengan hutan sengaja menyewa orang guna membakar hutan di daerahnya dengan orientasi akumulasi surplus. Seperti membangun villa atau membangun ladang kelapa sawit demi kepentingan profit. Lemahnya aparat penegak hukum kita untuk menangkap dan memenjarakan para pembakar hutan, lenjarah hutan, penebang pohon dan semakin mempertegas deforetasi hutan kita. Dibebaskannnya Adelin Lis adalah salah satu contohnya.

Padahal hutan merupakan metode paling efektif mencegah banjir dan longsor. Berapapun derasnya air hujan yang jatuh tak perlu ditakutkan dan dikhawatirkan masyarakat. Karena hutan yang rimbun (yang berisi banyak pepohonan besar) masih mampu menampung air hujan berapapun volume air hujan yang jatuh pada suatu wilayah. Karenanya tak keliru jika Vandana Shiva, salah seorang aktivis lingkungan dan tokoh ekofeminisme India mengatakan; “Peluklah pohon kita, selamatkan mereka dari penebangan. Jaga hutan kita, maka hutan-hutan itu akan menyelamatkan kita.”

Hal berikutnya yang luput dari perhatian pemerintah soal antisipasi bencana adalah masih dijalankannya ’represi struktural.’ Represi struktural, dapat dirasakan pada kemunculan hegemoni bahasa, dimana hanya pejabat yang berkuasa yang berhak memberikan tafsiran atas realitas yang terjadi dalam masyarakat. Artinya, hanya pemerintah yang berhak menerjemahkan bencana banjir dan memberi solusinya.

Padahal selama berabad-abad lalu manusia memiliki sistem pertahanan hidup sendiri untuk dapat survive di daerah yang didiaminya. Mereka yang hidup menjadi bagian dari ekosistem sebuah wilayah telah mengenal betul lingkungan mereka degan baik. Analisa rasional mereka sangat bermanfaat demi kelangsungan hidup. Masyarakat di pesisir pantai misalnya, hanya dengan melihat gelombang laut dan perubahan rasi bintang sudah mampu memprediksi bakal terjadi tsunami besar. Tapi ilmu pengetahuan yang turun temurun itu lambat laun di’hancurkan.’ Anak petani, nelayan dan permabah hutan sudah tidak lagi mengenal itu semua, karena disekolah tak satupun ada pelajaran mempertahankan hidup terhadap alam. Untuk apa? Apalagi kalau bukan untuk menjauhkan mereka dari lingkungan hidupnya sehingga mudah terserap dalam kerja-kerja kasar sebagai buruh murah.

Karena itu, mengembalikan pengetahuan lokal masyarakat saat ini merupakan keniscayaan. Masyarakat harus kembali dibekali dengan ilmu pengetahun dan prediksi-prediksi alamiah mengenai gejala alam. Hal ini penting agar bencana dapat semakin mudah diantisipasi. Bukankah jika masyarakat pandai dan menguasai teknik-teknik analisa klimatologi (bahkan yang paling dasar) justru semakin memperingan beban pemerintah dalam mengantisipasi bencana?


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Rabu, 26 November 2008

Waria Juga Manusia Biasa

Dimuat di Harian SURYA, 20 November 2008


Waria Juga Manusia Biasa
Oleh: Edy Firmansyah

Tak banyak yang tahu jika tanggal 20 November diperingati sebagai hari Transgender/Waria Internasional. Maklum selain peringatan tersebut baru memasuki tahun ke sembilan, ternyata masih sedikit masyarakat yang menaruh simpati pada para transgender ini. Buktinya, aksi-aksi kaum waria tiap tanggal 20 November dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia justru dianggap angin lalu, bahkan disikapi sinis banyak kalangan masyarakat.

Padahal para transgender ini amat rentan mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan. Mereka masih kerap menjadi korban kekerasan dan pembunuhan, baik oleh perorangan, aparat hukum ataupun kelompok yang antiwaria atas dasar kebencian dan prasangka buruk. Salah satu peristiwa yang menjadi tonggak diperigatinya hari transgender ini adalah terbunuhnya seorang waria bernama Rita Hester di San Fransisco pada tahun 1998. Kasus tersebut tidak pernah terselesaikan hingga kini. Artinya, korban-korban lain yang senasib dengan Rita Hester kemungkinan besar terus bertambah. Barangkali razia Sat Pol PP terhadap para waria yang disertai dengan tindak kekerasan seperti menyeret, menjambak, mencemooh bahkan mencaci para waria adalah fenomena gunung es diskriminasi dan kekerasan terhadap para waria.

Sebenarnya apa yang membuat kaum transgender ini terus mengalami diskriminasi baik secara sosial, budaya, pendidikan dan politik? Menurut Foucault dalam Power/Knowledge pelabelan atas penyimpangan seksual direproduksi oleh rezim yang sedang menguasai, mengorganisisr, merumuskan dan mengkategorisasi makna. Artinya, apa yang disebut sebagai penyimpangan seksual merupakan bentuk hegemoni bahasa, dimana hanya yang berkuasalah yang berhak memberikan stigma normal atau tidak normal dalam sebuah komunitas masyarakat.

Transgender sebagai the minor term (baca: kelas pinggiran) tidak dikonstruksikan untuk keberadaan dan kepentingan kaum waria sendiri, namun justru untuk kepentingan kaum heteroseksual sebagai penyandang the major term. Secara politis para transgender/waria ini justru dianggap sebagai sebuah kegagalan the minor term dalam upaya menyesuaikan diri dengan identitas gender (feminin-maskulin) dab seksual (laki-laki – perempuan) yang telah terstruktur jelas di Indonesia. Kegagalan itulah yang kemudian digembar-gemborkan para pemegang kuasa makna melalui corong-corongnya (media, kebijakan dan sebagainya) sebagai acuan masyarakat untuk menolak mereka sebagai “warga negara yang baik” dan “normal” (Alimi dalam Kadir, 2007;80-81).

Padahal kalau kita membaca beberapa babakan sejarah di Nusantara, dapat kita lihat betapa kaum transgender dulunya merupakan bagian dari komunitas masyarakat. Mereka bisa hidup berdampingan baik dengan masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas atas. Artinya, fenomena transgender tidak muncul secara temporer di stasiun-stasiun kereta api, salon-salon, para desainer mode kelas menengah, penata rambut, peraga dan sejenisnya.

Dalam penelitiannya Benedict Anderson menyebutkan kaum bangsawan Aceh sering membeli laki-laki kemayu dari Nias (Seudati) untuk dijadikan “kesenangan” di ranjang maupun disuruh menari dengan berpakaian wanita. Bahkan nalam naskah Jawa kuno kehidupan waria terpampang jelas pada serat Centhini. Dalam naskah tersebut dikisahkan mengenai Nurwitri dan Cebolang yang diperlakukan sebagai pihak feminin ketika mereka bertemu dengan adipati di Kabupaten Daha.

Bahkan pengakuan terhadap transgender ini sudah pernah dilakukan Nabi Muhammad ketika menetap di Medinah. Kaum laki-laki yang tidak mempunyai hasrat terhadap perempuan ini biasa disebut mukhanath yakni mereka yang menetap di luar nilai-nilai seksual patriarki pada waktu itu dan bergaya layaknya perempuan. Dan pada waktu itu Nabi Muhammad menerima keberadaan mereka selama tidak merugikan tata nilai etis tertentu. (Al Haqq Kugle dalam Kadir, 2004;88). Artinya, bahkan Nabi Muhammad-pun telah mengajarkan kita untuk menghormati sesama manusia, karena manusia sejatinya sama dihadapan tuhan.

Sayangnya agama dan negara justru hendak mengingkari sejarah keberadaan para transgender. Susahnya para transgender ini mengurus KTP (terutama berkenaan dengan jenis kelamin), hingga keinginan untuk membina rumah tangga dengan kaum laki-laki. Bahkan kaum agamawan kerap menuding-nuding orientasi seks menyimpang yang justru menjadi penyebab krisis multidimensi di negeri ini. Padahal masalah tak akan pernah selesaiseberapapun kerasnya negara dan agama menekan para transgender. Mereka akan terus ada, karena mereka merupakan bagian dari peradaban manusia. Tindakan represif semacam itu justru malah akan menimbulkan perlawanan dan jika hal tersebut terjadi justru semakin memperumit keadaan. Saya yakin para pemegang kekuasaan tak menginginkan itu terjadi bukan?

Karena itu memberikan hak penuh bagi para transgender sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pilihan bijak. Memberikan kesempatan bagi para transgender untuk berkativitas dibidang politik, sosial, budaya, pendidikan dengan damai dan tentram ditengah-tengah para heteroseksual adalah keputusan paling manusiawi. Sebab waria juga manusia, punya hati punya rasa. Masalahnya bagaimana dengan kita? Adakah hati dan rasa kita untuk mereka?


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Selasa, 25 November 2008

Peta Penanggulangan Kemiskinan

Dimuat di Harian PELITA, 20 November 2008




Peta Penanggulangan Kemiskinan
Oleh: Edy Firmansyah


Kemiskinan di negeri ini masih dalam kondisi memprihatinkan. Hingga Juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.

Bahkan angka diatas kemungkinan besar meningkat drastis pasca kenaikan BBM sebesar 26, 8 persen beberapa waktu lalu. Dengan kenaikan BBM harga seluruh komoditas (yang sebelumnya telah merambat naik) menjadi semakin tak terjangkau melonjak. Akibatnya transaksi antarkota, antar propinsi dan antarpulau dipastikan turun drastis, bahkan berhenti total. Sebab harga barang dagangan tak akan mampu bersaing karena harus menyesuaikan dengan biaya transportasi yang juga akan naik.

Dengan kondisi tersebut jelas banyak usaha yang gulung tikar. Sehingga PHK pekerja menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya tentu saja jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat. Berdasarkan perkiraan Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15, juta jiwa.

Jika kondisi diatas dibiarkan maka malapetaka akibat kemiskinan sebagaimana diramalkan Susan George dalam bukunya The Lugano Report: On Preserving Capitalism in Twenty-first Century (1999;2003), ada di depan mata. Menurut Susan George kemiskinan yang terus meningkat akan menghasilkan jutaan masyarakat kelas bawah yang tidak lagi memiliki tempat di pemukiman kota dan di dalam ekologi. Kondisi ini bukan hanya dapat meningkatkan intensitas konflik, kriminalitas dan anarkisme dalam masyarakat, melainkan juga menciptakan kerusakan lingkungan.

Gejalanya sepertinya sudah mulai terasa. Diperkotaan tindakan kriminal, tawuran, pembunuhan terus meningkat tajam. Sementara di pedalaman kita saksikan sekitar 10 juta warga miskin kita yang mencari apapun, termasuk membabat hutan demi mendapat makan. Karena tuntutan perut mereka merusak lingkungan. Untuk hal ini, masyarakat miskin memang tidak bisa dipersalahkan begitu saja. Masalah kemiskinan adalah masalah negara. Sebagaiamana termaktup dalam UUD bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Masalahnya adalah sudahkah upaya pengentasan kemiskinan dilakukan dengan optimal??

Kalau merujuk pada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan yang diadopsi menjadi Bab 16 dari Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 kita dapat membaca metode kemiskinan dengan metode participatory poverty assesment (PPA) sesuai harapan banyak organisasi non pemerintah. Metode tersebut sebenarnya merupakan upaya mengembalikan analisa kemiskinan pada ’fitrah’nya. Yakni membaca kemiskinan dengan narasi-narasi kualitatif yang tak lazim dipakai kaum tekno-ekonom. Sehingga penanggulangan kemiskinan bergerak berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan merujuk pada budaya lokalnya dan kemampuan orang miskin menentukan kebijakan ekonomi politiknya sendiri, bukan upaya penanggulangan kemiskinan hanya sekedar menurunkan angka statistik.

Sayang, dokumen itu tidak dijadikan road map penanggulangan kemiskinan. Dokumen itu menjadi tak ada artinya saat negara (dalam hal ini konspirasi legislatif-eksekutif) memproduksi legislasi kebijakan makro-ekonomi yang berkiblat pada pasar dan investasi (baca;neoliberalisme), sesuai dengan petuah lembaga multilateral dan donor multilateral yang menjadi sumber utang pendanaan pembangunan.

Salah satu kebijakan yang sebenarnya anti pemberdayaan kemiskinan adalah digulirkannya Bantuan Langsung Tunai (BLT) sekitar 3 Trilyun rupiah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Dapat kita saksikan berbondong masyarakat mendaftarkan diri menjadi pengemis. Kita saksikan kaum miskin dan orang-orang yang pura-pura miskin rela antre sembari ‘menengadahkan tangan’ sebagai pesakitan guna mendapatkan talangan dana dari pemerintah. Padahal cara semacam itu tak pernah mampu membebaskan masyarakat miskin dari lubang hitam kemiskinan. Yang terjadi justru ketergantungan masyarakat miskin pada dana bantuan. Dan ini menyebabkan mereka malas dan enggan bekerja keras memperbaiki nasib.

Benar memang ada program pemerintah yang digulirkan dengan mengusung platform pemberdayaan masyarakat seperti PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Namun program tersebut belum sepenuhnya membebaskan masyarakat dari kemiskinan. Program ini cukup berhasil dalam membuka akses sosial ekonomi masyarakat seperti pembangunan jalan dan jembatan (juga sekolah). Tapi masyarakat tak pernah tahu atau diberi tahu bagaimana menjawab kemiskinan yang obyektif. Sehingga infrastruktur yang dibangun tak ubahnya monumen penanggulangan kemiskinan belaka. Disamping itu, dana dari program ini masih menjadi bancaan para birokrat, para kepala desa, dan fasilitator program.

Padahal kita tahu masyarakat miskin adalah masyarakat paling gigih dalam survive melawan krisis. Lihatlah para PKL. Digusur ribuan kali mereka terus berjualan dengan segala cara dan motif. Justru ditengah keterjepitan dan ancaman hidup mereka memeras otak agar bisa terus makan. Termasuk makan nasi aking atau pelepah pisang. Dengan semangat hidup itu sebenarnya mereka memiliki potensi untuk bangkit dari kemiskinannya. Tinggal bagaimana pemerintah yang bekerja sama dengan ornop pro masyarakat miskin dan partai progresif melakukan pendampingan untuk mengubah nasib mereka baik secara ekonomi maupun politik. Karena itu agenda mendesak dalam penanggulangan kemiskinan adalah melepaskan diri dari cengraman neoliberalisme dan menyusun kembali strategi kemiskinan sesuai kondisi riil masyarakat.

Menghamba pada neoliberalisme terbukti semakin membuat kaum miskin kian terpojok. Lihat saja, mereka makin susah sekolah dan tak bisa dirawat di RS karena tak bisa membayar uang muka, tak ada air bersih dan tak punya rumah. Sebagian yang lain banyak terkena gangguan jiwa. Benar memang dengan kondisi tersebut akan banyak mengucur bantuan-bantuan lembaga donor. Tetapi kesannya bukan membebaskan masyarakat miskin, melainkan menjadikan mereka sebagai tumbal kebijakan penanggulangan kemiskinan berbasis pasar.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Jurnalis. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Minggu, 23 November 2008

Ancaman DBD dan Reformasi Sistem Kesehatan

Dimuat di SUARA KARYA, 12 November 2008


Ancaman DBD dan Reformasi Sistem Kesehatan
Oleh: Edy Firmansyah


Musim hujan kembali datang. Tiap kali tiba musim penghujan, yang paling dikwatirkan public selain bencana banjir, juga menyebarnya berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang kerap menyertai musim penghujan dan banyak memakan korban jiwa adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).

Dalam laporan Departemen Kesehatan, penyakit yang disebarkan oleh nyamuk aides aigepty ini sudah menjadi masalah yang endemis di 122 daerah tingkat II, 605 Kecamatan dan 1.800 Desa atau kelurahan. Pasalnya, setiap wabah penyakit ini menyebar, penderitanya meningkat drastis dan tak sedikit yang akhirnya meninggal. Di Jawa Timur, misalnya, pada tahun 2005 terdapat setidaknya 15.257 kasus DBD dengan 266 penderita meninggal. Tahun 2006 jumlah penderita meningkat menjadi 20.375 dengan 251 penderita meninggal.

Data diatas kemungkinan besar bakal meningkat. Pasalnya, program dinas kesehatan terkait pemberantasan demam berdarah masih bersifat konvensional. Misalnya, salah satu andalan pemerintah adalah program fogging. Padahal akibat fogging nyamuk justru mengalami mutasi gen. Dalam hukum darwinian, disebutkan bahwa mahluk hidup bisa bertahan hidup dan berkembang biak bukan lantaran besar dan kuat. Melainkan karena mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hukum darwin ini berlaku juga untuk perkembangan nyamuk aides aigepty.

Regenerasi hasil mutasi gen inilah yang sudah kebal terhadap fogging terus berkembang dan menyerang masyarakat. Salah satu contoh kasus yang menarik akibat mutasi gen ini adalah Kabupaten Banyumas. Kabupaten ini pernah dijadikan percontohan pemberantasan DBD tahun 2001. Namun tiba-tiba pada tahun 2002, diserang wabah malaria yang menewaskan ratusan warganya.

Karena itu Dinas kesehatan harus segera memikirkan cara pemberantasan DBD selain fogging. Misalnya dengan mengembangbiakkan predator nyamuk dan jentik nyamuk seperti; ikan koi dan katak. Selain cara ini lebih efektif dan aman, baik ikan koi maupun katak dapat dijadikan sumber penghasilan tambahan warga.

Selain itu, belum dioptimalkannya fungsi pelayanan di tingkatan puskemas juga menjadi faktor meningkatnya jumlah penduduk yang terserang DBD. Puskemas sebagai unit pelayanan kesehatan bagi masyarakat sebenarnya dapat mengambil fungsi sebagai pengolah informasi ksehatan di satu wilayah. Misalnya, secara berkala petugas di puskemas menyediakan data tentang sejarah penyakit endemi di suatu wilayah, lengkap dengan antisipasi dini dan cara pencegahannya dengan obat-obatan tradisional. Dengan demikian masyarakat sekitar memahami wabah penyakit potensial yang muncul di masyarakat, sehingga jauh-jauh hari sudah melakukan persiapan. Dengan demikian, masyarakat yang sakit akan semakin berkurang. Bukankah hal tersebut yang sejatinya merupakan keberhasilan sebuah puskesmas disamping kelengkapan fasilitasnya?

Ironisnya lagi, masyarakat justru diarahkan pada paradigma baru bahwa konsep sakit dan penyakit DBD hanya bisa diselesaikan dengan cara mengkonsumsi jasa dan obat-obatan yang diproduksi korporasi farmasi multinasional. Alih-alih menyehatkan masyarakat, para komprador di bidang kesehatan ini justru hendak meraup keuntungan atas pemasaran obat-obatan. Dan lagi-lagi masyarakat awam yang dirugikan.

Karenanya selama pemerintah tidak mengubah paradigma sehat dan sakit di masyarakat dengan konsep pembelajaran dan pencerdasan masyarakat mengenai seluk beluk penyakit dan cara mengatasinya secara mandiri, maka yang terjadi adalah ketergantungan. Dan jika keadaaan itu dibiarkan, penyakit akan terus menyerang masyarakat. Untuk itu, Melibatkan bakul jamu, sinse pengobatan cina, ahli akupuntur adalah hal yang mendesak. Dari mereka, masyarakat miskin akan belajar banyak hal mengenai penanganan penyakit. Sehingga lambat laun masyarakat akan mampu menangani wabah penyakit dengan kemampuannya sendiri, tanpa harus merepotkan pemerintah.

Kendala berikutnya adalah mahalnya biaya kesehatan. Benar memang pemerintah sudah memberikan subsidi kesehatan pada masyarakat, yakni berdasarkan UU NO. 45 tahun 1999 pasal 39 tentang kewajiban pemerintah membayar sebagian besar dari iuran layanan kesehatan. Ini bisa dilihat dengan pemberian kastu asuransi kesehatan (Askes) untuk PNS dan kartu Gakin untuk mereka yang miskin. Kendati demikian tarif pelayanan kesehatan justru dibiarkan melonjak antara 25 hingga 75 persen. Akibatnya, hanyak untuk menebus obat generic penurun panas saja, masyarakat tetap merogoh kantong lagi.

Makanya jangan heran jika masih banyak masyarakat yang lebih mempercayakan penyembuhan penyakit dengan cara supranatural ( baca; dukun) daripada penyembuhan secara medis (baca; dokter). Di Madura misalnya, tempat praktek dukun yang letaknya jauh di pelosok kampung bisa lebih ramai daripada puskesmas pembantu yang letaknya tepat dipinggir jalan. Karenanya selama biaya kesehatan masih mahal, maka wabah penyakit akan terus menghantui masyarakat.

Disamping itu rendahnya sisi kemanusiaan kalangan medis juga menjadi penyebab meningkatnya angka DBD dari tahun ke tahun. Sudah bukna rahasia umum lagi kalau orientasi kalangan medis mulai dari perawat, apoteker, bidan hingga dokter adalah orientasi uang. Mereka akan memberikan pelayanan prima pada pasien atau penderita yang berkantong tebal. Padahal menurut Patch Adams dalam bukunya Kisah Inspiratif Seorang Dokter Eksentrik yang Menyembuhkan Penyakit dengan Humor dan Kebahagiaan praktek kedokteran yang ideal adalah penyembuhan yang baik adalah dengan interaksi antarmanusia yang penuh kasih sayang, bukan transaksi bisnis.

Karenanya kaum profesional di bidang kesehatan harus ’berani’ mengulurkan tangan pada pasien yang menunjukkan rasa sakit dan kerapuhan mereka. Demi kesehatan pasien; staf, dokter harus berusaha keras membangun persahabatan dengan pasien secara mendalam. Sebab persahabatan adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit. Dengan demikian penyakit apapun—termasuk DBD—akan semakin mudah diberantas.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pemerhati Kesehatan Masyarakat. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Menghargai Rakyat Sebagai Pahlawan Sejati

Menghargai Rakyat Sebagai Pahlawan Sejati
Oleh: Edy Firmansyah


Pahlawan masih sering diidentikkan dengan seseorang yang memegang senjata dan terjun di medan perang serta bertempur habis-habisan melawan musuhnya. Bahkan untuk menjadi pahlawan orang harus terlebih dahulu gugur akibat peluru atau senjata musuh-musuhnya.

Karena itu jangan heran jika setiap memperingati hari-hari besar yang terkait erat dengan jasa para pahlawan, semisal; Memperingati Proklamasi Kemerdekaan hingga hari Pahlawan pada 10 November yang menjadi tujuan utama mengenang jasa para pahlawan adalah para veteran perang. Makanya tak heran jika Taman Makam pahlawan (TMP) jadi jujukan untuk menghormati pahlawan. Sebab di sanalah jasad para pahlawan disemayamkan.

Padangan di atas tidak sepenuhnya keliru. Hanya saja terkesan terlalu sempit. Akibatnya gelar kepahlawanan hanya dapat diraih oleh segelintir orang saja. Yakni mereka yang memanggul senjata atau mereka yang terlibat langsung dengan hal ihwal mengenai kenegaraan. Mereka inilah yang ketika meninggal dan hendak disemayamkan pantas diiringi dengan upacara dan tembakan kehormatan.

Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Pahlawan sejati adalah seseorang atau mereka yang telah memperlihatkan sikap-sikap unggul dan terpuji dalam keberanian, kepeloporan, serta kerelaan berkorban dalam membela atau memperjuangkan kebenaran dan kepentingan rakyat kebanyakan. Bahkan mereka yang berkarater tinggi, berani, tenang dan dingin ditengah kemelut apapun, menempatkan manusia dalam martabatnya yang tinggi, tidak kemaruk harta, tidak menonjol-nonjolkan jasanya sendiri serta rendah diri juga pantas di sebut pahlawan.(Jacob Sumardjo, 2002)

Nah, dengan pemahaman yang lebih luas mengenai pahlawan tersebut, peluang jadi pahlawan menjadi terbuka bagi setiap orang tanpa harus mengangkat senjata apalagi mati di medan pertempuran. Sebutan atau gelar pahlawan terbuka bagi setiap orang asalkan ia memiliki sikap-sikap yang unggul dan terpuji dalam keberanian, kepeloporan, dan kerelaan berkorban dalam membela kebenaran serta memperjuangkan kepentingan seluruh manusia.
Pertanyaannya sekarang, siapakah yang memenuhi semua syarat untuk menjadi pahlawan sejati di negeri ini? Jawabannya adalah rakyat.

Kisah rakyat adalah kisah tentang kebersahajaan kehidupan yang penuh keikhlasan, pahit getirnya hidup serta kesadaran akan dirinya sebagai kawulo alit, sebagai rakyat bawah, rakyat kecil. Mereka tidak pernah menuntut macam-macam, apalagi minta disebut dan dihargai sebagai pahlawan. Mereka bukan orang yang gila penghargaan, bukan tipe orang yang gila sanjungan. Meski begitu mereka mampu menggerakkan sejarah.

Karenanya mengingkari keberadaan rakyat adalah dosa besar yang tak akan termaafkan. Tak ada bangsa yang mampu berdiri tegak tanpa keterlibatan rakyat. Dalam kisah-kisah perjuangan, keterlibatan rakyat adalah fakta mutlak. Partisipasi, peranan dan keterlibatan rakyat dalam merintis, memproklamasikan, mempertahankan dan mengembangkan negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI, tidak bisa ada dan terjadi begitu saja tanpa partisipasi rakyat. Bahkan peristiwa 10 November 1945 yang memakan korban sekitar 6.000 jiwa tewas tidak mungkin dikenang tanpa keterlibatan rakyat, baik secara fisik mental maupun material.

Ironisnya, eksistensi rakyat kian hari kian terpinggirkan, bahkan terlupakan. Di tangan partai politik, elite politik, wakil rakyat, lembaga swadaya masyarakat rakyat menjadi komoditas yang terus-menerus dieksploitasi tanpa henti. terus-menerus berkoar-koar memperjuangkan nasib rakyat tanpa ada realisasinya. Istilah rakyat lebih banyak diomongkan ketimbang diperjuangkan. Rakyat bagai barang dagangan yang ramai dan laris diperjualbelikan.

Partai politik ramai berkotbah di mana-mana, mengobral janji dengan mengatasnamakan dan memperjuangkan rakyat, kelak jika parpol menang aspirasi rakyat akan dikedepankan. Kenyataannya, saat parpol ada di lingkaran kekuasaan, rakyat pun terlupa dari ingatan.

Elite politik juga senada. Berkampanye atas nama rakyat tapi tuli dan buta terhadap aspirasi rakyat. Mereka asyik dengan kekuasaan. Mmeraup keuntungan sebanyak-banyaknya selagi sempat. Lembaga swadaya masyarakat tak henti-hentinya berkoar-koar dan rajin membuat proposal yang konon untuk kepentingan rakyat kepada lembaga donor asing. Sementara masyarakat semakin sesak napas karena lilitan kemiskinan, mahalnya kebutuhan hidup, ketidakadilan, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan lainnya semakin kencang.

Karena itu peringatan Hari Pahlawan kali ini hendaknya dijadikan momentum untuk berefleksi, sudahkah penguasa negeri ini menghormati pahlawan sejatinya? Jika tidak, tak salah jika kemudian masyarakat luas mengutuk pemimpin negeri ini sebagai segolongan orang yang durhaka dan tak tahu terima kasih.***


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Jurnalis Tabloid JEJAK. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Jumat, 21 November 2008

Perempuan dan Kekerasan Terhadap Anak

Dimuat di RADAR SURABAYA, 07 November 2008



Perempuan dan Kekerasan Terhadap Anak
Oleh: Edy Firmansyah



Anak-anak Indonesia masih belum sepenuhnya aman dari tindak kekerasan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perlindungan Anak juga tak cukup ampuh menjadi perisai bagi anak-anak. Buktinya, kekerasan masih terus menjadi hantu bagi anak-anak.

Ironisnya, berdasarkan data sekitar 60 persen pelaku tindak kekerasan terhadap anak justru dilakukan perempuan. Tindakan Nunik Wijaya, warga Kembang Jepun, Surabaya, yang dengan tega menyekap dan memukuli anak bungsunya, Andrew Louis, 9, hingga menangis dan menjerit kesakitan (Radar Surabaya, 5/11/08) merupakan puncak gunung es kekerasan perempuan terhadap anak-anak. Artinya, selain Nunik masih banyak perempuan lain yang tega berlaku kejam pada anak-anak.

Pertanyaannya mengapa perempuan yang kerap menjadi pelaku tindak kekerasan pada anak-anak? Bukankah perempuan selalu identik dengan sifatnya yang lemah lembut, penuh cinta kasih, cinta damai dan selalu mengutamakan keselamatan?

Menurut Dom Helder Camara dalam bukunya Spiral Kekerasan, kekerasan tak pernah berdiri sendiri. Ia lahir menyusul, dan menjadi rantai fantasi berikutnya dari kekerasan-kekerasan terdahulu yang telah berjalin-kelindan. Lewat penelitiannya di Amerika Latin, Camara menerangkan bagaimana kekerasan itu berkelindan. Awalnya kekerasan lahir dibidani oleh egoisme para penguasa dan kelompok-kelompok yang rakus. Berikutnya kekerasan pun muncul sebagai jawaban dari para pejuang keadilan yang mengangkat senjata untuk menumbangkan para penguasa lalim itu. Kekerasan akan kembali muncul sebagai satu-satunya jalan berpikir yang ada dari para penguasa untuk menumpas bentuk kekerasan kedua. Begitulah seterusnya, hingga nyaris tak henti-hentinya darah mengalir untuk menyuburkan dendam yang tak kunjung menuntas. Mirip seperti kisah keris Empu Gandring, kekerasan akan terus memakan korban jiwa, tidak hanya tujuh turunan tetapi sampai akhir masa.

Jika dikaitkan dengan kondisi perempuan Indonesia analisa Camara menunjukkan kebenarannya. Perempuan Indonesia tak lepas dari penindasan. Dari sebuah riset disebutkan bahwa setiap hari ada kasus pemerkosaan terhadap perempuan. Bahkan ada yang menemukan fakta lebih hebat lagi bahwa setiap 6 jam terjadi perkosaan seksual. Belum lagi kasus yang tidak pernah disadari orang sebagai kasus yakni pelecehan seksual, tampaknya sudah menjadi kegiatan spontanitas yang dilakukan dimana-mana. Daftar penindasan bisa bertambah panjang kalau kita memasukkan kasus perdagangan perempuan sebagai budak seks, hingga penganiayaan terhadap istri maupun pembantu rumah tangga.

Tak hanya itu perempuan masih mengalami penghancuran identitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik dan budayanya. Perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu dalam Pramoedya Ananta Toer, 2006). Parahnya lagi, para perempuan tidak sadar bahwa dirinya diekspolitasi. Mereka seakan pasrah saja bahwa keadaan yang menimpa dirinya adalah kodrat.

Dengan kata lain, menurut Gayatri Spivak dalam sebuah artikelnya yang booming dengan judul ‘Can The Subaltern Speak ?’, dijelaskan bahwa kaum perempuan merupakan kaum subaltern. Perempuan adalah manusia yang kehilangan suara kemanusiaannya.

Sikap diam itulah, dalam kacamata psikologi, kemudian menyebabkan akumulasi kemarahan bertumpuk dalam alam bawah sadar perempuan. Menurut Freud, sang psikolog analis, pengalaman traumatis yang telah tersimpan jauh di alam bawah sadar seseorang dalam kondisi tertekan akan menciptakan prilaku menyimpang melebihi dari efek trauma yang pernah dialaminya. Bukankah kerap juga kita dengar ada perempuan yang nekat membunuh anaknya sendiri? Juga tak jarang kita baca di media massa perempuan yang membakar suaminya sendiri?

Tindak kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap anak-anak juga merupakan bentuk eskapisme akibat dari penindasan yang dilakukan terhadap perempuan. Sayangnya, penindasan atau ekploitasi yang kerap mereka terima dari hukum patriakat justru mereka lampiaskan pada anak-anak. Baik itu pembantu yang masih berusia dini, anak tiri maupun anak kandung sendiri. Pasalnya, anak-anak merupakan mahkluk paling lemah yang gampang dijadikan pelampiasan emosi.

Karena itu, satu-satunya cara mengakhiri tindak kekerasan adalah dengan memotong siklus kekerasan itu sendiri. Tentu saja tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Lebih dari itu, para baik para korban maupun pelaku harus mendapatkan pendampingan dan terapi psikologi yang dalam. Sebab—meminjam analisa Freud—pelaku tindak kekerasan pasti pernah mengalami kekerasan serupa di masa lalunya. Sedangkan korban pasti mengalami trauma alam bawah sadar. Karenanya selama efek traumatis yang terbangun dalam alam bawah sadarnya tidak dibongkar, tidak menutup kemungkinan ketika dewasa nanti kekerasan serupa akan dilakukan pada anaknya.

Yang terakhir adalah membangunkan kembali kesadaran masyarakat yang telah lama mati, bahwa kekerasan apapun bentuknya adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan. Dan ketika pelanggaran itu terjadi, baik di lingkungan sekolah, rumah tangga maupun tetangga dan kerabat sendiri menjadi urusan kemanusiaan dan sudah selayaknya ditindak tegas. Sebab semakin sering kita atau anak-anak kita mengalami atau minimal menyaksikan tindak kekerasan, maka kekerasan akan terus menjadi bagian dari kehidupan kita bahkan menjadi budaya bangsa kita. ***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Pemerhati Masalah Psiko-Sosial. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).