WAKTU

JEDA

Rabu, 28 November 2007

Membangkitkan Khazanah Pluralisme Kaum Muda

Membangkitkan Khazanah Pluralisme Kaum Muda
Oleh: Edy Firmansyah

Artikel ini Dimuat di JAWA POS, 27 Oktober 2007


Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sumpah pemuda yang memasuki perayaan ke-79 ini adalah hubungan lintas golongan, agama, ras, yang mampu disatukan dengan ikrar satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air; Indonesia , oleh kaum muda. Hal itu menunjukkan tingginya sikap pluralisme dan kebersamaan kaum muda.

Tokoh-tokoh pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi, yang masih bersifat kesukuan atau kedaerahan (Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura, dan sebagainya) menyelenggarakan kongres pemuda di Jakarta, dengan tujuan untuk menyatukan gerakan pemuda di seluruh Indonesia.
Kongres pemuda yang bersifat lintas-agama, lintas-suku, lintas-aliran politik itu akhirnya mencetuskan ikrar bersama yang amat besar artinya bagi perjuangan rakyat Indonesia yaitu satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa; Indonesia . Dan berkat semangat persatuan, kesatuan dan pantang menyerah kaum muda itulah akhirnya Indonesia mampu meraih kemerdekaannya.

Sayangnya, setelah kita mengenyam kehidupan selama lebih dari 60 tahun sebagai bangsa merdeka, dan 79 tahun merayakan Sumpah Pemuda, kita malah menjadi bangsa yang naif dan a-historis. Ini bertolak belakangan dengan ikrar yang dikumandangkan generasi muda era 1928 yakni, satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa; Indonesia . Yang terjadi justru aneka berita konflik antar golongan, kekerasan dengan motif perbedaan dan beragam tindakan vandalistik lainnya. Dan naga-naganya mulai mengarah pada disintegrasi dan perpecahan antar bangsa.

Mestinya di tengah kondisi bangsa yang sedang menghadapi beragam persoalan saat ini, pemuda harus mengambil peran aktif sebagaimana halnya yang telah ditunjukkan para pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928 yang lalu. Ini penting karena pemuda merupakan pewaris regenerasi kehidupan berbangsa, bernegara, dan kepemimpinan nasional. Pemuda merupakan sumber daya produktif pembangunan dan kelompok strategis dalam struktur demografi.

Namun kenyataannya tidaklah demikian. Spirit perjuangan, teladan sikap heroisme, dan cara pandang yang visioner dari para pendahulu, seolah tak mendapat tempat dalam kehidupan di negeri ini. Memang ada segelintir pemuda yang mau memikirkan nasib negeri ini dengan bergabung dalam Organisasi kepemudaan, LSM, Organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain. Mereka rela turun ke jalan melakukan demonstrasi untuk menuntut keadilan, menjadi sukarelawan penanggulangan bencana atau terjun ke pedalaman-pedalam untuk memberikan pencerahan pada masyarakat.

Tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan kaum muda yang terjerambab dalam godaan materialisme yang dibungkus semangat globalisme. Seakan-akan sejarah tak lagi mencatat kebaikan dan bakti para pemuda terhadap kemajuan bangsanya. Tetapi justru sejarah buruk yang sungguh menyesakkan dada. keterlibatan pemuda dengan narkoba, prilaku sex bebas hingga tawuran antar pelajar kerap mewarnai kehidupan pemuda Indonesia .
Akibatnya api semangat sumpah pemuda yang menjadi bagian penting dalam menentukan eksistensi negeri ini, lambat laun mulai suram. Dan nyaris padam di dada para pemuda, pewaris tongkat estafet pembangunan negeri ini.

Yang lebih gawat lagi, dalam situasi generasi muda yang terkoyak-koyak, para pejabat negara dan tokoh-tokoh pemerintahan justru memperlihatkan perilaku yang nista. Benar memang di tangan pemerintah sumpah pemuda selalu diperingati dengan melibatkan kaum muda. Hanya saja sifatnya ceremonial dan tidak pernah menyentuh esensi dari sumpah pemuda itu sendiri.
Buktinya, Korupsi dan menyelewengkan uang negara seolah menjadi ritual yang ”wajib” mereka lakoni saat menjalani kapasitasnya sebagai pejabat. Korupsi seolah menjadi konsensus terselubung yang terjadi pada pemerintahan di hampir semua lebel, dari yang terendah hingga tinggi. Seakan mereka lupa bahwa negara ini dibangun oleh kerja keras dan pengorbanan para pejuang. Mereka juga lupa bahwa setelah mereka akan ada generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa.

Karena itu, peringatan Sumpah Pemuda kali ini hendaknya dijadikan momentum penting oleh pemuda di seluruh tanah air untuk berefleksi, memupuk semangat kebersamaan, dan merekonstruksi visi dan misi ke depan serta mendalami kembali semangat, jiwa, dan nilai-nilai hakiki yang terdapat pada Sumpah Pemuda tersebut.

Sehingga jiwa dan semangat heroistic Sumpah Pemuda yang dulu dijadikan senjata yang sangat ampuh untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dalam perjuangan melawan dan mengusir kolonialisme, imperialisme, hendaknya tetap dijadikan inspirasi (baca: sumber kekuatan) untuk melawan kezaliman, ketidakadilan, aneka kekerasan, penganiayaan, pemerasan, penipuan, penodongan, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, teror, dan beragam tindakan vandalistik lainnya, yang terus saja terjadi saat ini. Semoga!***

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Kolomnis di banyak media.

Mudik, Arus Balik dan Jati Diri Bangsa

Mudik, Arus Balik dan Jati Diri Bangsa
Oleh: Edy Firmansyah

(Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social,Politic and Democracy ))
Artikel ini Pernah Dimuat di HARIAN SEPUTAR INDONESIA (SINDO) Edisi SORE, 13 Oktober 2007

Mudik adalah fenomena paling khas menjelang perayaan Idul Fitri selain antrean panjang kaum miskin untuk mendapatkan zakat Mal dari kelas berpunya serta maraknya masyarakat menggadaikan barang di kantor pegadaian.

Arus mudik hanya terjadi di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Tak pernah kita dengar berita mudik masyarakat Timur Tengah (dimana Islam berasal), misalnya Arab Saudi, Mesir, Sudan dan sebagainya ketika Idul Fitri menjelang. Juga jarang sekali media massa menurunkan berita tentang arus mudik ke Sulawesi, ke Bali, ke Kupang. Yang terjadi setiap tahun adalah gelombang mudik dan arus balik ke berbagai kota di Pulau Jawa, dari berbagai kota besar ke kota-kota kecil, dan selanjutnya besambung ke desa-desa.

Pelakunya, siapa lagi kalau bukan masyarakat urban. Angkutan transportasi seperti bus, kereta api, dan kapal laut selalu penuh sesak oleh rakyat kecil, pembantu rumah tangga, buruh-buruh, pedagang kecil dan semacamnya. Benar memang ada juga ‘kelas atas’ yang turut larut dalam arus mudik. Tapi tak seheboh mudik masyarakat urban.

Dalam masyarakat Madura tradisi mudik lebih dikenal dengan istilah Toron (baca: turun). Di manapun orang Madura merantau, entah di pulau-pulau kecil atau besar, entah di kota maupun di pedalaman, tiap pulang ke kampung halaman, bahasa yang digunakan adalah Toron. Berbeda dengan sebutan tradisi mudik di masyarakat Jawa dan Sunda. Pulang ke kampung halaman bagi masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah Munggah (baca: naik).

Meski sebutan istilah mudik berbeda bahkan bertentangan antara masyarakat satu dengan yang lain, mudik sebenarnya memiliki esensi yang sama. Di dalam tradisi mudik, tercermin suatu makna perennial bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Tidaklah heran jika pemudik rela menggadaikan barang, berhutang kesana kemari kemudian menempuh perjalanan panjang meskipun berjarak ratusan kilometer hanya untuk bertemu dengan sanak famili barang sehari dua hari di hari lebaran.

Yang jadi pertanyaan mengapa meski mudik menelan biaya mahal, tiap tahun fenomena ini tak pernah berkurang—Malah sebaliknya, arus mudik tiap tahun selalu meningkat?

Menurut Jacob Sumardjo (2003), masyarakat Jawa adalah masyarakat sawah pada mulanya. Masyarakat sawah mengamini bahwa tanah adalah pusat segala. Tanah adalah inti dari kehidupan semesta. Manusia berasal dari tanah (baca: ibu) dan pasti akan kembali kepada tanah. Mentalitas tersebut terbentuk secara kolektif dan diwariskan secara turun-temurun, meskipun masyarakatnya tidak lagi hidup dalam persawahan.

Jadi mudik dalam hal ini diartikan sebagai bentuk penyerahan diri. Penyucian diri dari segala laku lampah yang buruk selama diperantauan agar fitrah diri manusia yang awalnya dari tanah kembali mewujud dalam diri individu-individu.

Hal di atas bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban “dipaksakan” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan “kodratnya.” Menurut Pramodya Ananta Toer manusia dilahirkan sejatinya untuk mencipta dan bekerja. Tapi bukan kerja menghamba. Nah, kondisi di perkotaan justru sebaliknya. Masyarakat urban berkerja sebagai ‘kuda’, tidak hanya ratusan tapi ribuan masyarakat urban yang terpaksa menjadi kuli-kuli untuk sekedar mendapat sesuap nasi.

Sampai disini bisa dilihat—Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—bahwa gelombang mudik yang terjadi di masyarakat Jawa (juga Madura) bukanlah gelombang kemenangan. Cerita soal kemenangan atau soal kekayaan selama merantau semua hanyalah bualan tentang kisah kesenangan orang-orang mapan. Bukan milik masyarakat urban itu sendiri. Kembalinya mereka ke kampung halaman sebenarnya membawa tragedi tentang kekalahan, karena selama bertahun-tahun merantau di kota besar, sebenarnya mereka telah jadi ‘sampah’.

Dalam konteks ini, Idul Fitri sebagai push factor mudik, sebenarnya memiliki titik temu dengan mudik. Bertemu dengan sanak saudara, berziarah ke makam leluhur, ketika lebaran tiba menjadi sebuah kontemplasi manusia untuk menggali potensi keilahiannya. Berkumpul dengan inti kehidupan berarti sebuah proses berserah diri dan membangun lagi kekuatan-kekuatan baru. Dan proses ini tak bisa digantikan dengan apapun.

Tetapi apa yang diagungkan dari kerja di ibukota, jika di sana tak mendapat penghargaan dan hasil seba­gaimana layaknya manusia? Karena itu saya sepakat dengan Pramoedya Ananta Toer, bahwa mudik kali ini harus mampu melahirkan pahlawan-pahlawan baru. Yakni, pahlawan yang bisa membendung tiap-tiap orang yang hendak hidup dan memadatkan kota besar. Karena usaha tersebut bukan solusi efektif mengentaskan kemiskinan, melainkan menggali semakin dalam lobang hitam keterpurukan.

Lewat esainya berjudul Jakarta, (Almanak Seni 1957) Pram berseru; ”Lupakan Jakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat­lah usaha agar daerah bisa menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Sehingga daerah bisa juga melahirkan bunga bangsa di kemudian hari.” Hanya saja masalahnya siapa yang mau memulai? Bukankah selama ini telah terjadi disparitas pembangunan yang digalakkan pemerintah sendiri, bahwa kota adalah pusat segala?***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Sastra dan Perubahan

Sastra dan Perubahan
Oleh: Edy Firmansyah

(Esais. Pengelola SBK (Sanggar Bermain Kata) )
Esai ini Pernah Dimuat di SEPUTAR INDONESIA (SINDO), Minggu 4 November 2007

Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan yang selalu berseru agar masyarakat mencintai sastra. "Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, yang tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, dan tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. (Bumi Manusia, hal. 233). Mengapa? Karena sastra adalah anak tangga menuju peradaban tinggi. Masyarakat yang anti sastra adalah masyarakat bebal. Dan masyarakat bebal bergerak bukan untuk kemajuan melainkan melangkah menuju kehancuran.

Tapi apa lacur. Sastra relatif tidak tercantum dalam daftar prioritas kebutuhan masyarakat Indonesia. Shampoo, lipstik, kondom, T-Shirt, obat jerawat, conditioner, obat nyamuk jelas lebih dianggap penting dibandingkan dengan karya sastra. Artinya, sastra dikategorikan sebagai sesuatu yang boleh tidak ada sementara celana Jeans atau jam tangan tergolong harus ada.
Pandangan masyarakat tentang sastra suka atau tidak suka nampaknya berpengaruh terhadap kualitas karya pada sastrawan. Puisi, misalnya. Di tangan penyair mutakhir, puisi hanyalah deretan huruf, barisan kata-kata dan tumpukan baris-baris kalimat yang disusun sedemikian rupa. Ia hanya omong besar. Ia hanya bunga plastik. Dan sebagaimana bunga plastik, ia hanya semu belaka; kata-kata Indah yang menipu, kata-kata besar yang tak punya roh.

Akibatnya, puisi-puisi penyair mutakhir hadir sekadar mengadopsi puisi-puisi yang ditulis penyair terdahulu. Baik bentuk maupun tema atau isi. Seakan-akan mereka telah menyerah pada bentuk dan gaya tradisi penulisan puisi yang dirintis oleh para pendahulu mereka sehingga timbul kesan, penyair Indonesia mutakhir adalah generasi sisa yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada upaya dan keberanian penyair mutakhir untuk melakukan terobosan dalam kerja kreatif mereka.

Cukuplah bagi penyair puisinya mampu menembus koran nasional. Tak peduli isi dan makna puisinya tak mampu dicerna masyarakat awam. Yang paling pokok kritikus sastra dan penyair papan atas mengakui kualitas karyanya. “Toh, tanpa puisi, Indonesia tetap berlangsung hidup dan tetap bergerak tanpa berubah keadaannya” begitu komentar mereka sebagai penegas sikap eksklusifnya.

Padahal karya sastra yang “baik” bukan karya yang lahir dari adopsi karya lain. Melainkan bermula dari inspirasi dan mampu dicerna bahkan oleh pembantu rumah tangga sekalipun. Kemudian karya tersebut mampu menyodokkan inspirasi pada pembacanya dan hikmah bagi banyak orang. Bahkan bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat dan bangsa. Karya sastra semacam itulah yang sebenarnya mampu menggerakkan masyarakat untuk mencintai sastra, menjadikan sastra bagian dari kehidupan.

Pertanyaannya sekarang, adakah karya sastra anak negeri dengan kriteria yang “baik” itu? Yang mampu menggerakkan sebuah bangsa dan mampu menjadi hikmah bagi masyarakat?
Jawabnya; ada! Ia memang tidak pernah dimasukkan dalam perbincangan sastra (baca: puisi) yang pernah ada selama ini. Karena selama ini ia tidak pernah dipandang sebagai puisi. Tetapi sebagai karya sastra ia abadi. Yang dimasud ialah teks sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itu.

Jika mau mencermati lebih dalam ia bisa memenuhi kriteria teks puisi masa kini. Bahkan teks sumpah pemuda tidak jauh beda dengan sajak ciptaan Hamid Jabbar yang hanya ‘mengkopi” teks Proklamasi Kemerdekaan dan sekedar melakukan sedikit perubahan. Nyatanya, tak ada seorang pun di kalangan penyair dan pengamat puisi yang membantah ciptaan Hamid Jabbar itu bukan sebuah teks puisi.(Sutadji Coulsum Bahri, 2002).

Nah, Seperti halnya puisi, dunia yang dibangun dalam rangkaian larik-larik Sumpah Pemuda itu ialah dunia imajinasi. Bahasa sederhana. Dan sengaja disusun —meminjam istilah Ben Anderson—sebagai sebuah visi politik, yakni menciptakan sebuah imagined community (komunitas terbayang).

Meski awalnya sebuah imajinasi, tetapi sumpah pemuda dibuat berdasarkan realitas yang sehari-hari jadi pembicaraan di kalangan masyarakat umum. Hanya saja pada masa itu—akibat represi penjajah—belum mampu diungkapkan secara kolektif. Nah, berkat para pencipta syair sumpah pemuda itulah kemudian, keinginan berbangsa satu, ber-tanah air satu, berbahasa satu, Indonesia mampu dikumandangkan secara massif di seluruh Nusantara.

Daya pukau teks sumpah pemuda itulah yang kemudian menggerakkan para pemuda dan pemimpin bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan lain-lain bersedia berkorban dan berjuang untuk merebut kemerdekaan dan membangun sebuah bangsa yang utuh dengan semangat sumpah pemuda.

Nah, sebenarnya karya sastra semacam itu yang diharapkan lahir kembali untuk di negeri ini. Ditengah krisis multidimensi yang nyaris mencengkram di semua lini kehidupan, diperlukan puisi yang lahir dari imajinasi tetapi mampu menggerakkan pembacanya melakukan perubahan. Bukan karya sastra yang ’melangit’ yang hanya bicara tentang keindahan, cinta dan selangkangan.

Sebenarnya ada beberapa karya puisi yang mulai menyentuh tanah, menyulut semangat perjuangan dan pernah turut larut dalam semangat masyarakat menciptakan perubahan. Hanya saja masih bisa dihitung dengan jari. Misalnya saja; puisi-puisi Widji Thukul yang terangkum dalam “Aku Ingin Jadi Peluru.” Atau puisi Taufiq Ismail dalam “Malu Aku jadi Orang Indonesia” (MAJOI). Puisi-puisi itu hadir dan menjadi jejak gerakan ’98 dalam upaya merobohkan rejim orde baru.

Karena itu, mengasah imajinasi untuk menciptakan karya sastra yang mampu menggerakkan masyarakat dan mencipta perubahan bukanlah sebuah pelanggaran. Karena sejatinya karya sastra adalah milik manusia. Dari sastralah manusia menggali inspirasi untuk melakukan perubahan. Mencipta karya sastra yang melangit dan ekslusif secara tak langsung berarti memaksa masyarakat alpa terhadap perubahan.***

**Tentang PENULIS
Edy Firmansyah Adalah Esais. Pengelola SBK (Sanggar Bermain Kata). Alumnus Universitas Jember.

Robohnya Perpustakaan Sekolah Kami

Robohnya Perpustakaan Sekolah Kami
Oleh: Edy Firmansyah

(Pengelola SBK (Sanggar Bermain Kata), Jakarta)

Esai Ini Dimuat di JAWA POS, 25 November 2007

Barangkali Ahmad Wahib benar bahwa tinggi rendahnya intelektual sebuah bangsa ditentukan oleh megah dan lengkapnya perpustakaan yang dimilikinya. Sebab jika buku adalah jendela dunia, maka perpustakaan adalah rumahnya. Dalam rumah tersebut tidak hanya tersimpan informasi dan ilmu pengetahuan. Tetapi juga peradaban, motivasi, kepribadian, dan pedoman hidup.

Makanya jangan heran jika di Amerika pembangunan perpustakaan benar-benar gila-gilaan. Hampir di semua sudut kota, baik di pinggiran hingga di pedesaan berdiri perpustakaan megah dan lengkap. Bahkan Presiden, rektor universitas, bahkan gubernur yang pensiun segera bikin perpustakaan besar-besaran. Dan laku. Perpustakaan Jimmy Carter dan Ronald Reagan adalah contohnya.

Bagaimana di Indonesia? Jangankan memiliki perpustakaan pribadi, membangun perpustakaan sekolah saja di negeri ini susahnya bukan main. Benar memang pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang tentang perpustakaan beberapa waktu lalu, yang mewajibkan sekolah memiliki perpustakaan dan mengalokasikan dana perpustakaan paling sedikit 5 persen dari belanja operasional sekolah. Tapi pihak sekolah justru enggan menyiapkan dana khusus untuk perpustakaan. Mereka justru lebih memprioritaskan pembangunan gedung olah raga atau aula.
Padahal perpustakaan sekolah merupakan jantung pendidikan. Ia semestinya menyediakan berbagai kebutuhan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi perkembangan peserta didik. Di saat guru hanya menerapkan cara mengajar dengan gaya bank; Yakni siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber yang mencekoki siswa (pola hamba-tuan), perpustakaan mampu menjadi media alternatif untuk mengasah daya kritis siswa.

Buku mampu memberikan dasar-dasar moral dan menjamin kebebasan pengembangan berpikir kita serta menebalkan rasa kemanusiaan kita sehingga kita menjadi manusia yang beradab. Karena buku (terutama buku sastra) dan kekerasan jarang berjalan beriringan. Karena buku mampu menjadi penawar watak barbar manusia. karenanya boleh jadi siswa atau guru yang menyukai tindak kekerasan, yang akhir-akhir ini marak jadi sorota media, sebagai solusi akhir menyelesaikan masalah, dapat dituduh sebagai orang yang tidak suka membaca.

Sayangnya, itu tak terjadi di negeri ini. Malah sebaliknya jantung pendidikan itu dibiarkan roboh. Buktinya, perpustakaan sekolah di beberapa sekolah di Jakarta yang sudah ada justru tak terurus dan terkesan diterlantarkan. Koleksi bukunya sudah usang, tempat penyimpanan tidak representatif dan nyaris tidak ditemukan buku-buku baru. Toh, meskipun ada buku baru, biasanya buku dengan sampul dan isinya masih mulus (karena tak tersentuh) tapi terbitan lama.

Jangan coba-coba mencari buku ’Winnetouw’ karya Karl May, ’Bumi Manusia’ karya Pramoedya Ananta Toer, ’Burung-burung Manyar’ karya Mangunwijaya atau ’Slilit sang Kya’i-nya Emha Ainun Nadjib. Sebab saya yakin anda tak bakal menemukannya di perpustakaan sekolah. Sebab perpustakaan sekolah di negeri ini hanya sekedar embel-embel belaka.

Akibatnya bisa ditebak. Dengan buku-buku yang amat terbatas kita hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan kecil. Hal-hal yang bisa dipelajari atau diketahui dengan cepat lewat pembacaan buku-buku yang lengkap, terpaksa dihubung-hubungkan sendiri dengan pengorbanan enrgi dan waktu yang tidak sebanding hanya karena kemiskinan buku.(Wahib, 2003;311). Benar memang beberapa anak Indonesia berhasil menyabet mendali emas dalam olimpiade Fisika. Salah satu diantaranya berasal dari Madura. Tapi jika mau dibandingkan, siswa Amerika yang tekun dan cerdas akan jauh lebih cepat maju jika dibandingkan dengan siswa Madura dengan ketekunan dan kecerdasan yang sama. Karena apa? Apalagi kalau bukan karena buku dan perpustakaannya yang maju.

Sehingga pantas saja jika secara generalisir mutu pendidikan kita masih amat rendah. Bahkan termasuk rangking bawah di beberapa negara Asia Tenggara. Bagaiamana bisa bersaing dengan negara tetangga, bahkan untuk membaca saja kita terbilang bangsa yang malas?
Padahal negeri ini sangat butuh Soekarno-Soekarno muda, Tan Malaka muda, Hatta muda, Syahrir muda, Soedirman muda, Pramoedya Ananta Toer Muda hingga Gus Dur muda untuk menjawab krisis yang terus saja melilit negeri ini. Dan kita tahu tokoh-tokoh bangsa tersebut tidak serta merta lahir dengan sendirinya. Mereka besar, cerdas dan memiliki pemikiran-pemikiran brilian karena kedekatannya dengan buku dan perpustakaan.

Bagi tokoh-tokoh itu buku ibarat istri kedua. Makan, tidur, santai hingga buang air kecil mereka tak pernah lepas dari buku. Bukan hanya bacaan politik, sosial, budaya, ekonomi saja yang dilahap. Bahkan cerita silat Ko Ping Ho dan komik Rin Tin Tin juga mereka santap.

Karena itu membangun perpustaan sekolah saat-saat ini menjadi sangat urgen. Bahkan kalau perlu pemerintah memaksa kepala sekolah segera membangun perpustakaan sekolahnya. Apa ruginya mengeluarkan dana besar tapi untuk kemajuan bangsa di masa depan? Membiarkan sekolah tanpa suplai buku-buku yang mencerahkan, tanpa perpustakaan yang presentatif berarti membiarkan generasi muda terus tenggelam dalam keterbelakangan berpikir.***


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Esais. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Nasib Guru dan Tuntutan Profesionalisme

Nasib Guru dan Tuntutan Profesionalisme
Oleh: Edy Firmansyah
(Peneliti pada Institute of Reaseach Social Politic and Democracy, Jakarta )

Artikel Ini Pernah Dimuat di HARIAN SURYA, 24 November 2007

Nasib suram masih menyelimuti guru Indonesia. Buktinya tiap kali memperingati hari Guru Nasional pada tanggal 25 November tuntutan guru masih tidak berubah; yakni soal kesejahteraan. Hal ini mengisyaratkan masih beratnya beban hidup para guru dan lalainya negara memperhatikan nasib pahlawan tanpa tanda jasa itu.

Memang pemerintah pernah menjanjikan terealisasikannya anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total APBN—diluar gaji guru dan pendidikan kedinasan— sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun hingga saat ini janji tersebut tidak terbukti. Padahal realisasi anggaran 20 persen dari total APBN tersebut sudah merupakan ‘perintah’ mahkamah Konstitusi kepada pemerintah yang memenangkan gugatan PGRI terkait masalah ini (Kompas, 20/07/07). Di samping itu pemerintah juga alpa merealisasikan pemberian uang makan dan tunjangan fungsional.

Bahkan program sertifikasi guru yang sejatinya menjadi harapan para guru untuk memperbaiki nasib juga belum jelas. Benar memang telah berlangsung proses penyerahan portofolio sertifikasi guru, namun hasilnya sungguh menyedihkan. Banyak guru yang tak memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikasi sebagai bekal mendapatkan tunjangan dua kali gaji pokok dan pengakuan sebagai guru yang profesional.

Sementara itu masyarakat telah memasang patokan tinggi terhadap profesionalisme guru. Guru dituntut untuk terus mengembangkan diri, mengasah wawasan dan terus mencari metode pengajaran terbaik guna membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan sehingga masa depan muridnya cemerlang. Bahkan tak jarang ketika standar yang diberikan masyarakat tak mampu dipenuhi, misalnya, ketika marak tawuran antar pelajar, prilaku sex bebas dikalangan siswa, kekerasan pada siswa dalam sekolah hingga kasus percobaan bunuh diri pada siswanya, gurulah yang langsung dituding gagal dan “tidak becus” dalam mengemban tugasnya mendidik generasi penerus bangsa.

Tapi masalahnya bagaimana para guru dapat memenuhi standar profesionalisme seperti yang diharapkan masyarakat sementara nasib guru sendiri tak menentu? Bukan rahasia umum lagi yaitu gaji guru yang rendah. Dengan gaji yang kecil dari pemerintah itu, para guru dipaksa mengajar sembari memenuhi kebutuhan ekonomi yang kian melangit dan biaya pendidikan anak-anak mereka yang kian tak tersentuh. Parahnya lagi, gaji kecil itu masih dikenai potongan sana-sini yang tak jelas juntrungan oleh pejabat diatasnya. Dengan beban psikologis semacam itu guru masih direpoti dengan pola “gali lobang tutup lobang” untuk bertahan hidup.

Tak ayal jika kemudian banyak guru yang nyambi kerja diluar sekolah dan meninggalkan tugas utamanya sebagai pengajar. Di Madura misalnya pada musim tembakau banyak guru yang mengajar di sekolah desa-desa pedalaman meninggalkan siswa-siswinya untuk menggarap sawah dan menjadi buruh tembakau di gudang-gudang.

Kondisi diatas berbeda jauh dengan kehidupan guru masa kolonial. Menurut Mahi M. Hikmat (Pikiran rakyat, 2005), pada zaman penjajahan tersebut, posisi, dan profesi guru sangat dihormati, bahkan berada pada tatanan kaum elite priyayi. Dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan kemasyarakatan maupun kenegaraan, para guru selalu ditempatkan pada posisi terdepan. Harga diri, wibawa, penghargaan masyarakat, dan penghargaan materi pun saat itu sangat memadai bagi guru. Bahkan, dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia pun guru selalu pada garis terdepan. Kita tahu, Panglima Besar Jenderal Sudirman (Alm.) pun adalah seorang guru. Tak herena jika kemudian guru menjadi profesi idaman setiap anak negeri. Betapa bangganya orang tua yang memiliki anak seorang guru atau punya menantu guru.

Soal kualitas? Dari tangan guru masa itulah lahir Soekarno, Tan Malaka, Hatta, Syahrir, KH. Agus Salim, Ahmad Dahlan dan banyak lagi. Yang membawa negeri ini pada kemerdekaannya.
Sebenarnya antusiasme masyarakat untuk menjadi guru memang tidak berubah pada masa sekarang. Hanya saja tidak diimbangi dengan kualitas yang memadai. Guru tidak dimaknai sebagai pengabdian untuk mengembangkan pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude) dan ketrampilan (know-how, skill) kepada peserta didik. Tetapi guru dianggap sebagai pilihan terakhir dari sebuah pekerjaan. Artinya, banyak orang bersekolah guru, baik D3, IKIP, atau ikut akta 4, bukan untuk memajukan negeri. Tetapi agar mudah terserap dalam lapangan kerja.

Memang berdasarkan hasil penelitian IRDA (Indonesia Rapid Decentralization Aprraisal) tahun 2004, di seluruh pelosok Indonesia, permasalahan guru yang paling menonjol, selain permasalahan klasik soal kesejahteraan adalah kekurangan jumlah guru dan tidak meratanya penyebaran guru di sekolah yang ada di perkotaan dan di pedesaan atau pedalaman. Sayangnya, membludaknya jumlah masyarakat yang mengikuti pendidikan guru (meski sebuah pilihan terakhir) tidak diimbangi dengan kualitas yang memadai. Sehingga tak heran jika kualitas guru pun menjadi keprihatinan banyak pihak karena sangat banyak guru yang kurang memenuhi syarat mengajar mata pelajaran tertentu atau pun kelas tertentu yang ditugaskan kepada mereka, sehingga mereka sering menjadi kambing hitam rendahnya mutu pendidikan di tanah air. Harus diakui bahwa hingga saat ini mutu pendidikan di Indonesia adalah rendah, termasuk rangking bawah dibandingkan pendidikan di beberapa negara Asia Tenggara.

Sampai disini dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya kesejahteraan guru berbanding lurus dengan anjloknya kualitas guru. Karena itu untuk mendongkrak kualitas dan profesionalisme guru di negeri ini pemerintah harus menyediakan dana khusus untuk kesejahteraan guru.
Karena sangatlah munafik ketika meneriakkan pentingnya profesionalitas guru sebagai pendidik anak-anak bangsa tapi menyetujui agar gaji guru tidak dinaikkan. Penghargaan yang tinggi selalu berbanding lurus dengan profesionalitas. Dalam teori behaviorism disebutkan bahwa perbuatan yang mengenakkan atau positif akan cenderung diulang manakala mendapatkan reinforcement (penghargaan).

Bukankah kita tidak ingin tudingan Eko Prasetyo (2004) menjadi kenyataan. Bahwa gara-gara kualitas guru yang rendah dan sistem pendidikan yang berorientasi pasar sekolah bukannya menghasilkan lulusan yang potensial untuk mengembangkan bangsa, melainkan menghasilkan banyak koruptor yang pintar. Dimana meski terbukti bersalah tetapi selalu saja lolos dari jerat hukum mana saja. Dan rata-rata para koruptor itu adalah lulusan sekolah. Semoga tidak!

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Pemerhati Masalah Pendidikan. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta . Pengajar di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Demam Berdarah, Kemiskinan dan Kesehatan ProRakyat

Demam Berdarah, Kemiskinan, dan Kesehatan ProRakyat
Oleh: Edy Firmansyah
(Peneliti pada Institute of Reaseach Social Politic and Democracy )
Artikel ini Dimuat di SEPUTAR INDONESIA (SINDO) Edisi SORE, 16 November 2007

Musim pancaroba kembali datang. Yang perlu diwaspadai dari musim peralihan antara musim kemarau dan musim penghujan ini selain keadaan cuaca yang ekstrem, juga menyebarnya berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang biasa menyertai tiap musim pancaroba adalah demam berdarah dengue (DBD).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu problem kesehatan serius. Dalam laporan Departemen Kesehatan, penyakit ini sudah menjadi masalah yang endemis di 122 daerah tingkat II, 605 Kecamatan dan 1.800 Desa atau kelurahan. Dan setiap wabah penyakit ini menyebar, tak sedikit yang akhirnya meninggal.

Sebenarnya keadaan tersebut telah menjadi perhatian pemerintah. Hanya saja penanganan yang dilakukan terkesan setengah-setengah. Salah satu andalan dinas kesehatan dalam pemberantasan DBD adalah fogging.

Padahal pengasapan yang berlebihan saat ini justru tidak berfungsi efektif lantaran telah terjadi mutasi gen sehingga menyebabkan nyamuk aides aigepty menjadi makin kebal terhadap fogging. Dan akibatnya bisa ditebak, jumlah kasus demam berdarah tiap tahun selalu saja meningkat. Dalam laporan Kompas tercatat, sejak Januari hingga 31 Mei 2004 dilaporkan secara kumulatif jumlah Kasus DB sebanyak 59.321 kasus dengan jumlah kematian 669 orang(Kompas, 17 Juni 2004). Dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersebut bisa terus meningkat setiap tahunnya.(Eko Prasetyo, 2004).

Parahnya lagi, penduduk yang menjadi korban penyakit DB justru didominasi oleh anak-anak dari kalangan miskin. Memang ada juga korban dari kelas atas yang turut terserang. Hanya saja jumlah dapat dihitung dengan jari. Hal ini sungguh menyakitkan. Ditengah rakyat miskin didera dengan harga BBM yang melambung tinggi dan berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti beras, mereka justru dihadapkan pada wabah penyakit yang mematikan seperti DBD.

Nah, yang menjadi pertanyaan mengapa kalangan miskin yang selalu menjadi korban terbesar DBD? Kita tahu rakyat miskin adalah mereka yang selalu hidup serba kekurangan secara ekonomis. Dalam kondisi semacam itu, syarat hidup sehat, lingkungan yang kumuh, gizi yang buruk dan keadaan hygiene serta sanitasi yang jauh dari memuaskan selalu menjadi warna-warni kehidupan mereka.(Bimo, dalam Peter Hagul, 1985). Sering kita menyaksikan dalam berita televisi akhir-akhir ini tentang sejumlah penduduk yang mengkonsumsi pelepah pisang sebagai makanan pengganti beras.

Padahal dalam ilmu kesehatan, lingkungan yang kumuh menjadi tempat bersarangnya banyak penyakit. Sedangkan keadaan gizi yang jelek menyebabkan daya tahan tubuh berkurang sehingga mudah terserang penyakit. Sehingga jangan heran ketika demam berdarah menyerang, banyak korban yang berakhir dengan kematian karena imunitas tubuhnya menurun akibat kekurangan gizi.

Kondisi ini diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang lebih mempercayakan penyembuhan penyakit dengan cara supranatural ( baca; dukun) daripada penyembuhan secara medis (baca; dokter). Di Madura misalnya, tempat praktek dukun yang letaknya jauh di pelosok kampung bisa lebih ramai daripada puskesmas pembantu yang letaknya tepat dipinggir jalan.

Memang keadaan semacam itu merupakan keadaan umum dijumpai di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, dimana tingkat pendidikan yang rendah merupakan pemicu utama. Meski demikian bukan berarti meningkatkan penyebaran DBD diakibatkan oleh prilaku kaum miskin semata. Sebab kalau mau ditelisik lebih jauh apa yang mereka lakukan sebenarnya diakibatkan oleh sistem yang selama ini cenderung menindas daripada melindungi mereka. Dengan lain kata, orang miskin sengaja didesak agar terus berada dalam situasi yang rawan penyakit.

Bukan rahasia umum lagi jika biaya kesehatan akhir-akhir ini sama mahalnya dengan biaya pendidikan. Benar memang pemerintah sudah memberikan subsidi kesehatan pada masyarakat, yakni berdasarkan UU NO. 45 tahun 1999 pasal 39 tentang kewajiban pemerintah membayar sebagian besar dari iuran layanan kesehatan. Ini bisa dilihat dengan pemberian kastu asuransi kesehatan (Askes) untuk PNS dan kartu Gakin untuk mereka yang miskin. Kendati demikian tarif pelayanan kesehatan justru dibiarkan melonjak antara 25 hingga 75 persen. Akibatnya, hanyak untuk menebus obat generic penurun panas saja, penduduk miskin tetap merogoh kantong lagi.

Belum lagi pelayanan rumah sakit yang cenderung pilih kasih. Rumah sakit mengkategorikan ruang perawatan berdasarkan kemampuan membayar. Bukan berdasarkan prioritas penanganan penyakit. Penderita DB yang parah, tetapi tidak punya banyak uang akan ditempatkan di kelas ekonomi yang bisa berdempetan dengan penderita muntaber. Itupun tidak akan langsung ditangani. Para perawat akan lebih senang merawat penderita yang hanya terindikasi DB tetapi menempati ruang VIP.

Nah, jika keadaan ini terus dibiarkan, jangan harap kita akan terbebas dari penyakit DB. Bakan tahun 2010 yang dicanangkan sebagai Indonesia sehat hanya akan jadi isapan jempol belaka.

Karena ini pemerintah harus segera merombak kesehatan yang ada. Sebagai langkah awal pemerintah harus merombak sistem Puskesmas. Karena puskemas merupakan kantong pelayanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat sebelum rumah sakit. Puskesmas harus berorientasi kerakyatan. Artinya, Puskemas bukan hanya berfungsi menjadi pusat pelayanan kesehatan semata, melainkan harus ditingkatkan menjadi tempat pendidikan dan pemberdayaan. Di Puskemas, masyarakat tidak hanya bisa mendapatkan obat generic saja. Tetapi juga diajari bagaimana membudidayakan tanaman obat sebagai obat alternative terhadap berbagai penyakit. Termasuk DBD.

Untuk itu pengelola puskemas bukan hanya dokter dan perawat saja. Bakul jamu, sinse pengobatan cina, ahli akupuntur bisa dimasukkan dalam anggata puskesmas. Dari mereka, masyarakat miskin akan belajar banyak hal mengenai penanganan penyakit. Sehingga lambat laun masyarakat akan mampu menangani wabah penyakit dengan kemampuannya sendiri, tanpa harus merepotkan pemerintah.***

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Pemerhati Masalah Kesehatan Masyarakat. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta . Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.