WAKTU

JEDA

Jumat, 28 April 2017

TAK ADA DUNIA LAIN

TAK ADA DUNIA LAIN



tak pernah ada dunia lain
segala bising adalah sunyi yang lain
suara langkah pagi bergema
kata-kata menyala
dalam pelukan

cinta adalah bayangan
di bawah cahaya
dan menjadi segala yang pernah menyentuh kita
dalam gelap

angin meninggi dalam tujuh mata ingin
dingin lantai
henpon yang bergetar
kipas angin berputar
kematian orang-orang lapar
dilindas pembangunan
demi nasib baik pengeruk laba
bising.sunyi. deru pompa air
lalu listrik mati.

dan aku masih tak mengerti
terbuat dari apakah sejatinya kesunyian ini?
aku tak mampu menyentuhnya. tapi ia menyentuhku
menyentuh sesuatu yang tak bisa kusentuh
menyentuhmu saat aku menyentuh dan tak menyentuhmu

lalu mengapa aku ingin menyentuhmu setiap waktu?

berapa kata yang lahir dari kesunyian?
membakar satu kontainer ganja di istana presiden
kucing kucing kampung masih pulas tertidur di beranda
penjual sayur bermotor menyalakan klakson
aku harus berangkat kerja
tapi aku masih ingin menyentuhmu
menyentuh kekosongan ruang dan waktu
seperti henpon buatan Cina
yang bergetar
di saku kita

APAKAH AKAN ADA

APAKAH AKAN ADA

apakah akan ada
ataukah tidak ada
nama kita
pada sekon pertama
saat tulah itu
mencekik kita

 

dalam selubung kesedihan itu
desah nafasmu turun
begitu lembut, teramat lembut
di tengkukku
bagai angin surgawi
berembus perlahan
di pagi pertama
hari kebangkitan

sambil menarik selimut kau berkata;
"kita akan tua"

"tapi kita tak harus bersedih" ujarku

"kita akan mati"

"tapi tak ada alasan untuk
tak berbahagia"

seketika cahaya menghambur dari balik jendela
menyusun semesta dalam gelas waktu
desah nafasmu turun di bahuku
kini berat, teramat berat
di bekuk asma

apakah akan ada
ataukah tidak ada
nama kita
pada sekon pertama
saat tulah itu
mencekik kita

aku memelukmu
dan berkata:
"nama kita ada atau tidak ada
cinta akan menyentuh segala
yang berbahagia"
lalu pasir dalam gelas waktu
menghambur ke arah kita

2017

MOGOK




MOGOK




“Kalian tahu kalian dianggap apa? Kotoran! Sampah! Mereka pikir kalian bisa diperas, dikunyah. Mereka, tuan tanah itu, mengambil keuntungan dengan memeras darah dan keringat kita. Dan para polisi? Mereka cuma babi. Babi pemodal. Mereka menendang kita, mematahkan gigi kita agar kita tunduk pada tuan tanah. Kalian masih mau bekerja pada orang yang menyiksa kita?”

Belum usai Jay, salah seorang pekerja pemetik apel itu, berorasi, sebuah tembakan meletus. Entah berasal darimana. Jay terhuyung, bersimbah darah dengan dada berlobang. Ratusan pekerja pemetik apel yang berkerumun, histeris. Pekerja perempuan berteriak ketakutan. Beberapa yang lain kalap dan mulai mendorong barikade polisi. Beberapa lainnya lagi berlari hendak menangkap tubuh Jay agar tak terjerembab di tanah. Namun, belum sempat mereka menangkap orang tua itu, sebuah tembakan menyalak lagi. Dan Jay benar-benar tersungkur di tanah. Mati. Bersimbah darah.

Jay adalah salah satu penumpang kereta api yang membawa ratusan pekerja pemetik apel pengganti di Torgas Valley, California, sebab ratusan pekerja sebelumnya menuntut kenaikan upah. Saat tiba di pemberhentian kereta, rombongan Jay sudah disambut ratusan pekerja sebelumnya. Mereka berorasi agar para pekerja pengganti itu turut serta dalam perlawanan. Sial bagi Jay, kakek tua anggota kelompok radikal itu. Orasinya yang berapi-api membuatnya dihujam timah besi hingga mati. Tak jelas siapa yang menembak. Seperti kebanyakan kisah pemerintah di belahan negara manapun yang menganut kapitalisme, buruh mati sama sekali tidaklah berharga. Dan penembaknya tak pernah tertangkap.

Tahun itu tahun 1933. Di tahun 1930an, Amerika sedang dilanda depresi ekonomi parah. B
encana kekeringan akut melanda negeri Paman Sam. Akibatnya, gagal panen merebak. Di Oklahoma Barat dan Texas, misalnya, produksi pertanian sekarat. Daerah ini telah banyak mengalami penanaman berlebihan oleh petani gandum di tahun-tahun setelah Perang Dunia Pertama. Tanah mengalami rusak parah. Ekonomi macet. Keluarga tercerai-berai, bisnis bangkrut, pemerintahan kacau dan bank banyak menyita aset-aset keluarga karena tak mampu membayar utang. Dunia seakan telah berakhir dan runtuh saat itu. Hampir seperempat penduduk Amerika menganggur. Mereka yang beruntung mendapatkan pekerjaan justru tak kalah menderita. Bekerja dengan waktu yang lama, kondisi kerja yang kumuh dan upah yang tidak layak. Di Torgas Valley, California, tempat perkebunan apel menghampar luas, para pemetik apel yang dijanjikan dibayar 10 dollar perhari hanya dibayar 5 dollar perhari. Dari hari ke hari gaji mereka terus digunting oleh pemilik lahan apel dengan dalih efisiensi. Hingga hanya 1 dollar perhari. Kondisi para pekerja memprihatinkan; kucel, kumal, miskin dan terjerat utang.

Mula-mula mereka menganggap tak ada pilihan, kecuali menerima takdir sebagai buruh pengembara. Mengembara melintasi lembah demi lembah mencari bayaran meski amat murah dan kadang disiksa dengan menyakitkan. Beberapa kelompok radikal menyusup dalam kelompok buruh itu mempengaruhi mereka dan berupaya memberikan perlawanan pada pemilik lahan apel untuk menaikkan upah dengan cara mogok!

Sebenarnya sebelum Jay datang dengan kereta api bersama para pekerja pengganti itu, Mac Mcload dan Jim Nolan yang satu kelompok dengan Jay telah lebih dulu menyusup dalam komunitas para pekerja pemetik apel dan berhasil meyakinkan sebagian besar diantaranya bahwa buruh punya hak menuntut upah layak dan berhak diperlakukan layak sebagaimana warga negara amerika merdeka. Sebagian yang lain ragu akan nasib baik mereka dan menganggap mogok adalah kesia-siaan belaka.

Tapi kematian Jay benar-benar membangkitkan semangat mereka. Keragu-raguan melakukan mogok tiba-tiba berubah jadi bara api semangat yang menyala-nyala. Mogok dimulai. Para pekerja pengganti yang sejatinya untuk melancarkan laju produksi malah berpihak pada buruh. Ikut mogok. Tuntutan mereka adalah; 3 dollar sehari dan kami takkan lari.

Itulah tema utama film In Dubious Battle garapan James Franco. Sebuah film yang diadaptasi dari novel John Steinbeck berjudul sama yang baru saja saya tonton via streaming. konon, pembuatan film yang memakan waktu kurang lebih enam bulan ini mengambil lokasi syuting di Atlanta, termasuk Southeastern Railway Museum di Duluth, Georgia. Termasuk juga berlangsung di Bostwick, Georgia, dan Yakima, Washington dengan biaya sekitar $15,000,000. Franco sendiri memercayakan urusan naskah pada Matt Rager. Tak hanya itu, Franco juga memasukkan banyak bintang dalam film ini, diantaranya: Robert Duvall, Selena Gomez, Ed Harris, Vincent D’Onofrio.

Berfokus pada penceritaan tentang Jim Nolan (diperankan Nat Wolff) seorang pemuda, dan juga aktivis yang mengatur segala macam bentuk aksi protes, demi mendapatkan keadilan untuk para buruh. Dari film ini kita bisa merasakan betapa tidak mudah mengorganisir aksi mogok kerja.

Bagian terberat dari aksi mogok adalah saat negosiasi mengalami jalan buntu. Saat kedua pihak sama-sama tidak mau mengalah. Para pekerja menuntut kenaikan upah. Sementara pemilik lahan bersikeras membayar hanya satu dollar sehari, dengan komprosi tambahan 20 sen saja. tak ada kesepakatan politik. Kesabaran menunggu adalah musuh terberatnya. Belum lagi tekanan-teknan psikis dan politik yang dilakukan para tuan tanah terhadap para pekerja yang mogok. Mulai dari intimidasi, kekerasan, membayar pekerja untuk jadi pengkhianat gerakan, membakar lumbung makan para peserta mogok, menuduh terlibat komunis hingga memanipulasi fakta dengan membayar media massa untuk menggiring opini publik bahwa pelaku mogoklah yang membuat kondisi ekonomi makin pelik dan tak berkesudahan.

Menyaksikan film berdurasi 1 jam 50 menit ini seperti menyaksikan sebuah peristiwa yang dekat dengan kita. Aksi penolakan pembangunan pabrik semen oleh petani Kendeng. Aksi penolakan penambangan Freeport di Papua oleh masyarakat Papua. Pola-pola intimidasi yang dilakukan kaum pemilik modal terhadap para pekerja, para investor kepada petani masih saja sama sebagaimana yang digambarkan dalam film yang diangkat dari novel yang ditulis John Steinbeck pada tahun 1930an yang berhasil membawa penulisnya mendapatkan Pulitzer ini.

Kita tahu tak terhitung jumlah perlawanan serupa seperti yang digambarkan dalam film ini. Hanya untuk mendapatkan perlakuan yang adil. Kebanyakan gagal karena lemahnya organisir dan rendahnya daya tahan perlawanan. Beberapa dari para pekerja yang melawan itu berakhir dengan dibunuh, disiksa, dipenjara. Seperti kasus Marsinah, seorang buruh arloji, yang mati disiksa tentara karena menuntut kenaikan upaya di media tahun 90an.

Tapi semua perlawanan sekecil apapun pasti punya hasil. Sejak mogok kerja tahun 1930an itu, berlangsung banyak pemogokan serupa dari tahun ke tahun. Dan pada akhirnya, tahun 1935 kongres mengeluarkan wagner act yang menjamin para pekerja bersatu, menawarkan secara kolektif dan mogok. Pada tahun 1938 Presiden Roosevelt menandatangani Fair labor Standard act yang menetapkan upah minimum regional, upah lembur dan 40 jam kerja seminggu.

Lantas apa tujuan mogok apa tujuan perlawanan sejenis di berbagai tempat di belahan dunia lain yang terus terjadi hingga hari-hari ini? Banyak orang mengira banyak mereka ingin kekayaan atau kekuasaan. Padahal itu salah. Mereka hanya ingin hidup mereka dihargai. Memegang kendali atas hidup mereka sendiri. manusia tak pantas memperbudak manusia lain hanya karena manusia lain itu tak punya apa-apa. Dan itu semua demi generasi berikutnya agar hidup lebih aman di dunia yang akan kita tinggali. Itu pesan moral yang disampaikan John Steinbeck dalam novelnya yang kemudian diangkat dalam film oleh James Franco dengan judul sama; In Dubious Battle. Perlawanan penuh keraguan.

Bagi saya sih ini sentimentil. Meskipun Franco kurang dalam menggali karakter tokoh Jim Nolan dan durasi waktunya film bertema buruh dengan kompleksitasnya yang rumit terlalu pendek. Sementara yang digarap menjadi film adalah novel John Steinbeck, peraih nobel sastra 1962 itu yang karyanya sangat kaya detail dan menyentuh. Entah kamu.


Tapi lepas dari semua itu, In Dubious Battle adalah film menarik diantara banyak film tentang perjuangan buruh di seluruh dunia. Bahwa kekuataan massa adalah niscaya. Satu hal kecil saja, tanpa demo-demo buruh kita takkan pernah merasakan nikmatnya libur 1 Mei yang dirayakan sebagai hari buruh dunia.

Rabu, 12 April 2017

Sedikit Bento dalam Kong

SEDIKIT BENTO DALAM KONG

Sejak pertamakali diproduksi Hollywood pada tahun 1933, film King Kong garapan Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack segera menarik perhatian. Tidak hanya bagi penonton, tetapi juga bagi industri layar lebar dengan laba yang dihasilkan dari pemutaran filmnya. Makanya tak heran jika film dengan tokoh monyet raksasa itu sempat memiliki sejumlah sekuel sekaligus diulangbuat beberapa kali. Taruhlah misalnya, King Kong garapan John Guillermin pada tahun 1976 silam Dan King Kong garapan Peter Jackson yang dirilis 2005.

Dua film dengan tokoh monyet raksasa yang disebut di atas itu memiliki alur cerita yang sama dengan film tahun 1993. Seekor monyet raksasa penguasa pulau Skull Island jatuh cinta pada seorang aktris bernama Ann Darrow (tahun 1933 diperankan Fay Way, tahun 1976 diperankan Jessica Lange dan tahun 2005 diperankan Naomi Watts) yang sedang menghadapi maut ketika hendak dipersembahkan pada si monyet sebagai tumbal oleh penduduk setempat. Dari situlah ketegangan-ketegangan dimulai. Yach mirip-mirip kisah Beauty and the Beast milik Disney.

Nah, tahun 2017 ini Jordan Vogt-Roberts kembali mencoba membuat ulang film Kong itu. Dengan efek yang lebih bagus dan alur cerita yang berbeda. Berbeda? Iya, dengan naskah cerita yang digarap bersama oleh Dan Gilroy (Nightcrawler, 2014), Max Borenstein (Godzilla, 2014) dan Derek Connolly (Jurassic Park, 2015).

Hasilnya, tidak ada lagi monyet raksasa yang jatuh cinta pada perempuan. Yang ada adalah Kong si penjaga pulau. Pelindung kehidupan hutan. Si mahkluk raksasa penjaga harmoni alam. Perhatian Kong pada karakter Mason Weaver hanya sebuah tribut pada konflik klasik di film King Kong terdahulu. Bukan cerita utamanya.
Juga tidak ada lagi penduduk primitif yang buas dan jahat, yang ada adalah penduduk hutan yang ramah dan melindungi dan memuja Kong sebagai dewa, bukan sebagai monster yang meminta tumbal manusia secara berkala. Tidak ada lagi plot kapal besar yang ditumpangi sutradara gagal dan aktris gagal yang mencoba membuat film di pulau asing. Tak ada lagi adegan membawa Kong ke kota untuk dipertontonkan pada manusia modern.

Kali ini yang hadir dalam Kong garapan Jordan Vogt-Roberts adalah sekelompok pasukan helikopter yang dipimpin Lieutenant Colonel Preston Packard (Samuel L. Jackson) dan seorang mantan pasukan elit militer Inggris, Captain James Conrad (Tom Hiddleston). keduanya dipekerjakan oleh agen pemerintah Bill Randa (John Goodman) untuk mengawal ekspedisinya dalam memetakan sebuah pulau asing di Samudera Pasifik yang selama ini dikenal sebagai Skull Island. Perjalanan itu juga diikuti oleh jurnalis foto, Mason Weaver (Brie Larson), yang mencurigai bahwa ekspedisi ilmu pengetahuan tersebut hanyalah sebuah samaran bagi sebuah operasi militer rahasia yang sedang dijalankan pemerintah. Setibanya di Skull Island, pasukan helikopter yang dibawa Bill Randa mulai menjatuhkan rentetan bom yang digunakan untuk mengetahui kondisi tanah di pulau tersebut. Tanpa disangka, satu sosok monyet raksasa penghuni Skull Island yang merasa terganggu atas kedatangan kelompok tersebut lantas melakukan serangan mematikan. Menyerang dan menghancurkan helikopter. Tindakan tersebut tidak lagi sebuah tindakan membabi buta, melainkan upaya melindungi pulau dari kebangkitan kull Crawler – seekor kadal raksasa yang dikisahkan pernah membunuh keluarga Kong dan menjadi musuh utama bagi para penghuni Skull Island.

Mau tak mau Captain James Conrad dan kawanannya yang selamat dari serangan pertama, harus bertahan hidup di pulau tersebut sebelum pasukan penyelamat datang tiga hari kemudian.

Pada menit-menit pertama, saat menonton Kong: Skull Island garapan Jordan Vogt Roberts, saat lagu The Hollies--band pop rock asal Inggris era 60an--mengalun, kontan saya berteriak dalam hati: Bento nih. Bento. Pasalnya, instrumen lagu berjudul Long Cool Woman in a Black Dress itu mirip banget dengan instrumen musik salah satu lagu Iwan Fals yang terkenal itu. Bento.

Memang Vogt-Roberts sepertinya sengaja memasukkan deretan lagu-lagu rock popular di tahun ‘70an ke dalam banyak adegan film penuh makhluk gigantis itu. tapi serasa tidak terlalu mengesankan jika dibandingkan dengan soundtrack, misalnya, Guardians of the Galaxy (James Gunn, 2014) yang sukses menjadikan setiap lagu klasik dalam adegan filmnya sebagai pendukung suasana pengisahan atau Soundtrack film Dead Poll, deretan lagu dalam jalinan kisah Kong: Skull Island terasa hambar.


Namun efek visualnya patut dijempol. Dengan sentuhan efek visual sekaligus dukungan penampilan motion capture dari aktor Terry Notary yang memerankannya, penampilan Kong tampak sangat meyakinkan. Konon ukuran Kong dibikin Jauh lebih besar dari Kong milik Peter Jackson. Kera berukuran gigantis itu digambarkan memiliki tinggi 100 kaki. Di tangan sutradara film drama The King of Summer ini, Kong bahkan memiliki kepribadian yang jauh lebih berwarna dari kebanyakan karakter manusia yang mengisi jalan cerita film. Dengan lain kata, film Kong: Skull Island seakan hendak menggiring penonton justru agar fokus pada karakter Kong dan kehidupan yang berada di sekitarnya. Hutan, pulau dan ekosistem alam di dalamnya. Sehingga seakan-akan karakter-karakter manusia dalam jalan penceritaan film ini menjadi sama sekali “tidak berguna” kehadirannya.

Pertempuran Kong dengan kadal raksasa yang bringas dan buas adalah fokus utama film ini. Kita akan disuguhkan efek pertarungan raksasa baik melawan raksasa jahat. Manusia hanya cukup menonton dan menyelamatkan diri. Pertarungan hidup mati pada paruh akhir penceritaan Kong: Skull Island menghadirkan puncak ketegangan maksimal bagi jalan cerita film dan mampu tereksekusi dengan sangat baik.

Akibatnya, seakan tak satupun diantara karakter tersebut yang memiliki pendalaman kisah yang cukup berarti. Kebanyakan diantara mereka malah hanya dihadirkan sebagai korban keganasan raksasa-raksasa penghuni Skull Island dengan deretan dialog yang cukup menggelikan. Para tentara-tentara yang kalah perang dalam perang Vietnam jadi terlihat makin konyol. Kecuali karakter Hank Marlow yang diperankan oleh John C. Reilly dan digambarkan sebagai sosok mantan anggota pasukan militer Amerika Serikat yang telah terdampar di Skull Island selama 28 tahun memiliki deretan kisah yang membuat karakternya begitu menarik. Begitu pula dengan karakter Lieutenant Colonel Preston Packard yang diperankan Jackson. Terutama saat dia berteriak: “aku ajarkan padanya kali ini raja diraja bumi ini adalah manusia”. Angkuh di tengah kerapuhannya pada maut. Meskipun hadir terlalu terbatas, karakteristik antagonis itu mampu diterjemahkan dengan baik.

Namun, lepas dari semua itu, Kong: Skull Island berhasil meyakinkan saya bahwa memang manusia itu cuma elemen kecil dalam semesta. maka tidak pantaslah menjadi perusak alih-alih demi nasionalisme. Menonton Kong: Skull Island, saya terbayang-bayang begitu banyaknya penolakan penduduk adat dan hutan pada eksploitasi alam atas nama tambang. Seakan-akan penolakan itu seperti raksasa yang bangkit melindungi harmoni alam. Dan akan terus membesar. Seperti Kong.