WAKTU

JEDA

Minggu, 26 Juli 2009

Prostitusi Madura Pasca Suramadu

Oleh: Edy Firmansyah

Dalam sebuah conference chat dengan beberapa kawan di YM, seorang kawan, sebut saja M bertanya; bisnis apa yang prospek di madura pasca suramadu? Saya yang memang tidak paham soal bisnis kontan saja bingung menjawab pertanyaan itu. Tapi entah otak saya sedang ngeres atau apa tiba-tiba saja saya menjawabnya; bisnis perempuan.

Semua kawan saya yang kebetulan ikut dalam conference kala itu tertawa ngakak. Kawan saya yang lain kemudian komentar; “Prostitusi? Di Madura? Seperti akan sulit karena akan diobrak-abrik ormas Islam. Madura khan serambi madinahnya Indonesia? Lagipula pemerintah daerah dan masyarakat tidak akan tinggal diam. Madura harus bersih dari prostitusi.” begitu ujarnya.

Tentu saja pendapat kawan saya itu tak sepenuhnya benar. Benar memang Sebelum suramadu rampung aksi bersih-bersih tempat-tempat pengumbar syahwat kerap dilakukan Pemkab. Madura. Di tiap-tiap tindakan penertiban selalu saja ada PSK (pekerja seks komersial) yang terjaring.

Namun bukan berarti Madura sepenuhnya bebas prostitusi. Toh, disetiap aksi penertiban selalu ada PSK yang terjaring. Artinya, dunia lendir di madura sudah ada jauh sebelum Suramadu dioperasikan. Pemerintah daerah tak menampik hal itu. Hanya saja menurut mereka prostitusi di Madura hanyalah prostitusi musiman. Bahkan seorang anggota dewan di Pamekasan mengatakan praktek prostitusi hanyalah persoalan tahunan. Praktek syahwat itu marak ketika musim panen tembakau tiba. Di Pamekasan misalnya, setidaknya ada 12 titik rawan yang kerap menjadi tempat prostitusi. Diantara 12 titik itu adalah kecamatan Larangan, Batumarmar, dan Galis. Namun ke-12 titik itu baru beroperasi dan ramai ketika musim tembakau tiba.

Namun menurut laporan Pemkab para PSK yang ada di madura bukan orang madura asli. Umumnya para PSK yang datang ke pulau garam ini berasal dari luar Madura. Seperti Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi dan ada pula yang mengaku dari Surabaya. Pandangan ini cukup bisa diterima. Pertama, sudah menjadi hukum besi sejarah bahwa prostitusi selalu berkelindan erat dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Tiap musim panen termbakau tiba, perputaran uang di Madura begitu cepat. Musim panen tembakau di madura ibarat sebuah kenduri. Setiap usai musim tembakau seakan ada budaya konsumsi yang sengaja dipertahankan. Masyarakat desa berbondong-bondong membeli barang dan emas dari hasil laba panen. Meskipun dari tahun ke tahun harga tembakau madura terus anjlok, toh budaya konsumsi itu tak surut. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan PSK luar madura. Logika ada gula ada semut bergerak di sini.
Tentu saja PSK musiman yang datang ke Madura bukan PSK paling top di luar Madura. PSK yang masih laris ketika berpraktek di Jawa tak akan sudi meninggalkan tempat prakteknya hanya sekedar mencari pangsa pasar yang baru dan tak jelas peruntungannya. Artinya, mereka yang menjual birahi ke madura hanyalah pekerja seks yang kalah bersaing di Jawa. Sebuah persaingan kerja yang biasa dalam upaya merebut pasar. Saya menyebut persaingan kerja karena PSK bisa dikategorikan sebagai sebuah kerja. Dalam dunia prostitusi prasyarat untuk disebut sebuh kerja cukup terpenuhi. Ada profesionalitas, disiplin, skill dan pengalaman yang mumpuni untuk menjadi PSK favorit dan ‘sukses”. Karenanya wajar jika kemudian terjadi persaingan.

Disamping itu, dari tahun ke tahun angka prostitusi terus meningkat seiring dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok dan imbas krisis global yang menimpa Indonesia. Ambil contoh lokalisasi Dolly. Dari tahun ke tahun lokalisasi terbesar di Indonesia terus melonjak PSK-nya. Pada tahun 1991-1992 di lokalisasi ini hanya terdapat 1.200 pekerja seks. Pada tahun 1997, angka tersebut bertambah menjadi 2.500 orang. Bahkan pada tahun 2001, pekerja seks di Dolly sudah mencapai 3.060 orang. Para pekerja seks itu tersebar di RW VI dan RW XII (gang dolly) dan wilayah RW III dan RW X (gang Jarak) (Kadir, 2007). Tentunya pelonjakan itu terjadi pula pada PSK-PSK yang tidak terlokalisir. Bahkan kemungkinan peningkataban jumlah PKS ‘liar’ ini jauh lebih pesat dari PSK di lokalisasi.

Karena itu terlalu berlebihan jika prostitusi di Madura hanyalah gelaja musiman. Dunia esek-esek tak mengenal musim. Ia hadir seiring dengan desah nafas manusia. Ia akan terus hadir, entah dengan cara mengendap-endap tersembunyi atau dengan terang-terangan. Laporan mengenai aktivitas perempuan bispak yang sempat diturunkan media lokal di Madura beberapas waktu lalu semakin mempertegas langgengnya prostitusi di pulau garam. Ini belum termasuk perempuan-perempuan yang menjadi simpanan pejabat hingga PSK-PSK yang disediakan hotel.
***
Prostitusi tidaklah asal jadi. Tak ada manusia yang bercita-cita menjadi pelacur sejak lahir. Praktek jual beli vagina ini adalah produk ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat. Semakin timpang kehidupan masyarakat maka praktek-praktek lendir ini akan semakin marak bak jamur di musim hujan. Tak ada tempat yang bebas dari prostitusi. Di Acehpun yang mengusung syariat Islam, prostitusi jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bahkan di Arab, tempat manusia menunaikan ibadah haji, praktek prostitusi tak kalah liarnya.

Namun saya hanya mengulai prostitusi di Nusantara. Sudah sejak zaman feodal prostitusi menjadi bagian yang tak terpisahkan. Praktek perbudakan (jual beli manusia) misalnya. Para tuan tanah kerap mencari budak-budak perempuan yang rupawan, bukan hanya untuk diperas tenaganya, tetapi juga untuk disetubuhi. Praktek ini terus berlanjut dalam masa kerajaan-kerajaan. Meski masa feudal beberapa perbudakan mulai dihapuskan, tetapi para raja-raja masih gemar memelihara selir yang diambil dari perawan-perawan desa. Cerita Gadis Pantai karya Pramodya Ananta Toer adalah secuil cerita suram tentang eksploitasi perempuan. Gadis pantai dipinang seorang bangsawan. Sebenarnya ia tidak mau. Tetapi karena desakan orang tuanya agar bisa memperbaiki nasib (dari kehidupan yang miskin menjadi bisan seorang bupati) gadis pantai berangkat juga. Tegasnya ia ‘dijual. Ia dijadikan ‘nyai’ hanya untuk melampiaskan nafsu birahi bangsawan tersebut sembari menunggu dan mencari perempuan yang sederajat (yang juga keturunan darah biru) hadir dalam kehidupannya dan menjadi pendamping sejatinya. Ketika perempuan bangsawan itu hadir dan gadis pantai melahirkan anak perempuan, ia dicampakkan. Diusir dari rumah ‘tuannya’ tanpa membawa anaknya.

Beberapa perempuan yang mengalami kasus seperti gadis pantai tak pernah kembali ke rumahnya. Mereka merantau ke daerah lain dan hidup menjadi pelacur. Beberapa yang lainnya memilih bunuh diri. Peristiwa ini tak berhenti sampai di sini, ketika zaman kolonial praktek perlontean atas nama selir semakin marak. Para colonial tersebut rupanya tertarik dengan cara raja-raja Jawa (juga madura) melampiaskan syahwat. Maka pada gubernur dan pejabat VOC berbondong-bondong memelihara selir dan mencampakkannya ketika sudah bosan. Tak sedikit para orang tua yang tergiur untuk naik kelas dengan menjual putri-putrinya sendiri. Kondisi ekonomi membuat masyarakat miskin semakin tega mengorbankan perawan-perawannya untuk memperbaiki nasib. Praktek perlontean atas nama selir inilah yang kemudian memarakkan produksi jamu dan obat kuat tradisional. Jamu Madura salah satu obat kuat yang terkenal di zaman kolonial sebagai doping alami untuk bersenggama. Dari sini bisa ditarik benang merah bahwa praktek perlontean dengan selubung selir juga marak di Madura kala itu.

Perdagangan di Nusantara kian pesat. Hindia Belanda menjadi pusat perdagangan internasional paling ramai. Banyak pedagang yang datang dan menetap untuk sementara di nusantara. Tersebar dari maluku, jawa hingga madura. Rata-rata para pedagang ini adalah para bujangan, atau meskipun beristri, istri dan anak-anaknya mereka tinggal di eropa. Tentu saja para pedagang itu sangat butuh pelampiasan birahi. Maka VOC kemudian mulai membangun lokalisasi-lokalisasi. Lokalisasi tersebar hampir disemua wilayah jajahan Belanda. Termasuk Madura. Awalnya para PSK itu adalah selir-selir yang dicampakkan tuannya itu. Tetapi kemudian karena masyarakat mulai melihat bahwa kehidupan para pelacur di lokalisasi itu kian baik, tak sedikit masyarakat miskin yang tergiur. Maka, tak sedikit penduduk yang sengaja menjual istrinya sendiri dalam lokalisasi itu untuk memperbaiki nasib. Disini jelas bahwa pelacuran berkelindan erat dengan kondisi ekonomi.

Praktek prostitusi paling parah terjadi di zaman penjajahan jepang. Sudah bukan rahasia umum lagi jika tentara-tentara kerap membutuhkan perempuan-perempuan untuk melampiaskan syahwat. Dan biasanya perempuan-perempuan negeri jajahan yang dijadikan ‘tumbalnya.’ Jugun Ianfu. Itulah sebutan bagi perempuan-perempuan yang dijadikan pelacur di zaman jepang. Cara tentara jepang menjebak perempuan-perempuan cantik masuk dalam praktek prostitusi sungguh licik. Ia menyebar pamplet, brosur dan memberikan pengumuman-penguman melalui pengeras suara bahwa sebagai saudara tua pemerintah Jepang akan membalas jasa dengan menyekolahkan para perempuan-perempuan nusantara ke Jepang dan eropa. Maka, berbondong-bondonglah para perempuan nusantara mendaftar. Tak sedikit anak-anak bupati dan kepala desa turut serta. Tapi janji itu bohong belaka. Para perempuan itu diangkut ke kamp-kamp lokalisasi untuk dijadikan pemuas nafsu tentara jepang. Ketika Jepang kalah perempuan-perempuan itu dibuang ke pulau buru(selengkapnya, baca “Perempuan dalam Cengkraman Militer, Pramodya Ananta Toer, 2001). Sementara yang berhasil lolos terus menjadi pelacur karena merasa hidupnya tak lagi berharga sebagai perempuan ‘terhormat.’

Pasca kemerdekaan Indonesia, pertumbuhan tempat-tempat pelacuran semakin meningkat seiring dengan gonjang-ganjing ekonomi seperti melonjaknya harga minyak dunia yang di Indonesia dikenal dengan bonanza minyak, semangat revolusi hijau dan paham pembangunanisme orde baru. Di era reformasi dunia pelacuran tidak kian surut, malah kian marak dan kompleks. Buku Jakarta Undercover Cover, Memoar Emka adalah sedikit fakta betapa kompleksitas dunia pelacuran.
***
Jembatan Suramadu resmi dioperasikan. Kedepan, Madura pasca suramadu akan semakin berkembang pesat menjadi, tak hanya wilayah agraris, tetapi secara bertahap menjadi sebuah wilayah industri yang massif. Sawah-ladang yang menghampar di sebagian besar wilayah Madura akan disulap menjadi daerah-daerah industri. Bahkan di kawasan sekitar suramadu di sisi madura akan dijadikan area pariwisata. Suka tidak suka masyarakat Madura yang rata-rata memiliki ketrampilan bercocok tanam dan beternak harus bersaing dengan masyarakat industri. Disinilah akan terjadi kontradiksi ekonomi. Industrialisasi yang membutuhkan tanah yang luas untuk membangun pabrik-pabrik dan gudang-gudang baru dengan segala cara akan menggeser peran masyarakat atas tanah sawah kedalam sebuah kerja-kerja pabrik. Para pemilik sawah yang tergiur dengan harga tanah dan investasi barang tak bergerak yang cenderung melonjak berlomba-lomba merebut tanah pertanian untuk pabrik dan real estate. Para petani penggarap dipaksa masuk dalam kerja-kerja industri, ia dipaksa menjual tenaga mereka (karena tidak miliki lagi keterampilan selain kekuatan ototnya); menjadi buruh.

Tentu saja kondisi ekonomi buruh tak sebaik kehidupan ketika menjadi petani penggarap. Maknanya sebenarnya sama saja; menjual tenaga. Artinya, kabut kemiskinan masih akan terus menyelimuti sebagian besar masyarakat madura. Ditengah harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi, harga pendidikan semakin tak terjangkau serta biaya kesehatan yang nyaris tak tersentuh keluarga miskin, memaksa perempuan-perempuan sawah keluar rumah, mengadu nasib untuk menopang biaya hidup keluarga.

Namun karena rendahnya daya saing perempuan sepertinya minimnya ketrampilan kerja, pengalaman dan koneksi, membuat tak sedikit dari mereka harus gagal masuk ke sektor formal. Kegagalan itulah yang kemudian menggiring banyak perempuan masuk dalam dunia lendir.

Karena itu menyelesaikan masalah pelacuran tidak cukup hanya dengan razia dan penertiban belaka. Tindakan represif semacam itu ibaratnya mencabut rumput di pekarangan rumah. Mungkin dalam sehari pekarangan rumah bisa bersih karena rumputnya dipotong dan dicabuti. Tetapi ia akan muncul lagi, karena akar-akarnya masih menghujam jauh dalam tanah. Karena itu mungkin harus dipikirkan pula lokasi yang strategis untuk lokalisasi di pulau madura. Suka tidak suka prostitusi akan jadi warna tersendiri bagi masyarakat madura pasca suramadu. Keteguhan religi dan spiritual masyarakat Madura semakin diuji dengan maraknya prostitusi pasca suramadu. Disini saya hendak menegaskan, bahwa langkah represif menangani pelacuran hanya akan menciptakan perlawanan.

Disamping itu Harus terus dipikirkan upaya-upaya perbaikan ekonomi masyarakat yang progresif dan adil untuk rakyat. Semakin kecil jarak ketimpangan ekonomi, semakin kreatif masyarakat. Sehingga semakin tipis untuk terjerembab dalam dunia syahwat. Bukankah ada hadist yang mengatakan kemiskinan lebih dekat dengan kekufuran? Maka tak ada jalan lain selain mengambil kebijakan-kebijakan pro rakyat dalam perbaikan ekonomi. Karena pelacuran memang berkelindan erat dengan upaya bertahan hidup. Makanya jangan heran jika, Sari (bukan nama sebenarnya), PSK di Jember, yang mengaku asal pamekasan kerap mengusapkan uang yang dibayarkan laki-laki hidung belang pertama yang ‘memakainya’ ke payudara dan vaginanya sambil berucap; “penglaris….penglaris.”

Saya memang tak jadi menurunkan penjelasan saya yang panjang ini pada kawan-kawan chat saya. Karena saya lihat diskusi memang berlangsung tidak serius. Malah salah satu kawan saya nyeletuk; “Kalau memang nantinya ada lokalisasi besar di Madura sebesar Dolly, kau sebaiknya juga ikut jadi Germo saja.”



Madura, 23-25 Juli 2009

Kamis, 23 Juli 2009

Seks, Kekerasan dan Perlawanan Perempuan

Oleh: Edy Firmansyah

Secara biologis, seks merupakan salah satu kebutuhan utama manusia yang sangat dominan peran dan pengaruhnya bagi perkembangan setiap manusia. Sebagai sebuah kebutuhan alamiah dan instingtif upaya-upaya manusia memenuhi kebutuhan seks seringkali tak bisa diteorikan. Sama seperti ketika manusia memenuhi kebutuhan akan lapar. Ketika pemenuhan kebutuhan seks dan penuntasan rasa lapar semakin tak bisa dipenuhi dampaknya seringkali menjalar pada masalah psikologis. Banyak orang—dari kalangan miskin—hanya untuk sekedar mencari makan sesuap nasi kerap melakukan tindak criminal, mulai dari mencopet, merampok hingga membunuh. Juga tak sedikit manusia ketika tak mampu menuntaskan hasrat seksualnya kerap gelap mata dan melakukan tindak kekerasan.

Puryanto, 27, misalnya. Hanya gara-gara istrinya tak memenuhi ‘jatah’ seksualnya, ia jadi bringas. Kebringasannya itu kemudian ia tumpahkan pada anak kandungnya sendiri, Tegar yang masih berusia empat tahun. Pria yang sehari-harinya menjadi pedagang bakso di Madiun itu menyeret anaknya ke rel kereta api yang tak jauh dari rumahnya. Disitu ia melindaskan kaki darah dagingnya sendiri pada kereta api yang sedang melintas hingga putus. Kekejamannya tak sampai disitu. Ia dengan tega meninggalkan anaknya yang merintih kesakitan dan bermandikan darah di pinggir rel. beruntung anaknya masih bisa merangkak (saya tak bisa membayangkan betapa sakitnya penderitaan Tegar) kembali ke rumah. Mungkin jika terlambat mendapat pertolongan, Tegar sudah tak bernyawa lagi kehabisan darah.

Di Jawa Tengah, seorang pria berinisial GM dengan keji membunuh dan memotong-motong tubuh pasangan tidurnya hingga menjadi beberapa bagian. Potongan tubuh pasangannya itu kemudian disebar ke berbagai tempat. Tindakan biadabnya itu juga dipicu masalah seks. Pasangannya menolak disetubuhi GM, karena kala itu ia sedang haid. Tapi GM tak terima. Ia kalap dan kemudian terjadilah mutilasi itu.

Dua contoh kasus diatas dalam konteks ini pertama-tama merupakan kegagalan manusia dalam pencarian bentuk alternatif pemenuhan hasrat biologis. Lebih jauh lagi pelaku kekerasan yang dipicu oleh tak terpenuhi hasrat seksual (hubungan kelamin) merupakan kegagalan dari pemahaman seseorang terhadap seksualitasnya secara mendasar. Terlebih lagi para pelaku kekerasan rata-rata orang yang sudah akrab dengan hubungan kelamin.
Bagi kebayakan orang, hubungan kelamin (coitus; gesekan penis dengan vagina) adalah tahapan tertinggi dari aktivitas seksual. Bagi orang-orang yang berpandangan demikian, aktivitas onani/masturbasi dianggap bagi mereka yang sudah berkeluarga dianggap sebagai dosa besar. Barangkali jauh lebih berdosa daripada pelaku onani/masturbasi ketika masih remaja dulu (belum berkeluarga). Lagipula beronani/masturbasi bagi mereka yang sudah pernah merasakan hubungan kelamin tak memiliki kepuasan berarti. Tak cukup untuk menuntaskan hasrat seksual. Barangkali sama rasanya ketika orang lapar, hanya disuguhi segelas air.

Padahal kalau mau jujur seks itu fleksibel. Ia bisa dipuaskan dengan berbagai sarana. Tidak melulu berhubungan kelamin. Bagi para pemuja oral seks, misalnya, sensasi berhubungan kelamin dianggap terlalu kecil dibandingkan dengan oral seks. Jadi dalam konteks ini beruntunglah beberapa orang yang masih ‘mempertahankan’ aktivitas onani/masturbasi, sehingga tak perlu harus mengalihkan pemenuhan hasrat seksualnya dalam tindak kekerasan. Tentunya tidak dengan berlebihan. Artinya, onani/masturbasi dilakukan hanya ketika saat-saat genting saja. Sebab dalam beberapa kasus tak sedikit pasangan yang terpaksa cerai karena kebiasaan onani/masturbasi lebih intens dari hubungan intim dengan pasangannya sendiri.

Disamping kekerasan sebagai bentuk sublimasi pemuasan kebutuhan seksual, ada juga kekerasan yang justru memicu hasrat seksual. Prilaku sadomasochisme, misalnya, bisa diajukan sebagai contoh nyata hubungan timbal balik antara seks dan kekerasan. Seorang sadomasochis akan makin terangsang dan bernafsu untuk menyalurkan hasrat seksualnya bila ia membarengi aktivitas seksualnya dengan melakukan penyiksaan terhadap lawan jenisnya. Kasus yang menimpa model cantik dan artis Indonesia, Manohara Pinot adalah salah satunya. Menurut pengakuan Manohara ke berbagai media, suaminya, Fakhry putra kerajaan Kelantan itu, gemar menyetubuhi Manohara dengan menyilet-nyilet tubuhnya. Setiap tetes darah yang menyalir dari luka Manohara semakin menambah sensasi seksual Fakhry. Tak cukup disitu. Dalam tiap hubungan intim, artis cantik yang kini menjadi pemeran utama sinetron “manohara’ itu, selalu dibius. “Saya tidak bisa apa-apa. Bergerak juga tidak bisa. Tapi saya bisa merasakan setiap sentuhan atau aksi menyakiti yang dilakukan Fakhry,” begitu penuturannya pada media.

Selain karena ketidak matangan menginterpretasi seksualitas, para pelaku kekerasan karena dorongan seksual, berangkat dari sebuah penolakan. Dalam masyarakat patriakat yang kental sekarang ini, laki-laki seakan-akan menjadi superior terhadap perempuan. Laki-laki sebagai kepala keluarga, laki-laki sebagai pemimpin terpatri kuat dalam masyarakat patriakat. Pandangan ini berbasiskan pada konstruksi gender yang mendefinisikan dan menempatkan perempuan sebagai kaum inferior. Dalam hal hubungan intim, penolakan perempuan atas permintaan laki-laki dalam bersenggama—apapun alasannya—dianggap sebagai sebuah pembangkangan. Dan setiap pembangkang pasti akan dikenai hukuman. Dalam kasus Puryanto, misalnya. Hukuman yang diberikan pada istri akibat menolak ngeseks ditimpakan pada anak. Tegar dijadikan tumbal karena dianggap kesayangan ibunya (istri Puryanto). Sementara GM, memilih untuk menghabisi perempuannya, hanya agar dominasi kekuasaan terhadap perempuan itu tidak diambil alih laki-laki lain.

Dan fakhry menancapkan kekuasaan patrikat dalam hubungan intim dengan Manohara lewat jalan pembiusan. Tegasnya kepasrahan perempuan atas dominasi laki-laki tak bisa ditawar laki. Perempuan akan kelihatan cantik, ketika ia tunduk dan patuh serta siap melayani nafsu laki-laki kapan saja dimana saja. Membangkang sedikit saja, maka kecantikan perempuan seakan pudar.

Sikap dominasi patriakat di Indonesia yang paling kentara ditunjukkan pada awal-awal rezim orde baru. Bermula dari menyebarnya wabah fantasi. Yang diolah sedemikian rupa oleh rejim berkuasa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Tanggal 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Berbagai organisasi perempuan dibubarkan, puluhan ribu aktivis perempuan yang diduga terlibat harus menerima resiko 3B; bunuh, buang, bui. Sementara itu ratusan ribu perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan diskriminasi politik, serta menanggung beban menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para bapak. Dan yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar.

Orde baru seakan hendak menunjukkan bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Artinya perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata. Kepatuhan itulah yang mampu meningkatkan gairah seks kaum adam.

Tentu saja kekerasan hubungannya dengan seks tidaklah asal jadi. tidak ada anak manusia yang lahir kemudian langsung bringas dan punya inisiatif seksual dengan membunuh, menyakiti atau memperkosa lawan jenisnya. Semua prilaku seksual berangkat dan dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Sebagaimana yang diutarakan Freud bahwa penyimpangan-penyimpangan pada tingkah laku seksual bukanlah anomaly yang jarang terjadi. Perkembangan libido dapat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama ketika masa kanak-kanak, dan bahwa keanehan tingkah laku dan karakter dalam diri orang dewasa berakar dalam keanehan dari hasrat dan tujuan seksualnya. (Fromm, 2002;197-198)
Tindakan sadistis, misalnya, lanjut Freud, merupakan prilaku seksual anak-anak semasa periode tertentu perkembangannya. Ketika sang ayah mengajari anak cara mendominasi dengan kekerasan, maka katika dewasa dia akan membentuk sadisme sebagai penyimpangan seksual maupuan sebagai struktur karakter yang didalamnya ada hasrat untuk menguasai, mendominasi dan merendahkan pasangannya (ibid). bahkan memiliki kecenderungan berbuat lebih sadis dari ajaran ayahnya.

Barangkali apa yang dilakukan istri Puryanto, pasangan tidur GM dan Manohara merupakan bentuk perlawanan atas dominasi patriakat dalam seksualitas. Dengan kata lain, kekuasaan patriakat atas seksualitas perempuan semakin hari semakin rapuh. Dan perempuan-perempuan Indonesia harus belajar banyak pada ketiga perempuan tersebut. Perempuan Indonesia harus belajar berkata tidak, dan menolak hubungan intim jika tubuh mereka tidak siap menerimanya.

Kebanyakan perempuan Indonesia memilih mengorbankan tubuhnya dan psikologisnya hanya sekedar untuk memuaskan birahi kaum adam. Misalnya ketika sang laki-laki sedang horny, sementara si perempuan sedang Haid, perempuan tak bisa menolak dominasi patriakat tersebut. Mereka membiarkan laki-laki menyetubuhinya disaat haid, sementara tubuh perempuan sedang dalam ancaman besar penyakit. Sebab darah haid adalah darah kotor yang jika masuk kembali ke dalam rahim akan menimbulkan kista dan kanker rahim.

Karena itu kedepan kaum perempuan memang harus lebih maju lagi. Syukur-syukur jika ada kongres perempuan khusus seks yang hasil akhirnya ada kesepakatan bagi kaum perempuan Indonesia untuk melakukan mogok seks nasional setiap satu bulan sekali Agar para pria belajar mengontrol diri ketika mengalami penolakan seksual dari kaum perempuan. Sekaligus menegaskan posisi perempuan yang semakin kuat, sehingga kaum patriakat tidak lagi menganggap sepele kaum hawa. Mungkin ada yang berdalih bahwa posisi perempuan sudah semakin sejajar dengan laki-laki. Ya, sebagian kecil. Sementara sebagian besar yang lain masih terus mengalami dominasi seksual. Padahal jika kondisi ini dibiarkan, maka kekerasan akan terus menghantui kehidupan masyarakat.


Madura, Juli 2009

Minggu, 19 Juli 2009

Seks, Teroris dan Masyarakat Pecundang

Seks, Teror Bom dan Masyarakat Pecundang

Jakarta kembali di teror bom. Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton dibuat luluh lantak oleh ledakan bom. Setidaknya 9 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Diduga kuat bom yang meledakkan dua hotel bertaraf internasional di bilangan Mega Kuningan, Jakarta itu adalah aksi bom bunuh diri. Bahkan masyarakat kian tegang setelah presiden SBY melontarkan pernyataan bahwa berdasarkan informasi intelegen ada jaringan teroris yang masih beraktivitas di Indonesia.

Berbagai pendapat mulai berseliweran di masyarakat. Ada kabar bahwa aksi teror bom itu sengaja diciptakan untuk memporak-porandakan kondisi ekonomi Indonesia (yang sebenarnya sudah porak-poranda karena melonjaknya harga kebutuhan pokok dan imbas krisis global). Ada juga yang berpendapat tindakan tersebut untuk menggagalkan kedatangan MU ke Indonesia. Sehingga citra Indonesia di mata internasional semakin minor. Pendapat itu hendak menuding Malaysia sebagai biang keroknya (mencoba-coba mengungkit dendam lama soekarno ketika melontarkan kata perang dengan Malaysia). Sementara kabar lainnya mengatakan bahwa aksi bom itu sekedar mengalihkan isu carut marut pemilu dengan DPT fiktifnya yang masih belum tuntas itu. Mana yang benar dari berbagai pendapat itu?

Bukan itu fokus tulisan ini. Sebab tulisan tak hendak membuat kita semakin meradang dan puyeng dengan berbagai kemungkinan dibalik aksi teror bom itu. Justru tulisan ini mengajak kita kita melemaskan pikiran sejenak dari ketegangan tentang teror bom dengan membicarakan soal seks. Meski tema seks kerap dianggap sepele dibandingkan masalah terorisme yang kini menjadi perbincangan hangat publik, namun seks kerap berkelindan dengan aksi kekerasan (termasuk juga aksi terorisme).

Ya, seks. Anda boleh percaya atau tidak. Tapi seks kerap menjadi salah satu fungsi kontrol dalam menyeimbangkan emosi dan psikologis kita. Karena seks punya kemampuan katarsis untuk meeliminir emosi, ambisi, nafsu dan kemarahan seseorang. Dengan kata lain, seks menjadi semacam obat psikologis untuk membuat kita kembali berpikir jernih seusai mencapai klimaks dari aktivitas seksual. Tentu saja seks yang saya maksud adalah seks yang wajar. Seks yang sehat. Yang didalam aktivitasnya tidak ada kegiatan mendominasi satu sama lain. Melainkan upaya berbagi dan saling menstimulus untuk mencapai kepuasan seksual sejati. Pun ketika aktivitas seksual dilakukan sendirian seperti onani atau masturbasi didalamnya tidak ada aksi menyakiti diri sendiri.

Sebab dengan melakukan aktivitas seksual secara normal dan sehat, seseorang secara psikologis bisa terhindar dari aksi-aksi kekerasan, kemarahan dan anarkis yang menyakiti diri sendiri apalagi orang lain. Disini saya hendak mengatakan bahwa para teroris itu sebenarnya punya masalah seksualitas yang kompleks. Memang tak ada data empirik yang kuat untuk ini. Tapi secara teoritis memang kita patut mencurigai para teroris itu memang memiliki aktivitas seksual yang tidak normal.

Akvitas teroris mirip dengan prilaku bejat para pemerkosa. Pemerkosa adalah prilaku seksual yang tidak normal karena pelakunya merasakan kenikmatan dan mencapai klimaks diatas penderitaan orang lain. Para pemerkosa itu semakin bringas dan nafsu birahinya semakin tak terbendung tiap kali korbannya berontak sembari berteriak; “jangan, pak….ampun, om, jangan.” Saya ingat sebuah aksi pemerkosaan di sebuah obyek wisata di Madura ketika saya masih kuliah dulu (sekitar tahun 2003). Seorang perempuan yang kebetulan sedang berasyik mesum dengan sang pacar dipergoki beberapa pemuda. Para pemuda itu sebenarnya bukan hendak memalak mereka, melain justru tergiur kemelokan perempuan tersebut. Maka dimulai aksi perkosaan itu. Si pria, pasangan perempuan itu, tak bisa berbuat banyak. Tragisnya lagi, (dan ini sungguh bejat) salah satu pemerkosa dalam aksinya menggigit putting payudara si perempuan hingga nyaris putus.

Bagi yang punya prilaku seks normal, memang tak habis pikir mengapa ada orang yang bisa mencapai orgasme ketika mendengar erang kesakitan orang lain, bahkan nafsunya semakin ‘buas’ melihat darah yang mengalir dari payudara seorang perempuan karena digigit si pemerkosa. Sama tak habis pikirnya ketika beberapa hari lalu membaca berita seorang ayah tega memperkosa anaknya hingga hamil. Memang dalam dunia seks ada prilaku seks menyimpang seperti sexual abuse, rape, insest, sado mashochism, dan sebagainya. Tapi semua itu tidak asal jadi. Karena tak ada seorang anak manusiapun yang lahir kemudian bercita-cita menjadi pemerkosa, pemerkosa anak sendiri, beraktivitas seks sembari menyilet-nyilet pasangannya. Prilaku itu—kalau meminjam analisa psikologi analisnya Freud—pasti ditimbulkan oleh sebuah trauma seksualitas yang kemudian terekam dalam alam bawah sadarnya. Sehingga ketika dewasa dan ia memiliki kekuasaan, ia bertindak lebih bringas dari trauma seksual yang pernah dialaminya.

Begitu juga para teroris itu. Mereka jelas memiliki trauma psikologis yang akut sehingga begitu tega menyakiti orang lain. Mereka sama kejamnya dengan para pemerkosa itu. Yang mencapai orgasme, merasa puas, girang senang karena melihat darah dan erang kesakitan orang lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka juga punya aktivitas seksual yang tidak normal. Artinya ada tahapan-tahapan seksual yang tidak mereka lalui secara wajar sehingga aktivitas seksual mereka jadi terbelengkalai. Akibatnya, eskapisme dari kegagalan seksualitasnya itu mereka kemudian mencari kepuasan dalam bentuk lainnya. Dan salah satunya adalah menyebarkan teror itu. Tentu saja teroris disini tak melulu orang yang melakukan aksi bom bunuh diri atau melakukan pengeboman. Mereka yang dengan sengaja menyebarkan ketakutan pada masyarakat layak disebut teroris juga.

Kita bisa melihat kengerian yang lebih akut manakala aksi teror atau aksi pemerkosaan itu diorganisir dengan cukup sistemik dan solid. Kita bisa saksikan aksi pemerkosaan terorganisir terhadap wanita-wanita Tionghoa pada medio 1998. dan tragisnya, masyarakat yang katanya memeluk erat budaya timur dan penuh kesopanan itu justru bungkam dan hendak ‘lupa’ pada tragedi kemanusiaan yang penuh darah itu.


Masyarakat pecundang
Sampai disini barangkali benar kata FX. Rudi Gunawan bahwa makin maraknya kasus perkosaan dan terorisme dalam masyarakat, bisa dijadikan indikator atau parametet pecundang-tidaknya suatu masyarakat. Semakin tinggi angka perkosaan dan aksi terror maka semakin pecundanglah sebuah masyarakat. Apa yang layak ditudingkan pada seorang ayah selain pecundang ketika ia dengan tega memperkosa anaknya sendiri dan disetiap aksi pemerkosaannya mengancam akan membunuh anaknya sendiri jika melapor aksi bejat itu pada siapapun, sementara dimasyarakat, di tempatnya ia bergaul dan bersosialisasi ia dengan begitu tanpa berdosanya berbicara soal moral dan pendidikan anak.

Masyarakat pecundang juga barangkali bisa ditudingkan pada masyarakat yang diam saja manakala melihat penindasan, atau diam saja ketika penggusuran pada masyarakat miskin dilakukan dengan tindakan represif oleh aparat. Atau juga tak ada sebutan yang lebih layak selain pecundang ketika masyarakat diam saja ketika dirinya dibohongi, ditindas, dipersempit ruang gerak ekonomisnya, dibikin melarat dengan kebijakan yang tidak berpihak. Ya, barangkali masyarakat pecundang adalah masyarakat yang tidak tuntas menyelesaikan tahapan seksualnya secara wajar dan sehat. Para koruptor, makelar kasus, politisi busuk bisa juga digolongkan dengan para pecundang. Masyarakat yang sehat menurut Erich Fromm adalah masyarakat yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap masyarakat lainnya. Saling membantu dan saling melindungi satu dengan lainnya. Masyarakat yang tidak dicemari aksi teror untuk menimbulkan rasa takut dan ngeri masyarakat lainnya dan masyarakat yang melawan ketika ditindas.

Karena itu barangkali sesekali kita meski belajar pada para pelacur yang dengan jujur mengaku bahwa dirinya memang wanita pemuas nafsu. Dengan dandanan seronok dan mesum mereka tampil tanpa malu berdiri di pinggir-pinggir jalan, atau tersenyum dengan paha mengangkang ketika duduk di etalase-etalase birahi sembari ditonton ribuan laki-laki hidung belang. Mereka dengan berani memecundangi laki-laki hidung belang di ranjang dengan membuat lenguhan dan desah-desah palsu hanya sekedar untuk memeloroti kejantanan para pria-pria yang sebenarnya tidak jantan itu.

Kita sepertinya memang harus berguru pada perempuan-perempuan yang berdiri—meminjam judul Novelnya Nawal El-sadawi—di titik nol. Daripada kita berguru pada kiai dengan celoteh-celoteh kitab suci yang fasih sefasih mereka mengumbar nafsu birahinya dengan memperbanyak istri-istri yang kebanyakan masih muda belia dan ranum-ranumnya. Dengan demikian kita tak pernah punya keinginan atau ambisi untuk sekedar mengumbar teror atau melakukan aksi terorisme (termasuk aktivitas seksual) yang merugikan orang lain.

Senin, 13 Juli 2009

Dua Film Adegan Ranjang Kacong-Cebbing Madura (2)

Sebenarnya mengapa sih ada anak muda yang begitu ‘bersemangat” (pada awalnya) untuk mengabadikan “gairah cintanya (lebih tepatnya nafsu)” tapi kemudian menangis sesegukan begitu hasil “kreatifitasnya” itu menjadi gunjingan publik? ” Seharusnya konsisten dong, berani berbuat berani bertanggung jawab. Giliran ngerekam aja ketawa cekikikan sambil mendesah-desah nikmat. Giliran kebongkar, nangis sejadi-jadinya, minta tobat, mohon ampun. Dah basiiii,” seloroh kawan saya.

Memang untuk urusan seks ini sedari kecil kita sudah diajari tidak boleh jujur mengungkapkannya. Jangankan jujur, bicara soal “paha” saja bisa kena damprat habis-habisan. Padahal yang hendak dibicarakan hanya soal paha ayam kampong (bukan ayam kampus). Akibatnya kita memaknai sendiri aktivitas seksualitas kita dan sensasi-sensasi seks yang kita alami tanpa pembimbing. Tanpa control yang ketat. Kita melalui tahapan-tahapan sensasi seksualitas seorang diri. Atau kadangkala dibimbing teman sebaya yang sama-sama tak mengertinya.

Saya sendiri saja tidak paham sejak umur berapa mengenal seks. Tapi yang paling saya ingat ketika kelas 3 SMP kepala saya sudah bisa cenut-cenut kalau melihat gambar wanita berbikini di majalah milik tetangga yang kebetulan dipinjam oleh ibu saya. Tapi cenut-cenut di kepala itu disertai dengan perasaan nikmat yang entah darimana datangnya. Tapi memang waktu itu tak pernah tahu bagaimana cara menuntaskannya. Atau lebih tepatnya bagaimana cara “menyembuhkan” kepala yang cenut-cenut itu. Yang saya tahu setiap kali melihat cewek berbikini lama-lama, biasanya kenangan itu terbawa sampai ke mimpi. Dan saya bermimpi dipeluk perempuan berbikini sampai celana basah. Mencoba jujur sama orang tua soal ini? Tidak dech! Ini untuk pertamakalinya saya mencuci celana dalam dan sarung saya sendiri dengansembunyi-sembunyi. Alasannya sederhana agar tidak ketahuan orang tua. Agar pertanyaannya tidak terus berlanjut. Kala itu saya masih membayangkan bagaimana cara bermimpi lagi adegan seperti itu. Rasanya nikmat sekali. Ternyata bukan hanya gambar wanita berbikini yang saya tonton. Dari senior dan teman dewasa saya yang lainnya saya bisa mendapatkan 3 kartu remi bergambar adegan mesum yang saya beli seharga Rp. 2000/kartu (itu tahun 90-an). Namun ketika sudah menjelang lulus SMA kartu-kartu itu saya bagikan pada teman2 sekolah.

Rasa penasaran itulah yang kemudian membuat saya ‘naik kelas’ dalam masalah membangkitkan gairah. Di sekolah ternyata saya bertemu dengan kawan-kawan sebaya yang mengalami hal serupa. Kami saling berbagi cerita sambil tertawa cekikikan. Disaat-saat masih penasaran itulah saya disodori buku cerita mesum teman-teman pria saya (tepatnya senior, karena umurnya lebih dewasa dari saya) yang telah lebih dulu naik kelas “Advance” untuk urusan beginian. Mulai dari novel stensilan kelas kacang berlabel Nick Carter, novel karangan Freddy S, hingga novel yang benar-benar full menyuguhkan imajinasi seksual tingkat tinggi. Barangkali ada orang tua yang bangga ketika anaknya petantang-petenteng bawa buku bacaan tebal. Tapi tidak demikian dengan saya. Biasanya saya menyelipkan novel-novel itu di dalam buku pelajaran. Sehingga sepertinya saya sedang khusuk membaca buku pelajaran padahal sebenarnya sedang sibuk berimajinasi seksual dengan buku-buku stensilan itu.

Lewat buku-buku itulah saya mulai belajar menjadi laki-laki dewasa. Masturbasi. Menurut saya tahapan ini adalah tahapan yang pasti dijalani oleh semua pria di dunia ini. Meski tidak ada data yang kongkret—secara teoritis nyaris semua laki-laki entah ia itu pedagang asongan, tukang gerebek VCD/DVD porno, jenderal atau presiden sekalipun pasti pernah melakukan ini. Bahkan terdengar kabar kalau mantan presiden Amerika Bill Clinton, juga masih gemar ber-seks oral dengan pasangan selingkuhnya. Meski tingkatannya lebih tinggi, tapi intinya sama saja; onani/masturbasi. Pada tahap ini mau jujur pada orang tua? Ah, tidak dech. Bisa-bisa kena damprat habis-habisan. Atau malah orang tua bisa kena serangan jantung mendadak. Urusannya bisa gawat.

Pada hari pertama bermasturbasi ria itu ada rasa bersalah yang menghantui pikiran. Tapi toh ada juga pikiran untuk mengulanginya di hari kedua. Dan benar aktivitas itu diulangi juga, meski ada rasa bersalah tiap kali usai melakukannya. Terus begitu sampai akhirnya menjadi rutinitas. Efek kecanduannya mirip narkoba. Karenanya tak begitu heran jika mantan model kondang di masa 1980-an, Christie Brinkley, memutuskan menceraikan suaminya yang ketahuan ketagihan masturbasi melalui camera laptop.

Tanpa pembimbing. Tanpa guru. Tanpa mentor, saya akhirnya naik kelas lagi. Kini bukan hanya buku-buku stensilan yang saya lahap, melainkan film biru. Waktu pertama kali melihat, saya dibikin pusing kepala. Sampai mau muntah segala. Tapi setelah dua tiga kali menonton, pusing itu jadi sedikit berkurang karena diselingi rasa nikmat. Tak cukup juga sampai disitu, ketika mengenal internet, aktivitas petualangan syahwat dilanjutkan di dunia maya yang lebih luas dan memberikan banyak warna. Saya juga mulai mengenai yahoo messenger dan chat room. Di chat room itu saya bisa menonton adegan seks (karena dilengkapi dengan webcam) sambil berdialog dengan pelakunya. Menarik…seru dan tanpa batas.

Mungkin yang tak pernah saya lakukan hanyalah merekam aktivitas seks saya saja. Dan laki-laki dan perempuan di film yang dikirimi teman saya itu, mereka berhasil melebihi rekor yang saya raih. Mereka berhasil mengabadikan kisah percintaan (lebih tepatnya persenggamaan) mereka. Dan semua itu, semua tahapan itu dilalui tanpa kontrol.

Barangkali tak akan banyak pemuda-pemudi yang terjebak dalam aktivitas dan sensasi seksual mereka sendiri seandainya orang tua, guru, kakek/nenek mau terbuka membicaran seks dengan mereka. Artinya, diskusi tentang seks bukanlah diskusi soal persenggamaan semata, melainkan pemahaman tentang perubahan seksualitas dan lompatan-lompatan sensasi yang dialami tiap anak-anak muda. Dengan adanya diskusi terbuka ini, saya yakin anak-anak tak sampai terjerat dalam birahinya sendiri.

Mengeksplorasi sendiri. Ada kontrol, ada penjelasan logis tentang tahapan seksual, sehingga mereka bisa mengambil jalan keluar tidak seorang diri, melainkan bersama-sama dengan keluarga dekatnya dan orang-orang yang mereka percayai.

Tentu saja untuk mencapai ini diperlukan juga orang tua yang paham betul perubahan seksual. Bukan orang tua yang kolot dan ortodoks, yang memaknai fenomena social remaja dari sekedar pahala dan dosa belaka, melainkan dengan sudut pandang sosial dan psikologis. Dan ini penting. Orang tua masa kini harus bisa lebih terbuka dan demokratis membicarakan seks dan tahapan seksualitas yang bakal dilewati putra-putrinya. Tanpa sikap yang demokratis dan terbuka, kita akan selalu dihadapkan dengan kejutan-kejutan. Kita akan terkejut jika tiba-tiba anaknya menghamili atau dihamili pacarnya. Kita akan terkejut ketika anak-anak kita jadi bispak atau perek sepulang sekolah. Atau kita sebagai orang tua bisa koit jika tak sanggup menanggung kejutan itu. Padahal sebenarnya kejutan-kejutan itu terjadi karena kita sudah terlalu kehilangan banyak momen penting dari tahapan anak-anak kita. Dan kita tak pernah lagi dekat dengan anak-anak. Maka yang diperlukan hari-hari ini adalah kejujuran. Kita harus mengakui dengan jujur bahwa tahapan-tahapan seksual diatas juga pernah kita alami ketika menjadi remaja dulu. Dan kini sudah saatnya dibagi dan didiskusikan bersama dengan anak-anak kita. Siapa yang berani memulai?

Dua Film Adegan Ranjang Kacong-Cebbing Madura (1)

Seminggu lalu saya mendapatkan dua file film biru versi 3gp (file film untuk ditonton di Hp, red) dari teman saya. Film yang masing-masing berdurasi lima menit itu produksi madura asli. Artinya, sutradara, produser, dan pemeran utamanya anak muda madura. Bahkan kata teman saya si cewek masih kelas 1 SMA. Dibandingkan file pertama, file kedua film tersebut lebih seru. Pada file pertama saya hanya menyaksikan sebuah dialog mesra khas anak muda dengan sorotan kamera handphone yang tertuju pada si gadis yang telanjang bulat. “Tubuhmu sexy sekali, aku suka sayang,” begitu komentar si cowok di film itu sembari menzoom camera handphone kearah sela-sela paha si gadis. Pada file kedua saya menyaksikan adegan ranjang yang diiringi lagu hip-hop ala diskotik. Tentu saja disela-sela lalu itu terdengar juga suara desah, rintihan dan erangan yang memang tontonan orang dewasa.

Sebenarnya film ini telah beredar luas dan sempat heboh tiga bulan lalu. Bahkan saking hebohnya, bokap si cewek yang seorang guru ngaji di madura akhirnya koit melihat ulah anak ‘gadisnya’ yang jadi pembicaraan publik, malah masuk koran lokal segala. Pemeran cowoknya juga kini sedang berurusan dengan polisi. Sementara si cewek kabur keluar Madura. ” Mungkin jadi wanita jalang di jawa sana,” seloroh teman saya. Meski kesannya bercanda komentar teman saya itu mungkin ada benarnya. Banyak gadis belia terjerat lembah prostitusi karena mereka awalnya kehilangan keperawanannya dan merasa dirinya tak punya harga diri lagi hidup di masyarakat.
Secara pribadi saya sebenarnya iba dengan perempuan dalam film biru itu. Ia sebenarnya hanyalah tumbal dari budaya masyarakat yang paradoks. Masyakarat yang sebenarnya memiliki nafsu birahi yang tinggi dan menyukai hal-hal yang berbau pornografi dan sensualitas, tetapi malu mengungkapkannya di hadapan publik. Rasa malu itu dibungkusnya rapat-rapat dengan dalih agama, budaya madura yang beradab dan sebagainya.

Lihat saja ketika film-film itu saya tunjukkan pada tetangga-tetangga saya yang rata-rata tuwir. Mereka hampir serempak komentar; “Transfer ke Hp saya juga. Saya mau menontonnya di rumah,” ujar mereka. Tapi apa komentar mereka ketika saya Tanya tentang perempuan di film itu? “ia wanita nggak bener. Layak dapat ganjaran,” komentar salah satu tetangga saya. ”Tapi mengapa bapaknya yang akhirnya dipanggil yang kuasa. Mengapa tidak perempuan itu saja yang dicabut nyawanya, biar disiksa sama malaikat,” ungkap yang lainnya lagi. Si cowok dalam film itu (yang sebenarnya ia yang berinisiatif mengabadikan ‘tanda cinta-nya’ di handphone) nyaris tak disebut-sebut sebagai biang kerok. Artinya, dalam kondisi ini lagi-lagi perempuan jadi biangkeladi segala yang berbau nafsu birahi.

Begitulah masyarakat patriakat selalu menganggap perempuan tak lebih hanya sejenis makhkluk hidup yang dianggap ‘najis’ dan harus dijinakkan agar tidak menjadi liar. Membatasi ruang gerak perempuan dalam dapur, sumur dan kasur dan bertekuk lutut di hadapan suami adalah cara yang paling ampuh menjinakkan perempuan. Pahadal kalau mau jujur iklan-iklan di televisi yang menjadikan perempuan seksi sebagai bintang utamanya hanyalah sekedar memuaskan nafsu birahi laki-laki yang sebenarnya amat terbatas itu. Dan si perempuan pasrah saja dijadikan alat pemuas belaka.

Tentunya disini saya tak hendak berbicara bahwa perempuan adalah musuh lelaki atau sebaliknya. Justru disini saya hendak menunjukkan sebuah system yang menindas dimana hanya ambisi-ambisi mengusai yang dikedepankan. Bukan peluang-peluang mencapai kesejahteraan yang dicarikan jalan pulang. Dan kasus maraknya video mesum di kalangan pelajar akhir-akhir ini sebenarnya adalah puncak dari gunung es kesalahpahaman kita memaknai pornografi.

Sudah sejak zaman saya sekolah dulu kasus hamil di luar nikah sudah jadi umum di kalangan pelajar. Saya bahkan pernah dua kali mengantarkan teman cowok saya yang kebetulan ceweknya terlambat datang bulan ke dukun beranak untuk menggugurkan kandungan. Teman-teman saya juga tahu bidan mana yang bisa diajak kompromi untuk menggugurkan kandungan ketika pasangannya ketahuan hamil. Dan semua itu ada di madura.

Artinya, seks yang dianggap tabu di kalangan masyarakat justru telah jadi bagian aktivitas bawah tanah kalangan pelajar. Televisi yang mempertontonkan film barat dengan adegan mesum yang seringkali bikin syahwat anak-anak SMA mencak-mencak adalah guru paling setia dalam hal ini. Lewat televisilah mereka belajar seks. Dan seringkali aktivitas-aktivitas seks itu dilakukan tanpa control, tanpa pemahaman yang ketat soal reproduksi. Akibatnya si perempuan kembali menjadi tumbalnya. Akan lain ceritanya mungkin ketika masyakat kita mau secara jujur mengakui bahwa kebudayaannya kini adalah kebudayaan universal. Madura toh tak sebersih yang dibayangkan banyak orang. Mulai terbukalah. Karena itu pendidikan seks perlu diajarkan secara universal tanpa ada ketabuan atau risih ketika mengungkapkannya.
Sekolah-sekolah harus mulai berani mengajarkan cara seks yang aman. Dengan begitu anak-anak muda tak perlu harus sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas seksual.

Dan tak perlu harus lari dari rumah ketika ketahuan adegan ranjangnya dengan sang pacar tersebar luas via internet. Sehingga anak-anak perempuan kita tak harus jadi mangsa lembah prostitusi ketika mereka merasa dirinya tak berarti pasca keperawanannya direnggut pacar (dan sang pacar melarikan diri tanpa mau bertanggungjawab). Masyarakat tak perlu memberikan vonis. Biarlah pelakunya saja yang menentukan nasibnya sendiri. Dan satu hal yang harus dipahami jangan beradegan ranjang di depan kamera. Karena siapapun kalau ia manusia pasti doyan menontonnya.

Kamis, 02 Juli 2009

Jalan Pulang-Luka-Elegi

JALAN PULANG

Oh, Hawa
mengapa tidak kau catat jejak purba kepulangan kita di pintu gerbang
agar semua tahu bahwa Adam selalu pulang lewat pintu belakang

Tretes, 30 Juni 2009

***

MERUWAT LUKA

waktu terus memahat diorama baka
detikdetik jatuh, kalender beruban mencatat hari tua

aku mengelana dari puisi ke puisi, meruwat luka
menanggalkan sephia di sisa usia

Tretes, 30 Juni 2009

***

ELEGI PEMULUNG

aku tak sedang membaca
puisi ajalmu, meski
kau berkalikali membisikkan kata penghabisan

sebab kulihat tanganmu yang kasar
masih saja lembut mengusapkan doa
pada setiap sampah yang kau pungut;
“kugantungkan sisa usia, pada najis yang kau bawa”

hidupmu tak diawali dengan sepotong roti
segelas kopi dan berita selebriti
hidupmu hanya sebungkus nasi sisa
yang sempat kau pungut di belakang plasa ketika senja
dan setiap suap yang kau telan
bukan hanya mengganjal lapar, tapi juga untuk memeras air mata
sebab disetiap sampah yang kau pungut tercatat skandal pemiskinan

tapi disetiap tetes airmatamu terbesit daya tahan
dan nyalang pemberontakan yang menjelma kampung halaman

aku tak sedang membaca
sajak kematianmu, karena
jejakmu telah menjelma peta
jalan pulang kita

Madura, Juli 2009