WAKTU

JEDA

Kamis, 27 Desember 2012

AIRMATA

Airmata*)


Obama membacakan nama 26 korban tewas dalam tragedi penembakan brutal di SD Sandy Hook, Connecticut, AS, sebelum memulai pidato belasungkawanya. Korban-korban itu adalah 20 anak dan enam orang dewasa. Suaranya lirih dan bergetar menahan kesedihan. Berkali-kali tangannya mengusap matanya yang terus berkaca-kaca. Kontan isak tangis peserta yang kebanyakan keluarga korban dan masyarakat sekitar membuncah, memenuhi ruangan tempat upacara peringatan tragedi penembakan massal digelar minggu malam 16 Desember 2012 itu.

 ”Kita tak bisa mentoleransi lagi. Tragedi-tragedi ini harus diakhiri. Dan saya bersumpah akan menggunakan semua kekuasaan saya untuk mencegah kejadian serupa terulang lagi. Sudah saatnya kita berubah” janji Presiden Amerika peraih nobel perdamaian tahun 2009 itu.

Memang tak ada yang menduga hari Jum’at 14 Desember 2012 bakal menjadi hari berdarah di SD Sandy Hook, Connecticut, AS. Pada pagi yang dingin itu, tepatnya pukul 09.30 waktu setempat, kegiatan berlangsung seperti biasa. Melalui pengeras suara, terdengar seorang guru membacakan ikrar kesetiaan. Kemudian mengumumkan bahwa makan siang di kantin adalah pizza dan brokoli.

Tapi lima belas menit kemudian, Adam Lanza, remaja berusia 20 tahun yang diduga mengalami gangguan jiwa itu mendobrak pintu utama sekolah dengan dua senjata berpeluru lengkap. Sebelum mendatangi sekolah tempat Ibunya mengajar itu, Lanza terlebih dahulu telah membunuh Ibunya. Menembaknya tiga kali di wajah saat tidur di kamar tengah.

Ia kemudian memberondongkan senapan serbu jenis Bushmaster 233 milik ibunya secara membabibuta. Kaca-kaca ruangan pecah. Kertas-kertas berhamburan ke tanah. Teriakan minta tolong membuncah. Murid-murid  belia dan para guru berlarian mencari perlindungan. Korban-korban berjatuhan. Begitu suara sirene polisi mendekat, Lanza menghentikan aksinya. Terdiam. Meletakkan senapannya. Lalu mengambil pistol yang terselip di celananya. Dan; dor! Ia menembak kepalanya sendiri.

Penembakan brutal itu bukanlah yang pertama terjadi di negeri Paman Sam. Sejak tahun 1966, tercatat ada 10 penembakan terbesar yang terjadi di sekolah atau kampus yang memakan korban jiwa. Dan sebagian besar pelakunya bunuh diri.

Obama menangis. Amerika berduka. Bendera setengah tiang dinaikkan sebagai tanda kesedihan nasional. Kesedihan ‘dunia.’ Tak urung Presiden Israel Shimon Perres dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu turut mengucapkan belangsungkawa atas tragedi itu. ”Kami di Israel turut berdukacita,” tulis keduanya dalam surat yang dilayangkan ke Amerika. Pemerintah Jepang melalui Perdana Menterinya, Yoshihiko Noda, juga menyampaikan hal serupa.

Sebagai manusia waras kita juga berhak menangis atas tragedi itu. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Anak Semua Bangsa; ”Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana.”

“Tapi kita juga harus adil sejak dalam pikiran. Apalagi dalam perbuatan” Tulis Satu-satunya Sastrawan yang namanya jadi kandidat Nobel Sastra dunia itu di Novel Bumi Manusia. Ya. Aimata Amerika seringkali airmata berwajah ganda. Di satu sisi ia gampang mencair atas sebuah tragedi kemanusiaan yang menimpa bangsanya. Tapi di sisi lain kesedihan itu beku dan membisu pada tragedi kemanusiaan yang lain. Memang airmata karena iba dan airmata buaya begitu tipis bedanya.

Obama tak meneteskan airmata ketika tentara-tentara AS yang dikirim melalui bendera NATO ke Afganistan menyerang penduduk sipil, terutama perempuan dan anak-anak. Dari berbagai serangan tersebut ratusan anak-anak Afganistan tewas. Presiden AS yang pernah bersekolah di Indonesia itu juga tak merasa perlu berbelasungkawa atau mengibarkan bendera setengah tiang kala Israel menyerang Palestina dan menewaskan anak-anak tak berdosa. Sementara penduduk Afganistan dan Palestina terus mengutuk serangan-serangan yang melibatkan AS di dalamnya.

”Perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa” kata sastrawan kelahiran Cekoslowakia, Milan Kundera. Dan airmata boleh jadi adalah salah satu cara mengingat segala penindasan. Mengenang segala kebengisan kekuasaan yang menikamkan belatinya ke jantung kemanusiaan. Di manapun.

Barangkali kita, di Indonesia, beruntung karena masyarakat sipil tak gampang memiliki dan menyimpan senjata secara legal. Kita mungkin tak akan pernah mengalami tragedi kemanusiaan seperti yang menimpa SD Sandy Hook, Connecticut, AS.

Tapi kita seringkali menangis karena suatu hal yang mubazir. Kita gampang menangis kala menonton sinetron yang melankolis. Tapi airmata tak jua jatuh melihat penggusuran pemukiman kumuh, penggusuran masyarakat adat yang mempertahankan hutan dan tanahnya dengan darah dan airmata kala berhadapan dengan alat negara dengan moncong senapan mengarah ke dada. Kita menangis melihat selebritis menangis dalam doa-doa, tapi kita tak menangis ketika rakyat tak berdaya digulung perusahaan-perusahaan tambang yang bengis.

Manusia menangis bukan karena lemah. Tapi karena ada perasaan sakit yang tak bisa diobati kecuali dengan airmata. Begitu kata petuah bijak. Kita berhak menangis ketika tangan tak sanggup mengepal dan melawan. Meskipun itu selemah-lemahnya iman perjuangan. Ironisnya, kita barangkali terlalu kebal dengan rasa sakit. Karena itu kita pelit mengeluarkan airmata pada penindasan yang sebenarnya terjadi di sekeliling kita.

Maka ijinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan sebuah cerita fakta dari dusun Aramiah, Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur. Pada Kamis sore, 6 September 2012, Seorang gadis bernama Putri Erlina, 16 tahun, dengan tangan gemetar meraih seutas tali, mengalungkan ke lehernya. Dan wuts, nafasnya tertahan di lehernya. Kakinya menendang-nendang udara. Bibirnya mulai membiru. Beberapa menit kemudian nyawanya terpisah dari raganya.

Alasan Putri menghabisi nyawanya sendiri karena terlanjur malu. Ia terjaring razia petugas Wilayatul Hisbah (polisi syariah)  pada 3 September 2012. Ia dituduh melanggar perda Syariah, menjadi pelacur. Tuduhan yang ‘membunuh’ harga diri perempuan manapun yang tak pernah merasa melakoni profesi itu.

Sebelum menyerahkan nyawanya sendiri pada el maut, ia menulis surat pada Ayahnya. Isinya pengakuan dengan larik yang memedihkan. ”Ayah…maafin Putri.  Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani sumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu Putri Cuma mau nonton keyboard di Langsa. Terus Putri duduk di lapangan, begadang sama kawan-kawan Putri…’’ Yusrin, Ayah Putri, menemukan surat itu tak jauh dari jasad putri yang menggelantung.

Putri adalah salah satu dari sekian banyak remaja dan anak-anak yang jadi korban kekuasaan yang congkak di negeri ini. Dan tak pernah ada airmata bagi mereka yang kalah. Tak pernah ada bendera setengah tiang dari negara atas kematian mereka yang lungrah dihujam meriam kekuasaan yang pongah. Kita hanya mengenangnya sebagai berita. Tak lebih. Tak ada airmata. Apalagi pembelaan dan perlawanan. Juga isak sedih. Kebanyakan masyarakat kelas menengah Kita—meminjam terminologi Eric Fromm—barangkali adalah masyarakat yang sakit jiwa.(*)

*) dimuat di Detik.com : http://news.detik.com/read/2012/12/26/123142/2126830/471/airmata-obama-dan-kita

Kamis, 20 Desember 2012

Membaca Hegemoni dan Politik Media*)


Membaca Hegemoni dan Politik Media*)

Saya akan mengawali tulisan ini dengan cerita fakta dari negeri Paman Sam. Pada bulan Mei 1986, publik Amerika dikejutkan dengan terbitnya sebuah buku memoir yang ditulis Armando Valladeres, seorang bekas tawanan Kuba yang baru saja dibebaskan. Berdasarkan ulasan buku yang dilansir media seperti Washington Post dan New York Times secara berulang-ulang, buku tersebut dianggap sebagai buku yang membangkitkan inspirasi karena menceritakan tentang kebiadaban sebuah penjara di negeri sosialis di mana Fidel Castro berkuasa. ”Inilah laporan tentang sebuah sistem penyiksaan dan pemenjaraan yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan Castro untuk menghukum dan memusnahkan musuh-musuh politiknya” demikian media menjelaskan isi dari memoir tersebut.

Dan dengan cepat, buku tersebut menjadi sensasi di berbagai media. Menjadi pembicaraan publik Amerika hingga membuat gedung putih merasa perlu bereaksi atas pemberitaan media soal memoir tersebut. Apa reaksi gedung putih? Pada sebuah upacara di gedung putih yang disebut Hari Hak Asasi Manusia, tulis Noam Chomsky, Velladeres dipilih oleh Ronald Regan sebagai wakil Amerika di Komisi Hak Asasi Manusia PBB karena ketegarannya melewati horor dan sadisme yang dilakukan tiran Kuba yang kejam. Hal itu dilakukan tak lain karena Kuba adalah musuh bebuyutan Amerika. Dan penunjukkan Velladeres bisa menjadi alat cuci tangan AS terhadap kekejaman yang dilakukan pada masyarakat El Savador dan Guatemala saat mendirikan negara ‘boneka’nya.

Sementara itu, di bulan yang sama, Noam Chomsky melanjutkan, beberapa anggota kelompok HAM El Savador yang selamat—beberapa pimpinannya telah dibunuh—tertangkap dan disiksa, termasuk direkturnya, Anaya. Mereka dibawa ke sebuah penjara yang bernama La Esperensa (harapan). Mereka disiksa dengan keji; mulai dari pemukulan hingga sengatan listrik. Tapi penyiksaan tak menyurutkan perjuangan mereka. Sebaliknya, karena sebagian besar dari mereka adalah pengacara, perlawanan terus dilakukan. Salah satunya dengan mengumpulkan tanda tangan persetujuan bukti tentang adanya penyiksaan tersebut. Hasilnya, dari 432 narapida di La Esperensa mereka berhasil mengumpulkan 430 tanda tangan di bawah sumpah tentang adanya penyiksaan yang mereka alami. Termasuk penyiksaan yang dilakukan oleh seorang Mayor Amerika yang mengenakan seragam dan dijelaskan dengan tambahan beberapa detail.

Pengakuan tersumpah yang tebalnya 160 halaman itu berhasil diselundupkan ke luar penjara dan disebarkan oleh satgas antar agama di Marin Country. Apa yang terjadi? Tidak ada media dan stasiun televisi yang mau meliputnya. Apalagi melakukan investigasi. ”Memang ada sebuah artikel yang ditulis dan dimuat koran lokal di Martin Country, San Fransisco Examiner, tapi setelah itu tak ada lagi. Tak ada yang mau menyentuh persoalan ini” tulis Noam Chomsky.

Dan tak ada penghargaan apa-apa yang diperoleh Anaya. Pemerintah Amerika tidak menunjuk Anaya mewakili Komisi HAM di organisasi internasional manapun seperti yang diberikan pada Armando Valladeres. Sebaliknya justru tragedi menimpa Anaya. Dia dibebaskan dalam sebuah pertukaran napi dan kemudian dibunuh oleh kesatuan rahasia Amerika. Tak ada yang mempertanyakan kelanjutan laporan Anaya. Juga media. Laporan Anaya tentang kekejaman penjara El Savador dan Guatemala di mana Amerika berhasil mendirikan negara “boneka” di sana hilang tertindih oleh isu-isu lain.

Apa yang bisa ditarik dari cerita di atas di tengah makin menjamurnya media baru baik cetak maupun online di Indonesia? Mungkin masyarakat mempunyai beragam pilihan bacaan atas tafsiran media (dengan awak reporternya di lapangan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tapi perlu diingat bahwa media juga mempunyai peran besar dalam mengontrol opini publik berdasarkan tafsirannya atas peristiwa. Bukankah pemberitaan yang dilakukan media Amerika seperti diawal tulisan ini juga kerap terjadi di negeri ini? Pada medio 2009 publik Indonesia dikejutkan dengan peristiwa yang menimpa Manohara Odelia Pinot, seorang model Indonesia yang mendapatkan KDRT oleh suaminya, Pangeran Kerajaan Kelantan, Malaysia, Muhammad Fakhry. Media massa di Indonesia memberitakannya dengan detail. Sontak Manohara mendapatkan perhatian publik. Dan pemberitaan media pula yang mendorong pemerintah (melalui Kementerian Perempuan) memperjuangkan “nasib” Manohara. Tapi berbeda misalnya pemberitaan media mengenai kasus TKW dan TKI di Malaysia yang mendapatkan perlakukan keji dari majikannya. Media tak sanggup mendorong pemerintah menuntaskan banyak kasus TKI dan TKW yang meninggal secara tak wajar di negeri Jiran, misalnya. Dalam kasus lain misalnya, kasus penghilangan paksa aktivis-aktivis pada medio 1996-1997 yang dilakukan negara melalui kopassus dengan tim mawarnya juga tak mendapatkan berita serius dari media massa. Siapa dalang dibalik penghilangan paksa itu juga belum terungkap hingga sekarang. Sebuah ironi sebenarnya ditengah menjamurnya media massa cetak dan elektronik di negeri ini.

Itulah mengapa diperlukan sikap kritis atas maraknya kemunculan media massa baik cetak maupun online yang bak jamur di musim hujan. Sikap kritis tersebut diperlukan karena tidak ada pemberitaan yang ‘bersih’ di media manapun. Kita tak bisa sepenuhnya percaya pemberitaan media. Setiap media punya sikap politik dan ekonominya sendiri-sendiri. Kisah soal Armando Valladeres dan Herbert Anaya diawal tulisan ini bisa dilakukan media manapun dalam bentuknya yang lain.  Tentu saja kita tak menginginkan itu terjadi. Ataukah memang tengah terjadi dan terus terjadi juga di negeri ini? Entahlah.

Tapi saya punya pengalaman untuk menutup tulisan ini. Pada awal 2006 saya meliput demo besar buruh di depan kantor Gubernur Jatim yang menuntut soal UMR. Saya mewancarai aktivis dari FNPBI dan PRD Jatim sebagai perwakilan ‘suara’ buruh. Ketika hasil liputan itu saya serahkan ke redaktur, tiba-tiba saya dipanggil.

”Ganti narasumbermu. Bos tidak suka komentar dari PRD dan sejenisnya.” Kata redaktur saya. Malam itu saya pontang-panting mencari narasumber lain dari serikat buruh. Beruntung ada kawan reporter dari media lain yang baik hati mau membantu saya membagi hasil wawancaranya dengan perwakilan serikat buruh yang moderat.  Esoknya, berita saya turun. Dan komentar dari perwakilan FNPBI dan PRD Jatim tak muncul. Diganti dengan komentar dari serikat buruh yang saya dapat dari kawan saya itu. Nah!

*) Tulisan ini dimuat di Harian Radar Surabaya, 09 Desember 2012

Kamis, 13 Desember 2012

Membaca Sastra Indonesia Hitam Putih

Membaca Boemipoetra, Membaca Sastra Indonesia Hitam Putih*)

Judul                : Djoenal Boemipoetra
Penulis              : Wowok Hesti Prabowo, dkk
Penerbit            : Boemipoetra, Tangerang
Cetakan           : I, November 2012
Halaman           : 272 halaman



Jurnal itu cuma sekedar corat-coret di toilet. Begitulah kira-kira komentar Goenawan Mohammad (GM) ketika menanggapi terbitnya Djoernal Boemipoetra (selanjutnya disingkat BP). Malah saking tak bergunanya BP di mata penyair yang juga pernah jadi pemimpin redaksi Majalah Tempo itu, ia sempat meramalkan, dalam sebuah wawancara, bahwa BP tak akan bertahan lebih dari enam bulan.

Tapi ‘’ramalan’’ salah satu penandatangan manifes kebudayaan (manikebu) itu keliru sama sekali. BP terus terbit. Dicetak 1000 eksemplar tiap edisinya, meski dananya berdasarkan patungan antar redakturnya dan hasil sumbangan dari sukarelawan. Bahkan pada Oktober 2011 lalu BP memasuki usianya yang genap lima tahun.

Nah, buku ini adalah salah satu bentuk perayaan awak redaksi BP. Jurnal BP yang bertebaran selama lima tahun itu dikumpulkan ulang kemudian dijadikan buku. Tujuannya sebagai pelajaran bagi kesusastraan Indonesia bahwa di mana tumbuh rezim sastra, disitu akan lahir pejuang-pejuang yang menentangnya. Tidak untuk menjadi pahlawan atau pecundang. Yang terpenting dari perlawanan adalah mengangkat bendera tinggi-tinggi. Pena dilesatkan.

Lalu apa yang membuat GM memandang rendah BP hingga menganggap isinya sekedar corat-coret di toilet? Kalau membaca pengantar di cover belakang buku ini ( yang diambil dari “tajuk rencana” BP edisi kedua 2007) kita akan mengerti mengapa GM memandang sinis BP. Sebab BP tanpa tedeng aling-aling menuding GM sebagai pecundang bangsa, penipu rakyat dan pelacur budaya.

Buktinya? Pertama, GM yang selama ini mencitrakan dirinya sebagai orang yang pro demokrasi ternyata prilakunya sangat anti demokrasi. Contoh kongkretnya adalah kasus DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Nyaris hampir semua pengurus DKJ adalah orang-orang KUK ( Komunitas Utan Kayu) yang dipilih dengan cara amat tidak demokratis.

Kedua, GM yang selama ini mencitrakan dirinya pro-rakyat nyatanya tidak berpihak pada rakyat. Ia dan antek-anteknya secara nyata mengiklankan dirinya mendukung kenaikan BBM melalui iklan sehalaman penuh di berbagai koran nasional. Mereka dibiayai Freedom Institute milik keluarga Bakrie yang kini menenggelamkan Sidoarjo dengaan lumpur lapindo.

Ketiga, alih-alih menghargai keberagaman, justru ia dan antek-anteknya memaksakan keseragaman pikiran dan nilai-nilai barat yang diimpornya ke dalam kebudayaan Indonesia. Termasuk upayanya menyeragamkan warna kesusastraan Indonesia dengan sastra kelaminnya.

Bukan hanya GM yang diserang oleh BP. Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Salihara, dua ‘lembaga’ yang menjadi wadah kesenian yang didirikan GM juga tak luput dari tajam pena BP. Termasuk juga karya yang dikeluarkan anggota komunitas tersebut. Kritik sastra dan sastra kritik dilancarkan BP baik melalui esai-esai, cerpen, dan puisi. Misalnya esai yang ditulis kritikus sastra Indonesia asal Jerman, Katrin Bandel, berjudul “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” ( BP edisi Mei-Juni 2008), atau esai “Seksualitas dalam Sastra Indonesia” untuk mengkritik Novel Saman karya Ayu Utami (BP edisi Januari-Maret 2010).

Apa reaksi mereka yang dituduh BP secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling itu? Seorang Sitok Srengenge dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa BP hanya berisi fitnah belaka. Tapi salah seorang redaktur BP yang dikenal sebagai presiden penyair buruh, Wowok H Prabowo, justru menantang balik Sitok. ”Jika benar ada isi BP fitnah, silahkan tunjuk tulisan mana yang berisi fitnah. Bila perlu melalui jalur hukum” tulis peraih penghargaan Yin Hua tahun 2001 itu di BP edisi Agustus-Oktober 2011.

Tantangan Wowok terhadap Sitok menunjukkan bahwa BP tidak digarap main-main dan asal-asalan untuk sekedar meraih popularitas dalam jagad sastra Indonesia. Banyak sastrawan ternama yang menjadi kontributor di BP. Mulai dari D. Zawawi Imron, Katrin Bandel, Beni Setia, Kusprihyanto Namma, Saut Situmorang, Ahmadun Y. Herfanda, untuk sekedar menyebut beberapa nama. Dengan lain kata tudingan GM bahwa BP sekedar corat-coret di toilet makin menunjukkan bahwa komentar penulis catatan pinggir itu hanya sekedar asal bunyi belaka. Sulit dibantah misalnya, esai-esai Katrin Bandel dalam BP sekedar corat-coret di toilet belaka, meskipun beberapa tulisan istri Saut Situmorang itu di BP itu sebelumnya pernah juga diterbitkan dalam buku kumpulan esainya ”Sastra, Perempuan dan Seks” oleh penerbit Jalasutra tahun 2006 silam.

Nyatanya bukan hanya GM dan antek-anteknya di KUK dan Salihara saja yang diserang BP. Taufiq Ismail dan Seno Gumira Adjidarma juga tak luput dibahas BP. Pasalnya, keduanya terlibat kasus plagiasi. Taufiq Ismail diduga kuat melakukan plagiasi dalam puisinya berjudul “Kerendahan Hati” atas puisi salah satu penyair Amerika, Douglas Malloch (May 5, 1877 – July 2, 1938). Sedangkan Seno Gumira Adjidarma diduga kuat melakukan plagiasi atas cerpen Tiga pertama karya sastrawan legendaris Rusia, Leo Tolstoy, dalam cerpennya berjudul “Dodolitdodolitdodolibret. Ironisnya, cerpen penulis buku kumpulan cerpen “Saksi Mata” yang juga peraih SEA Write Awars itu justru mendapatkan anugerah cerpen terbaik pilihan Kompas 2010. (BP, edisi Januari-Juni 2011).

Karena itu, bagi mereka yang ingin tahun perkembangan sastra Indonesia dengan berbagai intrik politik yang terjadi di dalamnya selama lima tahun silam buku setebal 272 halaman ini layak dibaca. Dalam buku ini kita diajak membuka mata lebar-lebar bahwa sastra bukanlah dunia suci yang turun dari kepala dewa-dewa langit. Sastra adalah produk kebudayaan. Sebagai sebuah produk kebudayaan sastra tidaklah netral. Disamping itu, buku ini penting bagi mereka (terutama sastrawan di daerah yang mengtahui hiruk-pikuk sastra “nasional” dari media mainstream) yang memitoskan sastrawan KUK dan Salihara sebagai ‘dewa’ sastra untuk menata ulang pikirannya tentang mitos-mitos yang telah disebarkan melalui media massa.

Dibandingkan buku lain buku BP ini ”unik”. Selain tidak dilengkapi halaman (karena sekedar mengkliping 22 edisi BP selama lima tahun), buku ini juga terbilang besar; 21 x 29,5 cm. Pembaca akan membaca versi asli BP yang dibeberapa edisi masih banyak typo di sana-sini. Meski begitu hal tersebut tak mengurangi manfaat buku ini. Hanya saja buku ini tidak dijual bebas di toko buku di Indonesia. Mereka yang berminat harus memesannya lewat akun twitter @indiebookcorner atau melalui situs www.bukuindie.com yang kabarnya saat meluncurkan buku BP ini situs tersebut diserang hacker. Meski demikian, buku tersebut telah melanglang buana ke benua eropa (Belanda, Jerman dan Prancis) dibawa salah satu redaktur BP, Saut Situmorang, dalam perjalanan sastranya pada akhir November 2012 lalu.

*) Tulisan ini dimuat di KORAN MADURA, 13 Desember 2012 [ http://issuu.com/koranmadura/docs/koran_madura ]

TIGA PUISIKU

TIGA PUISIKU*)

Malam Palestina

 

malammu, Palestina
malam batu batu
malam keringat
dalam angin menderu

malam yang terbit dari pusarmu
malam seribu peluru
mendesing dan mendesing
menembus padang udara
padang kabut hati kita
yang sobek dan terluka

o, dingin yang jatuh
udara bergema
aroma kiamat
dalam kamar tidur kita

anak-anak gamang membaca peta
angin tiada
lalu cinta
meledakkan dirinya

malammu, Palestina
malam batu-batu. Malam tanah
malam api. Malam lolongan
seperti badai hantu padang pasir
memanggilKu



------

Pada N
ulang tahun kita adalah sebuah dunia yang meledak
diantara dua nasib yang berlari
dalam cincin yang disematkan pada jemari

serpihannya menjelma sepasang kursi pelaminan yang sedih
kertas krep yang terluka dan darah di setiap warna doa

"seberapa jauh kita akan berlari dengan kedukaan ini?"

sejauh angin
membawa pinisi ke laut sepi
tempat segala kepedihan
membersihkan diri
lalu sepasang camar keluar dari telapak tangan kita
lalu lautan menjelma sekeping uang logam
dan langit tiba-tiba terbakar!

seekor camar, rubuh!
seekor camar lain menabrakkan tubuhnya
pada karang-karang duka

kita melihatnya dengan tangan bergandengan dan mata terpejam
"Seberapa jauh kita akan melewati semua ini?" engkau kembali bertanya

sejauh cinta mengembalikan dirinya ke dalam cinta
dengan atau tanpa metafora

-----------------

Airmata Anak-Anak Gaza

airmatamu adalah tangis yang melahirkan tank-tank dari rahim perempuan
dan defile tentara putih dari langit

sedih apakah yang hendak kau kabarkan
dari merpati yang terbang sendirian dan hinggap di pelupuk matamu?
"Rudal-rudal terus jatuh. gedung-gedung terus rubuh.
dan kematian adalah udara"

barangkali puisi hanya angin menderu
dari heli apache yang melintas itu
maka kubasuh muka dengan airmatamu
lalu kulihat;
sepasang tangan tengadah ke langit
memanggil hantu-hantu gurun
hantu-hantu laut. Hantu-hantu gunung
Mmmbelah maghrib di matamu
        yang tertidur

airmatamu adalah tangis yang melahirkan tank-tank dari rahim perempuan
dan suara pembebasan terus menderu

sampai hari kebangkitan itu tiba
koral-koral ungu berkerlip dari matamu yang merah
menjelma hamparan gandum sepanjang laut tengah
dan kita berpelukan dengan airmata bahagia


Madura, 2012


*) puisi-puisi diatas dimuat di Harian Radar Surabaya, 09 Desember 2012

Jumat, 07 Desember 2012

Buku Dunia Tanpa Hak Cipta


Perang Melawan Hak Cipta*)
Oleh: Edy Firmansyah


Judul        : Dunia Tanpa Hak Cipta
Penulis        : Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel
Penerbit    : Insistpress, Yogyakarta
Cetakan    : I, Oktober 2012
Halaman    : xx + 167
Peresensi    : Edy Firmansyah

Airmuka Deni Aryasa, seorang perajin asal Bali, diselimuti kesedihan tiapkali mengenang peristiwa tahun 2008 silam kala ia harus berurusan dengan pengadilan. Ia dituding menjiplak dan menyebarluaskan salah satu motif fleur atau bunga milik perusahaan perak asal Kanada, PT Karya Tangan Indah. Dalam sidang yang berlangsung pada medio September 2008 lalu itu, ia dituntut dua tahun penjara. Bahkan Deni sempat ditahan selama 40 hari di LP Kerobokan Bali. Dan sempat pula menjalani tahanan rumah. “Saya mungkin satu-satunya orang yang dituntut melanggar hak cipta yang pernah ditahan selama 40 hari,” kenang Deni Aryasa.

 Padahal motif itu adalah salah satu motif tradisional Bali yang kaya akan makna. Motif serupa dapat ditemui di hampir seluruh ornamen seni di Bali, seperti gapura rumah, ukiran-ukiran Bali, bahkan dapat ditemui sebagai motif pada sanggah atau tempat persembahyangan umat Hindu di Bali.

Ironisnya, motif tradisional Bali ini ternyata dipatenkan pihak asing di Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Republik Indonesia pada tahun 2006 dengan nomor 030376. Pada surat keputusan Ditjen Haki, tertulis pencipta motif fleur adalah Guy Rainier Gabriel Bedarida, warga Prancis yang bermukim di Bali. Sedangkan pemegang hak cipta adalah PT Karya Tangan Indah milik pengusaha asal Kanada, John Hardy.

Tak hanya itu saja. Malah, motif fleur ini juga telah dipatenkan di Amerika Serikat. Sehingga kini perajin perak di Bali yang menggunakan motif sejenis bisa terancam pelanggaran hak cipta pula. Berdasarkan catatan Asosiasi Perajin Perak di Bali, sedikitnya terdapat 800 motif perak tradisional Bali yang telah dipatenkan pihak asing di Amerika Serikat.

Selanjutnya baru-baru ini, sekitar November 2012, Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) mengadukan bisnis karaoke penyanyi dangdut, Inul Daratista, yang bernama Inul Vizta, ke pengadilan. YKCI menuding Bisnis karaoke penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang ngebornya itu melanggar aturan pengelolaan hak cipta yang selama ini digunakan untuk kepentingan bisnisnya.

Menurut YKCI, Inul diwajibkan menyetorkan dana sebesar Rp 21 juta per tahun untuk pembayaran royalti dari lagu-lagu musisi Indonesia yang dipakai untuk kepentingan bisnis karaokenya. Kenyataannya, Inul hanya membayar Rp 3,5 juta per tahun. Sementara itu Inul mengatakan bahwa ia sudah memenuhi tanggung jawabnya. ”Masalahnya ada di manajemen baru YKCI. Sebelumnya kita sudah negosiasi dengan YKCI dan munculnya harga 3,5 juta itu dan kami bayar. Tapi manajemen baru justru ingin mengembalikan tarif lama. Lagipula banyak pencipta lagu yang keluar dari YKCI.” Bantah penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang ngebornya itu.

Dua contoh di atas merupakan contoh kecil dari banyak korban yang berjatuhan akibat perang soal hak cipta. Dan ke depan perang tersebut bukannya kian reda, malah akan makin santer. Salah satu perang yang mengemuka soal hak cipta adalah perang dua perusahaan teknologi besar asal Amerika dengan Korea Selaran, Apple dan Samsung baru-baru lalu.

Nah, bak “dewa” anti perang hak cipta, sepasang ilmuwan politik dan budaya asal Belanda, Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel datang dengan gagasan cerdas melalui bukunya yang berjudul, Dunia Tanpa Hak Cipta. Tidak dengan jalan berdamai dengan perusahaan hak cipta, melainkan menantang perusahaan hak cipta tersebut. Melalui penelitiannya itu mereka menjelaskan bahwa sebuah karya cipta ketika dia sudah dilabeli dengan hak cipta, pasti akan menimbulkan masalah. Sebab pelabelan hak cipta pada sebuah karya tak lebih dari kepanjangan tangan dari neoliberalisme yang salah satu tujuannya melakukan privatisasi atas sebuah karya.

Sebab menurut Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel ketika sebuah karya telah dilabeli hak cipta, karya tersebut seringkali tidak dimiliki oleh si pencipta, melainkan oleh perusahaan-perusahaan besar, para konglomerat global yang bergerak di bidang kebudayaan. Mereka tidak hanya menguasai produksi atas sebuah karya, tetapi juga distribusi dan pemasaran sebagian besar film, musik, teater, karya sastra, dan seni visual. Perusahaan-perusahaan itulah yang nantinya mengontrol semua jenis karya seni yang layak dan tidak layak muncul dan diapresiasi masyarakat. Alasannya sederhana saja, kebudayaan adalah penghasil uang yang luar biasa. Maka hampir tidak mungkin perusahaan-perusahaan raksasa di bidang budaya itu akan menyerahkan dominasi pasar mereka, baik dalam bentuk material maupun digital.

Di sini logika kelas kembali bermain. Sebagai kepanjangan tangan dari kapitalisme, perusahaan-perusahaan hak cipta itu juga yang akan memukul karya seni yang ‘menyerang’ kemapanan kapitalisme dengan dalih penjiplakan dan pelanggaran hak cipta. Menuding karya seni yang tidak dilabeli dengan hak cipta sebagai karya seni ‘sampah.’ Dan masyarakat sebagai penikmat seni akan semakin dirugikan hak-hak demokrasinya. Karena penilaian mereka kemudian dikontrol dengan ketat oleh perusahaan pelabel hak cipta. Pencipta karya juga setali tiga uang. Dibawah bendera label hak cipta mereka tak lebih hanya sebagai buruh yang diperas proses kreatifnya untuk penumpukan laba perusahaan-perusahaan pemberi stempel hak cipta.

Akhirnya, buku yang edisi bahasa inggrisnya bisa diunduh secara gratis (karena tidak dibatasi hak cipta) di http://networcultures.org/_uploads/tod/TOD4_nocopyright.pdf ini sampai pada kesimpulan menghentikan perang dengan perang melawan hak cipta. Hal tersebut untuk memerdekakan para pekerja seni menjual karya mereka dan mendapatkan penghidupan yang layak, tanpa ada lagi dominasi di pasar yang mendesak mereka tersingkir dari mata dan telinga publik; bagaimana masyarakat bisa bebas memilih berbagai jenis ekspresi seni sesuai cita rasa mereka sendiri; dan bagaimana ranah publik dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas seni tidak lagi diprivatisasi, tapi jadi milik bersama (hal. 154). Sungguh buku yang layak dibaca dan didiskusikan bersama.

*) Resensi ini dimuat di Harian KORAN MADURA, Jum'at 07 Desember 2012 ( Link e-paper: http://issuu.com/koranmadura/docs/madura Hal. 9 )

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Kerani di Sanggar Baca Kita (SBK) Madura. Jurnalis freelance dan pegiat jurnalisme warga. Bisa dihubungi melalui akun twitter : @semut_nungging





Senin, 03 Desember 2012

Madura Dalam Ciuman Pertama

Madura dalam Ciuman Pertama*)
Oleh: Fesha AF


Judul            : CIUMAN PERTAMA
Penulis         : Edy Firmansyah
Penerbit       : Gardu (Yogyakarta)
Cetakan       : I, Juni 2012
Tebal           : 108 Halaman
Peresensi     : Fesha AF

Adalah T.S Eliot yang mengatakan bahwa tidak ada penyair yang menyimpan makna lengkapnya sendiri. Artinya, betapapun seorang penyair adalah seorang individu yang bebas kreatif, ia dan karya-karyanya  dibentuk dan dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya. Baik berupa bahasa yang digunakan, maupun tradisi dan sejarah dimana sang penyair hidup atau menjalani hidupnya. Melalui pengaruh itulah gagasan, cita rasa, ideologi, hasrat dan motif penyair bercampur baur saling mengisi untuk kemudian diolah oleh penyairnya menjadi sebuah karya.

Dalam sudut pandang seperti itulah mestinya antologi puisi “Ciuman Pertama” ( selanjutnya disingkat CP) karya Edy Firmansyah dilihat dan diapresiasi. Sebab baik penyair maupun pembaca tidak bisa lepas dari posisinya dalam struktur sosial masyarakat. Ketika menerima dan membaca sebuah buku puisi, misalnya, seorang pembaca tidak bisa tidak akan menimbang berdasarkan posisinya dalam struktur sosial masyarakat tempat ia tinggal.

Barangkali pembaca menduga dengan membaca judul puisi yang ditulis mantan reporter Jawa Pos ini pembaca akan berkesimpulan bahwa isinya soal cinta picisan. Tapi jika membaca buku puisi yang terdiri dari sekitar 68 puisi barangkali pembaca akan menarik ulang kesimpulannya tersebut. Benar memang beberapa puisi di dalamnya mengambil tema soal cinta. Namun cinta dalam puisi CP bukanlah cinta picisan. Beberapa sajak cinta dalam CP justru merekam kisah cinta masa silam. Yang kini tinggal kenangan. 

Sebagaimana dalam sajak Ciuman Pertama sendiri. Yang sajak lengkapnya terdapat di cover belakang antologi ini. Dalam sajak itu berkisah soal sepasang muda mudi yang saking kasmarannya berciuman di kamar mandi masjid. Untuk ukuran pembaca generasi tua sajak ini jelas sajak yang “nekad” dan “kontroversial.” Jika benar aku lirik memotret soal percintaan muda-mudi di Madura, tempat penyairnya besar. Tapi kalau kita mau lebih jujur pada kenyataan sosial, soal ciuman pertama di kamar mandi masjid itu bukanlah soal yang serius jika dibandingkan dengan dekadensi moral yang terus mendera remaja Madura. Taruhlah contoh prilaku seks bebas, misalnya. Bukankah sudah berkali-kali kita dikejutkan oleh pemberitaan media soal peredaran video seks porno di Madura yang direkam sendiri oleh pelakunya yang juga berasal dari Madura?

Tapi sajak ciuman pertama tidak berhenti di situ saja. Ternyata kejadian ciuman pertama itu sudah 15 tahun lalu terjadi dan dilakukan aku lirik (tokoh orang pertama dalam sajak tersebut). Nyatanya setelah itu kedua pasangan muda-mudi yang pernah berciuman itu bertemu lagi di sebuah warung. Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa, karena ada dinding tebal yang memisahkan hasrat birahi keduanya. Itu karena aku lirik dalam sajak itu sudah beristri. Bisa kita lihat disini, betapa setianya aku lirik dalam sajak ciuman pertama itu. Bukankah cinta yang paripurna adalah cinta yang setia. Itulah mengapa kesetiaan cinta selalu jadi abadi dalam karya sastra. Mulai dari Romeo dan Juliet-nya Shakespeare, cerita legenda Sampek Engtay di Cina, hingga kisah cinta klasik seribu satu malam. 

Atau barangkali sajak ciuman pertama merupakan sebuah permainan ironi yang hendak didesakkan penyairnya melihat realitas sosial di Madura di mana banyak pejabat-pejabat yang berumur justru masih doyan selingkuh, memelihara dan menumpuk-numpuk istri muda dengan menerabas dinding tebal hati ( metafor dari nurani ) sehingga ‘rela’ menghancurkan jati dirinya sebagai manusia? Entahlah.

     Nyatanya tidak hanya soal percintaan saja yang digarap penyair Edy. Madura sebagai tanah kelahirannya tak lepas dipotret dengan apik dalam buku puisi CP. Namun berbeda dengan penyair Madura lainnya, Madura dalam pandangan Edy Firmansyah justru penuh dengan kepedihan seperti misalnya dalam sajak berjudul “Melintasi Pesisir Pantai Camplong.” Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Madura kini punya akronim baru selain madu dan darah, yakni madunya Negara. Sederhana saja, sebab saat ini sumber daya alam berupa, minyak dan gas di tanah madura tengah dieksplorasi dengan giatnya. Tapi di tengah-tengah maraknya eksplorasi minyak dan gas di tanah garam ini rakyat Madura masihlah rakyat yang miskin. Petani dan nelayan terus berhadapan dengan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, bahan bakar minyak (BBM) yang terus dicabut subsidinya dan mahalnya biaya kesehatan. Seperti dalam bait “Melintasi Pesisir Pantai Camplong.”: O, ada mata kilang di laju kapal/mengebor dasar laut paling dalam/lautmu/laut yang jadi nadimu/sebentar lagi tak lagi milikmu// Dan yang tersisa hanya segenggam kepedihan seperti kucing yang terluka/dan pada layar sampanmu/angin kematian terus menyapa//

    Selain sajak “Melintasi Pesisir Pantai Campling” saja yang memotret soal kepedihan yang dialami masyakarat marjinal di Madura ditengah keeksotisan dan kekayaan alam Madura yang maha besar. Sajak-sajak seperti; “Madura,” “Ketika di Gardu Tua Blega,” “Di Kilometer 20,” “Tanahku,” “Sajak Pagi,” “Sajak Olle Ollang,” “Senja di Suramadu,” “Kampung Patemon,” “Catatan,” “Sajak Sepi,” dan sebagainya merupakan sajak-sajak yang mengangkat tema soal tempat di Madura dengan berbagai kepedihannya. 

    Dengan lain kata meski puisi merupakan imajinasi kreatif dalam proses penciptaan, tetapi di dalamnya terkandung relasi sosial, gagasan, kesadaran dan ideologi pribadi penyairnya dalam hubungannya dengan masyarakat tempat penyairnya tinggal. Dan Edy Firmansyah seperti hendak konsisten dengan pernyataan TS. Elliot diawal tulisan ini dalam menggarap CP. Sebab merupakan tanggung jawab dan tugas pengarang/sastrawan untuk merespon segala yang terjadi dalam realitas masyarakatnya. Dengan demikian puisi jadi punya makna dan berharga dalam kehidupan penyair dan pembacanya. (*)

*) Resensi ini dimuat di Harian RADAR MADURA, Minggu 02 Desember 2012

Tentang Penulis
Fesha AF merupakan nama pena dari Triya Diansyah. Penulis adalah penikmat sastra. Alumni Bahasa Arab STAIN Pamekasan. Tulisan-tulisannya berupa artikel dan puisi dimuat di berbagai media massa baik cetak maupun internet, misalnya: Radar Madura, Surya, Surabaya Post, Pembelajar.com, dsb. Kini bekerja sebagai pedagang buku sastra.

Selasa, 20 November 2012

Malam Palestina


Malam Palestina


malammu, Palestina
malam batu batu
malam keringat
dalam angin menderu

malam yang terbit dari pusarmu
malam seribu peluru
mendesing dan mendesing
menembus padang udara
padang kabut hati kita
yang sobek dan terluka

o, dingin yang jatuh
udara bergema
aroma kiamat
dalam kamar tidur kita

anak-anak gamang membaca peta
angin tiada
lalu cinta
meledakkan dirinya

malammu, Palestina
malam batu batu
malam tanah
malam api
malam darah
malam gemuruh
seperti badai hantu padang pasir
memanggilKu

Madura, November 2012

Senin, 19 November 2012

Hikayat Jam Dinding

Hikayat Jam Dinding

jam dinding itu tak lagi mampu
menggerakkan waktu
meski ia berdetak terus
tapi jarum tubuhnya
telah mampus

segalanya kini tinggal angka mati
aku yang rebah di bawahnya
tinggal sunyi

sesunyi kabel listrik
sesunyi pupur langit
dalam karang dusta
dalam mimpi pagi pesawat menderu tiba-tiba

ada ular blurik di kolong meja
mematuk betis dosen
dan ia terus gatal
menggaruk-garuk lukanya

yang bermula dari sepi
akan kembali pada sepi
dan waktu seperti tuhan
kadang dibutuhkan
saat mengobati rasa sakit
dan kesepian

sementara jam dinding itu mati
aku terjaga
kudengar suara burung kedasih
di genteng rumah tetangga
merdu sekali

Madura, November 2012



Jumat, 02 November 2012

November Rain


Hujan Bulan November

tak ada yang lebih mabuk
dari hujan bulan november
di muntahkannya isi perut langit
pada tanah merah yang sakit itu

tak ada yang lebih garang
dari hujan bulan november
berjuta-juta tajam kuku hujan
mencakar punggung pepohonan

akhirnya tak ada yang lebih lelap
dari hujan bulan november
dibiarkan tubuhnya yang lebam
rebah di dada lautan
 

Selasa, 16 Oktober 2012

SANG PENCOPET

Sang Pencopet*)


    Setelah memarkir mobilnya avanza-nya di lapangan parkir lantai dasar sebuah plasa, Sakur membuka pintu mobilnya separuh. Menyalakan kretek, lalu menghisapnya dalam-dalam. Beberapa detik kemudian gumpalan asap tebal keluar dari mulutnya. Ia melirik jam tangan rolex-nya. Pukul 10.45. Sebagaimana kesepakatan kemarin, pukul 11.00 ia minta tiga anak buahnya menyerahkan segala hasil copetannya di sini, di lapangan parkir ini. ”Ingat! Tak boleh ada yang terlambat.” Begitu peringatan Sakur pada anak buahnya kemarin.

    Ya. Sakur adalah seorang bos copet. Ia membawahi tiga anak buah. Ketiganya beroperasi di tiga tempat berbeda. Bungorasih, Wonokromo dan Rungkut. Profesi ini sudah ia lakoni lebih dari 15 tahun. Awalnya ia adalah pencopet biasa. Wilayah operasinya di Terminal Bungorasih. Kurang lebih 10 tahun ia menjadi pencopet. Karena tiap beroperasi hasilnya selalu bagus dan tak pernah sekalipun tertangkap baik oleh aparat maupun dihajar massa karena tertangkap basah, oleh bosnya ia kemudian diangkat menjadi bos kecil. tugasnya mengumpulkan hasil anak buahnya mencopet. Masing-masing anak buahnya mendapat 10 persen. Disetor pada bosnya 60 persen dan untuk dirinya sendiri 30 persen. Karenanya tidak berlebihan jika mengatakan bawah sebagian besar kekayaannya yang ia dapat sekarang adalah dari hasil mencopet. Benar memang sekarang Sakur juga punya kios penjualan LPG 3 kg. Tapi modalnya ia ambil dari hasil mengambil dompet orang lain di terminal. 

    Meski demikian, hingga saat ini istri dan anaknya tak pernah tahu bahwa ia berprofesi sebagai pencopet. Tepatnya seorang bos copet. Bahkan sampai sekarang, sampai perkawinannya berjalan tujuh tahun, ia tak pernah ingin istri dan anaknya tahu apa pekerjaan sebenarnya. Pada istri dan anaknya ia selalu mengaku bekerja sebagai makelar besi tua. Istri dan anaknya percaya saja dengan omongan Sakur. Maklum saja baik Sakur maupun istrinya adalah orang Madura asli. Dan bukan rahasia umum bagi orang Madura bahwa bekerja sebagai pedagang besi tua di kota besar, baik itu pengepul, makelar maupun distributor rata-rata adalah adalah orang berada. Makanya ketika melamar istrinya semua keluarga istrinya percaya saja ketika Sakur mengatakan pekerjaan adalah makelar besi tua. 

    Sebenarnya boleh dikata Sakur adalah bos copet yang punya ‘etika.’ Sejak ia awal-awal mencopet pantang ia mencopet barang-barang milik orang miskin. Korbannya selalu orang berada yang menggunakan jasa bis di terminal tempatnya mangkal. Kebanyakan korbannya adalah mahasiswa. Itulah mengapa ia melarang anak buahnya mencopet orang miskin. ”Sekali kalian ketahuan mencopet orang miskin, aku sendiri yang akan menghajar kalian. Kita ini sama-sama miskin. Sama-sama lemah. Tidak boleh merugikan yang miskin. Merugikan yang kaya tidak apa-apa. Kebanyakan orang kaya itu korupsi. Dan korupsi adalah perbuatan kriminal kelas elit yang sejatinya tak jauh beda dengan copet. Bedanya para koruptor punya institusi. Sementara kita tidak.” Begitu dokrin yang ditanamkan pada anak buahnya.

    Waktu terus bergerak. Matahari terus meninggi. Sakur masih duduk di depan kemudi sambil menyanggahkan kakinya ke stir. Sesekali kakinya bergoyang-goyang mengikuti irama lagu yang keluar dari audio mobilnya. Sementara mulutnya terus menyemburkan asap rokok yang ia hisap dari rokok kretek merek terkenal. Tiba-tiba, Piko seorang anak buahnya datang tergopoh-gopoh padanya.

    “Gawat, bos! Gawat!”

    “Apanya yang gawat?” hardik Sukur terkejut. Ia kemudian menurunkan kakinya dari stir. Membetulkan duduknya lalu menatap anak buahnya tajam.

    “Cuplis kena tangkap!”

    “Siapa yang tangkap? Massa atau aparat?”

    “Aparat, bos. Sekarang dia ada di polsek.”

    “Sial!” teriaknya sambil memukul tangannya ke stir. Ia membuang rokok kreteknya yang tinggal puntung. Mengambil rokok kretek lagi. Menyalakannya lalu menghisapnya dalam-dalam. Asapnya kemudian ia semburkan pada muda Piko anak buahnya. Piko yang hanya diam menunduk.

    “Mana hasil kerjaanmu?” Tanya Sakur. Piko kemudian merogoh kantong celananya. Menyerahkan sebuah kalung emas dan tiga lembar uang seratus ribuan. Sakur kemudian memasukkan hasil copetan Piko ke saku celananya. “Kau segera sms si Parmin. Suruh segera kesini. Tak usah kejar target hari ini. Yang penting selamat dulu. Aku khawatir padanya. Karena ia baru dua hari beroperasi”

    “Baik, bos!” Piko bergegas pergi. Bayangannya menghilang diantara mobil-mobil yang antre keluar pintu parkir.

    “Sial!” teriak Sakur lagi. Sambil memukulkan kedua tangannya ke stir mobil. Ia memang kesal kalau sudah berurusan dengan aparat. Bukan soal karena anak buahnya ditangkap. Baginya itu soal gampang. Bukankah ia selain mencopet juga bekerja sebagai spionase aparat dalam upaya mengungkap kasus-kasus seperti pencurian kendaraan bermotor atau perampokan. Ia sering membantu aparat mencari pelaku. Lagipula ia juga kerap setor hasil copetannya pada beberapa oknum aparat untuk memuluskan kerja anak buahnya di lapangan. Jadi untuk mengeluarkan anak buahnya itu perkara gampang. Masalahnya tiap kali berurusan dengan aparat urusan pasti soal uang.

    Ia kemudian mengeluarkan blackberry-nya. Mengirimkan sms pada sebuah nomer. Selang beberapa menit kemudian Hp-nya berdering.

    “Siap, Ndan!” ujar Sakur

    “Siang! Anak buahmu ketangkap nih. Dan ia baru ngaku kalok salah satu anak buahmu langsung. Bagaimana?” ujaar sebuah suara di telepon.

    “Ampun, Ndan! Yang penting jangan disakiti-lah. Nanti jatahnya saya tambah.”

    “Hahaha…..! tapi dia tetap kita proses.”

    “Jangan, Ndan. Dia khan masih dibawah umur.”

    “Wah, kalo maunya begitu bisa mahal nih.”

    “Siap, Ndan. Bisa diatur.”

    “Oke. Nanti kita ketemu di tempat biasa.” pembicaraan terputus.

    Sakur menghisap rokok kreteknya lagi dalam-dalam. Sementara tangan kirinya sibuk memutar mutar gelombang radio. Ia berhenti memutar ketika salah satu stasiun radio di mobilnya melantunkan lagu cinta satu malam kesukaannya. 

    Tiba-tiba blackberry-nya berdering lagi. Kali ini dari istrinya.

    “Ada apa, Mam?”

    “Motorku bannya pecah. Jemput aku di halte sebelah selatan sekolah si Aryad. Motornya aku titipin di satpam. Biar dijemput Dullah nanti.”

    “Ya. 15 menit lagi aku jemput.”

    Hubungan telepon terputus. Sakur melirik jam tangan rolex-nya lagi. Pukul 11.11. Tapi Parmin, anak buahnya itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Sakur keluar dari mobilnya. Kemudian berjalan ke dinding pembatas parkir. Di tengadahkan kepalanya ke langit. Di lihatnya matahari yang kian terik yang sesekali sembunyi di balik awan putih yang berarak. Hatinya tiba-tiba bimbang. Jangan-jangan si Parmin juga mengalami nasib seperti si Cuplis. Atau malah lebih tragis. Digebuki massa hingga tewas. Dada Sakur tiba-tiba berdegup kencang. Baru kali ini ia merasa khawatir dan ketir. Apakah rasa ketirnya itu karena penangkapan cuplis? Apakah karena si Parmin baru beroperasi kurang dari seminggu? Apakah karena Parmin masih berumur 15 tahun? Tapi ia tepis semua pikiran bimbang dari otaknya. Semua pekerjaan punya resikonya sendiri-sendiri. Nasib sial dan peruntungan manusia tak bisa direbut. Tapi bisa dijemput. Begitu batin Sakur menyemangati diri.

    Sakur masuk lagi ke dalam mobilnya. Mengambil rokok kreteknya yang tinggal sebatang. Menyalakannya. Kemudian meremas-remas bungkusnya lalu membuangnya jauh-jauh. Mengeraskan suara audio mobilnya yang sekarang sedang memutar lagu-lagu raja dangdut Rhoma Irama. Ketika memperbaiki letak duduknya ia melihat bayang-bayang Parmin berjalan mendekat ke tempat mobilnya di parkir.

    “Kok lama sekali. Kemana aja?”

    “Biasa, bos. Jalanan macet.”

    ''Dapat berapa hari ini?''

    ''Lumayan, bos. 500 ribu!''

    ''Wah, hebat kamu! Baru operasi langsung dapat gede. Mana?''

    ''Ini bos!" Parmin mengeluarkan dompet dari saku celananya lalu diserahkan pada Sakur. Dompet dibuka. Tiba-tiba Sakur melempar dompet itu ke wajah anak buahnya dengan keras. Dan tepat mengenai dahi Parmin.

    ''Bangsat! Itu dompet istriku!''

    Blackberry Sakur kembali berdering. Terus berdering. Istrinya kembali menelpon.


*) Dimuat di Harian Kabar Madura, 14 Oktober 2012

Jumat, 28 September 2012

Lagu Pengantar Tidur

Lagu Pengantar Tidur

pok ami ami
belaian kupu-kupu
siang jadi Nardi
kalo malam jadi Ayu

Ayu senyum manis
pada lelaki muda
adik jangan nangis
bapakmu masih kerja

Rabu, 26 September 2012

Catatan Kecil tentang G 30 S di Madura (2)


Catatan Kecil tentang G 30 S di Madura (2)


“Berapa angkanya?” Tanya Soekarno pada Menteri Sekretaris Negara Oei Tjo Tat 

”Ada yang menyebutnya 250.000 ada yang menyebutnya 500.000”

”Tepatnya berapa?”

”Angka resmi Angkatan Darat 78.000, Pak”

”Sudahlah aku tak percaya. Berapa tepatnya?”

”Kalau Bapak tak percaya, kalikan lima saja angka resmi itu” jawab Oei.

Memang tak ada yang tahu angka resmi korban pembantaian yang dilakukan AD dan paramiliternya pada orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun 1966 yang berdarah itu. Tapi semua peneliti sepakat kisaran angka 500.000 – 1.000.000 jiwa yang sudah dihabisi. Makanya tidak berlebihan jika ada yang mengatakan angka korban pengganyangan PKI pasca G 30 S lebih ‘mengerikan’ dari korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki atau perang Vietnam selama dua tahun. Malah Sarwo Edhie yang kala itu menjadi pemimpin operasi pengganyangan PKI pernah sesumbar telah menghabisi tiga juta orang. Para eksekutor di laparangan sepertinya melaksanakan betul titah Soeharto untuk “menghabisi sampai ke akar-akarnya’

Angka di atas belum termasuk mereka yang ditahan di penjara seluruh Indonesia dan dibuang ke pulau buru atas tuduhan terlibat G 30 S, tanpa proses pengadilan. Salah satu diantara orang PKI yang ditahan itu ada Djauhari.

Djauhari adalah ketua PKI Cabang Pamekasan. Pertengahan tahun 1966 dia diciduk tentara. Kemudian ditahan di penjara Pamekasan kurang lebih 3 tahun. Sebelum ditangkap dia bekerja di jawatan kereta api. Pada tahun 1969 dia dibebaskan. Di penjara dia belajar teknik pijat refleksi. Setelah keluar penjara dia buka praktek pemijatan. Pasiennya banyak. Termasuk bapak saya langganannya.

”Seandainya dia masih hidup, dia bisa cerita banyak soal peristiwa di tahun-tahun itu,” kenang bapak saya. 

Menurut bapak saya dia ‘tahu betul’ peristiwa itu. Usianya seumuran dengan kakek saya. Ketika tahun 1965-1966 usianya sekitar 30 tahun. Sebagai tokoh partai dia tentu saja ‘paham’ hiruk pikuk politik di tahun-tahun itu. Tak heran tiap ada pasien yang bertanya soal peristiwa G 30 S dia akan cerita panjang lebar. Malah dia tahu daftar orang-orang yang akan duduk di pemerintahan jika gerakan tersebut menang. ”Dia cerita sendiri kalau gerakan itu menang, dia adalah akan jadi calon bupati Pamekasan,” cerita bapak saya.

Cerita bapak saya dibenarkan oleh Tjipto. Tjipto juga pasien Djauhari sama seperti bapak saya. Tapi menurut Tjipto, Djauhari terlalu banyak membual. Dia terlalu melebih-lebihkan soal jadi bupati Pamekasan itu. ”Maklum orang tua. Banyak pikunnya daripada benarnya,” kata Tjipto.

Memang ketika G 30 S meletus dan berhasil menguasai RRI pada dini hari 1 Oktober 1965 yang suram itu, Letkol Untung segera mengumumkan apa yang ia sebut sebagai Dewan Revolusi. Dari situ dia menyebutkan tentara yang terlibat dinaikkan pangkatnya, juga menyebutkan susunan kabinet Dewan Revolusi itu. 

Kuat dugaan saya apa yang terus diceritakan Djauhari pada pasien-pasiennya soal daftar orang-orang PKI yang akan duduk di pemerintahan jika G 30 S menang lebih banyak terinspirasi berita itu. Bukankah apa yang diumumkan Letkol Untung beserta daftar dewan bentukannya itu juga dimuat di Berita Yudha dan Angkatan bersenjata, koran resmi Angkatan Darat yang diijinkan terbit pada awal mula peristiwa berdarah tersebut? 

Pertanyaan lain dalam benak saya menggantung. Mengapa Djauhari tidak ikut dibunuh? Bukankah dia ketua PKI? Pertanyaan ini tidak tanpa alas an. Pasalnya, sasaran pembunuhan yang telah direncanakan untuk pengganyakan PKI sampai ke akar-akarnya cukup sistemik. Di samping tokoh-tokoh PKI dari puncak sampai ke akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan organisasi massanya. 

Terdapat juga target khusus yang lain berupa kaum intelektual dan tokoh yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga guru, seniman, kepala desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis. Nampaknya target tertentu ini benar-benar telah direncanakan dengan matang setelah analisis mendalam tentang kemungkinan hari depan komunisme di Indonesia. Mungkin sekali hal ini ada kaitannya dengan daftar maut CIA yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal Soeharto.

Saya lalu teringat salah satu cerpen Martin Aleida dalam kumpulan cerpen “Mati baik-baik, Kawan.” Dalam cerpen tersebut Martin bercerita tentang tokoh Ba. Dia tokoh PKI yang mengkhianati kawan-kawannya sendiri. Dari tangan Ba, daftar anggota PKI dan orang yang dituduh PKI didapat tentara untuk kemudian dijemput paksa malam-malam lalu dihabisi. Ba juga yang mendatangi restoran Indonesia di Paris tempat bermukimnya orang-orang eksil yang menyelamatkan diri dari kebiadaban militer Orde Baru. Tapi Ba pulang dengan tangan kosong dari Paris. Atas ‘balas budi’ tentara, Ba mendapatkan tanah yang menjadi tempat tinggalnya. Tapi pada matinya tak ada satupun kawannya yang melayat. Warga juga enggan menggali liang kuburnya. Istrinya sendiri yang menggali kubur suaminya. 

Tak dapat dipungkiri, dalam masa-masa sulit selalu ada pengkhianat yang atas kepentingannya sendiri, keselamatannya sendiri rela menjilat musuh dengan mengorbankan kawan-kawan seperjuangannya sendiri. Jika Ba, adalah eksekutor bagi kawan-kawan sesama organisasi, maka barangkali Djauhari adalah corong tentara. Corong yang menghembuskan ‘kebenaran’ isu versi Orde Baru bahwa PKI-lah dalang G 30 S. Sebuah pengandaian dibangun dari cerita-cerita Djauhari pada pasien-pasiennya. Sudah disiapkan rencana kudeta Negara. Orang-orang yang akan duduk merebut kekuasaan sudah ada. Djauhari sanggup menyebutkan daftar nama orang-orang PKI yang akan berkuasa itu. Mulai dari Gubernur Jawa Timur. Sampai nama Bupati di tiap-tiap kabupaten di Madura jika G 30 S menang. Tentu saja orang-orang yang dia sebut itu sudah mati dibantai. Tak ada yang menyanggah cerita Djauhari. Semua pasien mengangguk setuju. Karena cerita Djauhari sesuai dengan rencana besar sebagaimana dikisahkan dalam film G 30 S yang merupakan alat propaganda Orde Baru. Sebuah fiksi yang keji. Sebuah pengandaian yang penuh amis darah pembantaian.

Djauhari meninggal pada tahun 2001. Tak seperti Ba yang sendirian dan kesepian, rumah Djauhari dipenuhi pelayat. Kerandanya diusung tetangganya, kerabatnya, kenalannya serta pasien-pasien langganannya sampai liat lahat dengan khitmat. Tak ada yang menuduhnya pengkhianat. Orang-orang hanya mengecapnya sebagai seorang komunis yang ‘taubat’. (bersambung)

Senin, 24 September 2012

Catatan Kecil Tentang G 30 S di Madura


Catatan Kecil Tentang G 30 S di Madura

“Dorr!”

Suara pistol revolver menggelegar memecah malam di kampung Patemon pada medio Desember 1965. Orang-orang yang berteriak-teriak di depan rumah Mbah Nisar sambil mengacung-acungkan clurit, golok, pentungan, dsb, kontan terdiam.

”Pulang kalian semua! Disitu tak ada PKI. Kalau masih ngotot masuk ke rumah Nisar, aku lobangi kepala kalian,” teriak kakek sambil mengacungkan pistol ke orang yang berapa paling depan tepat di pagar rumah Mbah Nisar.

Orang-orang kemudian membubarkan diri. Menjauhi Kakek. Maklum di Patemon kakek terkenal cukup disegani. Sementara itu Nenek terus gemetar di mulut gang sambil menenteng sampir-nya. Takut-takut gerombolan itu menyerang Kakek.

Sejak itu rumah Mbah Nisar tak pernah lagi disantroni orang. Nisar adalah sahabat kakek. Bisa juga disebut saudara kakek karena dia diambil anak oleh Paman kakek. Mbah Nisar, begitu aku memanggilnya, juga seorang PNI aktif sama dengan kakek kala itu. Dan mungkin karena itulah rumahnya disantroni gerombolan dan hendak dibunuh dengan tuduhan bersekongkol dengan PKI.

Tapi rumah-rumah lain, ribuan rumah-rumah orang-orang PKI dan dituduh PKI di Pamekasan, didobrak pintunya. Pemiliknya dihajar massa, lalu diseret ke dalam truk. Dibawa ke daerah Blumbungan, Nyalaran dan tempat-tempat kuburan missal lain di Kabupaten Pamekasan. Digebuki ramai-ramai. Tubuhnya dicincang, ditembak, lalu mayatnya di kubur dalam lubang. Ditumpuk dengan korban-korban lainnya.

Ratusan rumah juga dibakar. Perempuan di siksa, digorok lehernya, tubuhnya dilarungkan ke sungai. Anak-anak terlantar, orang-orang gila jadi pemandangan umum selain anyir darah dan bau busuk mayat-mayat yang dibantai atas tuduhan; terlibat G 30 S kemudian dilelerkan begitu saja di jalan-jalan seperti anjing kurap yang mati terlindas truk.

“Apakah orang PKI itu jahat?” aku memancing pertanyaan agar nenek bercerita lebih banyak soal peristiwa seputar pembantaian orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun-tahun berdarah 1965-1966 di Pamekasan-Madura.

”Aku tidak tahu.” Ujar nenek sambil memperbaiki letak tidurnya. Aku yang sedari tadi tiduran di sampingnya, kontan bangun membantu perempuan 92 tahun yang melahirkan bapakku itu, mengangkat tubuhnya yang kini ringkih karena usia terus menggerogotinya.

Ya. Memang tidak mudah mendapatkan informasi detail soal peristiwa pembantaian anggota PKI dan yang dituduh PKI pada tragedi G30S di Pamekasan-Madura. Selain karena ketakutan masyarakat atas stigma PKI itu sendiri, juga karena masyarakat sudah termakan propaganda film G 30 S/PKI garapan Arifin C. Noer yang pada era Orde Baru wajib tonton setiap tanggal 30 September malam. Dalam film tersebut digambarkan bahwa anggota PKI dan semua organ yang berafiliasi dengannya adalah ‘keji.’ Membunuh 7 Jenderal AD dengan sadis. Pembunuhan dilakukan anggota Gerwani (organ perempuan PKI) dengan menyilet dan memotong kemaluan korban sambil menari telanjang dan pesta seks. Selain itu juga merencanakan kudeta terhadap kekuasaan sah Soekarno dengan membentuk Dewan Revolusi. Namun rencana itu dipatahkan Soeharto. Peristiwa dalam film tersebut kemudian juga diabadikan dalam diorama Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Mungkin benar kata ungkapan; Kebohongan yang diulang-ulang akhirnya bisa dianggap sebagai kebenaran.

Meski kakek saya seorang anggota PNI aktif, nenek saya perempuan rumahan. Tak bisa baca tulis. Tak terlibat dengan organ perempuan sayap PNI. Boleh dikata ‘benci’ politik. ”Karena kakekmu orang partai, uang kerap habis hanya untuk membiayai kegiatan partai” keluhnya. Selain itu kakek juga pengagum Soekarno, termasuk juga gayanya yang falmboyan dan suka kawin.

Memang, rumah Nenek kerap jadi tempat kongkow orang-orang PNI pada tahun 1960an. Berdiskusi siang-malam tentang segala hal. Dan nenek yang menyiapkan semua kebutuhan makan orang-orang yang kadang bisa lebih dari 20 orang. Tapi nenek tak pernuh nguping. Lebih sibuk ngurusi anak atau memasak di dapur.

Sementara kakek saya juga tak lagi bisa ditanyai. Dia meninggal pada tahun 1967. Karena liver menurut diagnosa kedokteran. Tapi berdasarkan cerita nenek dan bapak saya, kakek kena santet orang. ”Perutnya membuncit. Tiap BAB selalu keluar darah disertai pasir hitam,” kenang bapak saya yang pada waktu itu berusia 11 tahun.

Tapi ada satu peristiwa yang selalu nenek ingat. Pamannya, Riso ( aku selalu memanggilnya Mbah Riso) pernah masuk penjara karena menjadi anggota BTI (Barisan Tani Indonesia). Nenek saya yang rutin mengirimkan makanan ke penjara selama Mbah Riso di penjara. Dan tiap kali ketemu Mbah Riso di penjara kala itu, nenek saya selalu menangis. ”Wajahnya selalu bengkak. Mungkin disiksa di dalam ( penjara, red). Tapi tiap ditanya selalu bilang terjatuh di kamar mandi LP,” cerita nenek saya.

Penyiksaan dan pembunuhan dengan cara keji terhadap orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun 1966 memang sudah jadi rahasia umum. Berdasarkan data dari John Rossa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal” tercatat satu juta lebih orang mati dibantai. Malah Sarwo Edhie, komandan operasi pembersihan orang PKI dalam sebuah wawancara, sesumbar sudah menghabisi tiga juta orang PKI.

Tak lama memang Mbah Riso jadi tahanan karena dianggap ‘terlibat’ G 30 S yang pecah pada 1 oktober dini hari pada tahun 1965 itu. Sekitar 8 bulan. Itupun bisa keluar karena nyogok kepala penjara. Nenek tak ingat berapa jumlahnya. Namun 8 bulan di penjara karena tuduhan PKI menghancurkan nasib keturunannya kala Orde Baru berkuasa. Stigma turunan Orde Baru; sekali bapak PKI anak cucu tetap PKI. Dan layak diberi stempel; Berbahaya! Semua anak Mbah Riso tak satupun ada yg jadi pegawai atau bekerja di perusahaan swasta. Semua anak laki-lakinya jadi sopir angkot. Dua anak perempuannya Cuma jadi ibu rumah tangga dengan suami yang bekerja srabutan. Pernah ada satu anak perempuan Mbah Riso yang sempat jadi guru. Tapi setelah 2 tahun bekerja, tiba-tiba dia dipecat dengan alasan yang tak jelas. Kemungkinan karena orang tuanya distigma PKI. ”Padahal saya baru mendaftar jadi BTI. Enam bulanan. Dan tak pernah aktif. Tapi rutin dapat jatah beras, gula, sabun, odol tiap bulan.” Kenangnya ketika beberapa tahun lalu sebelum dia meninggal saya sempat ‘iseng’ bertanya soal keterlibatannya di BTI.

Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan; ideologi seseorang diuji ketika berada di masa-masa sulit. Pada masa sulit itu kita jadi tahu siapa kawan seiring, siapa lawan. Siapa musuh dalam selimut. Siapa kawan yang menikam dari belakang.

Menurut cerita nenek, ditangkapnya Mbah Riso karena laporan seseorang yang tak lebih dari teman satu organisasinya sendiri. Mbah Tjikro. Dia adalah anggota PKI. Cukup karib dengan Mbah Riso. Pada tahun 1966 itu Mbah Tjikro juga ditangkap dan dipenjara. Lebih dulu dua bulan dari Mbah Riso. Usut punya usut dari dialah segala daftar nama anggota ‘PKI’ di kampung nenekku. Di dalam daftar itu ada nama Mbah Riso juga. Itulah yang bikin Nenek kesal. Selain itu, Mbah Tjikro juga gak pernah cerita kalau pembebasan tahanan bisa dilakukan dengan cara nyogok. Diapun bebas dari penjara juga selain memberi daftar nama juga nyogok. ”Aku pernah bertamu ke rumahnya. Tapi ketika ditanya dia nggak ngaku kalau keluar penjara nyogok. Coba dia kasih tahu, Nom (Anom: Paman, Madura, red) Riso bisa lekas dibebaskan. Meskipun uangnya dari utangan dan patungan antar keluarga,” kenang nenek.

Selain peristiwa itu, Nenek tak ingat lagi hiruk pikuk dan jerit pedih pada 1966 di Pamekasan, Madura. Nenek lebih banyak tinggal di rumah, merawat kakek yang terkena Liver sampai dia meninggal pada awal tahun 1967. Tapi sepanjang sakitnya, masih menurut cerita Nenek, Kakek selalu menyelipkan pistol di bawah bantalnya. Pistol milik kantor. Sebab pada masa itu pengawai bea cukai yang bekerja di pelabuhan memang berhak memegang pistol.

Menurut cerita bapak saya, sejak terjadi tragedi 1966 itu, banyak mayat-mayat bergelimpangan di sungai. Tangan terikat dengan tubuh tak lengkap. Ada yang hilang kepalanya. Ada yang tebas dua belah tangannya. Dan ada kepala yang ditancapkan di bambu lalu bambu tersebut di tanam di pinggir perempatan jalan. ”Saya tak tahu siapa yang bunuh. Masih kecil waktu itu. Tapi kerumunan orang selalu menyimpulkan satu hal tiap menemukan mayat-mayat yang nyangkut di carang-carang pinggir sungai atau dileler di jalan-jalan; orang PKI.”

Bapak juga cerita pada tahun itu Ujian kenaikan kelas juga tertunda kurang lebih 8 bulan lamanya. Ada juga diberlakukan jam malam. Memang pembunuhan dan penculikan kerap dilakukan malam hari. Dari tindakan banal tersebut tak sedikit guru sekolah dan guru ngaji (ulama) yang juga masuk daftar orang PKI dan harus dihabisi.

Dan semua pembantaian keji dan berdarah-darah itu, yang dilakukan militer dengan mendidik organ-organ paramiliter dan bekerjasama dengan pemuda Anshor, hanya berdasar satu andaian yang sama sekali tak terbukti; “Jika PKI menang, hal serupa juga akan dilakukannya”. Sebuah pengandaian yang keji mengingat jutaan orang PKI mati dibabati seperti hewan najis pada tahun 1965-1966. Tahun penuh darah. Tahun awal berdirinya orde baru. (bersambung)

Jumat, 24 Agustus 2012

Tiga Cinta Dalam Ciuman Pertama


Tiga Cinta Dalam Ciuman Pertama*)
Oleh Lusiana AR.
(Pecinta buku. Tinggal di Sumenep)

Atas nama cinta, seorang penyair bernama Durante degli Alighieri dari Firenze, Italia, atau yang lebih dikenal dengan Dante (yang terkenal dengan karya besarnya la Divina Commedia (The Divine Comedy)), menulis tiga buku besar tentang neraka, pugonia dan surga. Sebabnya ia jatuh cinta pada Beatrice, seorang bocah ingusan berumur 4 tahun.

Kisah diatas hanyalah sedikit dari banyak pengalaman cinta yang jadi inspirasi seniman. Pasalnya sederhana saja, cinta adalah milik semua manusia. Pengalaman semua orang dalam semesta kehidupan. Baik itu hubungan cinta dengan Tuhan, orang tua, maupun kekasih. Itulah mengapa cinta jadi begitu popular dan tak pernah habis diceritakan.  Tidak percaya? Ketiklah kata Cinta pada mesin pencari google. Dalam dalam 0.03 detik Google.com menemukan 13,900,000 entri. Secara kasar, ini bisa jadi indikasi dari betapa populernya topik cinta dalam kehidupan manusia.

Kepopuleran itulah barangkali yang membuat buku kumpulan puisi ‘ciuman pertama’ (selanjutnya disingkat CP) karya edy firmansyah (Gardu, 2012) diterbitkan. Dari hampir sekitar 60-an puisi dalam buku tersebut hampir sebagian besar membahas cinta. Menurut saya setidaknya ada tiga cinta dalam buku ciuman pertama itu. pertama hubungan cinta dengan kekasih. Kedua, Cinta pada kampung halaman (Madura) tempat penyair tinggal dan cinta pada Ibu.

Barangkali satu-satunya perasaan cinta yang ‘alpa’ ditulis dalam buku puisi ini adalah cinta kepada Tuhan. Padahal sebagai penyair Madura yang lahir dari Madura yang notabene sebagian besar masyarakatnya adalah masyarakat religius, perasaan cinta pada sang pencipta kerap menjadi garapan banyak penyair dari Madura. Taruhlah misalnya D. Zawawi Imron, M. Faizi, Abdul Hadi WM, Jamal D. Rahman .

Terlepas dari itu, ada suatu yang menarik dalam penggarapan cinta dalam kumpulan puisi CP. Hari-hari ini masyarakat telah dikepung berbagai berita infotaiment dari selebritis yang menyuguhkan hubungan cinta yang tidak etis secara lokalitas. Fenomena kawin cerai sepertinya merupakan fenomena keseharian para selebritis kita. Itu mungkin yang ‘kebetulan’ ditangkap kamera. Boleh jadi dalam keseharian yang luput dari kamera hubungan cinta sebagian artis kita sudah mengarah pada hubungan cinta yang liberal. Yang sama sekali tak ada persangkutpautan dengan budaya lokal nusantara—khususnya madura—yang mengagungkan konsep kesetiaan dalam cinta. Dalam buku Jakarta Under Cover Memoar Emka, misalnya. Ada beberapa cerita yang ditulis Emka yang menyebutkan beberapa selebritis yang juga aktif menjadi anggota Nude’s Club ( klub telanjang).

Selain itu kita juga disuguhi syair-syair lagu dari grup band anak muda dan lagu dangdut yang sekedar bercerita soal cinta dan hubungan selingkuh. Ironisnya lagu-lagunya hits dan malah dihafal anak-anak kecil karena terus menerus ditayangkan televisi. Ambil contoh misalnya lagu ‘cinta satu malam’

Dalam posisi itulah puisi-puisi cinta dalam buku puisi CP melakukan perlawanannya. Dalam puisi berjudul ciuman pertama, misalnya. Walaupun aku lirik dalam puisi itu pernah berciuman di kamar mandi masjid, ketika semua orang khusuk sembahyang, pada masa remajanya, aku lirik tidak lagi memiliki birahi dan keinginan melakukan ciuman itu ketika bertemu dengan mantan pacarnya di warung nasi pecel karena si aku lirik sudah beristri.

Artinya kesetiaan adalah satu hal yang utama dalam hubungan percintaan. Tanpa kesetiaan tak ada cinta sejati. Seperti dalam bait puisi berjudul “tentang ciuman” meskipun digarap sebagaimana lazimnya tema cinta anak remaja, tapi Edy Firmansyah tak lepas dari budaya timur. Budaya Maduranya. Sebagian remaja yang bercinta dan berpacaran pasti pernah berciuman. Tapi tak pernah melakukan ciuman terang-terangan di muka umum, sebagaimana dilakukan remaja barat. Karena bukan berciuman di muka umum itu tabu. Fenomena anak muda yang kerap berduaan di tempat remang dibidik dengan baik oleh Edy Firmansyah. Fenomena yang sebenarnya merupakan fenomena tergerusnya kebudayaan anak-anak muda. Gempuran televisi yang mengajarkan budaya barat yang sejatinya bertentangan dengan budaya lokal, semisal berciuman pada pacar, diserap begitu saja. Karena tahu itu merupakan tabu, anak-anak muda memilih tempat tersembunyi untuk memuaskan ‘hasratnya’. Karena itu di akhir puisi “tentang ciuman itu Edy Firmansyah memberikan peringatakan bahwa; ada yang lebih penting dari sekedar berciuman di depan stadion yang remang-remang. Yakni kesetiaan. Dan bersikap setia dalam cinta memerlukan keberanian. Berani untuk tak menjadi budak nafsu yang hanya melampiaskan kepentingan syahwat belaka, berselingkuh atau memiliki pacar lebih dari satu.

Cinta terhadap kampung halaman dalam buku CP juga tak kalah ‘garang’nya. Berkali-kali diksi pengeboran minyak, eksploitasi minyak disebut-disebut dalam antologi ini. Nelayan dan petani yang kalah karena gempuran investor asing dalam penambangan minyak di Madura sudah menjadi pembicaraan umum. Di Sumenep, ratusan warga Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep mendemo pemerintah setempat karena menolak kelanjutan eksplorasi BP Migas yang dilakukan PT Energi Mineral Langgeng (EML) di Desa Tanjung tersebut. Dan Edy Firmansyah tak ingin menutup mata pada kenyataan ini. Kenyataan dimana eksplorasi minyak kerap tak berpihak pada masyarakat setempat dimana-mana di nusantara ini. Lewat CP, salah satu penyair muda madura ini ingin turut mewakili pahit getirnya menjadi masyarakat yang kalah. Masyarakat miskin yang digempur investor penambang asing tapi tak pernah sekalipun merasakan kesejahteraan sejak Indonesia merdeka dari hasil kandungan minyak bumi-nya sendiri.

Tapi selalu ada yang bisa diperbaiki. Tentu saja dengan semangat perubahan. Sebagaimana pesan dalam “Warisan Terakhir” di halaman terakhir CP; usia dan maut membuat hidup memang untuk kalah. Tapi cinta mengajarkan untuk tak menyerah. Buku yang layak dibaca bagi mereka yang menyukai kedalaman makna melalui diksi yang sederhana.

Tentang Penulis
Lusiana AR adalah Pecinta buku sastra. Kini tinggal di Sumenep-Madura
Alamat email : lusianaar@yahoo.co.id
*) Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, Juli 2012

Jumat, 17 Agustus 2012

MERDEKA ADALAH......

Jaket Yang Terbakar

jaketmu terbakar
oleh puntung rokok
di atas lincak kampus
di jalan-jalan lapar
hitam kota besar
dan kita menyaksikannya
pikiran terbaik dalam jaket putih tulang itu
hangus
mengkerut
dilumat api
sementara iklan tivi. kuis ramadhan. reality show
panggilan sahur
dari toa-toa masjid
pipis di telingaku

aku masih mengantuk
sambil batuk-batuk
tapi bangkit juga dari ranjang
ke kamar mandi
meludah
cuih!
api membesar
adakah yang sanggup memadamkannya? teriakmu
api tak bisa padam. cinta tak bisa padam
menyala terus di tanah lain. mengalir terus
di hati dan air lain
siapa yang punya tanah dan air? aku?
di sini Amerika yang punya
dan Indonesia?
Indonesia adalah upacara bendera tiap tanggal 17
Indonesia adalah jerit lapar dan suara memelas
Indonesia adalah suara boldozer menggilas
Indonesia adalah suara tembakan aparat
Indonesia adalah yang terkapar bersimbah darah
Indonesia adalah yang mati di tanah airnya sendiri
Indonesia adalah yang merasa menang menembaki rakyatnya sendiri
Indonesia adalah yang puas menghisap isi bumi buat upeti
Indonesia adalah preman bersurban dan cukong berdasi
Indonesia adalah korupsi berkali-kali sudah itu mati
Indonesia adalah hidup dijajah 1000 tahun lagi
kau tak terima? baiklah. mari ria lagi dengan airmata
sambil telanjang dalam pagi
setelah bersuci diri dengan air hitam di papua
sungai coklat merah di Ogan Ilir dan Bima
bercermin pada bayangan hari di kaca mesin cuci
yang tergelincir ke lubang dubur Amerika
yang berak di tanah-tanah dunia ketiga
dan membuatmu makin busuk dalam sepi jembut sendiri
jadi biarlah jaket itu terbakar
                 jadi abu
seperti segala yang telah kuserahkan padamu
                terbang
ke langit kelabu
yang tak lagi punya apa-apa selain kata-kata
untuk menghantuimu!
atau kau ingin menembakku karena sajak ini?
tembaklah!
jika kau ingin membunuh
nuranimu sendiri


Agustus 2012

Kamis, 16 Agustus 2012

Mengabdikan Alam Melalui Puisi


Mengabdikan Alam Melalui Puisi*)
Oleh: Imalah Hasanah
(Alumni Sastra Arab UIN Malang)

Sebuah novel, Ciuman di Bawah Hujan ( Lan Fang ) sepintas dari sisi judul memberi kesan seolah-olah novel ini bercerita soal romantisme. Seperti novel ngepop, maka bila ada novel sebentuk itu seakan-akan berkisah tentang percintaan yang melibatkan dua sejoli. Jika yang diharapkan pembaca dari novel Lan Fang adalah plot romantis yang bertutur tentang cinta dan pengorbanan, pembaca pasti kecewa. Sebab novel berjudul di atas tidak berkisah tentang cinta dan romantisme melainkan cerita tentang pergolakan politik terutama soal pemilu dan pemilukada hingga pilpres.

Penyair muda asal Madura Edy Firmansyah dalam kumpulan puisi bertajuk Ciuman Pertama seakan-akan berkisah tentang kissing an sich. Padahal apa yang dilakukan Edy dalam antologinya kali ini adalah nasionalisasi diksi, dari Madura untuk Indonesia. Ini dibuktikan dengan kondisi alam Madura yang dilakukan Edy ke dalam puisi.

Sekedar menyebut contoh, dalam puisi Ciuman Malam Gerimis (Hal. 46) Edy memasukkan Kecamatan Torjun (Sampang), Gunung Gegger (Bangkalan), hutan jati dan penumpang yang turun dari bus (ekonomi) melalui kaca di sebelah kiri kanan bus. Selain itu, diksi ciuman berikutnya dapat dibaca dalam judul yang lain, Tentang Ciuman (halaman 53).

Sebagai warga Pamekasan, Edy menemukan sesuatu yang unik, yang pertama meski adegan ciuman tidak sekali saja dan berlangsung disitu. Meski sebagai kota gerbang salam, di Pamekasan bukan tidak terjadi sepasang remaja pacaran dan berciuman di pinggir jalan. Di sinilah ada kritik bahwa dalam sekularisme memang tidak ada larangan dalam ciuman yang dilakukan sukarela. Yang dikritik Edy justru bercinta yang seharusnya seperti penyair menulis puisi, butuh ruang privacy dan bukan di tempat umum di mana setiap mata yang lewat jadi malu karena melihat adegan seperti itu. Ini Indonesia.

Kesembilan puluh tujuh puisi dalam Ciuman Pertama ini semua bernada naturalis, alami. Edy, sastrawan yang juga pernah menjadi wartawan ini ingin menampilkan dan mengatakan pada pembaca bahwa alam itu indah. Bumi merupakan inspirasi yang paling banyak dihilangkan dari ruang imajinasi. Padahal dengan alam, bumi dan isinya, seseorang bisa kreatif, tidak saja untuk sastra, tetapi dapat dijadikan alat untuk mewujudkan sesuatu yang lain melalui kreativitas dan inovasi-kreatif.

Puisi sesungguhnya sesuatu yang sederhana. Ini seperti cinta yang dipuisikan dengan sangat indah oleh Sapardi Djoko Damono; Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Apa yang ditulis Edy Firmansyah dalam Ciuman Pertama ini tak lebih dari sesuatu yang sederhana. Ia berbicara tentang alam, cinta, kekerasan dan sosialisme dalam sastra. Di sisi lain, keterlibatan sastra dalam ideologi suatu komunitas mengakibatkan sastra mempunyai keberpihakan atau terlibat secara langsung dalam dinamika masyarakat. Dengan demikian, sastra menggambarkan alam sosial masyarakat dan media propaganda perjuangan mewujudkan gagasan atau ide.

Pergumulan sastra-sosial mengakibatkan adanya pertarungan alamiah yang berpijak kepada sesuatu yang bersifat naturalistik. Di sinilah satra (puisi) tidak hadir dalam rahim sosial yang kosong. Tetapi kelahiran sastra penuh dengan makna. Plekhanov (Eagleton, 2002;7) mengurai penciptaan karya yang tidak hadir secara misterius. Karya-karya tersebut adalah bentuk persepsi, cara khusus dalam memandang dunia, dan juga memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi mentalitas suatu zaman.

Sastra dan ideologi suatu masyarakat tak luput terefleksikan dalam karya sastra karena hasil gesekan sastrawan dengan dunia realitas sosialnya. Keterkaitan antara sastra dan ideologi suatu zaman, seperti yang diungkap Plekhanov adalah produk dari hubungan sosial yang kongkret yang di dalamnya manusia memasuki ruang dan waktu tertentu.

Antologi puisi Ciuman Pertama ini merupakan refleksi untuk memberi pencerahan bahwa yang sederhana ternyata jauh lebih fantastis, imajinatif, dan berasa. Ini ibarat seseorang yang mandi tetapi menikmati setiap aliran air yang menyentuh tubuh. Mandi dengan hanya membasahi diri lalu bersabun bahkan bershampoo, tak lebih dari pengulangan dan rutinitas. Namun bagaimana indahnya mandi dan merasakan sentuhan air yang pelan-pelan membasahi tubuh, hasilnya akan berbeda.

Begitu juga, memandangi alam Madura yang sudah seperti ini adanya, terasa begitu-begitu saja. Namun melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda dan merasakannya, lahirnya puisi, lahirnya Ciuman Pertama (*)

*) Resensi ini dimuat di Majalah SULUH MHSA Edisi 14, Agustus-September 2012 Hal. 28-29

Tentang Peresensi
Imalah Hasanah adalah Alumni Sastra Arab Universitas Islam Negeri ( UIN) Malang.

Sumber tulisan: http://issuu.com/suluhmhsa/docs/suluh_mhsa_xiv?mode=window&pageNumber=14

---

Berminat dengan buku puisi "Ciuman Pertama"? Murah saja. Hanya Rp. 39.000,- (gratis ongkir se-Indonesia). silahkan kontak email stapers2002@yahoo.com jika berminat. Atau hubungi 081937381133 via SMS.

Kamis, 12 Juli 2012

NAFAS SAJAKMU

Nafas Sajakmu
pada kawan-kawan Teater Fataria

bukan bulan penuh itu yang menyinari kata-kata
tapi matahari yang membagi dari punggung segala suara
jadi tak perlu keluh kesah itu
segelas kopi tinggal ampas
bisa jadi sajak keras
dalam malam
yang jadi api
jadi gitar
jadi angin bergetar
di atas karpet merah
orang-orang kalah

aku berkarya maka aku ada
kata tulisan dinding itu
tapi apalah sajak
jika cuma jadi jarak
antara kenyang dan lapar
sementara pedih hidup terus mengular

bukan bulan penuh seluruh
nafas sajak-sajakmu
tapi plastik sisa gorengan
dan bekas minyak
di mulutmu

tulislah itu

Madura, Juni 2012

Selasa, 19 Juni 2012

Kutukan Buku

Kutukan Buku
Oleh: Edy Firmansyah

Buku adalah anak rohani. Sementara penulis dan penerbit adalah ibu dan bapak bagi anak-anak rohaninya. Bagi bapak dan ibunya anak rohani itu boleh jadi merupakan mahkota sekaligus penopang hidup. Sungguh tragis jika kemudian seorang bapak, karena anak rohaninya dianggap ‘cacat’, tega membakar anaknya.

Tapi itulah yang dilakukan penerbit Gramedia Pustaka Utama pada buku berjudul “5 Kota yang Paling Berpengaruh di Dunia” yang disadur dari buku penulis barat, Douglas Wilson ( 13/06/2012). Bermula dari laporan Organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) ke Polda Metro Jaya yang melaporkan manajemen perusahaan penerbitan PT Gramedia terkait soal penerbitan buku berjudul "5 Kota Paling Berpengaruh Di Dunia" yang isinya diduga menodai agama Islam.  "Ada kalimat yang menyatakan Nabi Muhammad menjadi perampok dan perompak, kemudian menyerbu kalifah (pemimpin)," kata Jurubicara FPI Munarman di Markas Polda Metro Jaya, (Antara, 11 Juni 2012).

Laporan tersebut segera disikapi pihak penerbit Gramedia. Tak tanggung-tanggung penyikapannya. Bukan hanya menarik buku dari toko buku gramedia yang tersebar di seluruh Indonesia, tetapi juga membakarnya. Upacara pembakaran dilakukan secara terbuka dan disaksikan berbagai pihak. Malah Gramedia turut mengundang MUI dan FPI untuk menyaksikan aksi vandal tersebut. Setidaknya sekitar 900 lebih anak rohani ‘cacat’ itu dilalap api.

            Sejatinya aksi Pembakaran buku atau yang sering disebut biblioklasme atau librisida bukanlah hal baru dalam sejarah perbukuan dan lazim dilakukan pihak-pihak yang merasa berkuasa untuk melenyapkan buku-buku yang dianggap mengganggu “ketertiban umum” dan kelanggengan kekuasaan. Itulah mengapa pembakaran buku kerap menjadi ciri dari rezim yang kejam dan menindas. Hampir di sepanjang sejarah umat manusia sejak mengenal budaya tulis, selalu terdapat pihak yang keblinger untuk membakar “puncak-puncak peradaban” demi melanggengkan posisinya dalam panggung sejarah tanpa perasaan berdosa seakan-akan yang dibakar bukan pintu pembuka peradaban, melainkan 'sampah'.

Beberapa peristiwa pembakaran buku yang sangat dikenang—karena buku-buku yang dihancurkan tidak dapat tergantikan dan hilangnya buku-buku itu menimbulkan kerusakan berat terhadap warisan budaya—diantaranya; pemusnahan Perpustakaan Iskandariyah, pemusnahan Perpustakaan Baghdad, pembakaran buku dan pembantaian cendekiawan pada masa Dinasti Qin di Cina, pemusnahan Naskah kuno Maya oleh penakluk dan pendeta Spanyol, pembakaran buku Nazi, dan pemusnahan perpustakaan nasional Sarajevo.

Di Indonesia sendiri aksi pembakaran buku bukanlah hal baru. Sejak orde lama hingga orde reformasi sekarang pembakaran buku terus menerus terjadi. Namun merupakan sebuah ironi atau anomali di orde reformasi yang dikelola penguasanya dengan mekanisme demokrasi paling baik saat ini jika pembakaran buku masih terus terjadi. Apalagi tindakan vandal tersebut justru dilakukan oleh negara yang kemudian praktek tersebut menjalar ke sebagian masyarakat. Pasalnya, semangat membakar buku adalah semangat antiperadaban.

Buktinya, rejim berganti tapi aksi librisida bukannya menyurut malah terus berlanjut. Pada tahun 2007, misalnya, berbekal Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 019/A-JA/10/2007, Kejaksaan Agung membakar ribuan buku pelajaran SMP dan SMA karena tidak menyertakan peristiwa Madiun 1948 serta menghilangkan setiap kata PKI dari frasa G-30-S. Pada tahun 2009, dipicu tulisan bersambung Dahlan Iskan di harian ini (14-16 Agustus 2009), Front Antikomunis (FAK) berdemonstrasi dan membakar buku karya Soemarsono, Revolusi Agustus. Tudingan FAK baik tulisan Dahlan maupun buku Soemarsono berpotensi memanipulasi sejarah dengan menjadikan Soemarsono seakan pahlawan.

            Pada oktober 2010, setidaknya lebih dari 50 Al-Quran dibakar di Kampung Cisalada, Desa Ciampea, kawasan pemukiman jama’ah Ahmadiyah. Al-Quran yang dibakar sama seperti Al-Quran yang digunakan umat Islam di seluruh dunia. Kejadian itu terjadi pada Jumat (3/10) sekitar pukul 19.30 WIB. Tindakan tersebut merupakan bagian dari penyerangan yang dilakukan sekitar 30 remaja ke arah Masjid At-Taufiq, milik Ahmadiyah. Masjid itu juga tak luput dari pembakaran (Bingkai Merah Indonesia, 4 oktober 2010 (http://indonesiabuku.com/?p=7214) ).

Namun pembakaran buku yang dilakukan oleh pihak penerbit sendiri barangkali baru pertamakali terjadi di Indonesia. Dan Penerbit Gramedia mempeloporinya. Sungguh menyedihkan sebenarnya. Pasalnya, buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan analisa menjadi mandek. Dalam keadaan seperti ini peradaban manusia berada dalam ambang kehancuran.

Sebagai penerbit, Gramedia tentu saja akan mengamini bahwa buku adalah jendela dunia. Penopang maju mundurnya peradaban sebuah bangsa. dan Gramedia sendiri didirikan untuk memajukan budaya literasi di Indonesia melalui bisnis perbukan. Tapi mengapa kemudian penerbit Gramedia Pustaka Utama tega melakukan biblioklasme, mengabukan anak rohaninya sendiri dengan api?

Pertama, bukan rahasia umum lagi kalau bisnis buku adalah bisnis terbuka dan penuh persaingan. Sementara penerbit-penerbit terus berdiri bak jamur di musim hujan. Dengan begitu roti bisnis kian mengecil karena harus dibagi-bagi banyak kepala. Ancaman krisis over produksi terbuka lebar. Nah, jangan-jangan Gramedia sengaja membakar bukunya untuk ‘memukul” mundur saingannya di dunia perbukuan, terutama buat penerbit-penerbit kecil yang ingin cari hidup dari bisnis pengetahuan ini. Dengan membakar bukunya atas tekanan ormas FPI seakan-akan Gramedia memberikan terapi kejut dan berkata; ”Tutup saja usahamu wahai penerbit-penerbit kecil. Aku aja yang besar terpaksa bakar buku. Cukup aku saja yang buka usaha” sebuah trik monopoli dagang. Dalam posisi ini tekanan yang dilakukan FPI terhadap Gramedia sehingga penerbit besar itu membakar bukunya sendiri juga patut dicurigai sebagai kepanjangan tangan dari persaingan antar penerbit.

Kedua, sudah umum diketahui rekam jejak ormas FPI kerap melakukan tindakan vandalisme terhadap segala yang menurutnya merusak atau melecehkan Islam. Nah, bagi Gramedia memperbaiki aset-aset yang dirusak jauh lebih mahal daripada membela anak rohaninya habis-habisan. Karenanya kemudian Gramedia sengaja menumbalkan buku “5 Kota yang paling berpengaruh di Dunia” itu untuk selamatkan bisnisnya dan menyenangkan FPI. Bisa dibayangkan jika Gramedia tetap bergeming membiarkan anak rohaninya terbit. Kemungkinan FPI melakukan aksi pembakaran asset-aset Gramedia seperti toko buku yang tersebar di mana-mana dan buku-buku yang ada di dalamnya, gedung perkantoran, dsb sangat besar mengingat rekam jejak organ tersebut. Belum lagi jika konfrontasi yang dibangun adalah konfrontasi Gramedia (katolik) versus Islam.

Tindakan menjadikan buku tersebut sebagai tumbal tentu tidak asal jadi. Meskipun melalui proses panjang sebelum menjadi buku, tapi dibandingkan buku lainnya, dilihat dari prospek pasar dan kemungkinan menangkup laba sebesar-besarnya bagi penerbit, buku tersebut tidaklah cerah. Dengan cara memenuhi kehendak ormas tersebut dianggap pilihan yang ‘baik.’ Selain untuk menjaga citra bahwa penerbit Gramedia juga peduli dengan suara publik muslim.

Tapi buku yang dibakar akan menghantui para pembakarnya. Alih-alih menjaga citranya sebagai penerbit ‘baik’ dengan menarik buku itu dan kemudian membakarnya Gramedia justru mendapat banyak kecaman di jejaring sosial karena aksi vandalnya itu. Sampai ada seruan boikot membeli buku terbitan Gramedia dan boikot beli buku di toko buku Gramedia. Citra Gramedia sebagai penerbit ‘arus utama’ pelan-pelan ‘runtuh.’

Padahal sebagai penerbit besar dengan dana besar pula bukanlah suatu hal yang sulit bagi Gramedia untuk membela anak rohaninya itu di meja pengadilan. Selain itu, kalau Gramedia mau memilih membela "anaknya" dukungan dari pecinta buku, penulis buku sebenarnya dapat juga dijadikan ‘senjata’ bisnisnya untuk  menaikkan citranya sebagai penerbit yang serius menjadikan buku sebagai ruang pengetahuan, bukan semata-mata bisnis. Mengenai hal itu Gramedia bisa belajar dari kasus perjuangan anak-anak muda pada 2010 lalu dalam menempuh jalur hukum ke MK melakukan judical review menolak pelarangan buku. Gramedia juga bisa meniru kegigihan Muhidin M Dahlan dalam membela Novelnya “Adam Hawa” dari somasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) beberapa tahun lalu.

Tapi penerbit yang beralamat di Palmerah Jakarta ini tak pilih jalan ‘perang’. Gramedia memilih mengibarkan bendera putih sebelum pertempuran dimulai pada tekanan ormas dan membakar bukunya, anak rohaninya, sebagai cara aman dalam kelangsungan bisnisnya. Padahal sebenarnya tanpa harus tunduk pada tekanan apapun, Gramedia bisa menempuh jalur hukum melalui MK untuk menguji apakah buku layak dan tidak layak dibaca publik. Tapi sayang seribu sayang Gramedia memilih jalan membakar buku. Maka ketika seorang bapak dengan tega hati membakar anak rohaninya, Heinrich Heine salah satu penyair Jerman (1797-1856) memberikan “kutukan”nya; ”Di mana buku dibakar, di sana pula manusia—pada akhirnya—dibakar.” Semoga “kutukan’ itu tak terjadi di negeri ini di masa depan, atau jangan-jangan pembakaran manusia tengah terjadi di sekitar kita?