WAKTU

JEDA

Minggu, 17 November 2013

#5bukudalamhidupkuplus1: Kenangan BUku Menolak TUnduk dari Aktivis Kelas Empat


Kenangan Buku Menolak Tunduk dari Aktivis Kelas Empat

Pencoblosan di TPS di kampung saya pada 7 Juni 1999 baru saja usai. saatnya penghitungan suara. Itu pertamakalinya saya menjadi pemilih. Saya menunggu dengan cemas. Tak saya perhatikan hasil perolehan suara partai lain. Begitu nama Partai Rakyat Demkratik (PRD) disebut dengan perolehan 1 suara, saya merasa lega. Cuma itu yang bisa saya berikan buat sebuah perubahan di negeri ini. 

Teman sebangku saya juga cerita hal serupa saat ngumpul malam harinya. Di TPSnya cuma dia yang mencoblos partai dengan pimpinan Budiman Sudjatmiko kala itu. Saat itu kami baru saja lulus SMA. ”PRD itu partainya anak muda.” Bergitu ujar Didit, teman saya dengan nada bangga.

Sedikit sekali informasi yang saya dapat tentang PRD dan Budiman Sudjatmiko kala itu. Satu-satunya sumber informasi hiruk pikuk politik Indonesia di era kepemimpinan BJ. Habibie adalah koran. Sebuah partai kecil yang militan yang dibangun anak-anak muda. Partai yang di koran dicap sebagai PKI gaya baru. Tentu saja sumber yang dikutip koran dengan stigma PKI itu dari pejabat tentara. Soeharto memang telah tumbang. Kepemimpinan telah berganti. Tapi semangat orde baru masih subur rupanya di negeri ini.

Kekaguman saya pada Budiman Sudjatmiko dan PRD kian bertambah ketika membeli buku “Menolak Tunduk: Catatan Anak Muda Menentang Tirani” karya FX. Rudy Gunawan. Buku itu mengenai kehidupan Budiman Sudjatmiko dan sepak terjangnya melawan rejim Orde Baru. Ditulis dengan nada penuh heroik. Mulai dari aksi pengorganisasian massa PRD, hingga aksi kucing-kucingan petinggi PRD meloloskan diri dari kejaran militer pasca tragedi 27 Juli 1997. Menegangkan sekaligus mengharukan. Membacanya kala itu membuat berandai-andai; ‘’seandainya saya seusia mereka, mungkin saya akan turut berjuang bersama mereka.’’

Karena buku itu pula saya akhirnya memutuskan bergabung dalam organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) di Jember. Organisasi underbow PRD. Sekitar tahun 2003 kalau tidak salah ingat. Dari organisasi itulah kali pertama saya kenal karya-karya Karl Marx, Lenin, Che Guevara, Wiji Thukul, Frans Fanon, dsb. Dari organ mahasiswa underbow PRD itu pula saya belajar, untuk pertamakalinya, menulis selebaran-selebaran yang biasa dibagikan tiap kami melakukan demonstrasi. Juga dari organisasi itu saya mengenal Prameodya Ananta Toer dan membaca hingga selesai tetralogi pulau buru hanya karena satu alasan yang kerap diucapkan kawan-kawan aktivis senior saya di organisasi itu; ”Bukan aktivis revolusioner kalau belum tuntas membaca Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer”

Dibadingkan teman satu organisasi yang pernah turut serta mendirikan LMND Jember itu, saya termasuk aktivis yang tidak terlalu militan. Kadang kala juga tak turut serta demonstrasi hanya karena ‘sibuk’ berlama-lama di warnet untuk membaca tulisan-tulisan di cybersastra.net. Tindakan tidak ‘patuh’ sama perintah organisasi sering diolok-olok oleh aktivis lain yang merasa dirinya paling militan dengan;’ jiwanya masih liberal.’ Tapi saya cuek aja.  

Toh, saya juga mendapat pujian ketika tulisan pertama saya dimuat di Jawa Pos di kolom prokon aktivis karena dibiografinya menggunakan nama; aktivis LMND. ”Itu salah satu cara membesarkan organisasi. Harus juga terus dilakukan” Ujar teman saya.

Membicarakan PRD dan para kadernya pada upaya penggulingan Soeharto di tahun 1998 menjadi cerita yang paling ingin saya dengar usai melakukan rapat-rapat atau kajian-kajian rutin di organisasi tersebut. Saya bisa begadang sampai malam, jika senior bercerita kedekatannya dengan petolan PRD seperti; Budiman, Faisol Reza, Ken Budha Kusumandaru, dan banyak lagi. Meski ceritanya hampir mirip dengan yang ditulis di buku bersampul merah dengan wajah Budiman oleh alumnus filsafat UGM tahun 1992 dan bekerja di majalah Jakarta-Jakarta itu, saya senang mengikutinya.

Dari organisasi itu pula saya jadi tahu kalau ditangkap polisi saat melakukan demonstrasi ternyata menyenangkan. Karenanya kadang-kadang aksi saling dorong dengan aparat harus dilakukan. Pertama, nilai tawar sebagai aktivis naik. Kedua, bisa dapat makan gratis. ”Sering juga dikasih uang 50 ribu usai ditanya-tanyai.” Ujar Aditya Fajar, ketua LMND Jember kala itu. 

Namanya juga aktivis ‘sambil lalu’ kadang saya perlu juga merasa sok heroik. Misalnya, ketika aksi pembakaran bendera empat partai di Jember, kawan-kawan organisasi saya blingsatan sembunyi dari buruan intel. Saya yang tak ikut aksi itu sok-sok juga ikut sembunyi di kos teman sambil bercerita dengan bangga kalau organisasi baru saja melakukan pembakaran bendera partai-partai besar yang masih mendukung Orde Baru dan kini diburu polisi.

Keterlibatan saya yang terakhir bersama LMND kala mendapat ‘tugas’ membangun organ untuk persiapan pemilu 2004 di Pamekasan, Madura. PRD hendak maju ikut pemilu dengan partai bernama Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional). Saya korbankan KKN (Kuliah Kerja Nyata) saya untuk melakukan ‘tugas mulia’ itu. 

Basecamp tempat menampung aktivis PRD Jawa Timur yang akan mengawal pendirian kantor Papernas adalah rumah saya. Dari situ saya kenal, Mbak Jum, Mas Rudi Hartono, Fauzi Bayu. Dan satu orang lagi saya lupa. Di kamar sayalah para kader PRD jawa Timur itu menginap. Dan perluasan basis organisasi dan perluasan kontak, teman-teman saya yang antar. Saya bolak balik Jember-Pamekasan karena harus juga menyelesaikan kegiatan KKN.

Bagi aktivis kelas empat macam saya, mendapatkan tugas semacam itu, tidak dibayarpun pasti semangat. Saya hubungi teman-teman sekampung saya. Beberapa setuju. Bukan karena sepakat dengan ideologi LMND, PRD atau Papernas. Hanya karena pertemanan saja. Salah satu diantaranya anak pejabat Bulog yang masih duduk di bangku SMA kelas dua (atau tiga?) bernama Arif Dwicahyo. Di rumah dia berkas-berkas diprint. Karena di kampung saya cuma dia yang punya seperangkat komputer lengkap. Dan berdirilah DPC Papernas Pamekasan. Lengkap dengan struktur organisasinya. Kantornya? Rumah milik teman bapak saya, yang kebetulan kosong. Kantor sementara saja. Hanya untuk lolos verifikasi DepKumHAM. Dan plang partai dinaikkan. Bendera Papernas berkibar di samping plang. 

Seminggu setelah plang Papernas naik, ketua DPC dipanggil ke Yonif 516. Diinterogasi dan ditanyai soal pendirian partai. Termasuk juga AD-ARTnya. Tentara minta plang itu diturunkan dan kantor ditutup karena partai itu komunis gaya baru. “Kalau tidak, urusannya bisa panjang!” Ujar Ahmad menirukan kalimat interogator.

Teman saya sempat keder juga. Baru pertamakali ini berurusan dengan tentara. ”gimana ini mau dilanjutkan?” tanya Ahmad pada saya. Saya kemudian menceritakan tentang perjuangan PRD dan Budiman Sudjatmiko seperti yang ditulis oleh penulis buku “Pelacur dan Politikus” itu untuk memompa semangat teman-teman saya. Dan mereka setuju untuk terus lanjut. 

Hasilnya, Papernas tidak lolos verifikasi DepKumHAM. Plang diturunkan. Bendera bergambar bintang itu juga diturunkan. Yang tersisa hanya kenangan. Juga kekecewaan-kekecewaan. ternyata Orang-orang PRD yang dalam benak saya teguh dan sekeras baja, mulai menjelma seperti seng dimakan karat. Rapuh. 

Misalnya ada teman satu organisasi yang mengaku marxist, tapi begitu menggagungkan Ayu Utami sebagai penulis feminis Indonesia. Punya pacar dia tiduri pacarnya atas dasar cinta dan suka sama suka. Begitu putus, dia menulis surat berantai yang dikirimkan ke email teman-temannya justru untuk menjelek-jelekkan pacarnya. Yang ‘diselingkuhi’ dosennya lah, kemudian disuruh aborsilah, membacanya saya justru merasa iba pada si perempuan. Betapa tega dia melakukan itu, yang atas email berantai itu dia justru menjadi penindas perempuan, mantan pacarnya sendiri. 

Di samping itu, belakangan saya mulai tahu PRD bukanlah partai yang benar-benar bersih. Fauzi Bayu, Ketua Komite Pimpinan Wilayah (KPW) PRD Jawa Timur terlibat korupsi pada tahun 2002. Bermula dari pemilihan Gubernur Jatim. Dia ‘main mata’ dengan Imam Utomo, mantan Pangdam Brawijaya yang hendak maju sebagai calon Gubernur. Ketika maju sebagai Cagub Jawa Timur, mantan Pangdam Brawijaya itu terus-terus didemo dan dosa-dosanya yang banyak menangkap dan menyiksa aktivis pasca tragedi 27 Juli 1997 diumbar di muka publik. 

Entah bagaimana mulanya, akhirnya Imam Utomo berhasil mendekati Bayu. Dan memberikan uang ‘tutup mulut’ sebesar 20 juta. Uang tersebut tak dilaporkan ke pusat. Akhirnya, ia didakwa melakukan korupsi. Dipecat. Yang tidak jelas terungkap sampai sekarang adalah pertanyaan-pertanyaan seperti; kemana uang itu mengalir? Dihabiskan sendirikah? Atau sudah dibagi-bagikan ke kader/pimpinan yang lain? 

Kasus Bayu sebenarnya bukan kasus korupsi pertama di tubuh PRD yang saya dengar. Konon katanya siempunya cerita, sebelum kasus Bayu terkuak, sempat beredar kabar kalau di pusat seorang Kader menyimpan uang 100 juta di rekeningnya. Tak jelas dari mana uang sebanyak itu. Tapi terkuaknya uang tersebut membuat kader lain geram. Pasalnya, kehidupan aktivis kelas tiga dengan aktivis kelas satu, yang jadi pucuk pimpinan terasa sekali perbedaannya. aktivis kelas satu kerap gonta ganti henpon dan bajunya selalu licin. itulah yang bikin kader kelas tiga geram. Sempat pemilik rekening itu akan dikeroyok massal seperti maling ayam. 

Yang terakhir yang sampai ke telinga saya korupsi yang dilakukan Yusuf Lakaseng, Ketua PRD. Kalau tak salah ingat, juga ketua Papernas. Ia kedapatan mendapatkan aliran dana sebesar 20 juta. Aliran dana tersebut tak dilaporkan ke bagian keuangan. Terkuaknya aliran tersebut karena banyak kader lain yang curiga karena dari hari ke hari penampilan ketua partainya kian perlente. Baju batu. Sepatu batu. Akhirnya dicurilah buku rekening ketua partainya itu. dari situ praktek korupsi itu terbongkar. Ia akhirnya dipecat.

Namanya juga petualang politik, dipecat dari partai lain tak membuat aura politiknya redup. Malah justru kian terang. Dipecat dari PRD Lakaseng masuk PBR. Dari PBR hijrah ke Nasdem. Dari Nasdem lompat lagi ke Hanura dan menjadi Caleg DPR-RI pada pemilu 2014 nanti. Slogan di Balihonya, menurut cerita, sungguh membuat geram. Bunyinya: “Politik itu Kehormatan. Jangan Kotori dengan Korupsi!!! 

 Rasa kecewa juga mulai bercampur dengan rasa jengkel, manakala mendengar berita aktivis PRD yang menjadi korban penculikan justru bergabung dengan penculik. Aan Rusdianto, misalnya. 15 tahun silam, kader PRD bertubuh tambuh ini dijemput orang tak dikenal. Dengan mata tertutup ia dibawa ke sebuah tempat. Disekap selama dua hari untuk diinterogasi tentang pandangan politik dan kawan-kawannya sesama aktivis PRD. Selama dua hari itu, ia mengalami siksaan brutal. Tapi kini ia justru bergabung dengan Prabowo Subianto, salah satu yang diduga kuat sebagai aktor intelektual penculikan banyak aktivis pada 1998, dibawah partai Gerindra. Aan tidak sendirian. Pius Lustrinalang, yang juga pernah diculik Tim Mawar dibawah komando Prabowo telah lebih dulu bergabung dengan Gerindra. Malah ia telah jadi anggota DPR di Komisi Energi dan Lingkungan Hidup. 

Alasan yang biasanya dilontarkan soal diatas; upaya melawan dari dalam. Melebur untuk membangun perlawanan dan banyak lagi retorika indah lainnya. Lalu apa guna dulu menolak dwi fungsi ABRI dan mengutuk penculikan para aktivis jika kemudian memilih memeluk penculik? Atau jangan-jangan saat diculik mereka melakukan deal politik, sehingga dibebaskan. Sementara yang lenyap dan tentu nisannya justru mereka yang teguh memegang pendirian? Tak ada yang tahu. 

Lepas dari semua itu, tentu tak semua kader PRD adalah petualang politik. Selalu ada kader yang benar-benar total menjaga integritas dan memperjuangan sosialisme yang dicita-citakan. Dan mereka melakukan dengan banyak cara semampu yang mereka bisa. Angkat topi dan penghargaan yang tinggi harus juga diberikan pada kader-kader yang konsisten. Sementara pada mereka yang munafik, menjilat ludah sendiri, bolehlah kita mengutukinya habis-habisan. 

Tapi faktanya, banyaknya aktivis kiri yang kemudian ikut menjadi gerbong dari lokomotif partai-partai borjuis sebagai dalih 'melakukan perlawan dari dalam' bahkan diantaranya menjadi anggota dewan belum terdengar gebrakannya yang frontal mengusung idealisme sosialisnya di masa lalu. Misalnya, sejak Alm. Gus Dur menyuarakan untuk mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, belum satupun aktivis kiri eks. PRD itu yang berani menyuarakan pencabutan itu lagi hingga sekarang. Padahal upaya pencabutan kebijakan itu penting, menurut saya, minimal untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas demi berdirinya partai buruh yang progresif yang berani menantang rejim despotik, memberikan angin segar bagi perlawanan rakyat dan menantang partai-partai besar yang cuma jadi mesin kapitalisme. 

Kembali ke soal Buku Menolak Tunduk. Memang sudah lama saya tak baca buku yang kata pengantarnya dutulis Xanana Gusmo itu lagi. Ketika hendak menulis kisah inipun saya mengambilnya di rak paling bawah berjejer dengan buku Catatan Pinggir Goenawan Mohammad, Prahara Budaya nya Taufiq Ismail dan Setelah Politik Bukan Panglima Sastra karya Fadli Zon. Bukan rak istimewa seperti buku-buku Pram yang saya letakkan di rak atas dan mudah dijangkau untuk saya baca lagi dan lagi. 

Dan seandainya tak ada proyek #5bukudalamhidupku yang digawangi Irwan Bajang saya tak akan ingat pengalaman dengan buku biografi Budiman Sujatmiko terbitan Grasindo, yang cetakan pertamanya terbit pada Februari 1999 itu. Buku yang pernah selalu saya bawa kemana mana dan diceritakan pada banyak teman. Kalau tidak ada proyek itu saya mungkin tak akan bercerita bahwa saya pernah keliru memfethiskan seseorang dan sebuah partai. Tulisan ini juga sebagai otokritik saya, bahwa meminjam Frase Chairil Anwarr, belajar belumlah selesai. Belum apa-apa. 

Masalahnya proyek itu sudah kelar. Tepat pukul 00.00 17 November 2013. Saya sendiri sudah setor review buku kelima, meskipun dari awal saya tak masuk hitungan sebagai peserta lomba yang sah. Saya penumpang gelap yang oleh Bajang diledek sebagai; peserta yang ngoyo. Udah tahu gak masuk hitungan masih saja ngejar-ngejar bis yang dia supiri. Ah, terserahlah kata dia. 

Karena proyek sudah kelar, biarlah saya kasih tagar tulisan ini dengan #5bukudalamhidupkuplus1. ini buku pamungkas saya sebenarnya.





Sabtu, 16 November 2013

#5bukudalamhidupku: Yang Pernah Hidup dari Remi Porno dan Stensilan Enny Arrow


Yang pernah Hidup dari Remi Porno dan Stensilan Enny Arrow

Siang itu saya bergegas ke rumah teman saya, Agus Boncu. Siang itu jam. 13.00. Jalanan kampung saya sepi. Kebanyakan warga pada tidur. Pelan-pelan saya ketuk pintu kamarnya yang tepat bersebelahan dengan pintu utama. Teman saya membukakan pintu sembari mengucek-ngucek mata.

                “Reminya masih ada, Mas?” saya membuka pembicaraan. Dia mengangguk. Kemudian melebarkan pintu kamarnya. Mengijinkan saya masuk. Dia mengeluarkan setumpuk kartu remi dari balik kasurnya. Saya memilih, setelah menemukan gambar yang pas saya menyerahkan uang Rp. 1.000,-

                “Sekalian nyewa Enny Arrownya, Mas?” dia naik ke ranjang. Merogoh lubang di langit-langit kamarnya. Lalu menyerahkan 10 buku Anni Arrow pada saya. 

                “Waktunya seminggu. Kalo hilang, kena denda Rp. 5.000,-“ dia berujar. Saya diam sambil terus memilih. Setelah beberapa menit memilih, saya memutuskan mengambil buku di urutan pertama sembari kembali menyerahkan uang Rp. 1.000,- 

                Begitu transaksi selesai saya bergegas pulang. Siang itu tahun 1996. Sekitar bulan Januari. Saya duduk di kelas satu SMA kala itu. Kartu remi yang saya beli bukan sembarang kartu. Kartu itu bergambar adegan dua manusia berlainan jenis yang tengah senggama. Gambarnya macam-macam. Mulai yang berwajah bule hingga yang berwajah asia ada. Posisi senggamanya macam-macam. Saat itu saya punya empat kartu remi seperti itu. Membeli dari orang yang berbeda. Setelah membeli satu kartu remi dari Agus Boncu, otomatis saya punya lima kartu remi porno kala itu.

                Sementara buku Enny Arrow adalah buku stensilan. Semua buku yang ditulis pengarang yang sosoknya masih misterius hingga sekarang itu berbau seks. Erotis sekaligus vulgar. Deskripsi tentang adegan seks dua manusia berlainan jenis begitu detail. Kata penis, vagina, tempek, memek, toket, kontol bertebaran tanpa tedeng aling-aling di setiap halaman-halaman novelnya. Termasuk juga desahan dan erangan. Majas hiperbola juga kerap dimainkannya. Seperti kepala boa untuk menyebut penis sering saya temui. Alur ceritanya runut dan sederhana. Laki-laki perempuan bertemu, melakukan senggama, kemudian keduanya orgasme dan selesai. Di cerita yang lain yang pernah saya baca, Enny Arrow pernah mengambil tema pemerkosaan. Seorang perempuan disetubuhi lima orang laki-laki. 

                Tak seperti buku umumnya, buku Enny Arrow di halaman terakhir tak mencantumnya biografi penulisnya. Penerbitnyapun juga tak beralamat. Di halaman belakang hanya ada tulisan; penerbit mawar. Dibawahnya terdapat gambar mawar.

                Di masa dimana kuku kekuasaan Orde Baru masih kuat menancap, terutama di tahun 1980 an hingga 1990 an, penjualan remi porno dan buku stensilan Enni Arrow merupakan ‘jalan pintas’ anak-anak muda mendapatkan referensi tentang seks. Sensor kala itu begitu ketat. Seks tabu dibicarkan dengan vulgar. Praktek pelacuran marak, tapi rejim fasis orde baru menghaluskannya dengan sebutan lokalisasi. Judi marak dan legal. Namanya begitu ‘mewah’; Sumbangan Dana Sosial Berhadiah atau yang kerap dikenal dengan SDSB. Tapi rejim dengan sensor serba ketat ditengah kemunafikan-kemunafikan rejim atas ‘penyakit masyarakat’ itu dijawab dengan peredaran remi porno dan buku-buku Enni Arrow di bawah tanah. Jangan cari kedua benda itu di toko buku resmi di jaman orde baru seperti Gramedia atau Gunung Agung. sampek semutanpun tidak akan menemukannya. Carilah keduanya di pedagang asongan dan penjual koran di terminal. 

                Boleh dikata Enny Arrow adalah pelopor dalam genre buku erotis di era Orde Baru. Perpaduan cerita dengan gambar sekaligus. Di saat Majalah Horizon sibuk memoles karya humanisme universal, Enny Arrow menggebrak dengan cerita-cerita binal. Di saat seks menjadi begitu tabu di era orde baru, buku-buku Enny Arrow terus mengalami cetak ulang. Di saat majalah Fakta menampilkan berita kriminal dengan mata pelaku ditutup kotak hitam, atau belahan payudara seorang pelacur diblurkan, Enni Arrow dengan enteng menampilkan gambar-gambar senggama. plus teks desahan-desahan yang tidak mungkin tak membuat pembacanya tegang.

                Makanya tak berlebihan jika sebuah survei yang dilakukan majalah “Men’s Health’ edisi Indonesia pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa sekitar 17,2% remaja menjadi buku Enny Arrow sebagai sumber pertama pengetahuan tentang seks. 

                Sukses Enny Arrow lewat buku-buku kemudian disusul banyak penulis pseudonim yang mencoba peruntungan serupa. Menulis cerita tentang seks. Tapi terlambat. Enny Arrow terlanjur jadi ikon penulis buku stensilan bergenre seks. Sebenarnya di masa kejayaan Enny Arrow beredar juga novel Nick Carter. Juga tak jelas siapa pengarangnya. Saya sendiri tak pernah membaca Nick Carter. Tapi ketika saya duduk di kelas tiga SD, saya kerap melihat Ibu membaca buku itu sambil tiduran. Biasanya beliau nyewa di persewaan buku. Belakangan baru saya tahu kalau Nick Carter juga punya cerita seks. Tapi cerita seks di Nick Carter Cuma bumbu saja. tidak penuh dari awal sampai akhir seperti Enny Arrow

                Ada pula buku stensilan sejenis yang cukup terkenal, yakni Fredy S. Tetapi Fredy S lebih memilih genre remaja. Dalam hal ini Fredy S tak sendirian sebenarnya. Banyak penulis pseudonim yang juga menggarap cerita remaja yang Kebanyakan mengulas cerita cinta yang klise yang dibumbui cerita seks yang cenderung setengah hati. Semisal Monica. Kalau boleh diklasifikasi Enny Errow menulis seks hardcore, maka Fredy S softcore.

Esoknya, setelah mendapatkan buku Enni Arrow hasil nyewa dan membeli remi porno tadi, saya membawa keduanya ke sekolah. Kerap membawa buku Enny Arrow dan beberapa lembar remi porno ke sekolah membuat saya jadi punya banyak teman. Tentu saja teman-teman yang agak nakal. Kalau yang ‘pintar’ tidak mau ikutan. Mereka sibuk dengan pelajaran. Entah membicarakan PR Matetika yang sulit atau membahas kegiatan ekstakulikuler. Kadang kita saling bertukar pinjam buku Enny Arrow. Melalui Enny Arrow dan remi porno kita bersosialisasi, berinteraksi antar teman. Tentu membawanya harus hati-hati, jangan sampai tetangkap tangan saat razia di sekolah.

Saya sendiri tak pernah kena razia. Tapi kala kelas tiga SMA saya ketiban sial. Seorang teman terkena razia. Di dompetnya kedapatan menyimpan sebuah remi porno. Dia diinterogasi di ruang BP. Mungkin karena ditekan dan diancam, akhirnya teman saya mengaku, kalau remi porno itu saya yang kasih. Maka, dipanggillah saya juga ke ruang BP. Berdua kami jadi tersangka. Disuruh membuat surat pernyataan yang ditandatangani orang tua. Tapi saya tak pernah kehilangan akal. Saya ‘tembak’ aja tandatangan Bapak. Caranya biar persis saya berlatih meniru tanda tangan Bapak semalam. 

Hari-hari ini barangkali remaja sekarang akan sulit mencari buku stensilan Enny Arrow. Tapi mencari cerita seks tentu saja gampang. Di zaman saya kuliah di tahun 2000an ada situs bernama www.17tahun.com yang isi ceritanya sama persis seperti Enny Arrow. Katagorinya macam-macam. M
ulai cerita seks konvensional, insest, paruh baya, masturbasi, hingga cerita seks tentang senggama manusia dengan hewan.

Tapi terlepas dari perkembangan dunia bacaan seks yang kian gegas, secepat laju internet kenangan tentang buku-buku Anny Arrow tetap tak tergantikan. Buku-buku itu jadi satu-satunya novel yang sering saya baca di kamar mandi.

Jadi jika di tahun 2000an ada penulis bernama Ayu Utami dengan novelnya berjudul Saman digadang-gadang sebagai penulis perempuan yang mendobrak tabu seksualitas dan novelnya dikatakan novel ‘berani’ di tahun-tahun awal pasca tumbangnya orde baru, saya cuma senyum-senyum sambil berkata: “Eh, Mbaknya waktu Enny Arrow berjaya kemana aja sih?”

               
#5Bukudalamhidupku
               

#5bukudalamhidupku: Syekh Siti Jenar dan Kenangan Gedung Bioskop Yang Dibakar


Syech Siti Jenar dan Kenangan Gedung Bioskop Yang Dibakar



Tumenggung Wilarikta, seorang adipati di Tuban, memergoki anaknya, Raden Mas Said tengah mencuri beras di lumbung keluarga. Sang Tumenggung marah besar. Raden Mas Said dihukum sekap di gudang makanan setelah sebelumnya tangannya dicambuk. Padahal Raden Mas Said mencuri untuk membantu salah seorang keluarga dilingkungan kadipaten yang tengah kelaparan. Anak itu terima hukuman bapaknya. Ia berdiri di pojok gudang. Airmatanya pelan-pelan berlinang’ 

Saya ikut sedih. Sedih sekali menyaksikan Said terdiam menahan tangisnya. Saya terus merapatkan duduk saya ke dada Ibu untuk sekedar berbagi kesedihan. Itulah adegan pembuka film Wali Songo yang ditayangkan di Bioskop Trunojoyo sebagai rangkaian akhir dari peresmian dan pembukaan gedung bioskop pertama di Kabupaten Sampang. Kala itu November tahun 1993. Saya lupa tanggalnya. Saya menonton film yang disutradarai Soyjan Sharna itu karena diajak bapak. Saya tak tahu apakah bapak membeli karcis atau mendapat undangan resmi sebagai PNS. Yang saya ingat sebagian besar penonton bioskop yang terletak di Jalan Trunojoyo, Sampang, berpakaian batik. Di deretan depan ada yang berpakaian polisi dan tentara. Juga ada yang bersorban. 

Kami sekeluarga duduk di deretan tengah. Saya dipangku Ibu. Adik digendong bapak. Saat itu filmnya berjudul Wali Songo. Belakangan setelah dewasa saya baru tahu Bahwa film tersebut termasuk film yang sukses karena ditonton lebih dari 500 ribu orang sejak ditayangkan pertama kali pada tahun 1984 di layar lebar.

Saya tak ingat lagi cerita selanjutnya. Yang jelas Raden Mas Said kemudian menjadi pencuri yang budiman. Mirip seperti Robin Hood. Dan akhirnya menjadi sunan kalijaga. Selain itu ada satu lagi adegan yang saya ingat betul dari film itu, yakni cerita tentang sosok antogonis Syech Siti Jenar. Dikisahkan ia berasal dari cacing. Namun karena menempel di perahu saat Sunan Bonang mewariskan ilmu pada Sunan Kali Jaga, maka ia menjelma manusia dan menjadi wali. Tapi ia dianggap sesat karena mengajarkan pandangan manunggaling kawula gusti. Pandangan ini merumuskan bersatunya Tuhan dalam  hamba-Nya. Sebab Tuhan telah ada dalam aku, maka akulah Tuhan. Pandangan ini ditentang sembilan wali. Singkat cerita Syech Siti Jenar ‘dikeroyok’ wali songo dan akhirnya ia dipenggal.

Namun film Wali Songo adalah film pertama sekaligus film terakhir di Bioskop itu. Dua hari setelah peresmian Bioskop oleh Bupati Sampang Kolonel Bagus Hinayana, ribuan massa mengamuk di kota bertajuk Sampang Bahari itu. Mereka menuntut Bupati mundur. Sembari meneriakkan tuntutan, massa merusak kios-kios SDSB. Merobohkan lampu kota. Membakar mobil polisi dan membakar gedung bioskop. Media menulis tak ada korban jiwa dalam peristiwa amuk itu. Hanya korban luka-luka. Tapi dari cerita seorang intel polisi yang terlibat langsung dalam peristiwa itu korban justru banyak. Mayat-mayat terpaksa ditumpuk di truk dan dibawa ke Omben untuk menghindari wartawan. Terutama wartawan internasional. “Kami sampai mengerahkan pemadam kebakaran untuk membersihkan genangan darah di sepanjang jalan raya” ujarnya.

Amuk massa itu imbas dari peristiwa dua bulan sebelumnya. 25 September 1993, petugas BPN kembali melakukan pengukuran untuk melanjutkan proses waduk Nipah di Kecamatan Banyuates. Kali ini dikawal 60 tentara bersenjata lengkap. Warga kembali protes. Menolak. Bentrok tak terhindarkan. Melihat warga tak tunduk, tentara kalap. Akibatnya, tiga warga tewas diterjang timah panas tentara. 

Sejak amuk massa itu, Kabupaten yang terkenal dengan jambu air itu tak lagi punya gedung bioskop hingga sekarang. Bekas gedung bioskop Trunojoyo itu kini menjadi gedung BPU; Balai Pertemuan Umum. Dan hanya menjadi tempat acara pernikahan. Tapi film wali songo dan adegan Syech Siti Jenar terus tersimpan dalam ingatan saya. Terutama tentang Wali Songo sebagai hero dan Syech Siti Jenar sebagai penjahat.

Sampai akhirnya saya membeli buku berjudul Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar; Konflik Elite dan Lahirnya Mas karebet karangan DR. Abdul Munir Mulkhan terbitan Kreasi wacana, Januari 2002. Sebenarnya apa yang ditulis doktor sosiologi agama UGM kelahiran Banyuwangi itu merupakan tafsir atas terjemahan bebas dari buku asli serat Syekh Siti Jenar karya tulis Raden Sosrowijoyo tahun 1958 yang diterbitkan oleh keluarga Brotokesowo (hal. 179). Artinya buku ini bisa dikata tafsir atas tafsir. Namun bagi saya yang mahasiswa semester tiga merupakan buku yang mengesankan. 

Apa yang ditulis Mulkan berbeda dengan yang telah menjadi keyakinan saya berdasarkan film Wali Songo yang dulu saya tonton saat masih kanak-kanak. Bahwa persoalan Jenar dengan Wali Songo tidak semata-mata soal ajaran sesat dan tidak sesat belaka. Melainkan juga politik. Misalnya, dalam ajaran Jenar mengenai hidup. Bahwa manusia hidup di dunia ini sejatinya adalah mati. Yang berkeliaran itu semua mayat. Zombie. Jadi tubuh pembungkus raga ini adalah najis, kotor dan penuh racun karena dipenuhi keinginan-keinginan menumpuk-numpuk harga, berkuasa atas yang lemah, berharap-harap pahala. itulah mengapa, lanjut jenar, didalam al-qur’an bahwa seluruh alam dunia ini termasuk isinya (juga manusia) hanyalah mayyidun atau mayat.

            Mayat-mayat itu berkeliaran, mencari makan, mencari rejeki, bersenggama dengan istrinya, memakai perhiasan berkilau. mereka yang naik delman, kereta, dokar, memakai baju kerajaan beserta paying kebesaran hanyalah mayat belaka, meskipun seringkali berwatak keji terhadap sesamanya.(suluh siti jenar pasal 10).

            Ajarannya itu bukan saja nyeleneh, tapi juga mengancam domonasi kejayaan kerajaan demak yang despotik dan keji itu! Artinya ajaran Jenar adalah bentuk perlawanan dominasi Demak dan protes terhadap kemapanan kaum agamawan, khususnya wali singo yang hidup bergelimang harta sebagai penasehat spritual raja Demak. Karenanya Jenar mengajarkan pada muridnya untuk  menolak tunduk pada rejim kerajaan Demak, menolak membayar upeti dan mengajarkan pada pengikutnya untuk tak takut pada sesama manusia. Sebab tak ada manusia yang harus menguasai manusia lainnya. Karena sejatinya manusia dimuka bumi ini adalah mayat. Ajakan atau ajaran menolak tunduk itu tentu saja angin segar bagi rakyat kebanyakan yang terus berada dalam represi feodal. Terutama melihat sepak terjang pasukan Glagawangi yang bengis dan tanpa ampun memburu sisa-sisa Majapahit dan penganut Budha. 

            Karena itulah perlu dilakukan tindakan agar ajaran Jenar tak meluas dan menimbulkan pembrontakan. Tapi Wali Songo tak mau mengotori tangannya dengan darah. Karena itu diatur siasat agar Jenar mengakhiri hidupnya sendiri. Bahkan wali songo kemudian mengganti jasad Jenar dengan seeokor bangkai anjing untuk meredam gejolak para pengikutnya.

            Membaca buku Syekh Siti Jenar Abdul Munir Mulkhan ini ingatan saya kembali pada tragedi Waduk Nipah di Sampang. Bagaimana lihainya rejim orde baru memanipulasi fakta bahwa korban hanya tiga orang tewas padahal ada puluhan orang yang terkapar dengan tubuh berlobang dan bersimbah darah. Juga mengingatkan saya pada tragedi 1965. Bagaimana dengan licik Tentara menggunakan tangan ormas Islam dan organisasi sipil untuk menjagal hampir tiga juta orang komunis dan atau yang dituduh PKI. 

            Lamat-lamat kemudian adegan terakhir film Wali Songo melintas dalam ingatan. Bagaimana Syekh Siti Jenar berjongkok di halaman Masjid kemudian Sunan Kali Jogo menebas lehernya. Seakan kita diberi warning dalam film itu; tunduklah. Patuhlah. Memberontak dan melawan kerajaan (negara) kau akan bernasib seperti Jenar.

            Ya hari ini kita tak lagi hidup di era rejim orde baru. Tapi bau busuk rejim itu terus keluar masih terus tercium hingga sekarang. Mirip bau bangkai anjing yang sengaja ditukar Wali Songo dengan jasad Syekh Siti Jenar untuk menundukkan pengikut-pengikutnya.
           

       #5Bukudalamhidupku