WAKTU

JEDA

Sabtu, 27 Agustus 2011

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432H. MAAF LAHIR BATIN



















Hari Lebaran



Ada yang lupa kuhapus
bilur airmatamu
ketika mengeja dosadosa
yang kutorehkan tanpa sengaja

ada yang tak tuntas kuseka
perih luka masa silam
yang mungkin jadi sembab
tanpa mampu dipendam
selembar sapu tangan

mungkin tak cukup seribu maaf
menghapus dosa, menyeka luka
yang telah jadi gurat di dada

tapi barangkali puisi bisa
mengakhiri muram dendam
hingga senyum maafmu
ikut jatuh bersama hujan


[Madura, 090910]

Selasa, 16 Agustus 2011

CERITA TENTANG KAKEK

Cerita Tentang Kakek*)


”Jadi kakek selalu berteriak-teriak dan membentur-benturkan kepalanya ke dinding sampai berdarah tiap kali mendengar kabar kalau ramadhan sudah dekat mama?” mendengar pertanyaanku mama cuma tersenyum sambil menganggukkan kepala dan terus membelai rambutku. Udara dingin menyusup dari lubang angin di atas jendela. Mama kembali membetulkan letak selimutku.

“Tidak hanya itu Windy. Tiap kali kita datang menjenguknya kakek selalu berteriak-teriak seperti tadi?”

”Kenapa tidak tinggal dengan kita saja mama. Kasihan kakek sendirian di ruangan itu. Kalau tiap hari melihat kita kakek pasti tidak akan berteriak-teriak lagi.” Mama lagi-lagi tersenyum. Kemudian berjalan mendekat ke jendela. Menutup gorden kamarku.

“Kakek lebih senang sendirian di tempat itu Windy. Sama seperti kita kalau lagi marah atau kesal. Kita suka menyendiri. Karena tidak ingin menyakiti orang lain. ”

“Kapan kakek akan berhenti marah-marah mama?”

“Entahlah sayang”

“Kalau kakek sudah tidak suka marah-marah dan berteriak-teriak seperti tadi, kakek akan berkumpul bersama kita lagi mama?”

”Tentu sayang. Tentu. Ayo sekarang tidur. Sudah larut malam.” Mama mencium keningku. Lalu keluar dari kamar sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum. Tapi tak juga bisa tertidur. Aku masih ingat wajah kakek ketika berteriak-teriak dan membenturkan kepala ke dinding ruangan itu.

”Allahuakbar! Hancurkan! Hancurkan! Jangan biarkan syetan mengganggu orang-orang berpuasa.” Begitulah teriakan kakek yang terus-menerus menggema dalam pikiranku ketika untuk pertamakalinya aku mengunjungi kakek. Ya. Wajah kakek di ruangan itu sungguh berbeda dengan wajah kakek di foto yang ada di ruang tamu. Di ruangan itu wajah kakek begitu kusut dan dingin. sementara wajah kakek di ruang tamu terlihat begitu gagah. Mengenakan surban putih dan memegang klewang yang disilangkan di dada. Persis seperti foto pahlawan pattimura.

Begitulah kenanganku ketika pertama kalinya aku bertemu kakek secara langsung. Dan kenangan itu selalu melintas dalam pikiranku tiap kali aku hendak tidur. Hingga aku dewasa sekarang.

Dan aku selalu bertanya-tanya kenapa kakek harus tinggal di salah satu ruangan di sebuah rumah sakit jiwa. Bertahun-tahun pertanyaan itu terus berkecamuk dalam kepala. Dulu ketika masih duduk di bangku SMP aku pernah juga bertanya hal itu pada mama. Tapi mama tak pernah mau menceritakan sebab musababnya.

”Belum waktunya Windy. Nanti kalau kau sudah dewasa akan mama ceritakan.” Begitu selalu jawaban mama tiap kali aku bertanya kenapa kakek bisa jadi gila.

Pun ketika aku sudah mulai masuk sekolah menengah atas seperti sekarang ini mama tak juga mau menceritakan hal itu. Ya aku dan mama memang sudah jarang bertemu. Mama cukup sibuk menjadi konsultan hukum dan mengurusi bisnis cateringnya. Papa juga sudah jarang pulang ke rumah. Bisnis kelapa sawitnya dan beberapa pondok pesantren yang ia dirikan seakan-akan tak bisa ditinggalkan. Karena kesibukan masing-masing kita juga nyaris tak pernah lagi mengunjungi kakek. Artinya ketika usiaku 7 tahun dulu itulah untuk pertamakali dan terakhir kalinya aku bertemu muka langsung dengan kakek di rumah sakit jiwa. Bahkan sekarang kita tak pernah lagi mendiskusikan soal kakek. Tak pernah.

Sampai pada suatu hari ketika aku iseng membongkar-bongkar gudang, aku menemukan catatan harian mama yang bercerita mengapa kakek sampai masuk rumah sakit jiwa. Dan berdasarkan cacatan harian mama yang tak sengaja aku temukan itu maka aku susun cerita berdasarkan versiku sendiri sebagai berikut:

Malam itu begitu selesai sholat Isya, Abdullah berdiri di depan kaca. Memperbaiki surbannya lalu mengambil klewang yang biasa ia simpan di atas lemari. Kemudian menyelipkan di pinggangnya. Ia tersenyum. Lalu keluar kamar. Malam itu adalah malam kedua sebelum ramadhan tiba. Sudah menjadi agenda rutin organisasi yang ia ikuti tiap menjelang lebaran organisasinya melakukan razia ke tempat hiburan dan hotel-hotel yang disinyalir menjadi tempat berbuat mesum.

Seandainya almarhum istrinya masih hidup pasti Abdullah akan berdebat hebat dengan istrinya. Pasalnya, istrinya yang paling menentang ia ikut organisasi keagamaan itu.

”ini jihad, bu. Semua kebobrokan negeri ini bermula dari perbuatan syahwat manusia-manusianya. Kalau tidak dibereskan segala hal yang merusak moral itu maka negeri ini tak akan maju.”

”Merusak hak orang lain itu kau katakan jihad? Coba bapak pikir bagaimana perasaan orang-orang yang dagangannya dirusak karena berjualan waktu ramadhan. Itu penganiayaan. Lagipula tak perlu berlebihan dalam beragama. Bukankah keimanan itu bisa dikatakan teguh kalau ada ujiannya. Biarkan saja mereka buka waktu ramadhan. Biarkan saja tempat hiburan buka tiap malam ketika semua orang tarawih. Biarkan saja lokalisasi buka ketika orang-orang tadarus. Karena disitulah keimanan seorang muslim diuji”

”Belajar dari mana kau beragama sehingga berani membantah suamimu begitu? Belajar dari mana hah? Jangan ikuti pikiran sesat. Banyak ulama sesat sekarang. Yang memelintir ayat-ayat untuk menyesatkan orang-orang atas nama HAM-lah. Semua itu hegemoni barat. Sesat. Kafir.”

“Bapak yang sesat. Menganiaya hak hidup orang. Menyiksa orang itu keji. Dan semua agama melarang perbuatan keji. Kasus di cikuesik yang menewaskan 3 orang itu perbuatan apa kalau bukan keji. Teman-teman bapak khan yang bunuh? Agama tak mengajarkan membunuh orang, pak. ”

”tapi pelakunya sudah dihukum khan?”

“Menghilangkan nyawa orang hanya 3-6 bulan kurungan itu setimpal? Nyawa dibayar nyawa itu baru setimpal. Bukankah begitu hukum Islam? Dan organisasi bapak itu terima putusan hukum yang dikutuk-kutuk sebagai produk barat itu? Apa itu namanya kalau bukan munafik. Rasullullah benci orang munafik.”

“Plak!” tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi istrinya.

“Jaga mulutmu, Bu. Membantah suami itu neraka. Makanya ikut pengajian jangan kerjaan melulu dipikin. Omonganmu lama-lama seperti syetan.” Istrinya hanya bisa menangis. Menangis. Dan terus melafalkan istighfar dalam hatinya. Memohon ampun pada tuhan atas laku suaminya.

Meski kenangan masa lalu itu sekali waktu melintas dalam benaknya tak pernah ia menyesal pernah menyakiti istrinya. Tapi kini tak ada lagi yang melarangnya. Tak ada lagi istri yang menentangnya tiap kali hendak berangkat razia tempat maksiat. Istrinya sudah satu tahun meninggal karena kanker. Kedua anaknya kini sudah kuliah di luar kota. Yang laki-laki kuliah di jurusan syariah. Sedangkan anak bungsungnya yang perempuan di jurusan hukum. Ia tinggal sendirian di rumah. Makanya ketika keluar kondisi ruang tamu sepi. Sebelum keluar rumah ia sempat melihat foto almarhum istrinya. Lalu bergegas mematikan lampu. Menguji pintu depan dan mengendarai motornya menuju tempat dimana teman-teman seorganisasinya berkumpul.

Begitu Abdullah sampai massa sudah lumayan banyak dan sudah bersiap-siap merazia tempat yang diduga penuh maksiat.

”Ayo bergerak! Allahuakbar!” teriak seorang korlap. Massapun bergerak. Abdullah ada diantaranya. Sasaran pertamanya warung dan sejumlah kamar kos yang diduga menjadi tempat minuman keras. Rombongan massa ada yang mengendarai sepeda motor. Sebagian yang lain berjalan kaki menyusuri remang jalan yang hanya diterangi lampu PJU.

Begitu sampai di rumah yang dituju, massa langsung masuk ke kamar kos yang sudah jadi incaran. Di tempat tersebut ditemukan 22 jerigen tuak, yang sebagian di antaranya sudah kosong karena telah terjual. Saat massa mendatangi kamar kos, istri penghuni kamar kos bersama dengan anaknya yang masih kecil, tampak pasrah ketika massa mulai memecahkan beberapa barang yang ada di kamar kos. Demikian pula ketika beberapa massa mengambil tuak yang disimpan di dalam kamar yang notabene adalah sumber mata pencaharian suaminya. Dari dalam kamar berukuran sempit tersebut tercium bau menyengat arak. Tuak rampasan yang masih ada dalam jerigen, sebenarnya hendak dibuang di saluran irigasi atau sungai. Akan tetapi setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya tuak tersebut diserahkan kepada polisi. Seluruh jerigen baik yang berisi tuak maupun yang sudah kosong, berikut istri bersama dengan anak penghuni kamar kos itu, dimasukkan ke dalam mobil polisi.

Setelah merasa puas massa kemudian melanjutkan razia ke hotel yang tak jauh dari tempat target pertama. Begitu tiba di hotel tersebut massa langsung merangsek masuk. Sambil berteriak-teriak menyebut-nyebut nama Allah.

”Allahhuakbar!”

Satu persatu pintu kamar hotel didobrak. Penghuninya diseret keluar. Pada kamar pertama massa menemukan sepasang pemuda-pemudi tengah berciuman. Nyaris telanjang. Abdullah yang turut mendobrak kamar pertama itu langsung menyeret dua pemuda-pemudi itu keluar.

”Terkutuk! Dilaktnat Allah kalian” teriak Abdullah sambil menendang punggung si pemuda.

Pada kamar kedua dan ketiga massa juga menemukan pasangan mesum. Menariknya di kamar yang bersebelahan itu ternyata setelah diperiksa KTP-nya adalah suami istrinya yang sama-sama tengah bercumbu dengan pasangan selingkuhnya masing-masing. Di kamar pertama si suami berduaan dengan pasangan selingkuhnya. Di kamar kedua istrinya juga tengah berduaan di kamar dengan selingkuhannya. Dan suami-istri yang terjaring itu sama-sama tidak tahu bahwa mereka berada dalam satu hotel yang sama.

”Astafirullah! Benar-benar keterlaluan” teriak seorang massa.

“Gebuki saja mereka!” teriak Abdullah bersemangat.

“Jangan! Bawa saja ke mobil dan serahkan pada polisi” ujar korlap.

Pada kamar paling ujung, lagi-lagi Abdullah yang jadi eksekutor. Dengan sekali tendang pintu kamar hotel langsung terbuka. Dan betapa terkejutnya ia. Dalam kamar itu dilihatnya anak laki-lakinya dan anak perempuannya tengah saling bercumbu dengan keadaan tubuh telanjang.


*) Cerpen ini dimuat di Harian RADAR SURABAYA, 14 Agustus 2011