WAKTU

JEDA

Rabu, 21 Desember 2011



IBU


Ibu adalah pelangi sajak
awan, hujan dan debu
bergumul berderak
di langit dadamu
yang sesak

tapi setiap reda airmata
seribu warna surga
berpendar dari matahatinya




itulah mengapa
Ibu senantiasa menjelma lautan
muara segala air segala garam
kesanalah aku pulang
ke dalam peluk tangannya yang kasar
sebab di ujung rahimnya yang kekal
tertulis lakon dan nasib kehidupan
yang tak pernah usai

Ibu adalah rumah segala unggun rimbun sajak
luka dan cinta tak ada lagi jarak
jantungmu dalam jantungku
terus berdetak


Desember, 2011

Lambaian Tangan IBU
















Lambaian Tangan Ibu


Dari pinggiran kampung nelayan
antara terminal dan jalan besar
Ibu melambaikan tangan
pada bis yang membawaku pergi
merantau –
jauh dari kampung halaman
tempat ari ariku ditanam

bis terus melaju
melewati ratusan tiang lampu
tak hirau pada perpisahan itu
di kursi belakang bis malam
antara kantuk dan hari depan
airmata jatuh diam-diam

selalu ada yang pergi, selalu ada yang kembali
tapi tidak kasih sayangmu, ibu
ia punya rumahnya sendiri dalam memori

Ibu, kini terpisah tol dan gedung-gedung
tak bisa lagi kulihat wajahnya yang lebam
menahan pukulan zaman
tapi selalu kukenang matanya yang merah
menangis kala gundah

o, hidup yang mudah jadi hampa
ibu membuatnya penuh udara
itulah mengapa selalu ada jadwal pulang
ke rahimmu, Ibu
walau sebentar

Madura Mei, 2011

Senin, 19 Desember 2011

Kepada Seekor Kucing Liar di Seberang Jalan

Kepada Seekor Kucing Liar di Seberang Jalan


kemarilah, ke depan pintu rumahku
jangan biarkan tubuhmu gigil
karena hujan deras bercampur angin
bukankah kamu takut air?
aku punya sekepal nasi
dan sepotong kecil ikan pindang
sisa makan siang
yang tak mampu aku habiskan.
kau bisa makan sepuasnya.
lalu tidurlah dengan nyenyak
di keset hangat depan pintu
tak akan ada yang mengganggu
karena aku pernah hidup sepertimu
mencari makan dari pintu ke pintu
bis yang mangkal di terminal
dengan menjual koran
atau jika kau mau
sesudah makan kau boleh pergi sesukamu
tapi biarkan dulu aku
mengelus kepada dan tubuhmu
sebagai tanda bahwa
hidup mestinya saling berbagi, saling merasa
meski kau kucing
dan aku manusia

Senin, 12 Desember 2011

Sajak Kepada Sondang

Sajak Kepada Sondang

akhirnya kematian mengantarkanmu pada api
dibiarkannya lidah membara menjilat tubuh sendiri
berharap dijilat pula tubuh srigala berdasi
yang mengoyak-ngoyak harga diri
mengoyak-ngoyak berjuta-juta nasib rakyat sendiri

lihatlah, ada bintang merah
menyembul dari sungai darah
sungai yang mengalir dari rumah-rumah miskin
sungai yang mengalir dari nadi-nadi angin
menghembuskan kematian begitu dingin
membawa cinta yang pergi datang kembali
mengalir ke dalam api

akhirnya kematian mengantarkanmu pada api
kulit yang melepuh, daging yang jatuh
dari kerangka tubuh
adalah genta yang ditabuh
untuk memanggil berjuta manusia berdaki
membawa obor mereka sendiri
mengepung istana
membakar penguasa
yang terus menanamkan dusta

akhirnya kematian mengantarkanmu pada api
aroma daging terbakar
menjelma harum bunga mawar
bagi hati yang tidak tuli suara sunyi revolusi

Senin, 21 November 2011

Sekedar Obituari

Sekedar Obituari

Barangkali aku termasuk orang yang tak percaya pada firasat kematian. Bagiku kematian adalah kewajiban bagi semua yang memanggul nyawa. Kematian itu niscaya. Dan tak sepenuh keliru jika Oktavio Paz, penyair meksiko, peraih nobel kesusastraan tahun 1990 itu pernah menulis bait begini: lahir hanya untuk menunggu mati. Tapi tentu saja Paz tak sepenuhnya benar sebab hidup yang paling sekarat sekalipun bukanlah jalan untuk menyerah pada kematian, bukan?

Upss...tunggu. Aku tak sedang ingin menulis serius kok. Kembali ke soal firasat kematian. Sebagaimana kerjaanku sebagai penulis, nyaris tiap malam aku membuat tulisan-tulisan baru. Tentu saja temanya mengenai segala hal yang aku tekuni. Sosial, politik, cerpen, sajak. Baik atas permintaan lembaga keilmiahan, untuk sekedar dikirim sebagai artikel koran maupun untuk kepentingan pribadi. Tapi malam itu (17/11/2011), yang kutulis nyaris soal kematian. Aku membongkar-bongkar ulang cerpenku “sepasang anting buat cucu” menjadi cerita satir-kematian. Aku membongkar-bongkar sajakku “rumah sakit” yang beraroma kematian, tapi tak selesai (terpaksa aku tinggal dech..).. Dan aku juga sedang membikin puisi baru “berpulang” yang juga sejati hendak aku bikin soal kematian.

Sampai tiba-tiba sebuah SMS masuk dari teman sekolah masa SMA dulu, Edi Wisma Pranata, yang isinya: “Telah meninggal dunia dengan tenang ibunda dari teman kita sdr. Mapung barusan di rumah sakit umum pamekasan. Semoga arwahnya dapat diterima disisi-Nya dan keluarga diberi kesabaran. Aminn...”

Membaca SMS itu aku tersintak. Kaget. Begitulah terlambat aku mendapat kabar itu. Maklum, kawan-kawan yang mendengar lebih dulu kabar itu tentu dari komunitas BBm. Pernah sekali waktu seorang teman nyaranin aku beli BBm. Tapi apa daya. Belum mampu tersebab biaya. Lagipula aku khan gaptek. Ndak punya BBm. Aku cek di Hp, SMS tersebut dikirim pada Pk. 21.01. Sementara aku membukanya baru Pukul 24.00. saat itu juga aku kirim sms balasan. Dan mengirimkan SMS berbelasungkawa pada Mapung. Dan baru dibalas sama doi PK. 08.18 dgn jawaban: “matorsakalangkong” (bhs. madura: terima kasih, red)

Secara pribadi aku tak begitu dekat dengan Ibunda Mapung, kawanku itu. Selama bertahun-tahun berkawan, barangkali aku mencium tangan Ibunda Mapung itu bisa dihitung dengan jari. Tapi dulu kita pernah bicara soal Ibu inten sekali di YM. Bagi Mapung (juga tentu saja bagi semua anak manusia yang waras otaknya) Ibu adalah “tulang punggung” semua anak manusia. Tak ada ibu tak ada manusia. Itulah mengapa waktu dulu Mapung pernah ngomong padaku soal Ibunya: ”jika ada yang menyakiti Ibuku, aku orang pertama yang akan “menghajarnya””. Tentu saja bukan pernyataan yang dibuat-buat. Seingat aku, ketika Mapung masih SMP (kalok tidak silap kelas 3 SMP) Mapung sempat juga kehilangan ayahnya. Tulang punggung keluarga dia itu harus juga berpulang ke tanah. rumah akhir dan asal kehidupan. Bagi anak seusia itu, kehilangan figure ayah tentu saja merupakan kepedihan yang tak terkira. Sejak itulah dia besar dan dewasa tanpa ayah. Dan Ibunya menjadi satu-satunya tempat berlabuh. Tak banyak yang bisa aku ceritakan soal Ibunya itu. Tapi yang pernah saya tangkap, Ibu Mapung adalah Ibu yang baik. Penuh kasih. Sebagaimana kebanyakan Ibu pada umumnya. ”Seingatku, hanya satu kali aku dipukul Ibuku karena aku nakal. Setelah itu aku tak pernah lagi merasakan pukulan.” Begitu ceritanya padaku suatu kali ketika bicara soal ibu. Pembicaraan itu berlangsung entah beberapa tahun yang lalu.

Menjadi yatim di waktu kecil tentu merupakan kepedihan yang tak terperikan. Meskipun dalam keluarganya Mapung bukanlah anak tunggal. Ada kakak-kakaknya yang telah mapan secara material maupun psikologis yang dapat menopang kehidupannya. tapi tak pernah ada yang dapat menggantikan kasih sayang ayah. Jadi adakah yang mampu menghapuskan kenangan kepedihan itu dari memori? Aku pikir tak ada. Meski sekarang kehilangan Ibu disaat kawanku itu sudah dewasa dan sudah berkeluarga tak terlalu terperikan. Tapi kepedihan tetaplah kepedihan. Kehilangan tetaplah kehilangan. Sekecil apapun kadarnya.

Seingatku setidaknya sudah duakali lebaran aku juga tak pernah bersilaturrahmi ke rumah Mapung. Menjabat tangannya. Mencium tangan bundanya itu. Sebagaimana kebiasaan perkawanan kita, (aku tak mau menyebutnya kebiasaan orang madura. Aku pikir kebiasaan macam begini sama di mana-mana), Ibunda seorang kawan akan ‘dianggap’ secara batiniah sebagai Ibunda sendiri. Kalau kita main ke rumah kawan, dan punya masalah personal, misalnya, biasanya Ibunda kawan turut juga menasehati seperti laiknya Ibunda sendiri. Kadang ada orang yang merasa lebih dekat dengan Ibunda temannya daripada Ibunya sendiri.

Dan aku termasuk kawan yang tidak dekat dengan Ibunda Mapung. Barangkali bisa dikata waktu sekolah dulu aku lebih dekat dengan Ibunda Didit Ardiansyah, teman sekolahku juga. Namun Ibunda kawan adalah Ibunda sendiri juga, bukan? Dan kedukaan kawan adalah kedukaan kita juga meski secuil. Itulah mengapa aku merasa perlu membikin catatan remeh-temeh ini. Sebagai sebuah ucapan belasungkawa, mungkin. Tapi aku rasa memang perlu mencatatnya. Kita tahu bahwa sejarah hanyalah milik orang-orang besar. Milik orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Mereka yang dekat dengan kekuasaan, sepanjang sejarah, akan dicatat namanya. Dengan tinta emas. Meski seberapa buruk kelakuannya terhadap kemanusiaan. Sementara para penentangnya, akan dicatat segala kebusukannya. Meski besar kebaikan lakunya pada kemanusiaan. Dan orang-orang biasa, macam Ibu Mapung, misalnya tak akan pernah ada namanya dalam buku sejarah manapun.
Tapi dunia terus bergerak. Blog, fesbuk, twitter, dan berbagai jejaring sosial mengijinkan nama-nama yang tak tercatat dalam peta tapi ada berhak juga disebut. dicatat laku kebaikannya. Dikenang-kenang lewat tulisan. Yang mungkin lebih abadi dari tahlilan. Aku mencoba mencatatnya seingatku saja. Bisa dianggap sebagai doa. Atau sekedar celoteh belaka boleh saja.

Ya. malam itu, malam ketika Ibunda Mapung meninggal, aku sedang menulis soal kematian. Dan aku termasuk orang yang tak percaya firasat kematian. Tapi malam itu aku menyelesaikan puisi berjudul “berpulang” selang beberapa menit sebelum aku membuka SMS dari temanku, Edi Wisma Pranata tentang meninggalnya Ibunda Mapung. Silahkan disimak. Sebelumnya secara pribadi aku mau ngucapin turut berbelasungkawa. Sungguh karena kesibukan aku tak sanggup datang ke prosesi pemakamannya. Tapi tulisan ini bisalah menjadi penebus dosa-dosaku atas kekhilapan itu. :



Berpulang

akhirnya aku harus terima
segala yang pernah memberi kehidupan
harus sanggup pula menerima kematian

duka terus menjulang
menatap tubuh tinggal daging membalut tulang
wajahmu pucat beku
ada yang terus menggema dalam kekosongan: Ibu! Ibu!

ibu, rumahmu rumahku kini sudah berjarak
tapi dari jendela zaman peluk ciummu masih jadi tempat berpijak

itulah mengapa aku masih bisa tahan
mengusungmu dalam keranda
sebab jasadmu masih jauh lebih tinggi
dari matahari

tapi aku tak pernah sanggup
mengembalikanmu kepada tanah
jauh lebih rendah
dari kaki
tempatku berdiri

tapi akhirnya aku memang harus terima
segala yang pernah memberi kehidupan
harus sanggup pula menerima kematian
dan airmata seperti kran terbuka
bergemericik kepedihan di kolam jiwa

Jumat, 18 November 2011

KAU HARUS BACA PUISI INI!

Kau Harus Baca Puisi ini


kau harus baca puisi ini
puisi yang lahir dari ratusan kilometer perjalanan
melewati ratusan tiang lampu
dan gugusan perahu
menyusup di batang-batang camplong
dan tembakau
dalam angin garam
angin madura yang kerontang
bercampur angin khatulistiwa
yang berhembus sepanjang perjalanan manusia
dan segala yang tumbuh tumbuh dari bumi
kuhimpun jadi puisi

manusia tak sepenuhnya berjalan
kadang kita mesti berteduh
di gardu tua
selepas kerja
ketika hujan tumpah tiba tiba
karena cuaca porak poranda
duduk kita di bangku yang sama
di bawah atap yang sama
dalam ketertundaaan perjalanan
adakah yang lebih indah dari percakapan?
semua berbagi cerita
bahagia dan derita
dalam hujan
sampai langit terang
dan kita berpisah
membawa lagu yang sama
lagu orang pinggiran
dalam ratusan kilometer perjalanan
menyusuri lagi jalur tualang
yang tak pernah usai
ditulis menjadi puisi

kau harus baca puisi ini!


2011

Kamis, 17 November 2011

MENCINTAIMU

Mencintaimu

aku ingin mencintaimu seperti akar
yang menghujam jauh ke dasar tanah
tak peduli diatasnya angin kering atau hujan,
kecuali sekedar menumbuhkan pepohonan.

aku ingin mencintaimu seperti pohon
yang tak gentar menantang badai
namun tak alpa membuat rindang

aku ingin mencintaimu setulus hati
sebab begitulah caraku menunda mati

Kamis, 27 Oktober 2011

SAMPAH PEMUDA!

SAMPAH PEMUDA:

(1) KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA BANGGA BERTANAH AIR SATU: TANAH DAN AIR YANG DIKELOLA AMERIKA DAN ANTEK-ANTEKNYA

(2) KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA BANGGA BERBANGSA SATU: BANGSA YANG MENGINJAK-INJAK NASIB RAKYAT JELATA

(3) KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA BANGGA BERBAHASA SATU: BAHASA KEBOHONGAN!


28 Oktober 2011

PERJALANAN PULANG

Dalam Perjalanan


matari terbit
di horison laut
dan senja pulang
pada punggung pegunungan

oh, kampung halaman
kembali aku pulang
pulang ke inti garam
mengobati perih segala perjalanan

dari radio mobil usang
suara Grace Simon begitu miris terdengar
bernyanyi lagu Bing penuh kesedihan
jalanan bergelombang
di kursi belakang aku sempoyongan
oleh jalanan berlobang. oleh asing perjalanan

baru saja menyeberang sepasang petani
menyandang cangkul dan kaki berlumpur
dipeluk pinggang istrinya
dan keduanya berlari tergesa
adakah kalian kenal lagu Bing dari Grace simon ini?
lagu tentang cinta cintaan yang miris ini
tapi adakah yang lebih miris dari percintaan sepasang petani
yang berani hidup di tengah keterpurukan bertubi

jalanan semakin petang
suara Grace Simon terus terdengar
jalan pulang ini semakin sepi
kelamnya sampai ke dasar hati


Surabaya-Madura, Maret 2011

DI KOLIMETER 20

DI KILOMETER 20


di kilometer 20 sampang
di bawah pohon camplong besar
aku berhenti
angin kering menyergap
ke dalam tulang. ke dalam syaraf

kulihat barikade ombak
berdebur membentur
dinding belakang
bangunan pinggir pantai

di sebelah mana, tuan
kuburan massal orang orang tak berdosa
dan mayat mayat tanpa kepala
dilarungkan
ketika prahara 65?

di langit biru
gugusan awan
serupa barisan kafan

o, tanah asin ini bergetar
ketika dua truk eksplorasi minyak
pelan pelan bergerak

dari kilometer 20
kulanjutkan perjalanan
kulihat cakrawala selat madura
pelan pelan menjauh
kemudian melenyap
dari spion


Madura, Mei 2011

Rabu, 19 Oktober 2011

PUISI PADA ULANG TAHUN Ke-31


PUISI PADA ULANG TAHUN ke-31


pada akhirnya hanya sepi
seperti pagi ini
aku membuka pintu dapur
langit mendung
udara dingin
sampai ke sumsum

tak ada langit yang lain
tak ada bumi yang lain
tapi semua bergerak
dalam kesunyian masing-masing

seperti usia dan harapan
ada yang jatuh. ada yang tumbuh
bersama asap rokok
dan fajar
yang tak kelihatan

sepi tinggal sepi
seperti lilin padam
aku akan kehilangan
segala yang pernah kumiliki
namun betapa susah melupakan
segala yang terlanjur jadi memori
tiap kali mata terpejam
kecupan ibu di pipi
dan ucapan selamat ulang tahun
pada usia lima tahunku
menjelma kupu kupu
yang keluar dari kepompong waktu


September-Oktober 2011

Senin, 26 September 2011

Mengenang G 30 S-

September Pecah


september pecah
kalender renta basah
airmata darah

mayat mayat mengepung
mayat mayat mengapung
tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa kepala
di sungai, di selokan, di sudut jalan, di rusukrusuk kampung
dari lubang buaya ke nusantara
zombie zombie lapar gentayangan angkat senjata
membabati orang orang seperti menghabisi binatang celaka
hujan diluar sana
bercampur darah
bercampur airmata
orangorang ciut
orangorang takut
darahdarah menjelma kabut
mengaburkan pandangan mata
melilipkan dunia
sejarah mencatatnya tergesa
hingga robek tak terbaca

september berdarah
orangorang mati
menggali kuburnya sendiri
hingga kini

oh,
betapa pengecutnya dunia!


[September 2010]

Sabtu, 27 Agustus 2011

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432H. MAAF LAHIR BATIN



















Hari Lebaran



Ada yang lupa kuhapus
bilur airmatamu
ketika mengeja dosadosa
yang kutorehkan tanpa sengaja

ada yang tak tuntas kuseka
perih luka masa silam
yang mungkin jadi sembab
tanpa mampu dipendam
selembar sapu tangan

mungkin tak cukup seribu maaf
menghapus dosa, menyeka luka
yang telah jadi gurat di dada

tapi barangkali puisi bisa
mengakhiri muram dendam
hingga senyum maafmu
ikut jatuh bersama hujan


[Madura, 090910]

Selasa, 16 Agustus 2011

CERITA TENTANG KAKEK

Cerita Tentang Kakek*)


”Jadi kakek selalu berteriak-teriak dan membentur-benturkan kepalanya ke dinding sampai berdarah tiap kali mendengar kabar kalau ramadhan sudah dekat mama?” mendengar pertanyaanku mama cuma tersenyum sambil menganggukkan kepala dan terus membelai rambutku. Udara dingin menyusup dari lubang angin di atas jendela. Mama kembali membetulkan letak selimutku.

“Tidak hanya itu Windy. Tiap kali kita datang menjenguknya kakek selalu berteriak-teriak seperti tadi?”

”Kenapa tidak tinggal dengan kita saja mama. Kasihan kakek sendirian di ruangan itu. Kalau tiap hari melihat kita kakek pasti tidak akan berteriak-teriak lagi.” Mama lagi-lagi tersenyum. Kemudian berjalan mendekat ke jendela. Menutup gorden kamarku.

“Kakek lebih senang sendirian di tempat itu Windy. Sama seperti kita kalau lagi marah atau kesal. Kita suka menyendiri. Karena tidak ingin menyakiti orang lain. ”

“Kapan kakek akan berhenti marah-marah mama?”

“Entahlah sayang”

“Kalau kakek sudah tidak suka marah-marah dan berteriak-teriak seperti tadi, kakek akan berkumpul bersama kita lagi mama?”

”Tentu sayang. Tentu. Ayo sekarang tidur. Sudah larut malam.” Mama mencium keningku. Lalu keluar dari kamar sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum. Tapi tak juga bisa tertidur. Aku masih ingat wajah kakek ketika berteriak-teriak dan membenturkan kepala ke dinding ruangan itu.

”Allahuakbar! Hancurkan! Hancurkan! Jangan biarkan syetan mengganggu orang-orang berpuasa.” Begitulah teriakan kakek yang terus-menerus menggema dalam pikiranku ketika untuk pertamakalinya aku mengunjungi kakek. Ya. Wajah kakek di ruangan itu sungguh berbeda dengan wajah kakek di foto yang ada di ruang tamu. Di ruangan itu wajah kakek begitu kusut dan dingin. sementara wajah kakek di ruang tamu terlihat begitu gagah. Mengenakan surban putih dan memegang klewang yang disilangkan di dada. Persis seperti foto pahlawan pattimura.

Begitulah kenanganku ketika pertama kalinya aku bertemu kakek secara langsung. Dan kenangan itu selalu melintas dalam pikiranku tiap kali aku hendak tidur. Hingga aku dewasa sekarang.

Dan aku selalu bertanya-tanya kenapa kakek harus tinggal di salah satu ruangan di sebuah rumah sakit jiwa. Bertahun-tahun pertanyaan itu terus berkecamuk dalam kepala. Dulu ketika masih duduk di bangku SMP aku pernah juga bertanya hal itu pada mama. Tapi mama tak pernah mau menceritakan sebab musababnya.

”Belum waktunya Windy. Nanti kalau kau sudah dewasa akan mama ceritakan.” Begitu selalu jawaban mama tiap kali aku bertanya kenapa kakek bisa jadi gila.

Pun ketika aku sudah mulai masuk sekolah menengah atas seperti sekarang ini mama tak juga mau menceritakan hal itu. Ya aku dan mama memang sudah jarang bertemu. Mama cukup sibuk menjadi konsultan hukum dan mengurusi bisnis cateringnya. Papa juga sudah jarang pulang ke rumah. Bisnis kelapa sawitnya dan beberapa pondok pesantren yang ia dirikan seakan-akan tak bisa ditinggalkan. Karena kesibukan masing-masing kita juga nyaris tak pernah lagi mengunjungi kakek. Artinya ketika usiaku 7 tahun dulu itulah untuk pertamakali dan terakhir kalinya aku bertemu muka langsung dengan kakek di rumah sakit jiwa. Bahkan sekarang kita tak pernah lagi mendiskusikan soal kakek. Tak pernah.

Sampai pada suatu hari ketika aku iseng membongkar-bongkar gudang, aku menemukan catatan harian mama yang bercerita mengapa kakek sampai masuk rumah sakit jiwa. Dan berdasarkan cacatan harian mama yang tak sengaja aku temukan itu maka aku susun cerita berdasarkan versiku sendiri sebagai berikut:

Malam itu begitu selesai sholat Isya, Abdullah berdiri di depan kaca. Memperbaiki surbannya lalu mengambil klewang yang biasa ia simpan di atas lemari. Kemudian menyelipkan di pinggangnya. Ia tersenyum. Lalu keluar kamar. Malam itu adalah malam kedua sebelum ramadhan tiba. Sudah menjadi agenda rutin organisasi yang ia ikuti tiap menjelang lebaran organisasinya melakukan razia ke tempat hiburan dan hotel-hotel yang disinyalir menjadi tempat berbuat mesum.

Seandainya almarhum istrinya masih hidup pasti Abdullah akan berdebat hebat dengan istrinya. Pasalnya, istrinya yang paling menentang ia ikut organisasi keagamaan itu.

”ini jihad, bu. Semua kebobrokan negeri ini bermula dari perbuatan syahwat manusia-manusianya. Kalau tidak dibereskan segala hal yang merusak moral itu maka negeri ini tak akan maju.”

”Merusak hak orang lain itu kau katakan jihad? Coba bapak pikir bagaimana perasaan orang-orang yang dagangannya dirusak karena berjualan waktu ramadhan. Itu penganiayaan. Lagipula tak perlu berlebihan dalam beragama. Bukankah keimanan itu bisa dikatakan teguh kalau ada ujiannya. Biarkan saja mereka buka waktu ramadhan. Biarkan saja tempat hiburan buka tiap malam ketika semua orang tarawih. Biarkan saja lokalisasi buka ketika orang-orang tadarus. Karena disitulah keimanan seorang muslim diuji”

”Belajar dari mana kau beragama sehingga berani membantah suamimu begitu? Belajar dari mana hah? Jangan ikuti pikiran sesat. Banyak ulama sesat sekarang. Yang memelintir ayat-ayat untuk menyesatkan orang-orang atas nama HAM-lah. Semua itu hegemoni barat. Sesat. Kafir.”

“Bapak yang sesat. Menganiaya hak hidup orang. Menyiksa orang itu keji. Dan semua agama melarang perbuatan keji. Kasus di cikuesik yang menewaskan 3 orang itu perbuatan apa kalau bukan keji. Teman-teman bapak khan yang bunuh? Agama tak mengajarkan membunuh orang, pak. ”

”tapi pelakunya sudah dihukum khan?”

“Menghilangkan nyawa orang hanya 3-6 bulan kurungan itu setimpal? Nyawa dibayar nyawa itu baru setimpal. Bukankah begitu hukum Islam? Dan organisasi bapak itu terima putusan hukum yang dikutuk-kutuk sebagai produk barat itu? Apa itu namanya kalau bukan munafik. Rasullullah benci orang munafik.”

“Plak!” tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi istrinya.

“Jaga mulutmu, Bu. Membantah suami itu neraka. Makanya ikut pengajian jangan kerjaan melulu dipikin. Omonganmu lama-lama seperti syetan.” Istrinya hanya bisa menangis. Menangis. Dan terus melafalkan istighfar dalam hatinya. Memohon ampun pada tuhan atas laku suaminya.

Meski kenangan masa lalu itu sekali waktu melintas dalam benaknya tak pernah ia menyesal pernah menyakiti istrinya. Tapi kini tak ada lagi yang melarangnya. Tak ada lagi istri yang menentangnya tiap kali hendak berangkat razia tempat maksiat. Istrinya sudah satu tahun meninggal karena kanker. Kedua anaknya kini sudah kuliah di luar kota. Yang laki-laki kuliah di jurusan syariah. Sedangkan anak bungsungnya yang perempuan di jurusan hukum. Ia tinggal sendirian di rumah. Makanya ketika keluar kondisi ruang tamu sepi. Sebelum keluar rumah ia sempat melihat foto almarhum istrinya. Lalu bergegas mematikan lampu. Menguji pintu depan dan mengendarai motornya menuju tempat dimana teman-teman seorganisasinya berkumpul.

Begitu Abdullah sampai massa sudah lumayan banyak dan sudah bersiap-siap merazia tempat yang diduga penuh maksiat.

”Ayo bergerak! Allahuakbar!” teriak seorang korlap. Massapun bergerak. Abdullah ada diantaranya. Sasaran pertamanya warung dan sejumlah kamar kos yang diduga menjadi tempat minuman keras. Rombongan massa ada yang mengendarai sepeda motor. Sebagian yang lain berjalan kaki menyusuri remang jalan yang hanya diterangi lampu PJU.

Begitu sampai di rumah yang dituju, massa langsung masuk ke kamar kos yang sudah jadi incaran. Di tempat tersebut ditemukan 22 jerigen tuak, yang sebagian di antaranya sudah kosong karena telah terjual. Saat massa mendatangi kamar kos, istri penghuni kamar kos bersama dengan anaknya yang masih kecil, tampak pasrah ketika massa mulai memecahkan beberapa barang yang ada di kamar kos. Demikian pula ketika beberapa massa mengambil tuak yang disimpan di dalam kamar yang notabene adalah sumber mata pencaharian suaminya. Dari dalam kamar berukuran sempit tersebut tercium bau menyengat arak. Tuak rampasan yang masih ada dalam jerigen, sebenarnya hendak dibuang di saluran irigasi atau sungai. Akan tetapi setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya tuak tersebut diserahkan kepada polisi. Seluruh jerigen baik yang berisi tuak maupun yang sudah kosong, berikut istri bersama dengan anak penghuni kamar kos itu, dimasukkan ke dalam mobil polisi.

Setelah merasa puas massa kemudian melanjutkan razia ke hotel yang tak jauh dari tempat target pertama. Begitu tiba di hotel tersebut massa langsung merangsek masuk. Sambil berteriak-teriak menyebut-nyebut nama Allah.

”Allahhuakbar!”

Satu persatu pintu kamar hotel didobrak. Penghuninya diseret keluar. Pada kamar pertama massa menemukan sepasang pemuda-pemudi tengah berciuman. Nyaris telanjang. Abdullah yang turut mendobrak kamar pertama itu langsung menyeret dua pemuda-pemudi itu keluar.

”Terkutuk! Dilaktnat Allah kalian” teriak Abdullah sambil menendang punggung si pemuda.

Pada kamar kedua dan ketiga massa juga menemukan pasangan mesum. Menariknya di kamar yang bersebelahan itu ternyata setelah diperiksa KTP-nya adalah suami istrinya yang sama-sama tengah bercumbu dengan pasangan selingkuhnya masing-masing. Di kamar pertama si suami berduaan dengan pasangan selingkuhnya. Di kamar kedua istrinya juga tengah berduaan di kamar dengan selingkuhannya. Dan suami-istri yang terjaring itu sama-sama tidak tahu bahwa mereka berada dalam satu hotel yang sama.

”Astafirullah! Benar-benar keterlaluan” teriak seorang massa.

“Gebuki saja mereka!” teriak Abdullah bersemangat.

“Jangan! Bawa saja ke mobil dan serahkan pada polisi” ujar korlap.

Pada kamar paling ujung, lagi-lagi Abdullah yang jadi eksekutor. Dengan sekali tendang pintu kamar hotel langsung terbuka. Dan betapa terkejutnya ia. Dalam kamar itu dilihatnya anak laki-lakinya dan anak perempuannya tengah saling bercumbu dengan keadaan tubuh telanjang.


*) Cerpen ini dimuat di Harian RADAR SURABAYA, 14 Agustus 2011


Senin, 09 Mei 2011

Kado Pernikahan

Kado


Istriku memberitahu bahwa sudah waktunya membuka-buka kado pernikahan kami berdua yang baru berlangsung kemarin. Menurut Istriku jika tidak segera dibuka kamar pengantin kami yang kecil ini akan kelihatangan sumpek. Setidaknya ada sekitar 50 kado yang berserakan di lantai kamar kami. Bertumpang tindih dengan kardus berisi baju, sprai baru, dan buku bacaan koleksi kami berdua.

Dari sekian banyak kado itu hanya ada satu kado yang tidak tertera siapa pengirimnya. Bungkusnya pun aneh. Berwarna hitam. Aku membolak-balik kado itu. Sangat ringan. Ketika kukocok terdengar bunyi dug...dug..dug..

”Alah....paling isinya seperti punya Beny ini nich,...” ujar Istriku sambil mengacung-acungkan satu bungkus kondom setelah membuka kado Beny, teman sekampusku. Aku hanya tersenyum. Beny masih saja suka iseng meski anaknya sudah tiga, batinku.

Tapi kado bersampul warna hitam ini terus saja mengaduk-aduk rasa penasaranku. Dari siapakah gerangan? Kuamati hampir semua kerabat dan teman dekat membubuhkan namanya di Kadonya. Sebagian besar sudah dibuka Istriku. Ada si Indri, teman waktu SMA, dia kasih sprai berwarna pink. Ada Doni, sepupuku, dia kirim handpone baru. Tapi kado hitam ini? Warna hitam bukankah identik dengan kematian. Atau jangan-jangan; BOM!

”Sudah buka saja, tidak mungkin BOM, kok.” sergah Istriku seakan mampu membaca pikiranku.

Benar, juga sih. Lagipula buat apa orang kirim BOM padaku. Aku bukan presiden atau Menteri atau anak Jenderal korup yang layak dihancurkan dengan BOM. Juga bukan aktivis pergerakan progresif macam Widji Thukul dan Munir yang selalu dikuntit intel sampai akhirnya dihilangkan paksa karena keberaniannya mengungkapkan kebenaran. Aku juga bukan aktivis Islam radikal atau tokoh utama fundamentalis yang sedang sumpek pikirannya karena berjuang bertahun-tahun tak menang-menang akhirnya menyebar terror. Aku hanya pemuda tambun yang baru saja melangsungkan pernikahan sebagaimana pemuda lainnya pada umumnya. Jadi tak ada istimewanya mengirimi aku BOM.

Tapi....aku kembali ragu-ragu. Bukankah aku tinggal di perkampungan yang dekat sekali dengan pasar kumuh yang sejak dulu selalu digusur paksa tetapi tak pernah berhasil itu karena gigihnya perlawanan warga? Jika kado ini benar kado ini berisi BOM dengan daya ledak mencapai radius 1 kilometer bukankah tidak menutup kemungkinan semua masyarakat perkampungan dekat rumahku ini akan rata dengan tanah. Dan sebagaimana peristiwa yang sudah-sudah, setelah perkampungan kumuh luluh dan pasar tradisional luluh lantak, entah oleh kebakaran atau bom misalnya agenda berikutnya selalu saja sama: pembangunan Mall dan plasa atau paling tidak perumahan mewah. Kepentingan kapital.

Bahkan jika sasarannya justru perumahan mewah dan hotel berbintang yang berjarak 1 kilometer dari tempat tinggalku yang kerap dilakukan oleh kaum fundamentalis kalap dan sakit sarap itu, TNT yang misalnya ditanamkan dalam kado ini dengan daya ledak radius 10 Kilometer itu akan mewujudkannya. Tapi mengapa tidak pernah ada bom yang dikirimkan ke pejabat korup misalnya? Kenapa? Tiba-tiba istriku menepuk punggungku.

”Hey..kalau mas memang takut ayo kita buka bersama. Toh kalau benar BOM kita juga akan mati bersama. Seperti cerita di film-film itu.” ujar Istriku menggelayut manja di punggungku. Sambil sesekali mencium bibirku mesra.

”Eh, siapa takut!?Baik! Baik, akan aku buka. Bismillah,”

Aku merobek-robek kertas hitam itu. Dengan menggunakan silet aku potong perekat di kedua penutup dos kado itu. Ternyata di dalamnya masih terdapat kotak kardus berukuran lebih kecil tapi kini bersampul merah. Kembali aku robek-robek kertas kodo berwarna merah itu. Dan dengan sedikit tergesa aku robek kardus tersebut. Tapi lagi-lagi. Kardus yang bersampul merah tadi didalamnya ternyata berisi kado bersampul hijau. Kembali aku merobek-robek sampulnya dan menarik paksa kardus bersampul hijau itu.

”Apa sih isinya, Mas?”

”Ah, ternyata hanya sebuah buku dan sepucuk surat,” Aku menyodorkan buku berkaver putih berjudul Selaput Dara Lastri*) itu pada Istriku. Sedangkan suratnya masih kupegang.

”Dari siapa, sih?” Tanya Istri sambil tiba-tiba ia memagut bibirku cukup lama. Begitu dalam. Begitu membakar.

”Entah,” jawabku. Ketika aku hendak membukanya tiba-tiba perutku melilit-lilit tiada terkira. Entah apa yang membuat perutku tiba-tiba sakit begini. Apakah karena terlalu banyak makan sambal dan sate kambing itu? Ataukah karena kecapean? Dan aku bergegas ke kamar mandi. Buang hajat. Kutinggalkan surat bersampul putih yang sudah separuh terbuka itu tergeletak di ranjang

***
Leny yang sedari tadi menemani suaminya membuka kado pelan-pelan membuka surat yang sudah separuh terbuka itu. Dan ia mulai membacanya:

Mas Masfur,

Sungguh aku sangat bahagia akhirnya mas menikah. Sungguh aku tak menyangka bisa secepat ini mas menikah. Aku sendiri mendengar kabar ini pun dari Arnas, teman Mas yang tinggal tak jauh dekat rumahku. Itupun setelah aku paksa-paksa. Karena itulah aku tak sempat memilihkan kado apa yang baik buat Mas. Hanya buku itu yang bisa aku berikan. Semoga Mas tidak lupa denganku. Tapi siapakah yang bisa menghapus kenangan? Siapa yang bisa melupakan kenangan? Ia kekal dalam pikiran bukan?

Buku “Selaput Dara Lastri” itu sengaja aku kirim, karena dalam kumpulan cerpen itu ada kisah kita. Kisah percintaan kita. Bukan, bukan untuk mencoba menghancurkan pernikahan Mas dengan perempuan lain. Aku bukan tipe perempuan macam itu. Waktu itu bukankah aku sendiri yang memilih untuk pergi. Ya aku memilih pergi. Aku memilih jalanku sendiri. Jalan lain yang menurutku baik. Dan baik juga buat kehidupan mas di masa yang akan datang.

Tapi saya berharap Mas sudah berubah. Ketika mendengar mas menikah dengan perempuan lain aku berharap Mas sudah berubah total. Aku tak mau ada lagi perempuan lain selain aku yang turut jadi korban. Cukup aku saja. Cukup aku saja yang mengalami penderitaan itu. Makanya sengaja aku sebarkan aib keluargaku sendiri pada semua orang. Pada orang-orang yang Mas kenal dan juga aku kenal. Bukan untuk apa. Bukan untuk mengumbar dendam. Tapi agar kita bisa mengambil pelajaran dari semua peristiwa itu. Mas khususnya bisa bercermin diri untuk berubah. Berubah. Aku mohon jangan ada perempuan lain yang jadi korban.

Saya tak sanggup membayangkan kejadian yang aku alami menimpa perempuan lain. Belum lepas dari pikiranku, Mas (bahkan tak akan bisa lepas) ketika aku masuk ke kamar pengantin kita malam itu. Malam ketika aku pulang dari rumah ibu. Malam ketika aku ingin memelukmu karena kesedihanku ditinggal ayah (yang juga mertuamu) untuk selama-lamanya juga karena rasa capekku didera pekerjaan. Tapi betapa kagetnya aku. Ketika di ranjang kita itu kau sedang bersetubuh dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu yang ternyata pamanku sendiri. Kau memeluknya begitu mesra seperti kau memeluk aku. ackh…..aku tak bisa membayangkan kejadian itu.

Dan semoga Mas sudah berubah sekarang. Menjadi laki-laki yang sejati. Tidak lagi menyakiti perempuan dengan hubungan biseksual. Saya tak tahu apa yang terjadi pada psikologis Mas waktu itu, aku terlalu marah untuk memahami itu. Itulah mengapa aku pergi. Dan semoga istri mas yang sekarang bisa begitu tabah menerima mas. Dan juga tahu kehidupan mas di masa lalu. Semoga Mas tidak lagi berbohong atas semua hidup Mas.

Selamat menikmati hidup baru, Mas. Semoga sejahtera dan panjang umur. Dan terakhir aku sertakan puisi yang pernah aku kirimkan padamu lewat email itu. Puisi pertama dan terakhir yang pernah kutulis untukmu:

PERPISAHAN*)

berapa banyak airmata untuk mengobati kepedihan?

suara klakson. suara deru motor. suara denting mangkok pedagang bakso
teriakan lantang penjual lahang.
berderap berpacu dengan suara detak jantung
kepedihan

belum juga separuh jalan kita tempuh
tapi begitu cepat hati merapuh
ketika mata bertemu mata
retak itu terus menganga

o, betapa sakit perpisahan. Betapa sakit perpisahan
kita bersitatap, sekali lagi. kemudian melepas genggaman tangan.
dua punggung menjauh
dan airmata jatuh.

berapa lama manusia sanggup melupakan yang pergi dan tak kembali?



Salam hormat,

Lastri

***

“Apa Sih isi Suratnya, Sayang?” teriakku dari depan pintu kamar usai dari kamar mandi membuang hajat tadi. Tapi Istriku tak menjawab. Ia melempar surat itu ke ranjang. Ia berbegas ke Kamar Mandi. Kulihat matanya berkaca-kaca. Kulihat pancaran kesedihan di wajahnya.

“Surat dari siapa sih, Sayang?” Teriakku ketika Istriku masuk ke Kamar Mandi.

”Baca aja sendiri,” teriaknya dari kamar mandi. Lamat-lamat kudengar isak tangisnya semakin keras. (*)

Rabu, 20 April 2011

DERAP SEPATU HUJAN


ENDORSEMEN PUISI DERAP SEPATU HUJAN

Edy Firmansyah, penyair muda dari madura bersajak. Pengalaman hidupnya yang disusun dalam kumpulan puisi "Derap Sepatu Hujan" ini adalah refleksi kegelisahan anak muda dalam lingkaran zaman cyber yang penuh pertanyaan. Tetap semangat ed! salam, [Heri Latief, penyair, tinggal di amsterdam, 13/12/2010]

"Garis besar kumpulan puisi ini adalah apa yang selama ini kita sebut MARTABAT. Dan itulah yang membuat kumpulan ini menjadi amat bermanfaat." Selamat bung Edy, sukses selalu dan tetap kreatif. Salam! [Ciu Cahyono, Penyair]

Lewat buku ini, Edy Firmansyah, menghidupkan kembali potensi yang nyala dari tanah Madura yang dianggap renta. Dari sekian banyak penyair muda Madura yang sudah ada, Edy layak diperhitungkan. Secara pribadi, saya suka puisi yang bercerita tentang ‘anakanak tembakaumu” Tabik! [Nurani Soyomukti, penulis buku, penikmat sastra, tinggal di Trenggalek]

Puisi senantiasa mengingatkan kita kepada waktu dan ruang, kenisbian dan harapan yang saling mengisi. Dari puisilah kita belajar tentang makna eksistensi dalam lingkup kesadaran yang meluas. Disitulah posisi puisi Edy Firmansyah yang memiliki daya ungkap dan mengajak kita ke dalam ruang ruang imajinasi yang kadang terasa bukan milik kita namun akrab, dan menunjuk kepada yang tak tersebab. [Halim HD. - Networker Kebudayaan]

Edy Firmansyah mulai belajar berpuisi di forum diskusi Cybersastra di awal 2000. Dari forum itulah ia menemukan bagaimana sebuah puisi diolah. Kini penyair asli Madura yang mengindonesia ini menerbitkan buku puisinya. [Nanang Suryadi, Penyair dan Dosen, tinggal di Malang]

Edy sepertinya sama sekali tidak terjebak dalam bunga-bunga kata yang indah dan mewah. Puisinya bukan Cuma permainan kata-kata, olahan imajinasi hasil pertapaan suci seorang yang mengasing dari realita, lalu datang membawa mantra-mantra dan mengklaim diri sebagai penyair dan seniman kata-kata. Puisi dalam buku ini adalah mata yang merekam peristiwa, semangat menyala yang ia tulis dengan hati yang gelisah. Saya suka menyebut puisi Edy sebagai puisi reportase, sebab kaya sekali dengan peristiwa di sekeliling kita. [Irwan Bajang, Penulis, Pelaku Gerakan Indie]


BERMINAT DENGAN BUKU INI? Murah Saja. Hanya Rp. 33.000,-(Sudah termasuk Ongkos kirim se-pulau Jawa). jika berminat bisa kirim email ke stapers2002@yahoo.com atau fordem_pam@yahoo.com.

SAJAK PULANG

SAJAK PULANG*)


O angin garam
angin yang menebarkan karat dan kasar
sambutlah aku pulang
pulang dalam kesunyian


berbaris ratusan pepohonan
beberapa terhuyung
beberapa melepas dahan rapuh
dipukul angin gaduh
dua kresek hitam melayanglayang di udara
lalu menghilang di balik pepohonan
entah kemana


di langit barat daya yang merah
kulihat delapan burung kuntul
berbaris membentuk ujung panah
terbang pulang ke timur
ke tempat matahari pertamakali bangun


aku melaju terus saja
surabaya - madura baru separuh jalan
melaju terus. menembus sepi
jalan pulang ini
tak berujung tak bertepi


Surabaya - madura 18 Januari 2011

*) Termuat Dalam Kumpulan Puisi "Derap Sepatu Hujan" (2011)

DOA

DOA

: dari gelandangan



Tuhanku
dalam susah aku tengadah
memohon segala pinta
seperti yang sudahsudah


cahayaMu kerling sunyi
diantara neon box iklan
dan rindang pepohonan
dalam dingin dini hari
penuh kekosongan


Tuhanku
menujuMu
ribuan orang remuk
ribuan orang melepas nyawa
bersuci diri.
mengucur darah saudara sendiri
adakah kau disana?
menemani supri, menemani heru
karibku yang mati lebih dulu?


Tuhanku
di pintuMu aku mengutuk
tulisan: "Dilarang tidur di masjid"


dan aku berpaling. berpaling
ke taman kota. ke terminal ke stasiun
melepas mimpi dengan waswas disana
dan anggap saja kita
tak pernah bertegur sapa


Januari 2011

Senin, 28 Maret 2011

HUJAN MALAM INI

jutaan hujan

tumpah dari langit hitam

yang muram



kami terpaksa berteduh disini

di bekas gudang pelabuhan

menunda perjalanan, menunda kepulangan



malam ini hujan begitu sempurna

guntur dan petir memecah udara

dingin yang garang, gelap dan gigil

menebal ketakutan



tapi cuaca tak bisa menghentikan harapan



seorang penjual jamu gendong

dengan payung kecilnya menerobos hujan

menunggu angkutan yang bisa

segera membawanya pulang

tak peduli bajunya basah

oleh genangan hujan yang

dilindas kendaraan



o, kepulangan. ia misteri masingmasing orang



malam ini

pada puisilah kulanjutkan perjalanan

pada puisilah kumenemu jalan pulang


Madura Maret, 2010

DIKEPUNG HUJAN

DIKEPUNG HUJAN



Hujan mengepung’

Hujan mengepung

Hujan mengepung

Hujan mengepung

Hujan mengepung

Dan aku berlindung

Pada kenangan

Pada masa silam

Di rumah aku lahir

Di dunia bertarung

menguak takdir

hujan mengepung

hujan mengepung

hujan mengepung

menunggang hujan

menuju sarang

ujung akhir

jalan pulang



hujan mengepung

nasib mengapung

***

Minggu, 20 Maret 2011

PADA DUKA TSUNAMI JEPANG


Pada Duka Tsunami Jepang



dibawah langit yang muram

bumi di Honshu bergetar

ribuan rumah dan gedunggedung menjulang

pecah dan tumbang

dihantam gelombang laut yang muntah

dari perut bumi yang pecah



o, kehidupan begitu rapuh

dan alam begitu angkuh

tanpa ragu melintas

memberi jalan pada maut yang kekal



hai, lihat!

sepasang geta usang nyangkut di fondasi jembatan

10.000 sakura terbang ke awan

menuju kekeabadian



dibawah langit yang muram

bumi di Honshu bergetar

dan airmatamu hanyut

bersama kimonomu, kembali ke laut.

kembali ke jalan maut


madura, 15032011

Jumat, 07 Januari 2011

HUJAN BULAN JANUARI

HUJAN BULAN JANUARI



Januari, tak banyak berubah disini

hanya bangkai hujan

jadi banjir susulan



rumahrumah tergenang

sawahsawah tergenang

tengah kota jadi sungai

hidup barangkali ancaman bahaya

bagi mereka yang tak mau terjaga



pagi ini tak kulihat lagi tawa

kecuali keriangan anakanak yang

mandi di pancoran

bergulingan di genangan air

setinggi lutut orang dewasa

orangorang sibuk mengemasi nasib sendiri

agar tak basah oleh kesedihan yang

jatuh bersama hujan



malam ini

bangkai hujan masih disini

di kamar tempat aku membongkar puisi

dan menulis sepi sendiri

sms masuk kubuka tergesa:

dua anak terseret air bah

satu selamat. yang satu sudah jadi mayat



oh, siapa yang bisa menduga ajal

nomor urut kematian sendiripun kita tak kenal



januari, tak banyak yang berubah disini

hujan datang dan pergi

juga hidup dan mati