WAKTU

JEDA

Rabu, 10 September 2014

Candu

Candu

Seperti apa rasanya jika kita dicekoki makanan yang tak pernah kita sukai? Untuk sekali duakali sekedar untuk menghormati sang pencekok kita terima saja makanan itu masuk ke tubuh kita. Tapi kalau kegiatan cekok-mencekok itu sudah jadi rutin, pada akhirnya kita muntah juga. 

Begitulah, kali ini saya benar-benar muntah. Begini ceritanya. Akhir-akhir ini ibu saya mulai gemar menyaksikan segala bentuk acara motivasi. Yang paling rutin dilakukannya adalah menyaksikan acara Mario teguh the golden ways. Awalnya saya tak terganggu dengan aktivitas itu. Toh, saya punya aktivitas lain tiap kali pulang ke rumah ibu. Tapi aktivitas ibu saya itu mulai mengganggu aktivitas saya. Termasuk tidur. Ya, Pasalnya, setelah menonton itu, ibu malah menceramahi saya seperti layaknya Mario Teguh menceramahi pemirsanya. Saya tak tega sebenarnya. Dia yang membiayai hidup saya sebelum saya bisa mengais-ngais tanah dan mematuk makanan dengan ceker dan paruh saya sendiri, masak ceramah nggak dibayar. Satu dua kali tak mengapalah. Tapi lama-lama kegiatan itu malah menjadi rutin. Enak di Mario Teguh nggak enak di Ibu saya dong jadi tukang iklan gratisnya. 

Bahkan saya ‘diwajibkan’ turut serta menyaksikan acara tv motivasi yang sama sekali tak pernah saya sukai itu. Suatu kali usai menonton acara tv kesukaan ibu itu, saya akhirnya membuka ceramah. Sebelum ibu saya yang duluan ceramah, yang sebenarnya isinya sama dengan yang saya tonton bersamanya. Sambil ngemil kripik singkong dan menghisap kretek saya mulai ceramah saya. 

Sebenarnya saya mahfum saja kalau ibu demikian gemar menonton acara yang cuma menjual kebijaksanaan itu. Saya katakan menjual ya karena kebijaksanaan yang keluar dari basahnya mulut motivator tak pernah nirlaba. Satu dua kalimat bijak dari mulut motivator harganya bisa puluhan juta. Makanya jangan heran jika Mario Teguh sampai sekarang dikenal sebagai motivator termahal di Indonesia. Padahal kebijaksanaan yang dilontarkan para motivator itu hanyalah kebijaksanaan umum yang didaur ulang dengan aksesoris-aksesoris masa kini. Tak ada yang benar-benar baru. Tak akan jauh berbeda dengan kebijaksanaan yang keluar dari kiyai-kiyai kampung, atau tukang becak yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Juga tidak berbeda dengan kata-kata yang keluar dari sohib kita ketika kita putus cinta. Sambil memberik puk-puk ke bahu dia akan berkata; “ayo dong, jangan sedih. Kamu pasti bisa. Move on itu cuma perlu langkah pertama”

Kemahfuman saya tentu tidak tanpa alasan. Sebagai seorang istri pegawai yang telah satu tahun menjalani pensiun, kegamangan memandang hari depan ekonomi keluarga adalah kewajaran. Gamang menyaksikan kenyataan hidup yang sedemikian mahal dan beban hidup yang terlalu berat, seringkali memaksa manusia menggapai-gapai sekenanya, apa saja sekadar sebagai pegangan agar tidak roboh. Dan motivasi adalah jawaban yang ditawarkan oleh industri. Seolah-olah merupakan oasis yang teduh untuk sembunyi kenyataan ekonomi yang serba tak menentu. Padahal nyatanya cuma fatamorgana belaka. Sebab ketika motivasi menjadi bagian dari kerja industri, berarti ia adalah dampak dari persoalan ekonomi. 

Berdasarkan sejarah kemunculannya,  kata motivation baru muncul secara tertulis pada tahun 1873 dalam bahasa Inggris modern. Saat itu sedang terjadi kepanikan ekonomi yang diikuti depresi. Kegagalan perbankan, diikuti kegagalan dunia bisnis. Sementara masyarakat berada dalam ilusi bahwa segalanya sedang baik-baik saja, hingga akhirnya mereka berhadapan dengan kenyataan yang telah begitu rapuh. 

Hampir mirip dengan di Indonesia, Di Indonesia, fenomena motivator-motivator terkenal baru muncul pasca-krisis tahun 1998. Waktu itu tokoh-tokoh seperti Sudono Salim, dan Ciputra sangat disegani. Bahkan mereka kerap diundang istana negara untuk memberikan dorongan moril kepada anggota kabinet agar kinerja mereka membaik. Propaganda-propaganda “keberhasilan bisnis” kerap menjadi tema sentral dalam kebanyakan materi motivasi hingga sekarang. 

Kasarnya, motivator menjual apa yang yang “enak” didengar daripada yang “seharusnya” didengar. Menjual yang “indah” daripada yang “benar”, yang “diinginkan” daripada yang “dibutuhkan.” Ringkasnya, merekalah “ujung tombak” peredam gejolak emosi kelas menengah karena limbung diterpa krisis ekonomi yang terus menghantam ke segala lini. Tak bisa dibayangkan bukan ketika, krisis ekonomi memunculkan jutaan orang resah tumpah ke jalanan. Revolusi. Tak bisa dibayangkan berapa kerugian yang akan dihadapi kapitalis industri dalam keadaan semacam itu. Syukur-syukur bisa menyelamatkan diri, bahkan banyak sejarah revolusi, tak sedikit leher para kapitalis itu remuk dihantam cangkul petani-petani lapar yang hak hidupnya digilas roda kapitalisme yang kejam. 

Jadi tak perlu heran jika yang ada dalam kamus motivator adalah optimisme dan keyakinan buta; tetap semangat. segala akan baik-baik saja pada waktunya. Soal pendidikan mahal, kesehatan mahal, kenaikan harga BBM, kenaikan harga sembako tak ada dalam kamus motivator. Dan entah mengapa kita memang lebih suka dibohongi ketimbang dijujuri soal kenyataan ekonomi macam begitu. 

Makanya tak berlebihan jika motivasi hampir setali tiga uang dengan agama; tak perlu dibuktikan, cukup dipercayai. Buah dari kenikmatan akan kepercayaan atas sesuatu adalah keyakinan. Entah berisi atau tidak, terbukti atau tidak. Tentu bagi mereka yang terlalu mudah terpesona dengan kata-kata indah, motivator tak akan bisa salah, karena jika kata-katanya tak bisa dibuktikan, artinya kita yang belum cukup keras berusaha. Tanggalkan semua atribut bernama verifikasi dan falsifikasi sebagai dasar dari ilmu pengetahuan. Sebab jika kita masih membawa-bawa verifikasi dan falsifikasi sebagai alat uji dari setiap petuah motivator kita akan menghilangkan nikmatnya menyesap kepercayaan. Dan seperti paham akan kerapuhan dari pijakan bernama kepercayaan itu, para motivator selalu membangun argumennya dengan optimisme sebagai tiang pancangnya. 

Jadilah kemudian semua masalah, solusinya selalu berputar-putar pada optimisme yang taglid buta. Tak peduli bagaimana kenyataan yang sebenarnya. Tak peduli akar masalah yang saling berkait-kelindan, atau bertumpuk-tumpuk variabel yang seharusnya dipreteli. Semuanya berakhir dengan kesimpulan: kita belum cukup keras berusaha. Dengan kondisi yang demikian tak berlebihan kalau menyebut motivasi itu candu.

Mendengar ceramah saya yang sengaja saya berondongkan itu seperti SMS (senapan mesin sedang) jenis M-60 yang dipegang Rambo, adik dan ibu saya melongo. Sejenak. Dari sela-sela gigi kedua orang yang saya cintai itu terpampang wajah-wajah delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Dari bibir mereka yang kelu itu terdapat gurat wajah-wajah buruh upah murah yang sedang berebutan satu bungkus makan siang usai berdemo.

Sementara di mata ibu saya wajah saya mungkin sudah kelihatan seperti orang kerasukan. Ibu mengelus dada. Berkali-kali istighfar keluar dari mulutnya. Selanjutnya, bisa ditebak, saya dan ibu saya mulai tidak bertegur sapa. Mungkin karena saya mulai muntah dan ogah kecanduan motivator. Tapi tak lama. Toh, kami tetap akrab lagi seperti ibu dan anak. Kini, ibu saya sudah tak pernah nonton Mario Teguh. Kegemarannya yang lain, setelah bapak meninggal, menonton motivator religius: Yusuf Mansur!