WAKTU

JEDA

Minggu, 26 Desember 2010

HUJAN BULAN DESEMBER


HUJAN BULAN DESEMBER



hujan jatuh mendadak

gentenggenteng berasap

pohonpohon membungkuk

angin kalap



hujan memang tak berperasaan

juga angin

juga guntur



tapi hujan begitu jujur

juga angin

juga guntur

dan aku tak mau berbohong

keadaan petang ini



para tukang bangunan berteduh

di bawah rumah tingkat yang di rehab

mereka bernyanyi lagu tik tik tik bunyi hujan

sambil tertawa

seakan meledekku yang tepekur di kamar

diantara bukubuku

dan listrik padam

sejam lalu;



"kalau kau hanya begitu

dunia kita tak pernah bertemu"



hujan jatuh mendadak

gentenggenteng berasap

sebatang pohon ambruk

angin kalap



Madura 25122010

NATAL DI KAMPUNGKU


NATAL DI KAMPUNGKU



aku rasa natal tak ada disini

di kampung nelayan, tempat aku berhenti

anakanak dekil mengejar kepiting

para lelaki dewasa merajut jaring

kerja adalah natal itu sendiri

menjaring ikan agar tak lapar esok hari



aku rasa natal juga tak ada disini, di kampungku ini

di siang garang ketika para petani istirah

perempuanperempuan menyiapkan makan siang

sepiring nasi, sambal petis dan tahu sisa pagi tadi

anakanak yang mengasah cangkul sudah berkumpul

kebersamaan adalah natal itu sendiri

menggarap sawah agar tak lapar esok hari



ya, barangkali mereka tak kenal natal

tapi mereka paham bagaimana hidup menahan lapar

dan natal milik semua mereka

yang berani hidup meski lapar mendera



o, lonceng gereja, o, lonceng gereja

gentamu sampai juga disini, di kampungku ini

tapi mengertikah mereka yang khusuk di rumahrumah suci

di pura, di masjid, di gereja, di wihara

duduk juga orangorang yang memporakporandakan dunia

berdoa mereka dengan hatinya

tapi tangan, kaki dan pikirannya

terus menyulut peperangan, perselisihan, permusuhan

dan orangorang lapar itu adalah tumbal

dari segala keserakahan



o, tuhan yang maha suci

tak ada natal di kampungku ini

tapi gentamu sampai juga disini



o, tuhan yang maha suci

tak ada natal di kampungku ini

tapi kami paham soal lapar, soal kebersamaan

dan kami merayakannya setiap hari

seperti juga mereka yang

merayakan natal setahun sekali




[Surabaya-Pamekasan, 24122010]

Kamis, 23 Desember 2010

SAJAK BUAT MAMA DARI PEREMPUAN MALAM

Perempuan Malam dan Kopi Hitam


Memang sakit, Ma! rasa kehilangan itu

jalan kota yang berpolusi dan berdebu

menjauhkan jarak pandang kepulanganku

dan halamanhalaman kitab suci yang beku

leleh di lolong malam si hidung belang



biarlah, ma! biarlah airmata jatuh

agar tak perih tubuhmu seluruh

ampunan memang tak cukup membuat segalanya utuh

Ya. jujur itu menyakitkan

namun lebih berharga dari kebohongan, khan?



apa boleh buat, ma!

malam adalah kopi hitam

yang disuguhkan mpok nah

penjaga warung kecil dekat café cangkir

pahit maut, pahit hidup

melebur dalam ampas kopi

kuteguk, kuteguk, kuteguk lagi

hingga pagi



ma!

hidup seperti membuat kopi

diseduh, diaduk, diteguk

orangorang datang memesan kopi

orangorang pergi membawa sepi sendiri



sementara aku disini, ma! sendiri. menanti

menanti yang datang. melupakan yang pergi



tapi ingatan

sanggupkah melupakan yang datang.

Melupakan yang pergi dalam semalam?



ma, ketika aku kembali

masihkah berarti diharibaanmu nanti?



[Surabaya, 2006-2010]

Kamis, 09 Desember 2010

SAJAK BUAT IBU


SAJAK BUAT IBU



aku pergi ibu, aku pergi

ke daratan terjauh

yang tak terjangkau kakimu



barangkali disana

di tempat anakmu menggulung dunia

tak ada peluk cium dan cerita sebelum tidur

tapi tulus cinta dan ampunanmu, Ibu

membeku. membatu

dan jadi tempat berdiri anakmu

yang terjatuh



aku pergi, ibu. aku pergi

menyusuri jalan rantau

menanggung nasib sendiri

tanpa kau disampingku



tapi adakah yang bisa melupakan ibu?

adakah yang bisa melupakan ibu?



di jalan rantau

kulihat ibu dimanamana

dibawah purnama, di emperan sebuah toko buku

kulihat ibu memeluk anaknya yang terus mengigau susu



diatas bis antar kota yang melaju

kulihat ibu tua membelai anaknya

usai mengamen berdua

dan bernyanyi lagu keong racun



kulihat ibu dimanamana. dimanamana.

ibu adalah peradaban tak usaiusai. tak usaiusai

tak ada ibu tak ada manusia



aku pergi ibu, aku pergi

ke daratan terjauh

yang tak terjangkau kakimu

maka ijinkan kakiku

bersimpuh dihatimu selalu

baik pulang ataupun tak kembali

ke sampingmu lagi



[Surabaya, 2010]

Kamis, 23 September 2010

AIRMATA BULAN SEPTEMBER

AIRMATA BULAN SEPTEMBER



tak ada yang lebih baka

dari airmata september yang menua

kenangankenangan berdarah

menjadi ziarah



tak yang lebih lebam

dari airmata september yang menghitam

jutaan mayat dilarungkan airmata

ke halaman rumah kita



tak ada yang lebih banal

dari airmata september yang mengental

orangorang ketakutan dan bungkam

ditodong moncong senapan



tak ada yang lebih nestapa

dari airmata september yang sirna

peristiwa 45 tahun silam

semakin kelam dan memar


[2010]

Selasa, 07 September 2010

Ketika Kita Bercinta Di Genangan Lumpur Lapindo-[LAPINDO3]

Ketika Kita Bercinta digenangan Lumpur Lapindo
buat: Ilenk


kita terpaksa bercinta digenangan lumpur lapindo
rumahrumah sudah musnah tenggelam.
penampungan jadi kredo kematian

saat itu
purnama pelanpelan menghapus sisa airmata
dan gelembunggelembung metana
menjelma labirin baka
dan kita terhisap didalamnya, meski
berkalikali berusaha tegak berdiri
harihari seperti melafalkan mati

kita terpaksa bercinta digenangan lumpur lapindo
sebab tak mungkin bercinta depan halaman istana
Negara yang bediri dengan pistol dan kitab suci
Sudah biasa mencoret nyawa orang miskin
tinggal membaca sebaris doa
dan peluru sudah bersarang dikepala
sementara orangorang setuju saja
karena lapar tak ada
dalam daftar belanja mereka

kita terpaksa bercinta digenangan lumpur lapindo
kularungkan sperma coklat pekatku
kedalam rahimmu yang berbau gas itu
ketika kehidupan baru terbit disitu
bual si omong besar
tak lagi mempermainkan kematianmu


[310710]

DUKA LAPINDO-[LAPINDO2]

Duka Lapindo


Lumpur itu menyemburkan duka. ketika
rumah, toko, pabrik, dan sekolah tergenang
karnaval para pengungsi
kampungkampung mati

air mata sudah tak mampu lagi melarungkan kesedihan.
Sebab kita membatu dicekoki janjijanji
dan perhitungan untung rugi
nasib mengerang mengkafani masa depan

lumpur itu menyemburkan duka. Menjelma keranda
mengangkuti mayatmayat dan kehidupan kita
sementara belatungbelatung menggerogotinya
hingga tinggal rangka


[Sampang-Madura, 29 mei 2010]

Kuburan Para Pengungsi-[LAPINDO1]

Kuburan para pengungsi


kami tak berani menginjak kampung halaman lagi
lumpur yang menyungai
menghisap tangis orangorang

antrean panjang menuntut ganti rugi
telah menjadi kuburan para pengungsi
yang tenggelam dalam linang air matanya sendiri

dan kita saksikan: harapan berserakan di jalanjalan
menjadi luka dan batu nisan


Sampang-madura, mei 2010

Senin, 26 Juli 2010

DONGENG SEBELUM TIDUR

DONGENG SEBELUM TIDUR


I
Malin kundang terpaksa melaporkan ibunya pada polisi. Ia kesal dikutuk jadi batu.
''Terpaksa saya lakukan. Karena hak saya sebagai anak dirampas'' ujar Malin ketika diwawancarai wartawan

II
Begitu jam 12 malam berdentang, semua pengunjung pesta berhamburan keluar. Melepas sepatu kaca, melompat ke kereta dan hilang entah kemana.
Kini tinggal Cinderella sendirian di ruang pesta. Ia memijit-mijit kedua kakinya, karena lelah berdansa menggunakan bakiak!

III
Tiap kali bapak bercerita tentang masa kecilku hidungnya selalu memanjang dan ibu tibatiba menjelma menjadi batu.

IV
Srigala itu akhirnya kena getahnya sekarang. Setelah sekian lama menyamar jadi domba, ia lupa melepas bulu dombanya dan lupa cara melolong. Begitu tiba dikomunitasnya, ia dibantai ramairamai.

V
''Mengapa tak segera kau cium kodok itu agar berubah jadi pangeran dan kalian hidup bahagia?'' tanya tukang cerita pada tuan putri.
''Aku lebih suka ia jadi kodok. Sebab ketika jadi pangeran ia selalu berencana kawin lagi'' ujar si putri.

VI

Bawang merah dan bawang putih kini saling mencintai. Malah keduanya memutuskan mengadopsi anak bernama bawang prei. Satusatunya orang yang mereka benci adalah pengarang cerita mereka. Pengarang itulah yang membuat mereka saling membenci. Itulah mengapa bawang merah melaporkan pengarang itu pada yang berwajib dengan tuduhan pencemaran nama baik.

VII
Si kancil kini bukan lagi anak nakal. Ia lebih tepat disebut kriminal. Ia tak mencuri timun sekarang. Tapi mulai berani memperkosa istri pak tani.

VIII
Para buaya tahun ini berbondong-bondong masuk TK. Mereka sudah lelah dikibuli kancil dan kelinci disetiap cerita.

IX
Niat Bandung bodowoso mengawini jongrang sudah didepan mata.Pembangunan candi tinggal satu stupa lagi. Tapi tiba2 semua jin berhenti kerja.
''Kenapa kalian berhenti! Masih jam. 01.00. Ayo lekas!
''Tuan lupa. Sekarang pas 1 mei. Jadi kita mogok kerja, persiapan demo ke senayan!'' ujar seorang jin yg jadi pimpro.

X

Padahal Aladin sudah lakukan sesuai buku petunjuk: Gosok lampunya tiga kali. Jika Jin penunggu lampu itu keluar segeralah ucapkan satu keinginanmu. Tapi ketika ia gosok lampunya yang terjadi justru Aladin terhisap masuk kedalam lampu itu dan tak bisa keluar hingga sekarang.

XI
”Mengapa kau menciumku?” ujar putri tidur
”Bukankah begitu jalan ceritanya. Aku datang, mengalahkan penyihir membangunkanmu dengan ciuman dan kita hidup bahagia.” Jawab Pangeran dari seberang
Si putri turun dari pembaringan. Kemudian menangis tersedu di sudut ruangan. Ia sedih karena harus berpisah dengan pangeran lain yang lebih tampan dalam mimpinya. Padahal ia sudah hamil dua bulan.

XII
Setelah ratusan tahun menyimpan dendam, tanpa sepengetahuan penulis cerita, si kelinci mendatangi si kura-kura dan menantangnya adu lari lagi. Dan si kura-kura setuju.
”Tapi ingat, tak ada kecurangan seperti pertandingan dulu itu!” ujar kelinci. Si kura-kura mengangguk pelan.
Pertandinganpun dimulai. Dan bisa ditebak si kura-kura lagi-lagi tertinggal di garis belakang. Tapi sekitar 500 meter mendekati garis finis, si kelinci jatuh tersungkur meregang nyawa karena serangan jantung.
”Itulah akibatnya kalok membuat cerita sendiri. Sudah renta begitu kok adu lari,” ujar penulis cerita sambil geleng-geleng kepala.(*)

Selasa, 13 Juli 2010

SENJA DI HALAMAN BELAKANG RUMAH

SENJA DI HALAMAN BELAKANG RUMAH

pada: Nurfa Rosanti

hujan baru saja usai sayang
awan hitam yang menggumpal sudah pecah digiring angin
burungburung yang berteduh dipohon akasia
bergerombol pulang kesarang

bau tanah basah
senja merah saga
dan kita menikmatinya berdua
dihalaman belakang rumah

tapi apakah pemulung yang baru saja berlalu menikmati keindahan itu, sayang?
mengais-ngais sampah; memungut botol aqua
memasukkan popok anak kita yang bau pesing ke keranjangnya
Mungkin ia alpa bahwa senja begitu sempurna sore ini
Yang ia ingat hanya sampah, keluarganya yang lapar dan perut sendiri yang keroncongan

sementara kita disini. berpelukan sembari menatap pelangi
karena kemarin baru saja gajian.

percuma sayang, uang 5000 yang kau berikan tak merubah masa depan mereka
rasa iba adalah kemewahan yang sia-sia. kita tak mendapat apa-apa kecuali
mengkalkulasi pahala.

Kalau kemiskinan adalah politik
puisi ini juga tak berarti apaapa
sampai kita turun ke jalan mengakhiri penindasan

hujan sudah usai sayang
mari mandi, hari sudah petang


[100710]

Jumat, 09 Juli 2010

KONSUMERISME DAN KETERPINGGIRAN SASTRA

Konsumerisme dan Keterpinggiran Sastra
(dimuat di Halaman Horizon RADAR SURABAYA , 04 Juli 2010)
Oleh: Edy Firmansyah



Boleh jadi Emha Ainun Nadjib benar jika mengatakan sastra relatif tidak tercantum dalam daftar prioritas kebutuhan masyarakat. Shampoo, lipstik, kondom, T-Shirt, obat jerawat, conditioner, obat nyamuk jelas lebih dianggap penting dibandingkan dengan karya sastra. Artinya, sastra dikategorikan sebagai sesuatu yang boleh tidak ada sementara celana Jeans atau jam tangan tergolong harus ada.

Kalau tiba-tiba buku Laskar Pelangi (LP) karya Andrea Hirata atau Ayat-ayat Cinta (AAC) karangan Habiburrahman Shiraizy mampu membius ribuan pembacanya sehingga bisa best seller kemudian difilmkan, bukan karena masyarakat Indonesia menjadi peduli terhadap karya sastra. Melainkan redupnya karya sastra berbau lendir yang sempat mencuat dipasaran buku. Juga karena gencarnya praktek promosi yang berhasil memaksa kesadaran mengambang masyarakat terutama kaum muda untuk menjadi latah.

Faktanya ketika pengumuman UN tingkat SMP dan SMA (yang rata-rata adalah penggemar LP dan AAC) justru tingginya angka ketidaklulusan siswa akibat jebloknya mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam masyarakat yang lebih luas, masih maraknya prilaku banal, anarkis dan korup jelas adalah indikasi rendahnya semangat bersastra kita. Bukankah sastra—meminjam Mochtar Lubis—adalah kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradap?

Meski demikian keterpingiran sastra dalam masyarakat tidak murni berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak bisa serta merta disalahkan dalam hal ini. Pengaruh eksternal di luar masyarakat justru lebih berpengaruh dalam tindakan masyarakat dalam menyikapi kesusastraan.

Setidaknya ada tiga faktor eksternal yang mempengaruhi respon masyarakat terhadap sastra. Pertama, sikap pemerintah yang relatif tidak mengakomodasikan atau kurang menyediakan peluang-peluang bagi terapresiasikannya seni sastra oleh warga masyarakat umumnya.

Dalam seluruh jenjang pendidikan formal misalnya, pelajaran yang paling dominan justru pelajaran eksakta seperti matematika (5 jam per minggu), fisika (5 jam per minggu), biologi (4 jam per minggu) dan kimia(3 jam per minggu). Sementara pelajaran sastra yang terangkum dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia alokasi waktunya sangat sedikit (5 jam seminggu) itupun diberikan tidak secara maksimal, karena banyak kasus guru pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak paham tentang sastra.

Yang terjadi kemudian, jangankan membaca Roman Layar Terkembang karya St Takdir Alisjahbana atau Belenggu karya Akhudiyat hingga tuntas, membuat synopsis cerpen robohnya surau kami karya AA Navis sungguh merupakan hal yang menjemukan bagi siswa. Dan bisa diterka, sastra hanya dihapalkan ketika di pendidikan formal saja, tepatnya menjelang ulangan saja. Selepas itu tidak lagi. Karena pendidikan formal tidak pernah menunjukkan betapa pentingnya sastra.

Padahal menurut Friedrich Schiller sastra adalah vitamin batin yang mampu mengasah kreativitas, kepekaan atau sensitivitas kemanusiaan sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil dan picik. Bukan hanya bagi pekerja sastra saja, tetapi juga bagi penikmat sastra.

Kedua media. Bukan rahasia umum lagi sastra di hadapan media hanyalah merupakan kolom mingguan. Karya sastra (puisi, cerpen dan essai budaya) hanya muncul dalam satu halaman penuh di hari minggu. Itu pun seringkali tidak lengkap. Bahkan bisa tidak muncul bukan karena tidak ada yang mengirimkan karya tapi lebih dikarenakan desakan iklan.

Akibatnya dalam benak masyarakat terbentuk image bahwa karya sastra hanyalah bacaan santai, dimana orang tidak perlu mengerutkan dahi dibandingkan dengan membaca artikel atau berita-berita politik.

Terakhir, sebenarnya keterpinggiran sastra di mata masyarakat tidak lain dan tidak bukan karena ulah para sastrawan itu sendiri. Ketika kran reformasi dibuka dan tak diberlakukannya sensor-sensor, sastra(wan) justru terseret ke dalam budaya pop. Bahkan untuk bertahan sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop. Bisa dilihat kemudian, yang lahir adalah sastra selangkang yang menurut sejumlah orang mendekati film biru. Sementara karya humanis-fenomenal yang bercerita realitas sosial, semisal milik pramoedya anata toer yang berkali-kali menghantarkan penulisnya (satu-satunya pengarang Indonesia) menjadi kandidat nobel sastra dunia masih dilarang beredar.

Paradoksal diatas tentu saja wajar jika melahirkan pertanyaan; kemana pengarang lain? Bukankah pengarang kata Pramoedya Ananta Toer adalah avant garde melawan ketidak adilan dan krisis kemanusiaan. Kemana pengarang yang lain? Sedang giat menulis atau justru terbelenggu di dalam arus reformasi sehingga tidak bisa berbuat apa-apa? Atau apakah justru kebebasan malah membuat sastra terus terpinggirkan?

Pertanyaan diatas tentu saja terasa aneh. Sebab tatkala intervensi dari luar—ketika orde baru berjaya—semakin ketat menghambat ruang gerak kreativitas sehingga banyak sastrawan menuding bahwa kebebasan yang menjadi roh bagi kesenian benar-benar tidak terjadi, justru lahir eksperimen-eksperimen kesusastraan yang penting semisal cerpen Seno Gumira Adjidarma, puisi Widji Thukul, Cerpen-cerpen Danarto.

Lalu untuk membangkitkan sastra yang mampu melekat dihati masyarakat apakah perlu diberlakukan sensor-sensor agar sastrawan bisa lebih lihai mencari celah untuk membuat karya? Tentu saja tidak. Yang terpenting justru kerja terus menerus sehingga menghasilkan karya monumental yang mampu menjadikan sastra sebagai bagian dari masyarakat dalam arti sejati. Yakni sastra yang terlibat. Yang melibatkan masyarakat moyoritas yang miskin dan tertindas bukan sekedar obyek sastra, melainkan menjadi bagian dari penciptaan sastra itu sendiri. Sehingga masyarakat kita bisa menjadi masyarakat yang lebih berbudaya dengan sastra. Terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, picik, korup dan memiliki semangat berlawan. Semoga!***

Senin, 21 Juni 2010

FOR MAVI MARMARA

Sauh Belum dilemparkan
Pada: Mavi Marmara

belum pula nahkoda melemparkan sauh
berondongan senapan tentara Israel menyalak di ketinggian
dan laut menyebarkan aroma kematian;
orangorang tiarap, mengaduh, sekarat, meregang nyawa
tempias darah membekas di dinding kapal
menjelma serapah seluruh dunia

namun senapan telah ditodongkan, kawan.
dan kemanusiaan hanyalah sampah daur ulang
yang habis dipakai lalu dibuang

dari jauh, Gaza seperti rubuh
para gerilyawan tumbuh dari bekas mesiu yang ditinggalkan para serdadu
anakanak menyusu dari pelepah darah ibu bapaknya yang terbunuh
perempuanperempuan mati di kamp para pengungsi

belum pula nahkoda melemparkan sauh
mavi marmara dipaksa menjauh, ke Jordania
meninggalkan Palestina yang kian baka

[Sampang-Madura, 03 Juni 2010]

PUISI-PUISI 4 TAHUN LAPINDO

3PUISI Mengenang 4 Tahun Lumpur Lapindo

Kuburan para pengungsi


kami tak berani menginjak kampung halaman lagi
lumpur yang menyungai
menghisap tangis orangorang

antrean panjang menuntut ganti rugi
telah menjadi kuburan para pengungsi
yang tenggelam dalam linang air matanya sendiri

dan kita saksikan: harapan berserakan di jalanjalan
menjadi luka dan batu nisan


Sampang-madura, mei 2010



Menjadi Batu

Kini sembab itu kemudian menjadi lumpur, meluberi kampungkampung
Menenggelamkan rumah, pertokoan dan hari depan
Kau dan aku tinggal getir, menatap senja yang menggigil di penampungan terakhir.

Ibuibu membasuh rahimnya
Disumursumur yang tercemar
”Lihatlah, nak! Tapak surgaku kini jadi neraka”

Dan langit terus saja menyebarkan berita
tentang buble-buble metana yang terus menyembur dari mulut penguasa.

Masihkah kau dan aku mengutuk diri menjadi batu?

Sampang-Madura, 2008-2010



Duka Lapindo

Lumpur itu menyemburkan duka. ketika
rumah, toko, pabrik, dan sekolah tergenang
karnaval para pengungsi
kampungkampung mati

air mata sudah tak mampu lagi melarungkan kesedihan.
Sebab kita membatu dicekoki janjijanji
dan perhitungan untung rugi
nasib mengerang mengkafani masa depan

lumpur itu menjelma keranda
mengangkuti mayatmayat dan kehidupan kita
sementara belatungbelatung menggerogotinya
hingga tinggal rangka


[Sampang-Madura, 29 mei 2010]

Kamis, 27 Mei 2010

Sajak April

April hadir dengan gelisah
diapit tanggal merah hari paskah
terpekur disalib sunyi, pasrah
Akankah bulan ini dilalui dengan gairah?

mungkin perlu menghitung dosadosa
dimeja tamu, sambil merekareka barangkali
ada sisa uang bulan lalu yang terselip di kantong baju
untuk menebusnya
sekalian melunasi tagihan telepon, air, listrik bulan ini.
“tinggal seribu saja,” ujar istriku
kusimpan saja untuk beli permen anakku

dan dosadosa sempurnalah
membiak diruang tamu
dewasa menjadi buku
yang kugugu selalu

April hadir dengan gundah
Diapit tanggal merah hari paskah
Adakah kau merasakan juga mr. Presiden??
negeri kurus muntah darah
tepar dihisap cerobong industri
rakyat tinggal kulit dibalut tulang dihadapan modal yang pongah
Adakah kau rasakan ini juga mr. Presiden?

April hadir dengan gelisah
Diapit tanggal merah hari paskah


[sampang-madura, awal april 2010]

Belajar Menulis Puisi

Belajar Menulis Puisi

barangkali ini juga bisa disebut puisi
rama-rama yang terdampar diteras rumah
tersesat, lupa jalan pulang
malam disergap mendung pekat

seorang pemulung mengais-ngais sampah
memunguti dua gelas plastik air mineral
dan BH istriku yang tak sengaja dibuang anakku

sementara aku mengintip dari ruang tamu
menghisap puntung rokok sisa kemarin
sambil mendengarkan berita di TV yang masih itu-itu juga
tentang Gayus dibekuk dan bernyanyi lagu markus
polri, kejaksaan dan dirjen pajak bersih-bersih halaman depan
tapi tak pernah sudi babat belukar korupsi
halaman belakang rumah mereka sendiri
yang sudah meranggas kedalam prilaku seharihari

ya, inilah puisi pasi
yang bercerita kejadian satu hari
tentang negeri yang dinahkodai tukang dandan
dan penyihir dalam dongeng 1001 malam
yang bisa bikin raib uang dalam semalam
bisa bikin rumah-rumah kumuh rata dengan tanah dalam sehari
dan menyulap kemiskinan yang pahit dan berdaki
menjadi manis didepan grafik angkaangka statistik

masihkah kau percaya pada negara
yang dikelola seperti komik kurakura ninja?

tidak? syukurlah! mari baca puisi ini sekali lagi
mungkin ada yang kurang atau perlu ditambahkan
karena aku lelah bikin puisi penindasan
sementara tak pernah bisa bikin puisi perlawanan
yang membuat rakyat bangkit merebut kekuasaan

kalau kau bisa, ajari aku kawan?

Sabtu, 15 Mei 2010

Proklamasi 10 Cermin

Proklamasi 10 Cerita Mini

Saya atas nama penulis muda Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan bercerita. Hal-hal yang berkenaan dengan dunia karang-mengarang dengan berbagai komplesitasnya akan kita lalui dengan kerja keras dan belajar melalui buku-buku sastra bermutu untuk mencapai kematangan berkarya. Karena itu kali ini ijinkan saya bercerita dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya:

Tragedi Anak Yang Tak Bahagia

Sumirah tak habis pikir mengapa setiap bertemu dirinya, ibunya selalu kesetanan. Lusa lalu ia disiram air panas. Kemarin disekap di kamar mandi yang penuh uap amoniak. Hari ini pahanya disetrika. Sebagai anak, ingin ia melihat ibunya bahagia. Selalu tersenyum dan mengasihi dirinya.
Pada suatu malam sumirah bermimpi bertemu tuhan. Dalam pertemuan itu, tuhan mengajarkan bahwa hidup lebih penting dari mati, meski kematian adalah jalan kebahagiaan. Kini Sumirah tahu cara membuat Ibunya bahagia.
Ketika terjaga Sumirah kaget. Ibunya sudah tak bernyawa dengan garpu menancap dimata.

Membahagiakan Orangtua
Sebagai anak perempuan satu-satunya, Putri ingin membahagiakan orangtuanya. Satu hari menjelang pengumuman UN, putri gantung diri di kamar mandi.

Perempuan Yang Menyalakan Lilin

Perempuan itu terpar. Usai menyalakan lilin diatas tar, ketika tabung gas disampingnya meledak. Esoknya ia datang lagi ketempat itu. Kembali menyalakan lilin. Tidak diatas kue tar. Tapi diatas tubuhnya sendiri. ” Selamat hari Kartini Perempuan.” ujarnya sambil terus berusaha memadamkan api yang membakar payudaranya sendiri.

Tragedi Bayi
Kemarin kulihat bayi itu tewas. Dibekap ibunya sendiri dengan bantal. Paginya mayatnya mengapung di sungai. Tapi malam tadi kulihat bayi itu duduk manja sambil menetek susu dipangkuan ibunya yang sudah jadi mayat.

Badut
Berhari-hari aku mencari manusia. Tapi yang kutemukan badut semua. Karena lelah aku mencuci wajah di toilet sebuah plasa. Dan, ketika berkaca betapa terkejutnya aku. Dalam bayangan kaca itu kulihat seorang badut yang terus-menerus melucu, tapi tak pernah berhasil membuatku tertawa.

Mimpi Basah
Perempuan itu mencekikku hingga aku menggelepar nyaris meregang nyawa, ketika aku mencoba bangun dari mimpiku. Tapi aku berhasil merobohkannya. Esok paginya, kulihat celana dalamku sudah basah oleh sperma.
Tapi alamak, perempuan itu berhasil membawa kabur penisku kedalam mimpinya.

Menunggu Istri Melahirkan
Sang istri mengerang kesakitan. Hendak melahirkan. Sang suami bersicepat membawanya ke bidan terdekat.
Didalam kamar bersalin terdengar erang kesakitan dan deru nafas memburu. Diluar kamar si suami menunggu dengan gelisah. Degup jantung satu-satu.Dua jam menunggu, tak terdengar lagi erang kesakitan, maupun tangis bayi. Tak sabar menanti si suami mendobrak pintu kamar.
Dilihatnya istrinya sudah terkapar tak bernyawa. Darah persalinan memenuhi ranjang. Didepan gua garba sang istri tampak seorang malaikat sedang menggegam sebongkah batu berlumuran darah sedang duduk bersila.

Perempuan Yang Bunuh Diri
Seorang perempuan seksi mati bunuh diri. Melompat ke dalam liang vaginanya sendiri.

Perempuan Yang Dimutilasi
Seorang perempuan mati. Tubuhnya dimutilasi. Kini ia sibuk mencari potongan tubuhnya sendiri sebelum melapor pada polisi.

Cincin Kawin
Sudarta senang alang kepalang. Cincin kawinnya yang hilang akhirnya ditemukan. Padahal sudah berhari-hari ia mencari. Bahkan sempat minta bantuan paranormal. Tapi hasilnya nihil. 'Ditemukan dimana, Mas?' tanya istrinya. 'Dalam vagina adikmu.' jawabnya spontan.

Madura, April-Mei 2010

Minggu, 09 Mei 2010

Penantian Yang Luka

Menunggu Ijah Pulang
Cerpen: Edy Firmansyah

Sebelum duduk kembali di bangku ruang tunggu penumpang usai buang air kecil, Kasim sempat melirik jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul Sembilan kurang lima belas menit. ” ah, lima belas menit lagi” batinnya. Kasim menghempaskan lagi pantatnya di kursi besi panjang yang sudah dipadati setidaknya delapan orang. Ia membayangkan lagi sebuah pertemuan yang mengharukan. Istrinya, Ijah, yang hampir dua tahun bekerja jadi pembantu di Jakarta akan keluar dari salah satu pintu kereta eksekutif dengan barang bawaan yang banyak. Ia kemudian melompat dari kursi besi itu, berlari menghampiri istrinya lalu memeluknya erat-erat. “ orang-orang boleh iri. Boleh bergunjing apa saja. tapi ijah istriku. Aku rindu padanya. Aku punya hak memeluknya di stasiun ini” batinnya lagi.

Sengaja memang Kasim tak mengabarkan perihal kepulangan Ijah malam ini pada sanak keluarganya. Ia juga mewanti-wanti Tutik, orang yang memberi tahu Kasim perihal kepulangan Ijah agar tidak bercerita pada tetangga lainnya, termasuk pada mertuanya kabar gembira itu. Tutik adalah tetangganya yang juga bekerja jadi PRT di Jakarta yang kebetulan rumah majikannya tak terlalu jauh dengan tempat ijah bekerja.

Kasim tak mau kejadian lima tahun lalu terjadi lagi. Waktu itu, begitu mendengar sumirah, istri pertamanya yang juga kakak ijah akan pulang dari negeri jiran tempatnya bekerja dari TKW, Kasim langsung girang. Ia cerita pada tetangga dan sanak keluarganya. Ia juga pinjam uang untuk acara selamatan menyambut kedatangan Sumirah. Tapi yang pulang apa? Sumirah pulang tinggal jasad. Yang dikirim ke kampung mayatnya yang disemayamkan dalam peti mati berukir naga kembar. Soal kematian Sumirah juga gelap. Desas-desus mengatakan Sumirah mati kerena disiksa majikannya di Malaysia sana. Kabar angin lainnya sumirah mati setelah diperkosa majikannya. Ia tak kuat menanggung aib. Tak tahu mana yang benar. Yang jelas Sumirah pulang tinggal jasad. Sebagian besar tubuhnya lebam-lebam ketika hendak dimakamkan. Tak ada yang bertanggung jawab. Yang Ada hanya ucapan turut berduka cita dari perusahaan pengirim TKW tempat Sumirah jadi anggota. Dan uang santunan satu juta rupiah. Ya..ya..ya..nyawa Sumirah hanya dihargai dua juta. Dan jadilah kemudian acara selamatan yang akan digelar berubah menjadi tahlilan.

” Sudahlah Sim jangan ijinkan lagi si Ijah jika ingin kerja jadi TKW” begitu pesan Amat karib Kasim usai prosesi pernikahan kasim dan Ijah, adik Sumirah.

Kasim sebenarnya setuju dengan pendapat Amat. Apalagi tiap kali mendengar berita TV tentang buruh migran yang kebanyakan bernasib sama dengan Sumirah. Mati mendadak dan tidak lumrah. Pulang ke kampung tinggal nama. Tapi siapa yang membiayai anak-anak sekolah jika tak kerja? Sebentar lalu Si Lukman anak sulung Kasim masuk SMP. Sedangkan si Mirah juga akan masuk SD. Dan semua tahu biaya masuk sekolah mahal. Siapa yang bayar jika tiba-tiba keluarga sakit? Mengandalkan gaji buruh tani dia yang sehari hanya Rp. 15.000,- jelas tidak mungkin. Itulah mengapa ketika Ijah, seperti halnya Sumirah merengek-rengek ingin kerja Kasim tak bisa apa-apa. Yang dilakukan hanya mengangguk pasrah.

Untunglah Ijah tak memilih jadi TKW. Ia hanya mengadu nasib ke Jakarta. Jadi babu disana. ” dua atau tiga tahun kang. Setelah itu aku pulang.” Begitu janji Ijah. Ijahpun berangkatlah. Barangkali nasib ijah lebih mujur dari Sumirah. Tiap bulan Ijah rutin kirim uang hasil kerjanya. Rp. 300 ribu per bulan. Kadang pernah lebih. Dan mala mini Ijah menepati janjinya. Malam ini Ijah akan kembali ke pelukannya setelah hampir dua tahun berpisah. Dulu di Stasiun ini Kasim melepas kepergian Ijah. Kini di stasiun ini pula Kasim akan menyambutnya. Melalui tutik, tetangga satu kampung yang juga jadi babu di Jakarta, ia titipkan kabar itu. Tak lupa Ijah menitipkan uang pada Tutik sebesar Rp. 500 ribu.

” Apakah Ijah baik-baik saja, Tik?” Tanya Kasim pada Titik ketika mengabarkan rencana kepulangan Ijah.

” Sepertinya majikannya baik. Aku tak tahu pasti kang. Hanya tiga kali aku ketemu waktu belanja di pasar. Tapi ijah tambah gemuk kang.”

” Syukurlah”

Terdengar lagi pemberitahuan dari pengeras suara bahwa kereta api Pegasus adalah kereta api eksekutif terakhir yang akan tiba malam ini. Orang-orang terus memadati stasiun. Pedagang rokok dan tukang semir sepatu berseliweran menawarkan jasa menghampiri satu persatu orang yang menunggu kereta tiba. Ruang tunggu penumpang hiruk pikuk. Kasim menegakkan lagi badannya memperbaiki caara duduknya yang sudah menggelayut ditarik kantuk.

Seperti apa wajahmu sekarang Ijah? Masih cantikkah engkau meski kata titik sudah tambah gemuk? Apakah karena selalu makan enak di Jakarta dengan majikan yang baik-baik? Ataukah sebenarnya kau tambah kurus karena direndam rindu pulang kampung? Tidakkah kau rindu padaku Ijah? Aku kangen…aku kangen…jangan berangkat lagi ke Jakarta Ijah.

Kasim melirik lagi jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul sepuluh. ” Kereta terlambat lagi.” Batin Kasim. Padahal dada Kasim terus menerus berdegup kencang seperti orang jantungan membayangkan pertemuan pertamanya setelah dua tahun tak bersua dengan istrinya, Ijah. Dibayangkan lagi ketika sebentar lagi Ia akan melompat dari kursi besi itu begitu melihat Ijah keluar dari pintu kereta, berlari menghampiri isitrinya lalu memeluknya erat-erat. ”Oh, betapa menyakitkan sebuah penantian.” Begitu batin Kasim.
”Sudahlah. Cukup kali ini saja, Ijah. Lelah dua tahun aku dan anak-anak menunggumu. Selalu berdo’a agar kau mendapatkan majikan yang baik. Tidak disiksa-siksa seperti kebanyakan babu. Setelah ini tak perlu berangkat lagi. Buka warung saja. Aku masih simpan beberapa ratus uang kirimanmu itu.”

Tiba-tiba suara klakson kereta api terdengar dari kejauhan. Bising dan menyayat-nyayat. Suara perempuan dari pengeras suara kembali terdengar: "Kereta Pegasus akan tiba. Periksa sekali lagi barang bawaan anda sebelum meninggalkan stasiun. hati-hati copet." Tak sampai lima menit kereta sudah merapat di staisun. Kasim berdiri dari duduknya. Orang-orang juga. Berkerumun di depan pintu kereta yang masih tertutup.
Beberapa saat kemudian pintu-pintu dari gerbong kereta terbuka. Satu per satu para penumpang keluar. Beberapa diantaranya disambut dengan pelukan. Beberapa yang lain pergi entah kemana dengan supir taksi. Kasim masih berdiri diantara kerumuman orang-orang yang mulai berkurang. Namun Ijah tak juga muncul dari pintu kereta hingga penumpang terakhir. ” Oh, Ijah dimanakah kau Ijah?”

Kasim memberanikan bertanya pada petugas adakah kereta lain yang akan tiba. ” Ada kereta eksekutif mawar. Tapi besok jam lima pagi.” Ujar petugas.

Kasim kembali ke tempat duduknya semula. Ruangan sudah sepi. Yang tinggal hanya anak-anak pengamen, pedagang rokok dan pengemis yang tertindur di lantai dingin beralaskan Koran. diliriknya lagi jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul sebelas. “Dimanakah kau ijah, dimanakah kau?”

Disebuah ruangan gelap dengan cahaya bulan di dekat stasiun di ibukota Ijah terkapar diatas lincak. Pingsan. Pakaiannya koyak. Vaginanya berdarah.

” Mantap, bos. Wanita muda, hamil tua pula.” Kata salah seorang sambil memasang retsliting celananya.

” Ayo cabut. Dan jangan lupa, sekalian bawa barang-barangnya sapa tahu ada yang berharga buat kita bikin pesta”

“Beres boss.” Diambilnya tas Ijah yang diletakkan di bawah lincak. Orang itu kembali mendekati wajah ijah yang sayu. Kemudian dicium bibirnya. Setelah itu ia menyusul bos-nya dengan senyum kemenangan, meninggalkan ruangan gelap dengan pendar cahaya bulan sebagai penerangan. Ijah masih terkapar. Wajahnya dipendari sinar bulan.

Kasim menunggu dengan kesetiaan yang cemas. Kesabarannya ditata lagi. Fondasinya tentang kereta eksekutif yang akan tiba dini hari nanti. Stasiun sudah sepi. Yang tinggal hanya suara dengkur dan deru angin malam yang gigil. ” Ijah dimanakah kau ijah. Aku rindu Ijah.” Kasim masih menunggu dengan kesetiaan yang cemas.

Dengan tertatih-tatih dan menahan sakit yang sangat, Ijah berjalan menuju stasiun yang jaraknya sepelemparan batu dengan tempatnya pingsan tadi. Ijah sadar, hidupnya kini terasa hancur berkeping-keping, tapi Ijah tak mau mengingkari janji. Hari ini ia harus pulang ke kampung, menemui suami dan anak-anaknya sebagaimana janjinya ketika berangkat dahulu. Ia tak mau mengecewakan keluarganya. Bagi Ijah janji adalah hutang. Dan Ijah kembali menunggu kereta api pagi yang akan membawanya pulang.


Sampang-Madura 30 - 31 Maret 2010

Kamis, 06 Mei 2010

TEPUK TANGAN-TEPUK TANGAN-TEPUK TANGAN

TEPUK TANGAN

Oleh: Edy Firmansyah


Ini bukan perlombaan main-main. Perlombaan ini adalah membuat maksimal tiga cerita pendek dalam waktu satu menit yang berkisah tentang peristiwa koja yang baru saja ditayangkan televisi siang tadi. Ketiga cerita itu dibuat dan dibacakan langsung di depan gubernur. Jurinya para penonton yang kebanyakan pejabat dan aparat kepolisian.

Jika tiga cerita yang dibuat dan dibacakan didepan gubernur dan para pejabat dianggap tidak menghibur, tidak mendapatkan aplaus, atau malah isinya mencemarkan institusi Negara, maka sangsinya adalah hukuman penjara. Ini serius. Bukan main-main. Sebaliknya, jika ceritanya menghibur dan bisa bikin pejabat terhibur dan merenung, maka gubenur akan mengangkat pemenangnya menjadi staf ahli bidang kesenian.

Dari 1.435 orang yang ikut, setelah melalui tahapan seleksi yang ketat akhirnya hanya tiga orang yang dianggap mumpuni dan berhak membacakan tiga ceritanya diatas panggung. Disaksikan langsung oleh yang terhormat bapak gubernur. Aku dan dua orang penulis cerita yang aku tak kenal namanya yang menjadi kandidat itu.

Dan perlombaan itupun dimulai. Penonton riuh redam. Peserta juga berdebar kencang, takut-takut dirinya yang gagal dan menerima hukuman.

” Peserta pertama, dipersilahkan naik ke panggung.” Kata panitia lomba.

Seorang penulis bertubuh tambun dan berkacamata naik ke panggung. Berdiri di depan mik lalu membacakan cerita pendeknya yang baru saja ia tulis dalam tempo satu menit di depan juri. Si penulis bertubuh tambun itu pun mulai membaca:

Sayang Bapak
Menyaksikan Bapaknya yang Sat Pol PP sedang menendang anak usia 13 tahun di TV, Leman meloncat dari kursi. “Hajar, Pak! Biar tahu akibatnya kalau melawan Negara.” Malam harinya Leman menangis menyaksikan bapaknya mati diantara container barang. “Ini kejam. Kejam!”

Pengayom Rakyat
Seorang palacur jalanan yang terkena razia mengumpat. “Sat Pol PP bajingan.” Seorang Sat Pol PP yang mendengar itu geram. “Siapa yang bilang barusan?” Ia kemudian menyeret pelacur itu. Menendangnya hingga tersungkur. “Sat Pol PP itu pengayom rakyat.” Teriak si Sat Pol PP.

Di Depan Kaca
Seorang Sat Pol PP hendak melaksanakan sholat dhuhur usai melakukan eksekusi lahan dan menginjak-injak seorang pemuda yang melawan. Ia ambil wudhu. Sebelum masuk masjid ia berkaca. Alamak, didepan kaca kepalanya sudah tak ada.

Tak ada tepuk tangan. Tak ada decak kangum. Penulis dan pembaca cerita itu turun dari panggungh dengan lunglai. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar teriakan.

“Tangkap pembaca cerita itu. Ceritanya melecehkan institusi Negara. Tangkap!”

Penulis cerita bertubuh tambun itu akhirnya ditangkap. Tangannya diborgol dan dimasukkan dalam mobil polisi yang sudah disiapkan sejak awal acara itu.

“Pembaca cerita kedua, silahkan naik ke panggung” ujar panitia lomba.

Aku berjalan ke panggung. Membungkuk sebentar pada yang terhormat bapak gubernur, lalu mengeluarkan kertas dari saku celana yang berisi tiga cerita pendekku yang baru saja ditulis di depan juri. Aku mulai membacanya:

Istri Yang Setia
Sudah berhari-hari perempuan itu menunggu suaminya dengan cemas di ruang tamu. Bedaknya sudah luntur. Rambutnya yang basah sudah kering dan acak-akan. Sejak kerusuhan Priuk pecah, Suaminya belum juga pulang ke rumah.

Pahlawan
Sebelum massa yang bringas menggabuki tubuhnya hingga sekarat, ia benturkan kepalanya ke kontainer tua disampingnya hingga pingsan. Besoknya ia masuk koran. Mati sebagai pahlawan.

Bentrokan
Rusidin pulang dengan sumringah. Meski ia dan kawan-kawannya di Sat Pol PP gagal melakukan penggusuran, ia puas. Sebab ketika bentrok dengan warga ia berhasil menyeret seorang anak muda waktu aksi saling dorong. Anak muda itu ia gebuki, diinjak-injak hingga sekarat.
Sementara, di rumah istrinya histeris. Anaknya pulang dengan berdarah-darah di wajah. “kenapa nak?” Tanya sang ibu. Sambil mengerang kesakitan si anak menjawab: “Digebuki Sat Pol PP!”

Hanya sekitar sepuluh orang yang bertepuk tangan usai aku membaca cerita super pendekku itu. Gubernur-pun tidak bereaksi apa-apa. Hanya tersenyum saja menatapku. Tandanya ia tak suka, barangkali. Itu artinya aku akan bernasib sama dengan penulis tambun yang pertama membaca cerita itu. Dan benar saja dugaanku.

” Tangkap! Pelecehan pada institusi Negara.”

Akupun ditangkap. Diborgol. Tapi tidak dimasukkan ke mobil polisi. Namun disuruh duduk di dekat para reserse yang duduk di pojok ruangan.

“Peserta terakhir silahkan naik ke panggung.” Ujar panitia lomba. Dan seorang penulis yang kurus tinggi dengan rambut lurus dan mengenakan kacamata minus naik ke panggung. Membungkuk sebentar lalu membacakan ceritanya yang ada di PDA-nya.

Masa Kecil
'Mintalah mutasi, Mas! Aku tak tega melihat kau menindas orang miskin mulu' saran istrinya. ' Sat Pol PP juga manusia bune' ujar si suami. 'Tapi orang miskin bukan anjing.' bantah istrinya. Mendengar kata Anjing si Suami terkejut. “Sejak kapan istriku tahu masa kecilku?” batinnya.

Laporan Ajudan
Seorang ajudan berlari tegopoh-gopoh ke ruang pribadi atasannya. 'Pak, Sat Pol PP bentrok dengan masyarakat priuk!' ujar ajudan itu.
'Segera nyalakan TV!' teriak sang pejabat.

Kematian Seorang Sat Pol PP
Seorang sat Pol PP mati. Dihajar pentungannya sendiri.

“Tangkap!” teriak si reserse dari sudut ruangan. Tapi suara teriakannya tak terdengar karena semua penonton riuh memberikan standing aplaus pada pengarang tadi. bahkan gubernurpun juga berdiri bertepuk tangan.

Si reserse kemudian mencoba bertanya pada komandannya yang juga memberikan tepuk tangan pada pembaca cerita itu.

” Ndan, ceritanya juga mencemarkan institusi negara. Kenapa semua orang bertepuk tangan. Ia harus ditangkap dan diperiksa.”

” Kamu tahu dia siapa?” ditanya demikian si ajudan menggelengkan kepala.

“Pengarang itu anak bungsu Gubernur!” ujar komandannya.

Si reserse langsung bertepuk tangan. Keras sekali.



[Sampang, 22 April 2010]

Senin, 19 April 2010

Sang Markus Dalam 13 FIksi Mini Yang Tergesa-gesa

SANG MARKUS DALAM 13 FIKSI MINI

Sudah lama Cak Kus tidak menulis dibuku hariannya. Kurang lebih satu minggu. Ia jatuh sakit. Tapi setelah sembuh ia bingung mau menulis apa dibuku hariannya. Otaknya seperti tumpul untuk memulai lagi menulis.

“Begitulah, menulis itu seperti mengasah pisau. Sekali berhenti mengasah pisau, maka pisau akan tumpul dan berkarat.” Seloroh Leman, kawan Cak Kus yang juga penulis.
Tapi hari ini Cak Kus benar-benar ingin menulis. Untuk pemanasan, ia akhirnya menulis tigabelas Fiksi Mini tentang Makelar Kasus.

“Mengapa tigabelas?” Tanya Leman.

“Karena aku suka film Friday 13th. Lagipula angka tiga belas angka keramat dalam hidupku.” ujar Cak Kus. (Maklum saja, Cak Kus lahir di tanggal 13) Dan ia-pun mulai menulis:

Seorang anak bertanya pada bapaknya. “Pak pekerjaan apa yang bisa cepat kaya?” Si bapak menjawab sambil tersenyum; “Jadilah markus maka kau akan kaya. Seperti bapak.”

***

Seorang markus yang lama tinggal di luar negeri hendak pulang ke Indonesia. Ia menelpon istrinya; 'Siapkan aku hotel yang aman.' maka disewalah sebuah kamar di hotel melati. Di kamar itu sudah menunggu tiga orang; istrinya dan dua orang markus teman suaminya. Sambil menunggu mereka bercinta. 2 in 1.

***

Seorang markus marah-marah pada seorang pejabat yang hendak memberinya sejumlah uang dalam amplop. 'Anda benar-benar mencederai profesi saya' umpatnya. Si markus keluar dari ruang kerja si pejabat dengan membanting pintu. Sesampainya di depan kantor si markus kirim sms pada si pejabat. 'kirim uangnya via rekening. Duakali lipat.'

***

Seorang Markus menonton berita TV tentang markus. Tak berapa lama kemudian ia matikan TV dengan kesal. ” Semua berita isinya fitnah semua.” Ia-pun tidur. Dalam Tidur ia markusin si mimpi.

***

Tak berapa lama kemudian si Markus terjaga dari tidur. Tubuhnya basah oleh keringat. Nafasnya memburu. “Ada apa sayang?” Tanya pacarnya sambil memeluknya. “Aku bermimpi mati dihajar berita-berita dikoran.”

***

Si markus berangkat ke persembahyangan di seperempat malam. Dengan khusuk ia berdoa; “Tuhan, Lindungi aku dari segala marabahaya. Amin”

***

Seorang markus kirim sms pada emaknya di kampung begitu ia diciduk aparat dipersembunyiannya: “Maafkan aku, Mak. Karena dosa maka aku ada.”

***

Dalam ruang interogasi, si Markus ditanya penyidik;
“Anda seorang markus?”
“Tidak”
“Ngaku saja. Ada buktinya. Atau kami hajar ramai-ramai”
“Sedikit saja menyentuhku, kalian tak akan dapat bagian.”

***

Si Markus senang, akhirnya ia bisa keluar dari ruang interogasi. Sebelum pulang ia ke toilet, membasuh muka dan berkaca. Alamak, dia kaget ternyata mukanya rata.

***

Sudah jengah dengan prilaku markus, Selfy menelpon tuhan. Ia ingin semua markus diberi azab seperti di jaman nabi. Biar mati semua kena disentri. Tapi setiap kali tersambung yang terdengar hanya mesin penjawab: ‘’Maaf tuhan yang anda hubungi sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi.”

***

Seorang mahasiswi yang menjadi istri simpanan Lukman bertanya. “Apakah Gayus benar-benar seorang markus?
“Yup”
“ Oh, semoga aku tak pernah ditiduri markus. Aku jijik melihatnya.”
“Tapi aku lebih markus dari Gayus sayang.”

***

Mendengar berita di TV soal markus, Selfy, ngomel.“Dasar markus sialan. Makan uang rakyat. Uang haram. Ditembak mati saja!” Mendengar Istrinya mengumpat, Lukman bangkit dari duduknya lalu ditampar Istrinya.
“Kau bisa ke salon mahal, kita punya mobil mewah, rumah mewah, anak bisa sekolah diluar negeri karena aku Markus. Kau mau suamimu mati hah?”

***

Sang Markus akhirnya mati. Dicekik dasinya sendiri.*)
--

Keterangan
*) Dinukil dari Puisi Joko Pinurbo berjudul: ‘Penjahat Berdasi”



Pamekasan, 17 April 2010

Rabu, 24 Maret 2010

BAPAKKU BRIGADIR KEPALA SULAIMAN HASBI

Cerpen Oleh: Edy Firmansyah

Malam itu hujan turun dengan deras. Tapi Andini tak peduli meski bajunya basah karena menerobos hujan. Andini segera mencegat Taxi begitu mendapat pesan singkat bahwa Pacarnya, Irwan, menjadi korban penganiayaan dalam aksi pengrusakan sekretariat Himpunan Mahasiswa di Kota M oleh beberapa oknum kepolisian. Dalam perjalanannya ke rumah sakit berkali-kali Andini mengumpat dan mengutuk polisi. “Dasar Polisi Bajingan! Kalian tak berhak melakukan tindakan brutal itu. Tidak berhak. Shit!”

Sebenarnya Andini mencoba bersikap tegar. Bukankah memang begitu resiko perjuangan? Bukankah begitu resiko memiliki kekasih seorang aktivis, yang tiap kali turun ke jalan selalu dibayang-bayangi ancaman represi aparat Negara? Tapi tak terasa airmatanya leleh juga. Ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya tubuh dan hati Irwan ketika dihantam dan digebuki tangan keras polisi, diinjak-injak sepatu Lars sembari dicaci maki dan dipecundangi. Lelaki yang lembut, penuh pengertian dan penyayang itu, yang telah mengisi hidupnya hampir dua tahun lebih itu kini harus meringis kesakitan di rumah sakit. ” Benar-benar biadab!”

Meski berkali-kali mengumpat, sebenarnya Andini masih setengah hati membenci polisi. Betapa tidak. Ia lahir dan dibesarkan di keluarga polisi. Kakeknya adalah purnawirawan polisi. Tepatnya anumerta. Ayahnya juga seorang polisi. Kakaknya juga seorang polisi, anggota Densus 88 yang terkenal itu. Artinya, biaya hidupnya dari kecil hingga ia kuliah sekarang ini adalah hasil jerih payahnya Ayahnya yang berpangkat Brigadir Kepala mengabdi pada negara. Tapi ayahnya bukanlah sosok yang keras. Selama hidupnya, ayahnya tak pernah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Ia sosok penyabar dan penyayang. Tak hanya pada ibu, juga pada anak-anaknya. Meski seorang polisi yang didik dengan latihan militer yang penuh dengan kekerasan, ayahnya tak pernah membentak atau berteriak jika sedang marah.

”Kekerasan itu menghancurkan Andini. Tidak hanya fisik, tapi secara psikologis. Dan Ayah mencoba mengindari itu didalam menjadi kepala keluarga,” begitu nasehat Ayahnya pada Andini. ” Tak semua Polisi berwatak keji. Tak sedikit pula yang memiliki sikap ksatria dan tidak menggunakan kekerasan dalam menginterogasi pelaku kejahatan,” begitu penjelasannya ayahnya di waktu yang lain ketika Andini mengajak ayahnya diskusi usai mendengar pengakuan Kemat, salah satu korban peradilan sesat dalam acara Kick Andy, yang bercerita ketika ia dinterogasi polisi sambil disiksa dan diancam pistol agar mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, yakni membunuh sesosok mayat yang diduga bernama Asrori.

Kebanyakan Polisi yang memiliki anak yang kuliah selalu menasehati anaknya agar tidak masuk organisasi mahasiswa. Tapi Ayahnya pula, Brigadir Kepala Sulaiman Hasbi, yang justru mengijinkan ia bergabung dalam organisasi mahasiswa dengan alasan yang cukup sederhana; ”Anak muda harus banyak pengalaman dan wawasan yang luas. Dan organisasi mahasiswa bisa mengantarkanmu memperluas wawasan, memiliki banyak kolega dan mendapat banyak pengetahuan. ”

Pun ketika ia bercerita pada Ayahnya ketika sudah resmi menjadi anggota Himpunan Mahasiswa, salah satu organisasi ekstrakampus, ayahnya mengacungi jempol. ” Pilihan yang tepat. Organisasi itu banyak jaringannya. Kau bisa cepat mendapat kerja. Meski polisi begini aku pengagum pemikiran Nurcholish Madjid,” seloroh ayahnya. “Ah, seandainya semua polisi seperti ayahku. Pasti tak ada lagi kekerasan, tak ada lagi adu domba. Tak perlu intelejen polisi untuk mencetak preman-preman bayangan meresahkan masyarakat tapi jika diperlukan bisa membantu polisi. Dan polisi tak perlu harus fokus latihan fisik untuk mengekarkan otot tapi juga wajib baca buku diperpustakaan biar otaknya tak tumpul, sehingga bernas dalam menyelesaikan masalah,” begitu batin Andini.

Tapi Andini memang tak lama di Himpunan Mahasiswa. Hanya satu tahun ia aktif disitu. Berikutnya ia eksodus ke Liga mahasiswa yang menurutnya lebih progresif. Bagi Andini Himpunan Mahasiswa tidak banyak memberikan ghiroh berorganisasi pada dirinya. Himpunan Mahasiswa bagi Andirni bulanlah organisasi yang progresif. Sejarah organisasi itu bagi Andini amat kelam. Pada tragedi berdarah 1965 Himpunan mahasiswa justru bergandengan tangan dengan angkatan darat dalam membantai secara membabi buta jutaan kader-kader PKI dan aktivis organisasi progresif seperti Lekra dan Gerwani. Himpunan Mahasiswa pula yang menjadi pelopor bangkitnya Fasisme orde baru. Sungguh organisasi yang berlumuran darah. Itulah mengapa bagi Andini Himpunan Mahasiswa tak pernah jelas dalam gerakan. Andini masih ingat betapa Himpunan Mahasiswa begitu ultranasionalis ketika gencar berunjuk rasa soal isu-isu ganyang Malaysia, ketika ikon kebudayaan seperti tari pendet dan batik diklaim sebagai milik Malaysia. Tanpa pernah menjelaskan secara historis soal batik. Ya, memang Jawalah yang mempopulerkan budaya membatik sejak abad ke-17. Tapi kebudayaan yang hampir sama dengan batik sebenarnya telah ada di Afrika dan India sekitar 2.000 tahun yang lalu. Pola-pola batik juga amat dipengaruhi oleh budaya Hindu dan, setelah itu, oleh budaya Timur Tengah dengan motif Arabesque-nya. Justru karena "perselingkuhan" inilah motif-motif itu makin beragam.

Pun organisasi ini Tak garang ketika Indonesia memuluskan laju neoliberalisme dengan membiarkan investor asing menguasai sumber daya mineral penting dan memuluskan pakta pasar bebas dengan Cina yang nyata-nyata meluluhlantakkan kehidupan ekonomi masyarakat miskin.

Namun berorganisasi adalah pilihan politik. Itulah mengapa meski kini ia pindah organisasi, cintanya pada Irwan, tak pupus. Cinta tak ada hubungannya dengan organisasi. ”Aku tidak bersetubuh dengan organisasi. Aku bersetubuh denganmu, Mas Irwan,” seloroh Andini ketika berdiskusi dengan kekasihnya.
Soal pindah organisasi itu Ayahnya juga tahu. Dan ia tak banyak bicara soal itu. ”Jika menurutmu itu baik, lakukan. Tapi saran Ayah hati-hati dengan organisasi Liga Mahasiswa. Ia antek komunis gaya baru,” begitu nasehat ayahnya. Andini hanya tersenyum sembari menggeruti dalam hati. ”Isu klise. Sudah masuk keranjang sampah kok masih saja disebar-sebarkan. Huh….!”

Tapi Soal hubungannya Irwan, Ia memang tak pernah cerita pada Ayahnya. Belum, belum waktunya. Tak pernah Irwan diajak ke rumahnya. Pun tak pernah Irwan tahu silsilah keluarganya. ”Jika tiba waktunya aku akan bercerita banyak tentang aku dan keluargaku. Dan aku akan memperkenalkan kau dengan keluargaku. Tapi tidak sekarang,” begitu pinta Andini pada Irwan. Yang Irwan tahu, Andini adalah anak polisi. Titik. Hal itu dilakukan Andini karena tak ingin mengecewakan Ayahnya. Sebab sejak awal kuliah Ayahnya selalu berharap jika Ia menjalin hubungan serius dengan laki-laki, laki-laki itu haruslah Polisi. ” Aku ingin suamimu nanti Polisi, Andini. Aku ingin punya mantu polisi. Apalagi Perwira.” Begitu selalu pesan Ayahnya.

Sebenarnya apa yang dikatakan ayahnya soal keinginannya menjalin hubungan serius dengan polisi tidak tanpa alasan. Setidaknya sudah lima kali Letnan Dua Arbi, salah seorang teman SMA Andini dulu yang juga salah satu atasan Ayah main ke rumah. Juga sudah dua kali Andini diajak nonton film bareng di Twenty one. Tapi sama sekali Andini tak tertarik dengan Arbi. Benar memang waktu SMA Andini pernah pacaran dengan Arbi. Tapi hanya dua bulan. Hanya cinta monyet. Tak lebih.

“Tapi aku masih mencintaimu, Din!” ucap Asbi usai nonton film Bahwa Cinta itu Ada di Twenty One.
”Tapi aku tidak!”

“Lihatlah, Din. Aku dah kerja sekarang.”

”Maaf, Arbi. Bagiku cinta tak ada hubungannya dengan harta atau pangkat. Mungkin bagi Ayahku iya. Tapi Cinta soal hati. Dan aku tak tergiur dengan perwiramu itu. Aku tak pantas untukmu.”

Memang Ayah Andini berharap besar Andini bisa serius dengan Letnan Dua Arbi. Tapi Andini samasekali tak setuju dengan Ayahnya soal cinta. Meski begitu Andini semakin kagum pada Ayahnya, Brigadir kepala Sulaiman Hasbi. Itulah mengapa ia terus mendorong ayahnya agar segera naik pangkat. ”Harusnya Ayah ambil Sekolah Calon Perwira itu. Biar ayah bisa jadi Perwira. Biar Bisa memberikan pendidikan antikekerasan pada anak buah. Agar Polisi-polisi muda itu tak lagi anarkis dan menganggap dia paling hebat dan menganggap orang lain di luar institusi kepolisian atau institusi militer tepatnya sebagai masyarakat rendah yang layak ditindas dan digebuki.”

Tapi apa jawab ayahnya? ”Mau kamu Ayahmu jadi perwira tapi kau tidak bisa kuliah dan jadi sarjana? Mau? Andini, jadi perwira itu butuh uang yang tidak sedikit. Sudah hampir ratusan rupiah Ayah keluarkan untuk masukkan kakakmu ke kepolisian. Sudahlah, cukuplah begini saja, asal anak-anak ayah sukses masa depannya. Kamu bisa kuliah. Kalau mau, kamu sajalah yang cari suami perwira polisi nanti.”

Andini hanya mengulum senyum mendengar penjelasan Ayahnya. Ia kemudian memeluknya erat sekali. ”Ingin aku membahagiakan Ayah dan Ibu sebagai balas jasa membesarkan dan menyekolahkanku. Tapi, maaf Ayah, hingga saat ini aku masih mencintai Mas Irwan. Masih. Dimataku Mas Irwan sudah cukup sempurna. Tapi aku bangga jadi anak Brigadir Kepala Sulaiman Hasbi.” Batin Andini.

***
Hujan sudah reda ketika Andini tiba di Rumah Sakit Dharmala. Ia bergegas ke lantai tiga ruang Paviliun kamar C, tempat Mas Irwan dirawat. Di depan kamar tampak puluhan aktivis Himpunan mahasiswa menyambut Andini.

” Besok mau kita turun lagi. Kamu mau bikin front?” Kata Sidik, ketua Himpunan Mahasiswa

“Aku setuju. Biar jadi mimpi buruk presiden. Polisi sudah habis. Di Toraja Ratusan pelajar SMK
menghancurkan polsek hanya karena temannya dianiaya oknum aparat. Masyarakat semakin paham cara melawan kekerasan terorganisir. Masa kita kalah sama pelajar.”

”Tapi besok kita mencoba tidak tersulut.”

”Setuju. Aku dan kawan-kawan ikut turun besok. Sebelum Kapolda dicopot dan oknum pelaku ditindak tegas. Dan penindakannya disiarkan pada publik. Tapi isu gulingkan SBY-Boediono tetap jalan.”

Setelah beberapa menit berdiskusi, Andini masuk ke kamar rawat dimana Irwan terbaring. Irwan tersenyum. Meski kedua pipinya lebam dan matanya memar, aura ketampanannya masih kelihatan.

“Kau tidak apa-apa, Mas!”

”Tidak! Mungkin hanya sedikit nyeri dibagian ini dan ini.” Sambil menunjuk pipi dan dadanya. Kontan Andini memeluk kekasihnya itu.

” Sudah tahu pelakunya?”

” Tidak semua. Ketika aku tiba di Kantor Polisi untuk melaporkan aksi pengrusakan Sekretariat Himpunan Mahasiswa yang dilakukan beberapa oknum polisi, aku langsung dibekap dari belakang. Kemudian beberapa orang memukuliku ramai-ramai. Semuanya berjaket. Jadi tak kulihat papan nama didada mereka.”

” Kejam betul mereka itu. Tapi Mas ada yang kenal?”

” Ada. Salah seorang yang menginjak-injakku lupa tak pasang resliting jaketnya. Papan namanya kelihatan.”

” Siapa?”

”Sulaiman Hasbi.”

Andini tertegun. Wajahnya yang memerah karena amarah tiba-tiba cair. Kesedihan membekap dadanya. kesedihan yang aneh. Airmatanya leleh.

“Kamu kenal?”

” Sulaiman Hasbi. Ia Bapakku!”


Pamekasan, 07 Maret 2010

Rabu, 10 Maret 2010

SUMPAH POCONG

SUMPAH POCONG
Oleh: Edy Firmansyah


(Dimuat di ANNIDA ONLINE, 09 Maret 2010)

Mungkin kalau bukan karena permintaan Ibu aku tidak mau menemui Mbak Hindun lagi. Buat apa membujuknya lagi untuk mengurungkan niatnya? Percuma memberikan pandangan pada Mbak Hindun. Percuma. Mbak Hidun bergeming dengan keputusannya. Tekadnya sudah bulat untuk melakukan sumpah segala sumpah itu; Sumpah Pocong. Ini sudah kali ketiga aku bertemui dan berbicara pada kakak Sulungku itu. Tapi hasilnya masih sama saja.

“Aku sudah ndak tahan diinjak-injak terus, Din. Nggak tahan. Ini satu-satunya jalan aku mendapatkan harga diriku lagi sebagai perempuan. Aku berani melakukan itu, berarti aku benar. Biar masyarakat kampung sini tahu itu.” Ujarnya sambil menghapus titik air mata yang jatuh dipipinya.

Aku merasakan betul kesedihan Mbak Hundun. Ia memang perempuan sama seperti aku. Tapi ia adalah tulang punggung keluarganya. Kalau bukan Mbak Hindun yang rajin menyisihkan gajinya, ia pasti tak bisa punya rumah sendiri. Mbak Hindun bekerja sebagai pelayan di sebuah café. Sudah berkali-kali ia bercerita padaku bahwa tuduhan suaminya, Mas Purwa, adalah fitnah belaka. Ia bersumpah tak pernah menjual tubuhnya pada pria manapun. Tak pernah. benar memang sebuah café indentik dengan dunia remang-remang. Tapi tak semua perempuan yang kerja disana adalah perempuan gampangan. Bahkan berkali-kali ia sujud di kaki suaminya untuk membuktikan omongannya. Tapi Mas Purwa tak pernah mau mengerti. Sebaliknya, ia mulai kerap memukuli Mbak Hindun. Alasannya macam-macam. Nggak becus kerja rumahanlah. Membantah suamilah. Mbak Hindun memang tak pernah menuruti hobi suaminya yang suka main judi itu. Ia tak pernah kasih kalau suaminya minta duit untuk taruhan bola atau taruhan balapan burung dara. Tapi ia tak pernah mempermasalahkan soal Mas Purwa yang tak punya pekerjaan tetap seperti yang digunjingkan orang-orang kampung. Tak pernah.

Benar memang pernikahan Mbak Hindun dan Mas Purwa memang tak bisa dikatakan biasa. ceritanya begini, sebelum menikah Mas Purwa memang naksir mbak Hindun. Tapi Mbak Hindun selalu menolak cintanya. Entah alas an apa. Sampai akhirnya, Mas Purwa memperkosa Mbak Hindun di pematang sawah. Memang hanya satukali kejadian itu. Tapi Mbak Hindun Hamil. Ketika Mas Purwa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu ia tak mengelak. Itulah yang membuat benih-benih cinta Mbak Hindun tumbuh. “Laki-laki yang baik adalah laki-laki yang mau bertanggungjawab. Aku yakin Ia adalah laki-laki yang baik. Bukankah tak ada manusia yang sempurna, Din. Tak ada. Kita berhak member kesempatan pada manusia yang jahat sekalipun untuk berubah jadi baik. Dan Mas Purwa jelas bukan manusia jahat. ” Ujar Mbak Hindun pada hari pernikahannya.
Namun sejak Mbak Hindun keguguran dan sejak Mas purwa di PHK sebagai buruh pabrik rokok sikapnya berubah. Ia jadi suka memukul. Marah-marah. Kadang mencaci Mbak Hindun di hadapan orang banyak. Pernah Mbak Hindun dijambak rambutnya lalu diseret dari pasar hanya karena ia berbicara lama dengan Kang Usman, teman sekolahnya waktu SD yang baru pulang dari Arab sebagai TKI. Terlebih lagi sejak Mbak Hindun kerja di café. Mas Purwa semakin sering ringan tangan. Bahkan yang paling parah, ketika Mbak Hindun hamil anak keduanya, ia pernah diinjak perutnya oleh Mas Purwa hanya karena pulang Pak Rudi, bekas tetangga Ibu, yang kebetulan Satpam di Café tempat Mbak Hindun kerja. Untunglah jabang bayi diperutnya itu lahir dengan selamat.

Tapi Mas Purwa tak pernah mau mengakui Aldira, anak perempuannya, yang baru saja lahir itu sebagai anak kandungnya. Darah daging Mas Purwa sendiri. “Aku tak percaya padamu lagi, Dun. Anak itu pasti anak haram. Hasil selingkuhanmu. Ngaku saja. Tak perlu pura-pura,” begitu tuduh suaminya. Tak hanya itu Mas Purwa malah menyebarkan gossip pada masyarakat kampung bahwa Aldi, yang lahir dari rahim Mbak Hindun adalah anak haram. Anak selingkuhannya Mbak Hindun.

Itulah mengapa Mbak Hindun bersikukuh melakukan sumpah pocong. Perempuan mana yang tahan dituduh menjual diri. Perempuan mana yang tahan dirinya dituduh berselingkuh dan melahirkan anak haram. ”Perempuan merdeka adalah perempuan yang bebas berkreasi, bebas berekspresi, bebas menetukan nasibnya sendiri, bebas mengembangkan pengetahuan dan wawasan, dan upaya meraih itu semua mendapatkan dukungan dari laki-laki pendampingnya. Dan aku tak pernah mendapatkan itu. Karena itu aku ingin meraihnya, membuka hati suamiku untuk mengerti arti kmerdekaan perempuan,” ujar Mbak Hindun.

“Tapi tidak dengan sumpah Pocong, Mbak. Sumpah, apapun bentuknya tidak menyelesaikan masalah. Sumpah tak akan menyelamatkan pelakunya dari petaka. Entah ia orang jujur atau pembohong sekalipun. Celaka milik semua orang yang hidup. Sumpah tak memberikan pemecahan masalah.”

”Hanya orang yang jujur yang berani melakukan sumpah segala laknat itu, Din. Dan aku tak mau dituduh pembohong dan perempuan pezina. Biar masyarakat tahu itu.”
”Mbak sebaiknya melaporkan kasus KDRT itu pada komnas Perlindungan perempuan atau pihak berwajib. Itu lebih menjanjikan.”

“Menjanjikan apa? Siapa yang percaya hukum sekarang? Prosedur yang berbelit-belit. Birokrasi yang butuh biaya tinggi. Dan interogasi yang keji. Aku tahu Mas Purwa menyakiti aku. Tapi aku tak tega dia disakiti ketika interogasi. Aku tak tega.”

”Mbak……”

”Alah….sudahlah Din. Kau berbusa-busa dengan cara apapun tak akan mengurungkan niatku melakukan itu. Malah aku semakin gigih untuk segera melakukannya. Doakan saja Mbakmu ini selamat dan sumpah pocong itu berjalan lancar. Itu saja sudah cukup membantu.”

Dan lagi-lagi aku pulang dengan tangan hampa. Manusia memang sebuah enigma. Ia tak bisa ditebak isi hatinya hanya dengan sekali menatap matanya. Tidak. Ditengah kelemahan manusia tersimpan sebuah kekuatan yang tak tertuga. Kekuatan itu bisa muncul ketika penindasan sudah tak lagi bisa dibendung raganya.

***

Sumpah Pocong yang dipimpin KH. Minhari di Masjid Al-Hidayah berlangsung lancar. Hampir semua warga kampung menyaksikan prosesi sumpah itu. Beberapa warga menangis. Mungkin iba dan takut tuah yang akan menimpa pelaku sumpah jika ketahuan ia berbohong. Mungkin juga miris akan keberanian perempuan seperti Mbak Hindun berani melakukan sumpah segala laknat itu. Mbak Hindun juga mengucapkan sumpah dengan lancar. Itulah cerita Ibu padaku lewat telepon sehari usai prosesi sumpah pocong itu. Aku memang tak bisa datang. Tugas kuliahku sedang padat-padatnya waktu itu.
Bahkan setelah seminggu usai sumpah pocong itu, pandangan masyarakat pada Mbak Hindun seperti berubah. Mbak Hindun kini tak lagi dipandang sinis oleh masyarakat karena termakan isu Mas Purwa bahwa kakak sulungku itu perempuan nakal dan pengumbar nafsu. Masyarakat juga mulai menerima pekerjaan Mbak Hindun sebagai pelayan café yang menuntut Mbak Hindun harus keluar rumah di malam hari dan kembali menjelang subuh sebagai sebuah profesi yang tak ada hubungannya dengan prostitusi.

“Aku merasa lebih tenang menjalani hidup, Din. Sangat tenang sekali hari-hari ini,” begitu SMS Mbak Hindun padaku.

Sementara Mas Purwa seperti tak berubah. Ia masih menjadi suami yang ringan tangan. Tiap kali pulang ke rumah selalu saja ada pertengkaran dengan Mbak Hindun yang ujung-ujungnya berakhir pada tindak kekerasan. Bahkan Aldira, anak semata wayang mereka yang baru berusia delapan bulan kerap menjadi korban luapan kemarahan Mas Purwa. Yang paling parah Aldi sempat dibawa ke rumah sakit karena telinganya berdarah akibat ditampar Mas Purwa. Oh, perempuan mengapa tak usai-usai penderitaan yang datang menyelimuti hidupmu.

***

Liburan kuliah kali ini aku memutuskan pulang kampung. Selain aku kangen sama ponakanku Aldira yang katanya sudah mulai bisa bicara aku juga pengen rehat sebentar dari rutinitasku sebagai editor lepas. Lagipula sudah dua hari ini baik Ibu maupun Mbak Hindun tak lagi berkirim kabar. Berkali-kali aku hubungi HP Mbak Hindun tapi selalu nada sibuk. Ketika hendak berangkat tiba-tiba Pak De Karta, kakak Ibu yang bekerja sebagai tukang linting rokok di pabrik yang tak jauh dari kontrakanku, sudah ada di depan pintu kontrakanku.

“Tumben Pak De mampir kemari. Ada apa?”

“Nak Andin sendiri mau kemana?”

“Pulang ke Desa. Ada apa?”

“Desa kita kena longsor sejak kemarin. Ribuan rumah tertimbun tanah. Ratusan orang jadi korban. Sekarang masih dalam proses evakuasi. Juga rumah Ibu dan kakakmu. Tapi beruntung Jasad Ibu, Hindun dan Aldira sudah ditemukan. Tapi orang kampong tak berani menyentuhnyaa. Takut kena tulah laknat sumpah pocong. Sementara Purwa pergi entah kemana.”

Aku tertegun. Tiba-tiba tenggorokanku kering. Kering sekali. Oh, Ibu. Oh kakak. Tiba-tiba langit seperti sungsang. Tak kuingat lagi apa yang terjadi. Satu-satunya suara yang kurekam adalah suara Pak De berteriak minta tolong. Setelah itu aku lungrah. Gelap gulita menjelaga dimana-mana. ***


Sampang, Madura Awal Maret 2010

Jumat, 05 Maret 2010

Siang Kelabu Atawa Amir dan Aisyah

SIANG KELABU
Oleh: Edy Firmansyah


Nek, ceritakan padaku tentang Penderitaan.” Kata Fesha pada neneknya yang jago cerita itu. Maka sang nenek bercerita tentang Amir.

Tekad Amir sudah bulat untuk meminang Aisyah, perempuan yang ia pacari sejak setahun lalu. Surat Aisyah yang keduapuluhlima yang baru saja dibacanya itulah yang menjadikan tekad itu menggelora dan menuntut disudahi. Sekali lagi Amir membaca surat itu.

Mas Amir tercinta,
Barangkali Mas tidak menyangka aku akan membalas surat mas secepat ini. Itu karena aku dilanda kegembiraan yang sangat, Mas. Makanya aku segera menulis surat ini.
Mas, abah merestui hubungan kita. Kemarin abah memergoki aku membaca suratmu. Aku sempat takut, Mas. Takut sekali. Takut abah menamparku lagi, seperti waktu kita pertama kali bertemu di belakang pesantren itu. Tapi Abah tidak melakukan itu. Abah hanya berpesan agar kamu segera datang ke pesantren. Abah akan menikahkan kita Mas. Nikah siri. Baru nanti setelah Mas punya pekerjaan tetap, abah akan menikahkan kita di KUA.

Sungguh aku tak menduga Abah bisa secepat itu berubah. Sempat aku ragu kalau-kalau abah hanya hendak mempermainkan kita. Tapi nyatanya tidak. Abah sungguh-sungguh, Mas! Abah bahkan titip salam sama Mas dan meminta maaf atas kejadian di belakang pesantren enam bulan lalu. Karena itu aku bersegera berkirim surat ini, agar mas bisa memberi kabar kapan akan ke pesantren.

Mas, kegigihan kita membuahkan hasil. Mas benar, tak ada yang lebih ampuh usaha. Tak ada yang lebih sejuk dari do’a. Mas harus segera kesini. Aku menunggu dengan segenap cinta.

Yang mencintaimu
Aisyah.


Amir melipat kembali surat dari kekasih hatinya itu. Ya, tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan, batin Amir. Tak ada. Bahkan Haji Siraj, ayah Aisyah, pemilik pesantren putri Al-hidayah tak bisa lepas dari hukum itu. Haji Siraj yang pada awal-awal hubungannya dengan Aisyah begitu membenci dirinya akhirnya luluh juga. Amir masih ingat betul bagaimana Haji Siraj menampar dan mencacinya dihadapan Aisyah ketika ia tertangkap basah sedang berduaan dengan anak semata wayangnya itu.
“Dasar bajingan! Pertama datang kesini kau sudah bikin onar. Mengajak masyarakat berunjuk rasa menolak pembebasan tanah untuk perluasan pesantren. Kini kau ingin menzinai anakku. Dasar komunis sialan. Bertobatlah kamu sebelum dilaknat Allah. Laknat Allah jauh lebih kejam.”

“Plak-Plak!” tangan Haji Siraj cengan depat menampar pipi Amir. Raungan Aisyah tak dihiraukan Haji Siraj. Malah Aisyah diseret kembali ke dalam Pesantren oleh beberapa santriwati. Haji Siraj terus saja mengumbar caci maki dan sumpah serapah pada Amir. Amir tak melawan. Tak ada guna melawan orang yang penuh amarah. Jelas akal sehatnya sedang tertutup kabut benci. Juga orang macam beginian tak bisa lagi diajak diskusi.

Tapi Amir yakin apa yang ia lakukan benar. Bahwa penolakan atas pembebasan tanah untuk perluasan pesantren itu penting. Bagi masyarakat petani, tanah adalah sukma mereka. Ketika petani sudah kehilangan tanah, maka mereka kehilangan daya hidup mereka. Kehilangan rejeki mereka yang sedikit itu. Ketika tanah-tanah mereka sudah habis dijual dengan harga murah atas nama apapun, termasuk juga atas nama agama, mereka akhirnya hanya akan menjadi hamba. Yang laki-laki menjual tenaganya ke kota untuk jadi buruh murah. Sementara para perempuan terpaksa karena tuntutan ekonomi akan menjual tubuhnya. Jadi pelacur.

Boleh saja Haji Siraj bersikukuh bahwa menjual tanah dengan harga murah untuk perluasan pesantren adalah jihad. Jihad atas nama agama. Tapi bagi Amir pernyataan Haji Siraj tak lebih dari pernyataan kaum pemilik modal yang hendak menguasai tanah dengan hukum ekonomi keji; mendapatkan laba sebesar-besarnya (memperluas pesantren berarti menambah daya tampung santriwati. Jika daya tampung bertambah pemasukannya akan bertambah pula) dengan modal sekecil-kecilnya (membeli tanah dengan harga murah) dengan menggunakan agama sebagai tamengnya.

Toh, ketika kriminalitas mulai marak di Desa Sokoturo dan pelacuran mulai menggeliat Haji Siraj tak akan melihatnya sebagai dampak dari ketakbermilikan masyarakat akan akses bertahan hidup yang layak. Karena kemampuan mereka hanya macul dan bercocok tanam, ketika tak punya tanah mereka akan kelimpungan cari makan. Dan sisi paling negatif dari kondisi itu adalah kriminalitas dan pelacuran. Haji Siraj hanya akan berceramah soal kemaksiatan dan perbuatan keji imbas dari tak tekunnya beribadah. Bah….lagi-lagi nantinya ia hendak lepas tangan dengan tameng hadist dan ayat suci.
Itulah mengapa Amir dengan gigih memberikan pendidikan politik dan membangkitkan kesadaran massif pada masyarakat tempat ia KKN. Dan tak sia-sia Amir menggeluti dunia aktivis sejak kuliah. Agitasinya berhasil. Demo besar-besaran terjadi. Rakyat tak jadi menjual tanahnya.

Soal jatuh cinta Amir juga tak merasa dirinya keliru. Ia mencintai Aisyah setulus hati. Meski ayahnya membencinya, toh Amir tak membunuh cintanya. Bagi Amir Aisyah adalah perempuan idamannya. Cantik. Hatinya polos. Berjilbab pula. Amir memang sudah jengah dengan perempuan kota yang tak lebih hanya jadi korban iklan dan mode. Dan Aisyah menurut pandangan Amir tak masuk perempuan korban iklan. Tak hanya itu. Tiap melihat Aisyah, Amir seperti melihat almarhum bundanya. Hidup Aisyah mirip dengan hidup bundanya. Sejak kecil tinggal bersama Ayah karena nenek Amir, Ibunya bunda Amir meninggal. Begitu juga Aisyah. Ia sejak kecil diasuh Haji Siraj tanpa pernah mengenal belaian ibu. Dan entah mengapa hingga Aisyah dewasa haji Siraj tak pernah kawin lagi.

Bukan, bukan pula soal Aisyah anak sematang wayang Haji Siraj yang punya tanah luas dan harta banyak. Bukankah Amir pernah bersikukuh jika hubungannya tidak direstui ia akan bawa lari Aisyah. Itulah mengapa Meski KKN usai dan Amir harus kembali ke Surabaya ia tetap menjalin hubungan dengan Aisyah. Paling banyak memang lewat surat-surat. Tapi pernah dua kali Aisyah datang ke Surabaya untuk sekedar melepas rindu.
Dan memang tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Sebentar lagi ia akan memiliki Aisyah seutuhnya. Tak perlu ada niatan melarikan Aisyah. Tak perlu lagi. Sebab hubungannya kini direstu orang tuanya.

“Oh, Aisyah kabar itu semakin memantapkan cintaku padamu. Dan aku tak akan mengecewakanmu jika kita bersatu nanti. Tak akan. Aku akan menulis lebih giat lagi. Agar lebih banyak yang dimuat di Koran. Agar kita bisa makan dari honor-honor tulisan itu. Bukankah itu lebih membahagiakan, makan dari jerih payah dan keringat sendiri. Daripada sekedar menyusu pada orang tua atau mertua?” begitu batin Amir.
Amir kemudian mengambil Bollpoint dan mulai menulis surat balasan, bahwa minggu depan ia akan dating ke Pesantren Al-Hidayah memenuhi permintaan Haji Siraj.

***

Amir akhirnya tiba di Desa Sokoturo mengendarai vespa bututnya. Matahari sudah meninggi. Tapi Desa Sokoturo masih menyisakan sejuknya embun pagi. Desa yang terletak di Kabupaten Lumajang itu tak banyak berubah. Sepanjang jalan masih dipenuhi debu. Karena jalanan di desa itu tak pernah dikeraskan oleh batu apalagi aspal. Hanya tanah liat berwarna kekuningan. Jika panas berdebu. Jika hujan becek. Di sisi kiri jalan nampak dua-tiga orang mengendarai sepeda sembari membawa rumput, pakan untuk sapi-sapi pembajak. Di sisi kanan jalan nampak beberapa perempuan memikul bakul berisi sayur dan ubi-ubian hasil tanah mereka untuk dijual di pasar. Sawah-sawah terhampar luas. Pohon-pohon bambu yang berdaun lebat semakin menambah hijaunya Sokoturo.

Menuju Pesantren Al-Hidayah tidaklah susah. Cukup mengikuti jalan Desa ini saja sampai di pertigaan pertama, lalu belok kiri. Sekitar 500 meter setelah belok kiri akan terlihat bangunan pesantren yang luas.

Tapi ketika tiba di depan pesantren dada Amir tiba-tiba berdegup kencang. Bayangan Aisyah tiba-tiba melintas dalam benaknya. Tak lagi ditemukan bangunan pesantren yang megah. Yang ada hanyalah puing-puing gedung yang menghitam. Asap masih terlihat membumbung di beberapa bagian gedung. Serpihan kaca, genting dan batu bata memenuhi halaman yang ditumbuhi rumput. Pesantren Al-Hidayah tinggal puing-puing. Beberapa orang Nampak sedang mengais-ngais sisa-sisa reruntuhan.

Ada apakah gerangan? Oh, Aisyah dimanakah dikau berada kekasihku?

“Nak Amir?” sapa seseorang di belakang Amir. Amir menoleh.

“Pak Carik!” keduanya lantas berpelukan. Dulu di rumah Pak carik inilah Amir menginap selama KKN.

“Ada Apa ini pak? Kemana Haji Siraj? Kemana Aisyah?”

“Haji Siraj meninggal tiga hari lalu. Ia dihakimi massa. Ia tertangkap basah tengah menyetubuhi santriwatinya sendiri. Para santriwati yang melihat kejadian itu kemudian melapor ke kepala desa. Usut punya usut ternyata dari kesaksian beberapa santriwati, Haji Siraj tidak hanya sekali dua melakukan perbuatan biadab itu. Setidaknya ada 23 santri yang mengaku pernah ditiduri haji Siraj. Dan atas dorongan teman-temannya ke-23 santriwati itu berani mengaku. Bahkan dua diantara santriwati itu sedang hamil. Warga yang mendengar kesaksian itu langsung kalap. Ratusan warga kemudian menyerbu Al-Hidayah. Membakar pondok pesantren itu, kemudian menggebuki beramai-ramai Haji Siraj hingga tewas dengan mengerikan. Kedua tangannya putus. Di tubuhnya ada puluhan sabetan senjata tajam.”

“Bagaimana Aisyah, Pak? Dimana dia?”

Pak Carik diam lama sekali. Menarik nafas kemudian melanjutkan bercerita. “Aisyah meninggal. Jasadnya jadi abu. Ia mati hangus terbakar. Ketika massa membakar pesantren, Aisyah sedang tidur pulas. Abunya sudah kami kuburkan di belakang Pesantren kemarin bersebelahan dengan makam ayahnya.”

Amir tiba-tiba lungrah. Semangat hidupnya pecah berkeping-keping. Siang itu bumi seakan berhenti mengelilingi matahari. Amir tak sanggup lagi menyangga berat tubuhnya. Amir lindap kemudian jatuh ke tanah.

“Aisyahhhh……”

“Bagaimana nasib Amir selanjutnya, Nek?”

“Itu sama sekali tidak penting cucuku. Sama sekali tidak penting. Bukankah tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan?” Ujar nenek sambil membelai rambut Fesha yang lurus.

Sampang, Akhir Februari 2010

Cerpen ini dimuat di Harian SURABAYA POST, 03 Juli 2010

KENTUT-KENTUT CINTA (Dalam Empat Adegan Cinta)

KENTUT-KENTUT CINTA (Dalam Empat Adegan Cinta)
CERPEN: Edy Firmansyah


Alina menutup gorden warna biru. Kamar hotel yang terang tiba-tiba redup. Tapi sambil menutup gorden tangan Alina tak lepas menutup hidung yang mancung. Sedari tadi Alina dan brondongnya memang sedang mengumbar kentut.

“Tuuuut…..”

“Preeee…t”

“Kentut kamu bau sekali, Pras!”

“Kentut Mbak juga!”

Keduanya lantas tertawa. Kemudian berpelukan dan saling pagut.
“Tapi meski bau, orang perlu kentut setiap hari, Mbak! Kalau tidak bisa jadi penyakit. Kalau sudah jadi penyakit, biayanya mahal. Tapi menurutku bukan hanya perut saja yang perlu buang gas. Otak harus buang gas juga.”

“Ah kau mulai lagi dech….”

“Lha, ini serius. Banyak orang yang sekarang ngomongnya mencla-mencle. Suka menipu, berbohong, itu karena otaknya tak pernah kentut. Para wakil rakyat yang ngomongnya mencla-mencle dan presiden yang ngomongnya berbelit-belit itu karena otaknya tidak kentut. ”

“alah…ngedabrus dech! Seperti apa otak itu kalau kentut?…”

“Kenal semar?” Alina mengangguk. “Nah, semar itu dalam pewayangan jawa adalah tokoh paling bijaksana. Ia muncul ketika masalah menjadi sangat rumit dan butuh penyelesaian bijak. Dalam pertempuran senjata andalannya kentut. Kentutnya itu busuk sekali. Orang yang mencium baunya bisa terkapar. Tapi biasanya usai mencium kentut Semar, musuh-musuhnya langsung khilaf. Itu yang sadar, yang nggak sadar bisa stress. Gila. Nah, pikiran yang baik adalah pikiran seperti kentutnya semar itu. Dan yang paling ideal adalah berpikir secara materialism-historis. Itu penting, Mbak. Nah Mbak sebagai dosen, jika tidak punya bekal berpikir secara materialis akan terjebak pada determinisme sempit. Determinisme itu yang membuat Mbak akhirnya menjelaskan teori-teori di kuliah mencla-mencle, nggak jelas arahnya. Atau menyelesaikan masalah sering serampangan. Sehingga yang lahir bukan masalah selesai tapi memperumit keadaan. Nah biar "kentut otak"nya lancar mbak harus baca buku ini,” Prasetya mengambil buku dari tasnya kemudian menempelkan ke dada alina yang hanya ditutupi BH. Sebuah buku bersampul coklat berjudul Reason in Revolt: Revolusi berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern. Karangan Alan Wood dan Ted Gran.

“Nggak mau ah…”

“Terus maunya apa?”

“Mau kamu?”

Keduanya lagi-lagi tertawa lepas. Kembali saling pagut, tapi kali ini lebih panas. Dan suara Andy F Noya yang memandu acara Kick Andy dengan tema korban-korban peradilan sesat di Indonesia tak kedengaran lagi. Suara Kemat salah satu korban peradilan sesat yang bercerita ketika ia dinterogasi polisi sambil disiksa dan diancam pistol agar mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, yakni membunuh sesosok mayat yang diduga bernama Asrori sudah tertindih suara desah dan erang kedua kekasih yang tengah terbakar birahi.

***

Di sebuah kamar hotel lain, seorang perempuan bernama Lusi menutup pintu kamar sambil menutup hidung karena bau kentut.

“Kentut lagi kamu ya, mas!”

“He…eh”

“bau…k taukk..”

“Biarin. Emangnya kentutnya nggak pernah bau? Kalau sama-sama punya kentut bau jangan saling mencela. Tapi ngomong-ngomong kau suka khan?”

“Preeee….t”

“Ihhhh…najisss!” Lusi menutup hidungnya lagi.

“Cinta itu seperti kentut. Ditahan bikin gelisah, dilepas pengen kentut lagi, eh, maksudku pengen lagi.”

“Gombal”

“Plak!” tiba-tiba Reksa meloncat dari ranjang. Lalu menepuk pantat Lusi yang sedari tadi hanya mengenakan G-string warna hitam dipadu BH warna abu-abu.

“Aku kangen…”

“Ah…gombal. Buktinya aku telepon kemarin tak digubris. Diangkat nggak. Di sms juga nggak!”

“Aku lagi dirumah itu. Sama istri dan anak-anak.”

“istrimu aja kau urusin. Aku nggak.”

“Nah..ini sudah tak urusin. Sekalian tak urutin.”

Keduanya bersitatap. Lalu saling pagut. Tangan Reksa kemudian meraih remote di atas ranjang. Lalu Mematikan televisi yang sedari menyiarkan berita tentang banjir di kabupaten Bandung. Kamar hotel hening. Yang tinggal suara desah dan erang nafsu yang basah.

Diluar hotel, hujan terus mengguyur dengan deras. Dari lantai enam kamar hotel itu terlihat seorang pengemis perempuan yang menggendong anak lari menuju pohon beringin di depan hotel. Tapi hujan terlalu deras keduanya basah kuyup.

***

Di sebuah rumah yang mungil sepasang suami istri baru saja menunaikan sholat Maghrib berjamaah dalam kamarnya. Diarah kiblat tampak sebuah foto keluarga; Reksa, Alina dan keduanya anaknya yang menginjak remaja. Disamping persembahyangan tampak sebuah ranjang dengan sprai biru.

Usai menggulung sajadah, keduanya kemudian bercengkrama di tempat tidur.
“Gimana pelatihannya lancar?”

“Biasa saja. Nih dikasih buku sama mahasiswaku.” Alina menunjukkan buku Reason in Revolt: Revolusi berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern karangan Alan Wood dan Ted Gran, pemberian Prasetya.

“Bagus sepertinya”

“Bagus apanya!? Mahasiswaku pikir aku gampang dipengaruhi dengan buku-buku komunis macam beginian. Nggaklah…”

“Bruuuut….”

“Ah, papa mulai lagi deh kentutnya. Apa nggak bisa dikurangi to? Masak tiap berduaan bawaannya kentut mulu…”

“Tumben protes. Biasanya dengar bunyi kentut langsung nafsu.”

“Nafsu? Emangnya kentut itu obat perangsang apa? Nggak dech…”

“Alah…yang bener?”

“Adauwww. Sakit Pap!” Alina mengusap-usap pantatnya.

“Tapi kalau melihat perkembangan kayaknya pemikiran itu perlu juga dipelajari. Mengingat negeri ini sedang dalam krisis. Toh, Cuba, kemudian Venezuela dan Bolivia sukses besar menjalankan ideologi ini.”

“Kalau papa suka nih baca aja sendiri. Aku nggak.”

“Aku pengen baca kamu aja, dech, mam!”

Apanya yang mau dibaca?”

“Isi celana dalammu.”

“Hus…habis sholat kok ngomongnya porno begitu!?”

“Kalau sama orang lain porno. Tapi sama istri sendiri itu pahala.”

“Alah, mulai ngawur dah!”

“Aku memang sedang mabuk. Mabuk cinta.”

“Broooot……t”

“Ah, papa! Bau nih!”

“Sini kubantu hilangkan baunya”

“Ackhhh…papa jahat!”

Keduanya saling bersipagut. Lamat-lamat terdengar adzan Isya.’ Tapi kedua suami istri itu sudah tenggelam dalam nafsu yang sangat. Yang tinggal kemudian hanya erang dan desah. Dalam setiap erangnya, Reksa membayangkan Lusi yang akan ditemuinya dua hari lagi. Sementara dalam setiap desah, Alina melamunkan Prasetya sedang menggerayangi tubuhnya.

***

Di sebuah rumah yang lain, di sebuah kamar yang lain pula, Prasetya sedang duduk disamping Ibunya yang terbaring lemah akibat kanker stadium empat. Diraihnya tangan sang bunda kemudian menyusupkan jemarinya ke sela-sela jemari ibunya. Pras meresakan betapa dinginnya tangan perempuan yang melahirkannya itu.

“Preet………”

“Hus…nggak sopan. Didekat ibu masih berani kentut pula. Kebangetan kau itu“ teriak Lusi sambil menepuk pundak kakaknya.

“Daripada jadi penyakit. Weeekkk….” Prasetya menjulurkan lidahnya di wajah Adiknya yang manis itu.

“Bruuuu….t”

Sambil bertarung melawan nyeri, sang bunda mencoba menyunggingkan senyum. “Sudah berapa lama nggak pulang, kamu nak?” Suara perempuan itu terdengar sangat lirih seperti berbisik.

“Dua hari, mam!”

“kemana saja? ibu dan adikmu disini kesepian.”

“Cari uang, mam. Buat biaya pengobatan dan biaya kuliahku.”

“tapi lain kali kalau bisa cobalah pulang ke rumah. Jangan tidur di luar.”
“baik, mam!”

“bersihkan badan sana. Lalu kita Jama’ah Magrib bersama”

Prasetya berdiri dari kursi lalu ngeloyor keluar kamar, menuju kamar mandi. Tapi tangannya terus menyeret tangan adiknya.

“Lepasin ah…..”

“Kau harus ikut aku.”

“Kemana?”

“Mandi.”

“Ih…najiss! Mas, lepasin”

“Aku kangen…..”

Kedua kakak beradik itu lenyap dibalik pintu kamar mandi berwarna coklat. Beberapa saat kemudian terdengar suara air mengucur dari kran. Lamat-lamat terdengar suara erang dan desah dari balik kamar mandi bersamaan dengan adzan magrib yang berkumandang dari surau dekat rumah.

Sampang, 16 Februari 2010

Kamis, 18 Februari 2010

LELAKI DI WARUNG ES CAMPUR

LELAKI Di WARUNG ES CAMPUR
Cerpen: Edy Firmansyah

Lelaki itu menghempaskan pantatnya di kursi paling ujung sebuah warung es campur. Matahari sedang ganas-ganasnya siang itu. Lidah apinya tak hanya menjilat-jilat kulit tubuh dan muka hingga memerah dan membuat pori-pori menganga. Air di seluruh tubuh seakan menguap tak tersisa. Begitu kering. Begitu dahaga.

“Es campur satu bang!” teriak lelaki itu sembari mengacungkan telunjuknya ke udara. Si penjual es campur mengangguk tanda mengerti. Lalu memulai tugasnya; meracik semangkuk es campur untuk lelaki itu.

Sembari menunggu pesanannya datang, lelaki itu menatap jalan yang masih dipenuhi puluhan demonstran dari salah satu organisasi Islam. “Begitu kuat orang-orang yang rata-rata berpeci dan berpakaian putih itu. Matahari begitu teriknya, tapi mereka masih penuh semangat berorasi dan berteriak-teriak menyebut namaNYA. Sementara aku yang sedari tadi duduk di pinggir jalan, dibawah pohon rindang, toh akhirnya takluk juga dihajar panas yang ganas ini” batinnya.

Tiba-tiba lamunan lalaki itu pecah. Sekitar enam demonstran tiba-tiba berdiri di depan warung es campur itu. Salah seorang demonstran bersurban dengan mengaphone putih tiba-tiba berorasi; “Jalan kalian terbujuk oleh nafsu setan dengan membeli majalah-majalah porno. Majalah yang mengumbar syahwat. Bacaan yang melenakan maksiat adalah bacaan syetan dan merusak iman. Gambar-gambar perempuan telanjang dan mekbuat merangsang adalah dosa besar. Baik si perempuan yang dengan sengaja mengumbar kemaluannya maupun laki-laki yang dengan sengaja menenggelamkan diri dalam birahi ia di akherat nanti akan dirajam kemaluannya dengan besi membara. Dan seluruh tubuhnya akan dijilat-jilat api neraka,”

“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik demonstran yang lain.

Lelaki itu tiba-tiba kaget bukan kepalang. Saking kagetnya ia nyaris meloncat dari kursi. Ia kaget bukan lantaran takbir yang diteriakkan para demonstran itu. Baginya kalimat takbir bukanlah slogan asing. Lagipula ia bukanlah seorang muallaf seperti kisah-kisah hikayat arab, yang tiap mendengar namaNYA, hatinya langsung bergetar. Sepanjang hidupnya hingga ia paruh baya begini, takbir telah jadi kredo. Ia lahir dari keluarga yang taat beragama. ayahnya, meski tak pernah membaca qur'an setiap malam, hafal betul surah yasiin. dzikir sehari-hari sang ayah adalah shalawat nuriyah. " Tak ada dzikir paling ampuh selain shalawat pada nabi," pesan ayahnya tiap kali ia pulang kampung. Sementara ibunya adalah guru ngaji. suara sang ibu merdu sekali ketika melantunkan ayat-ayat suci. "Waktu muda aku selalu juara tilawatil qur'an tingkat kabupaten," cerita sang ibu.

Namun dalam beberapa tahun ini, ia sedang mempertanyakan tuhan. lelaki itu kecewa sebab hidupnya sebatang kara dan terlunta-lunta sekarang. anak semata wayangnya, Imah, yang baru berusia 3 tahun, mati, tersiram kuah bakso dari gerobaknya sendiri saat razia PKL. Gerobaknya terjungkir ketika ia mencoba mempertahankan gerobaknya agar tak diangkut ke truk Sat Pol PP. Anak semata wayangnya itu yang bercita-cita jadi guru itu meregang nyawa dipelukannya dalam perjalanan ke rumah sakit. 90 persen tubuhnya melepuh terpapar kuah panas. dan dikala penindasan itu terjadi dimana tuhan? Tak ada yang menolongnya. negara pun tidak. nyawa anaknya hanya dihargai 15 juta. oh, betapa murahnya harga sebuah nyawa.

Penderitaannya berlanjut. istrinya, Ipeh, akhirnya mati beberapa bulan setelah Imah meninggal. Ipeh stess berat setelah anaknya meninggal. ia kemudian gantung diri di kamar mandi umum, tempat ia biasa mencuci pakaian. dan tuhan, dimana tuhan? tuhan tak pernah mencegah istrinya. juga tuhan tak pernah ada ketika ia ditangkap dan diinterogasi intel karena memimpin demo menolak penggusuran PKL. ia disiksa, disetrum, diludahi, harga dirinya sebagai manusia ditelanjangi. tiap kalimat takbir yang iya ucapkan tiap kali menahan sakit siksa interogasi dijawab sinis para penyiksa itu;

"Sebut saja sampai kau mati juga nggak bakal ada yang menolong!"

Sejak itulah, bahkan setelah dilepaskan aparat, ia mulai mempertanyakan tuhan. Barangkali bagi kebanyakan orang bertanya soal dzat yang serba maha itu adalah suatu yang tabu. "haram hukumnya. bisa-bisa musyik," itu kata para pendakwah dan guru ngajinya. tapi ia tak peduli. hampir separuh catatan harian-nya akhir-akhir ini yang rutin ia isi sejak kematian keluarganya selalu bermuara pada dua pertanyaan besar; pertama, siapa yang menciptakan saya? hingga saat ini ia belum menemukan jawaban yang tepat yang bisa diterima nalarnya. Sebab ketika pertanyaan pertama itu dijawab dengan Tuhan, maka muncul pertanyaan kedua; siapa yang menciptakan Tuhan?

"Itu pertanyaan bodoh! kau hanyalah patung, sementara tuhanmu adalah pematung. patung memiliki keterbatasan. sementara pematung memiliki kebebasan," ujar kawannya suatu kali ketika lelaki itu sempat curhat pada karibnya.

Lelaki itu memang sempat cekikikan dalam tekstasi karena komentar kawannya itu. analogi kawannya yang menyamakan manusia sebagai patung jelas melukai nalarnya. Patung adalah benda mati yang tak memiliki syarat apapun untuk mempertanyaan tuannya. sementara manusia adalah mahkluk berpikir yang bisa kapan saja menanyakan tu(h)annya. toh karibnya sendiri itu yang--entah dengan alasan apa--menganalogikan manusia sebagai patung, tak pernah hidup sebagai patung dalam sedikit dan banyak hal. karib lelaki itu melancong ke Jakarta dari kampung halamannya di Madura untuk tak sekedar bertahan hidup secara ekonomis. ia malah menegaskan dirinya sebagai; calon enterpeunership. ia berdagang. dan patung jelas-jelas tak bisa melakukan itu. hewanpun juga tak akan berdagang untuk bertahan hidup. Hanya manusia yang bisa. Malah bisa menggugat bahkan memberontak. Pun manusia bisa menjadi tuhan.

"Manusia jelas tidak sama dengan tuhan," ucap karibnya yang lain suatu kali di sebuah warung kopi.

"Aku katakan menjadi. bukan sama dengan. kedua kata itu berbeda. kata menjadi menunjuk pada proses dan bukan hasil. jadi, manusia berproses menjadi tuhan. syaratnya ada dua; ia mau dan mencari! seperti yang dilakukan para sat pol pp yang membunuh anakku dan yang dilakukan aparat ketika menyiksaku. mereka menjadi tuhan," debatnya pada karibnya.

"Barangkali tuhan memang tak ada, wahai lelaki? ya. barangkali. segala seuatu yang ada di langit dan dibumi pasti mempunyai sebab. dan kalau kita bergerak mundur pada mata rania sebab kita pasti sampai pada sebab pertama, dan sebab pertama itu dinamai tuhan. namun jika segala sesuatu mempunyai sebab, maka tuhan juga harus mempunyai sebab. jika segala sesuatu ada tanpa sebab, ia jelas sebuah kepalsuan yang dibuat-buat." begitu tulis lelaki paro baya itu di buku hariannya.

Ia kaget juga bukan lantaran ancaman neraka disebut berkali-kali dalam demo itu bagi manusia-manusia yang durhaka. Bagi lelaki itu dokrin neraka adalah sebuah dokrin tentang kekejaman. kekejaman didunia yang sengaja diturunkan dan menjadi warisan bagi seluruh manusia beragama. Bukankah kebanyakan kaum beragama menindas? Sungguh tidak bisa dikatakan tuhan dan agama sebagai jawaban atas ketidakadilan dimuka bumi ketika ia melanggengkan hukuman neraka yang keji. dibiarkan manusia dalam dua jurang yang berbeda; surga dan neraka. sementara mereka yang dineraka berteriak kesakitan, merintih, mengaduh, memuncratkan darah. Sedangkan yang lain bersenang-senang, minum anggur dan arak (yang didunia diharamkan, tapi diakherat dihalalkan) sambil main wanita (baca; bidadari) sembari melupakan istrinya di dunia dulu. (mungkin karena bosan dan perlu variasi?). Lagipula tak ada yang abadi di semesta ini, bukan? Jika tuhan menciptakan keabadian; surga abadi, neraka abadi, penyiksaan abadi, manusia abadi, ia menyalahi kodratnya sendiri. Bukankah di kitab sucinya, tuhan sendiri berkata hanya tuhan yang abadi. dan manusia di akherat nanti abadi? Awas hati-hati! manusia punya pikirannya sendiri. Ia akan mengobrak-abrik akherat dengan kemampuan berpikirnya. Dan tuhan bisa dimakzulkan.

Ia kaget bukan alang kepalang dan nyaris berdiri dari tempat duduknya karena es campur pesanannya tumpah dicelananya, tepat dibagian selangkangannya. kuah es campur yang sangat dingin yang dipenuhi serbuk-serbuk es itu menjilati kemaluannya yang sedari tadi ngaceng karena lelaki itu baru saja melihat perempuan muda dengan lingerie hitam tipis melintas didepannya.

Surabaya-Sampang 10-11 Februari 2010