WAKTU

JEDA

Kamis, 18 Februari 2010

LELAKI DI WARUNG ES CAMPUR

LELAKI Di WARUNG ES CAMPUR
Cerpen: Edy Firmansyah

Lelaki itu menghempaskan pantatnya di kursi paling ujung sebuah warung es campur. Matahari sedang ganas-ganasnya siang itu. Lidah apinya tak hanya menjilat-jilat kulit tubuh dan muka hingga memerah dan membuat pori-pori menganga. Air di seluruh tubuh seakan menguap tak tersisa. Begitu kering. Begitu dahaga.

“Es campur satu bang!” teriak lelaki itu sembari mengacungkan telunjuknya ke udara. Si penjual es campur mengangguk tanda mengerti. Lalu memulai tugasnya; meracik semangkuk es campur untuk lelaki itu.

Sembari menunggu pesanannya datang, lelaki itu menatap jalan yang masih dipenuhi puluhan demonstran dari salah satu organisasi Islam. “Begitu kuat orang-orang yang rata-rata berpeci dan berpakaian putih itu. Matahari begitu teriknya, tapi mereka masih penuh semangat berorasi dan berteriak-teriak menyebut namaNYA. Sementara aku yang sedari tadi duduk di pinggir jalan, dibawah pohon rindang, toh akhirnya takluk juga dihajar panas yang ganas ini” batinnya.

Tiba-tiba lamunan lalaki itu pecah. Sekitar enam demonstran tiba-tiba berdiri di depan warung es campur itu. Salah seorang demonstran bersurban dengan mengaphone putih tiba-tiba berorasi; “Jalan kalian terbujuk oleh nafsu setan dengan membeli majalah-majalah porno. Majalah yang mengumbar syahwat. Bacaan yang melenakan maksiat adalah bacaan syetan dan merusak iman. Gambar-gambar perempuan telanjang dan mekbuat merangsang adalah dosa besar. Baik si perempuan yang dengan sengaja mengumbar kemaluannya maupun laki-laki yang dengan sengaja menenggelamkan diri dalam birahi ia di akherat nanti akan dirajam kemaluannya dengan besi membara. Dan seluruh tubuhnya akan dijilat-jilat api neraka,”

“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik demonstran yang lain.

Lelaki itu tiba-tiba kaget bukan kepalang. Saking kagetnya ia nyaris meloncat dari kursi. Ia kaget bukan lantaran takbir yang diteriakkan para demonstran itu. Baginya kalimat takbir bukanlah slogan asing. Lagipula ia bukanlah seorang muallaf seperti kisah-kisah hikayat arab, yang tiap mendengar namaNYA, hatinya langsung bergetar. Sepanjang hidupnya hingga ia paruh baya begini, takbir telah jadi kredo. Ia lahir dari keluarga yang taat beragama. ayahnya, meski tak pernah membaca qur'an setiap malam, hafal betul surah yasiin. dzikir sehari-hari sang ayah adalah shalawat nuriyah. " Tak ada dzikir paling ampuh selain shalawat pada nabi," pesan ayahnya tiap kali ia pulang kampung. Sementara ibunya adalah guru ngaji. suara sang ibu merdu sekali ketika melantunkan ayat-ayat suci. "Waktu muda aku selalu juara tilawatil qur'an tingkat kabupaten," cerita sang ibu.

Namun dalam beberapa tahun ini, ia sedang mempertanyakan tuhan. lelaki itu kecewa sebab hidupnya sebatang kara dan terlunta-lunta sekarang. anak semata wayangnya, Imah, yang baru berusia 3 tahun, mati, tersiram kuah bakso dari gerobaknya sendiri saat razia PKL. Gerobaknya terjungkir ketika ia mencoba mempertahankan gerobaknya agar tak diangkut ke truk Sat Pol PP. Anak semata wayangnya itu yang bercita-cita jadi guru itu meregang nyawa dipelukannya dalam perjalanan ke rumah sakit. 90 persen tubuhnya melepuh terpapar kuah panas. dan dikala penindasan itu terjadi dimana tuhan? Tak ada yang menolongnya. negara pun tidak. nyawa anaknya hanya dihargai 15 juta. oh, betapa murahnya harga sebuah nyawa.

Penderitaannya berlanjut. istrinya, Ipeh, akhirnya mati beberapa bulan setelah Imah meninggal. Ipeh stess berat setelah anaknya meninggal. ia kemudian gantung diri di kamar mandi umum, tempat ia biasa mencuci pakaian. dan tuhan, dimana tuhan? tuhan tak pernah mencegah istrinya. juga tuhan tak pernah ada ketika ia ditangkap dan diinterogasi intel karena memimpin demo menolak penggusuran PKL. ia disiksa, disetrum, diludahi, harga dirinya sebagai manusia ditelanjangi. tiap kalimat takbir yang iya ucapkan tiap kali menahan sakit siksa interogasi dijawab sinis para penyiksa itu;

"Sebut saja sampai kau mati juga nggak bakal ada yang menolong!"

Sejak itulah, bahkan setelah dilepaskan aparat, ia mulai mempertanyakan tuhan. Barangkali bagi kebanyakan orang bertanya soal dzat yang serba maha itu adalah suatu yang tabu. "haram hukumnya. bisa-bisa musyik," itu kata para pendakwah dan guru ngajinya. tapi ia tak peduli. hampir separuh catatan harian-nya akhir-akhir ini yang rutin ia isi sejak kematian keluarganya selalu bermuara pada dua pertanyaan besar; pertama, siapa yang menciptakan saya? hingga saat ini ia belum menemukan jawaban yang tepat yang bisa diterima nalarnya. Sebab ketika pertanyaan pertama itu dijawab dengan Tuhan, maka muncul pertanyaan kedua; siapa yang menciptakan Tuhan?

"Itu pertanyaan bodoh! kau hanyalah patung, sementara tuhanmu adalah pematung. patung memiliki keterbatasan. sementara pematung memiliki kebebasan," ujar kawannya suatu kali ketika lelaki itu sempat curhat pada karibnya.

Lelaki itu memang sempat cekikikan dalam tekstasi karena komentar kawannya itu. analogi kawannya yang menyamakan manusia sebagai patung jelas melukai nalarnya. Patung adalah benda mati yang tak memiliki syarat apapun untuk mempertanyaan tuannya. sementara manusia adalah mahkluk berpikir yang bisa kapan saja menanyakan tu(h)annya. toh karibnya sendiri itu yang--entah dengan alasan apa--menganalogikan manusia sebagai patung, tak pernah hidup sebagai patung dalam sedikit dan banyak hal. karib lelaki itu melancong ke Jakarta dari kampung halamannya di Madura untuk tak sekedar bertahan hidup secara ekonomis. ia malah menegaskan dirinya sebagai; calon enterpeunership. ia berdagang. dan patung jelas-jelas tak bisa melakukan itu. hewanpun juga tak akan berdagang untuk bertahan hidup. Hanya manusia yang bisa. Malah bisa menggugat bahkan memberontak. Pun manusia bisa menjadi tuhan.

"Manusia jelas tidak sama dengan tuhan," ucap karibnya yang lain suatu kali di sebuah warung kopi.

"Aku katakan menjadi. bukan sama dengan. kedua kata itu berbeda. kata menjadi menunjuk pada proses dan bukan hasil. jadi, manusia berproses menjadi tuhan. syaratnya ada dua; ia mau dan mencari! seperti yang dilakukan para sat pol pp yang membunuh anakku dan yang dilakukan aparat ketika menyiksaku. mereka menjadi tuhan," debatnya pada karibnya.

"Barangkali tuhan memang tak ada, wahai lelaki? ya. barangkali. segala seuatu yang ada di langit dan dibumi pasti mempunyai sebab. dan kalau kita bergerak mundur pada mata rania sebab kita pasti sampai pada sebab pertama, dan sebab pertama itu dinamai tuhan. namun jika segala sesuatu mempunyai sebab, maka tuhan juga harus mempunyai sebab. jika segala sesuatu ada tanpa sebab, ia jelas sebuah kepalsuan yang dibuat-buat." begitu tulis lelaki paro baya itu di buku hariannya.

Ia kaget juga bukan lantaran ancaman neraka disebut berkali-kali dalam demo itu bagi manusia-manusia yang durhaka. Bagi lelaki itu dokrin neraka adalah sebuah dokrin tentang kekejaman. kekejaman didunia yang sengaja diturunkan dan menjadi warisan bagi seluruh manusia beragama. Bukankah kebanyakan kaum beragama menindas? Sungguh tidak bisa dikatakan tuhan dan agama sebagai jawaban atas ketidakadilan dimuka bumi ketika ia melanggengkan hukuman neraka yang keji. dibiarkan manusia dalam dua jurang yang berbeda; surga dan neraka. sementara mereka yang dineraka berteriak kesakitan, merintih, mengaduh, memuncratkan darah. Sedangkan yang lain bersenang-senang, minum anggur dan arak (yang didunia diharamkan, tapi diakherat dihalalkan) sambil main wanita (baca; bidadari) sembari melupakan istrinya di dunia dulu. (mungkin karena bosan dan perlu variasi?). Lagipula tak ada yang abadi di semesta ini, bukan? Jika tuhan menciptakan keabadian; surga abadi, neraka abadi, penyiksaan abadi, manusia abadi, ia menyalahi kodratnya sendiri. Bukankah di kitab sucinya, tuhan sendiri berkata hanya tuhan yang abadi. dan manusia di akherat nanti abadi? Awas hati-hati! manusia punya pikirannya sendiri. Ia akan mengobrak-abrik akherat dengan kemampuan berpikirnya. Dan tuhan bisa dimakzulkan.

Ia kaget bukan alang kepalang dan nyaris berdiri dari tempat duduknya karena es campur pesanannya tumpah dicelananya, tepat dibagian selangkangannya. kuah es campur yang sangat dingin yang dipenuhi serbuk-serbuk es itu menjilati kemaluannya yang sedari tadi ngaceng karena lelaki itu baru saja melihat perempuan muda dengan lingerie hitam tipis melintas didepannya.

Surabaya-Sampang 10-11 Februari 2010

Jumat, 12 Februari 2010

Valentine Datang Lagi

Valentine datang lagi. Dan notisi-notisi cinta bertebaran di mall-mall dan plasa-plasa dengan sampul merah muda. Ia dilacurkan dan menunggu dibeli para remaja yang abai kesejatian cinta. Remaja-remaja yang hanya percaya pada ketelenjangan, ciuman nafsu dan pentil susu perempuan-perempuan remaja korban iklan.

Valentine datang lagi. Dan cinta yang dulu digadaikan atau dijual murah di ranjang-ranjang pergundikan tiba-tiba disucikan. Cinta yang kelabu, cinta remaja yang penuh birahi tiba-tiba disulap merah jambu. Sampulnya, heroisme St. Valentine yang gigih menentang raja Claudius yang haus darah dan kuasa. Bagi Claudius harta dan tahta adalah segalanya. Untuk mewujudkan itu ia butuh militer yang kuat. Maka ia melarang remaja-remaja menikah untuk mau bergabung menjadi prajurit perang yang bengis. St. Valentine menetang. Ia lebih memilih menikahkan pasangan muda dengan sembunyi-sembunyi dalam sebuah kapel yang diterangi pendar lilin.

Valentine datang lagi. Dan sebuah kisah perkawinan suci dewa zeus dan dewi Hera meliuk-liuk di kepala. Sebuah hari yang diyakini sebagai hari kesuburan. Dan terbayang orang-orang roma kuno khusyuk di hari Lupercalia. Menyembelih kurban. Kemudian minum anggur ramai-ramai dan berlarian di jalan-jalan sembari membawa potongan korban. Terdengar teriakan dan tertawa lirih para perempuan yang berebut menyentuh potongan kurban itu. Untuk menegakkan mitos tentang kesuburan.

Valentine datang lagi. Dan masih saja aku baca cerita rasis soal valentine. Sebuah perayaan murtad bagi mereka yang bukan umat Yesus. Sembari mencuplik ayat suci mereka ‘bernyanyi’; soal kekafiran. Soal perbuatan haram. Soal neraka jahanam. Soal remaja-remaja yang dirajam. Oh, agama, mengapa kau bisanya menakut-nakuti umatmu saja? Oh Valentine, kau datang lagi. Masih dengan semangat purba; cinta yang dijual. Cinta yang dikomersilkan.

Valentine datang lagi. Dan ia bukan soal cinta-cintaan melulu. Ia juga bukan Nafsu birahi yang ditancapkan di kelaminmu. Valentine barangkali adalah kejujuran. Kejujuran untuk mengakui bahwa manusia bukanlah makhluk sempurna. Ia lahir dari lendir yang asin. Campuran kebajikan dan dosa yang dipilin dalam desah yang sublim. Valentine barangkali sebuah perlawanan. Perlawanan melawan lupa. Melawan setiap penindasan dengan cinta. Cinta pada kejamakan. Bukan cinta pada kejumudan.
Melawan lupa adalah perjuangan tersulit manusia. Karena itu ada baiknya aku mendedahkan kisah cintaku tiap valentine tiba. Agar tak lupa. Agar tak pandir sebagai manusia.

Tiap Valentine tiba, Aku selalu Ingat Yunita Nur Diana. Ia kucinta sejak masih usia belia; 8 tahun. Kawan SD. Sekelas pula. Cinta monyet. Barangkali iya. Bukankah manusia adalah monyet juga nenek moyangnya. Tapi tak pernah berani kukatakan cinta padanya. Pernah sekali dua mencobanya. Tapi jujur tak pernah bisa sampai di kerongkongan. Yang bisa kulakukan hanya mondar-mandir aja di depan rumahnya tiap pulang sekolah. Itupun sudah cukup mengobati rindu kala itu. Ah, barangkali cinta hanya sekedar perjalanan saja. Seperti pendulum; ia mondar mandir hingga akhirnya ketika daya dorongnya kembali ke titik nol ia diam. cinta punya keterbatasan, kawan.

Tiap Valentine tiba, aku selalu ingat Verania Enri Elria. Usiaku remaja kala itu; 16 tahun. Teman SMA. Sekelas pula. Menyukainya seperti mengulang sejarah; barangkali cintaku hanya berakhir di teman sekelas saja. Tapi menyukainya seakan memberi pengalaman baru soal cinta. Jika pertama aku hanya menyukai perempuan di hati saja, tanpa pernah berani berkata-kata, dengannya aku bisa berbagi cerita. Tapi maaf, hanya beraninya lewat telepon saja. Nyaris saban hari aku telepon dia. Bicara macam-macam (umumnya dipaksakan) soal pelajaran, soal tugas, soal kawan, soal kegemaran. Tapi tak pernah berani ngomong suka. Tapi menyukainya aku jadi belajar bahwa ketakutan kerap melahirkan kebohongan. Dengannya aku tak pernah berani ngomong suka. Tapi aku pernah berbohong dengan sok jadi ‘penyair’. Pernah kutulisi halaman buku matematikanya yang aku pinjam dengan bait lagu katon bagaskara. Ia sempat ‘kagum’ dipikir aku bisa nulis puisi. Padahal plagiat. Mungkin sebal, mungkin juga iseng, salah satu halaman belakang buku tulisku ia tulis juga dengan bait lagu (entah aku lupa judulnya). IMPAS. Dalam bercinta mungkin perlu juga kebohongan?

Kata orang cinta itu mahal. Bukankah menelpon perlu biaya. Tapi ternyata pengalamanku mengenal cinta itu murah kok. Pasalnya, telepon umum dekat rumahku sedang rusak kala itu. Cukup aku masukin koin Rp. 500,- aku sudah menelpon berjam-jam lamanya. Ah, barangkali cinta memang seharga Rp. 500 perak saja. Memang akhirnya aku memang tak pernah pacaran dengannya. Maklum masih pecinta kelas teri.

Tiap Valentine tiba, aku selalu Ingat Veni Adri Santi. Ia kucinta ketika usiaku 17 tahun. Umur kami terpaut jauh. Aku kelas II SMA. Sementara ia masih SMP kelas II. Tapi dengannya aku mulai berani menyatakan cinta. tapi masih tak berani langsung berhadapan muka. Aku menulis surat cinta padanya. Itulah awal aku belajar tulis-menulis soal cinta. Tiap kali aku membaca surat-surat cinta baik yang kutulis maupun yang ia balas (yang aku simpan rapi di kamarku) aku sering cekikikan sendiri. Ternyata cinta kadang konyol kadang juga cengeng. meski mencoba untuk romantis, tapi tetap cengeng. Sayang, hubunganku dengannya kala itu hanya bertahan enam bulan.

Putus dengannya aku nangis di kamar. Luka cinta memang memedihkan. Tapi cerita cinta memang tak pernah usai bukan? Seseorang bisa dikatakan pecinta sejati ketika cintanya diuji. Cinta yang tak pernah diuji adalah cinta yang rapuh.

Tiap Valentine tiba, aku selalu ingat Diana Trisnasari. Ia kupacari setelah dua bulan jomblo. Statusnya sama. Ia kupacari ketika masih kelas II SMP. Barangkali cinta awalnya kebiasaan, setelah itu kerinduan. Ia anak tetangga sebelah. Dengannya aku bisa bertahan tiga tahun. Dengannya aku bisa menulis puluhan surat cinta dalam seminggu. Sebuah rekor dalam hidupku. Aku bisa berbusa-busa menulis surat cinta padanya. Meski jarang berbalas, tapi aku suka sekali. Tiap kali menulis aku seperti orang yang paling romantis. Kita putus setelah aku kuliah. Salah satu lawan dari kerinduan adalah jarak. Semakin jauh jarak yang ditempuh cinta, semakin sulit dipertahankan daya hipnotisnya.

Tapi Valentine kali ini aku tak ingat siapa-siapa lagi. Yang kuingat hanya istriku saja. Nurfa Rosanti. Bersamanya cintaku tumbuh sempurna. Berdua kita belajar menderita. Berdua kita belajar bahagia. Meski tiap pelajaran mengandung alpa, kita selalu mencoba menebusnya. Sejak menikah aku memang tak lagi menulis surat cinta padanya. Tapi aku yakin ia percaya, setiap kesetiaanku adalah kredo bagi cinta kita. I Love You, Sha!