WAKTU

JEDA

Selasa, 19 Juni 2012

Kutukan Buku

Kutukan Buku
Oleh: Edy Firmansyah

Buku adalah anak rohani. Sementara penulis dan penerbit adalah ibu dan bapak bagi anak-anak rohaninya. Bagi bapak dan ibunya anak rohani itu boleh jadi merupakan mahkota sekaligus penopang hidup. Sungguh tragis jika kemudian seorang bapak, karena anak rohaninya dianggap ‘cacat’, tega membakar anaknya.

Tapi itulah yang dilakukan penerbit Gramedia Pustaka Utama pada buku berjudul “5 Kota yang Paling Berpengaruh di Dunia” yang disadur dari buku penulis barat, Douglas Wilson ( 13/06/2012). Bermula dari laporan Organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) ke Polda Metro Jaya yang melaporkan manajemen perusahaan penerbitan PT Gramedia terkait soal penerbitan buku berjudul "5 Kota Paling Berpengaruh Di Dunia" yang isinya diduga menodai agama Islam.  "Ada kalimat yang menyatakan Nabi Muhammad menjadi perampok dan perompak, kemudian menyerbu kalifah (pemimpin)," kata Jurubicara FPI Munarman di Markas Polda Metro Jaya, (Antara, 11 Juni 2012).

Laporan tersebut segera disikapi pihak penerbit Gramedia. Tak tanggung-tanggung penyikapannya. Bukan hanya menarik buku dari toko buku gramedia yang tersebar di seluruh Indonesia, tetapi juga membakarnya. Upacara pembakaran dilakukan secara terbuka dan disaksikan berbagai pihak. Malah Gramedia turut mengundang MUI dan FPI untuk menyaksikan aksi vandal tersebut. Setidaknya sekitar 900 lebih anak rohani ‘cacat’ itu dilalap api.

            Sejatinya aksi Pembakaran buku atau yang sering disebut biblioklasme atau librisida bukanlah hal baru dalam sejarah perbukuan dan lazim dilakukan pihak-pihak yang merasa berkuasa untuk melenyapkan buku-buku yang dianggap mengganggu “ketertiban umum” dan kelanggengan kekuasaan. Itulah mengapa pembakaran buku kerap menjadi ciri dari rezim yang kejam dan menindas. Hampir di sepanjang sejarah umat manusia sejak mengenal budaya tulis, selalu terdapat pihak yang keblinger untuk membakar “puncak-puncak peradaban” demi melanggengkan posisinya dalam panggung sejarah tanpa perasaan berdosa seakan-akan yang dibakar bukan pintu pembuka peradaban, melainkan 'sampah'.

Beberapa peristiwa pembakaran buku yang sangat dikenang—karena buku-buku yang dihancurkan tidak dapat tergantikan dan hilangnya buku-buku itu menimbulkan kerusakan berat terhadap warisan budaya—diantaranya; pemusnahan Perpustakaan Iskandariyah, pemusnahan Perpustakaan Baghdad, pembakaran buku dan pembantaian cendekiawan pada masa Dinasti Qin di Cina, pemusnahan Naskah kuno Maya oleh penakluk dan pendeta Spanyol, pembakaran buku Nazi, dan pemusnahan perpustakaan nasional Sarajevo.

Di Indonesia sendiri aksi pembakaran buku bukanlah hal baru. Sejak orde lama hingga orde reformasi sekarang pembakaran buku terus menerus terjadi. Namun merupakan sebuah ironi atau anomali di orde reformasi yang dikelola penguasanya dengan mekanisme demokrasi paling baik saat ini jika pembakaran buku masih terus terjadi. Apalagi tindakan vandal tersebut justru dilakukan oleh negara yang kemudian praktek tersebut menjalar ke sebagian masyarakat. Pasalnya, semangat membakar buku adalah semangat antiperadaban.

Buktinya, rejim berganti tapi aksi librisida bukannya menyurut malah terus berlanjut. Pada tahun 2007, misalnya, berbekal Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 019/A-JA/10/2007, Kejaksaan Agung membakar ribuan buku pelajaran SMP dan SMA karena tidak menyertakan peristiwa Madiun 1948 serta menghilangkan setiap kata PKI dari frasa G-30-S. Pada tahun 2009, dipicu tulisan bersambung Dahlan Iskan di harian ini (14-16 Agustus 2009), Front Antikomunis (FAK) berdemonstrasi dan membakar buku karya Soemarsono, Revolusi Agustus. Tudingan FAK baik tulisan Dahlan maupun buku Soemarsono berpotensi memanipulasi sejarah dengan menjadikan Soemarsono seakan pahlawan.

            Pada oktober 2010, setidaknya lebih dari 50 Al-Quran dibakar di Kampung Cisalada, Desa Ciampea, kawasan pemukiman jama’ah Ahmadiyah. Al-Quran yang dibakar sama seperti Al-Quran yang digunakan umat Islam di seluruh dunia. Kejadian itu terjadi pada Jumat (3/10) sekitar pukul 19.30 WIB. Tindakan tersebut merupakan bagian dari penyerangan yang dilakukan sekitar 30 remaja ke arah Masjid At-Taufiq, milik Ahmadiyah. Masjid itu juga tak luput dari pembakaran (Bingkai Merah Indonesia, 4 oktober 2010 (http://indonesiabuku.com/?p=7214) ).

Namun pembakaran buku yang dilakukan oleh pihak penerbit sendiri barangkali baru pertamakali terjadi di Indonesia. Dan Penerbit Gramedia mempeloporinya. Sungguh menyedihkan sebenarnya. Pasalnya, buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan analisa menjadi mandek. Dalam keadaan seperti ini peradaban manusia berada dalam ambang kehancuran.

Sebagai penerbit, Gramedia tentu saja akan mengamini bahwa buku adalah jendela dunia. Penopang maju mundurnya peradaban sebuah bangsa. dan Gramedia sendiri didirikan untuk memajukan budaya literasi di Indonesia melalui bisnis perbukan. Tapi mengapa kemudian penerbit Gramedia Pustaka Utama tega melakukan biblioklasme, mengabukan anak rohaninya sendiri dengan api?

Pertama, bukan rahasia umum lagi kalau bisnis buku adalah bisnis terbuka dan penuh persaingan. Sementara penerbit-penerbit terus berdiri bak jamur di musim hujan. Dengan begitu roti bisnis kian mengecil karena harus dibagi-bagi banyak kepala. Ancaman krisis over produksi terbuka lebar. Nah, jangan-jangan Gramedia sengaja membakar bukunya untuk ‘memukul” mundur saingannya di dunia perbukuan, terutama buat penerbit-penerbit kecil yang ingin cari hidup dari bisnis pengetahuan ini. Dengan membakar bukunya atas tekanan ormas FPI seakan-akan Gramedia memberikan terapi kejut dan berkata; ”Tutup saja usahamu wahai penerbit-penerbit kecil. Aku aja yang besar terpaksa bakar buku. Cukup aku saja yang buka usaha” sebuah trik monopoli dagang. Dalam posisi ini tekanan yang dilakukan FPI terhadap Gramedia sehingga penerbit besar itu membakar bukunya sendiri juga patut dicurigai sebagai kepanjangan tangan dari persaingan antar penerbit.

Kedua, sudah umum diketahui rekam jejak ormas FPI kerap melakukan tindakan vandalisme terhadap segala yang menurutnya merusak atau melecehkan Islam. Nah, bagi Gramedia memperbaiki aset-aset yang dirusak jauh lebih mahal daripada membela anak rohaninya habis-habisan. Karenanya kemudian Gramedia sengaja menumbalkan buku “5 Kota yang paling berpengaruh di Dunia” itu untuk selamatkan bisnisnya dan menyenangkan FPI. Bisa dibayangkan jika Gramedia tetap bergeming membiarkan anak rohaninya terbit. Kemungkinan FPI melakukan aksi pembakaran asset-aset Gramedia seperti toko buku yang tersebar di mana-mana dan buku-buku yang ada di dalamnya, gedung perkantoran, dsb sangat besar mengingat rekam jejak organ tersebut. Belum lagi jika konfrontasi yang dibangun adalah konfrontasi Gramedia (katolik) versus Islam.

Tindakan menjadikan buku tersebut sebagai tumbal tentu tidak asal jadi. Meskipun melalui proses panjang sebelum menjadi buku, tapi dibandingkan buku lainnya, dilihat dari prospek pasar dan kemungkinan menangkup laba sebesar-besarnya bagi penerbit, buku tersebut tidaklah cerah. Dengan cara memenuhi kehendak ormas tersebut dianggap pilihan yang ‘baik.’ Selain untuk menjaga citra bahwa penerbit Gramedia juga peduli dengan suara publik muslim.

Tapi buku yang dibakar akan menghantui para pembakarnya. Alih-alih menjaga citranya sebagai penerbit ‘baik’ dengan menarik buku itu dan kemudian membakarnya Gramedia justru mendapat banyak kecaman di jejaring sosial karena aksi vandalnya itu. Sampai ada seruan boikot membeli buku terbitan Gramedia dan boikot beli buku di toko buku Gramedia. Citra Gramedia sebagai penerbit ‘arus utama’ pelan-pelan ‘runtuh.’

Padahal sebagai penerbit besar dengan dana besar pula bukanlah suatu hal yang sulit bagi Gramedia untuk membela anak rohaninya itu di meja pengadilan. Selain itu, kalau Gramedia mau memilih membela "anaknya" dukungan dari pecinta buku, penulis buku sebenarnya dapat juga dijadikan ‘senjata’ bisnisnya untuk  menaikkan citranya sebagai penerbit yang serius menjadikan buku sebagai ruang pengetahuan, bukan semata-mata bisnis. Mengenai hal itu Gramedia bisa belajar dari kasus perjuangan anak-anak muda pada 2010 lalu dalam menempuh jalur hukum ke MK melakukan judical review menolak pelarangan buku. Gramedia juga bisa meniru kegigihan Muhidin M Dahlan dalam membela Novelnya “Adam Hawa” dari somasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) beberapa tahun lalu.

Tapi penerbit yang beralamat di Palmerah Jakarta ini tak pilih jalan ‘perang’. Gramedia memilih mengibarkan bendera putih sebelum pertempuran dimulai pada tekanan ormas dan membakar bukunya, anak rohaninya, sebagai cara aman dalam kelangsungan bisnisnya. Padahal sebenarnya tanpa harus tunduk pada tekanan apapun, Gramedia bisa menempuh jalur hukum melalui MK untuk menguji apakah buku layak dan tidak layak dibaca publik. Tapi sayang seribu sayang Gramedia memilih jalan membakar buku. Maka ketika seorang bapak dengan tega hati membakar anak rohaninya, Heinrich Heine salah satu penyair Jerman (1797-1856) memberikan “kutukan”nya; ”Di mana buku dibakar, di sana pula manusia—pada akhirnya—dibakar.” Semoga “kutukan’ itu tak terjadi di negeri ini di masa depan, atau jangan-jangan pembakaran manusia tengah terjadi di sekitar kita?