WAKTU

JEDA

Sabtu, 19 September 2009

UJIAN SEKOLAH

Oleh: Edy Firmansyah

“Nek, ceritakan padaku tentang penyesalan,” kata Fesha pada neneknya yang jago cerita itu. Maka sang nenekpun bercerita tentang Karim.

Karim adalah pelajar sebuah sekolah. Hari ini ia sedang mengikuti ujian sekolah.
“Apa lagi yang kau takutnya, Karim? Ayo, ambil contekanmu. Bu Ratmi sedang ada di luar. Mengapa kau masih ragu? Ayo cepat. Masa depanmu tergantung pada ujian ini. Kalau kau tak lulus, emakmu bakal kecewa berat. Ayo Karim. Jawaban dari 50 soal Bahasa Indonesia itu ada di catatanmu itu,” Bisikan itu terus menyemangati Karim
Tapi Karim tak juga mengambil catatan yang terletak di kantong celana, baju dan dibalik kaos kakinya itu. Tangannya masih gemetar. Seumur hidupnya baru kali ini ia membuat contekan. Biasanya ia belajar sebelum ujian dimulai. Pantang baginya mencontek. Jangankan mencontek, bertanya ketika ulangan dimulai saja tak pernah ia lakukan. "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku jujur sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Dan berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri," itulah pesan Bapaknya ketika menghembuskan nafas terakhirnya. Pesan itu kemudian dijadikan falsafah hidupnya.

Tapi kemarin ia tak sempat belajar. Ia harus mengantarkan emaknya ke rumah Paman Oki untuk menjual kalung emas satu-satunya milik emaknya. Untuk apa? Untuk membayar uang sekolah yang sudah tiga bulan nunggak. Tanpa menjual kalung itu mungkin Karim tak akan bisa mengikuti ujian akhir sebagai pintu gerbang bagi ia untuk lulus SMA.
Rumah Paman Oki cukup jauh. Kurang lebih 50 kilometer. Tak mungkin ia meninggalkan emaknya berangkat sendirian. Karena emaknya pelupa. Setiap kali pergi ke rumah kerabat yang tempatnya jauh emak Karim selalu kesasar. Bahkan pernah ketika bertandang ke rumah Bi Marni di Surabaya, emak justru tak sampai kesana. Sejak itulah Karim selalu menemani emak tiap pergi jauh. Karim baru tiba di rumah tengah malam. Badannya sudah terlalu telah untuk belajar. Untuk berjaga-jaga ia terpaksa merobek-robek buku catatan bahasa Indonesia-nya kemudian lembaran-lembaran itu ia selipkan di kantong baju, celana dan di balik kaos kakinya.

Persetan dengan petuah Bapakmu itu, Karim. Kau berada dalam posisi terjepit sekarang. Jangan kecewakan Emakmu, Karim. Kau harus lulus. Tanggalkan idealismemu itu. Buka catatanmu, seperti yang dilakukan teman-temanmu.

Karim melirik ke sebelah kanan. Ia lihat Rani sedang membalik-balikkan contekan yang ditulisnya di kertas tisu. Cara itu sudah dilakukan Rani bertahun-tahun. Rani adalah teman sekelas Karim sejak SMP dan Rani selalu menjadi juara kelas. Karim kemudian melirik esebelah kiri. Ia lihat Adnan juga sibuk dengan buku cetakan bahasa Indonesia yang diselipkan di balik bangku. Sesekali ia keluarkan buku itu, ia buka lembarannya, kemudian tersenyum puas karena menemukan jawaban.

”Jawaban nomor 10 apa?” tiba-tiba Ruli yang duduk di belakang Karim berbisik dengan pelan. Karim membaca lagi soal nomor 10. Pertanyaan; siapa pengarang Novel Olenka? Ada lima pilihan jawaban. (a) Sutan Takdir Alisyahbana. (b) Budi Darma. (c) Pramoedya Ananta Toer (d) Taufik Ismail (e) Ayu Utami. Tapi Karim menggelengkan kepala tanda tidak tahu.

Sebenarnya Karim sudah menandai huruf pada lembar jawaban miliknya. Tapi ia merasa tak yakin kalau jawabannya benar. Karim menjawab C. Karena tak mau menjerumuskan Ruli, Karim sengaja menjawab tidak tahu pada Ruli.

Jangan berjudi dengan nasib, Karim. Kau harus cari tahu jawaban yang benar di catatanmu itu. Bukalah contekanmu, jangan sungkan.

”Waktu tinggal 30 menit lagi,” Suara Bu Ratmi, pengawas ruang D memecah keheningan. Serentak siswa berseru huuuuuuuuuuu.......huuuuuu....! atas pemberitahuan itu.
Karim melihat lembar jawabannya lagi. Hanya ada 20 soal yang berhasil ia jawab. Dan hampir kesemuanya tidak seratus persen benar. Karim hanya menduga-duga saja ketika menjawab soal tersebut.

Aku tak boleh menyerah. Karim harus juga seperti kawan-kawan lainnya. Maka segera kuseret ingatan Karim pada Pesan Emak ketika berangkat ujian tadi pagi. ”Ingat, Nak. Kau harus lulus. Biar ringan beban emak. Adikmu sebentar lagi masuk SD. Dan kau tahu bukan biaya sekolah saat ini tidak murah. Jika kau tinggal kelas, emak tak sanggup membayar uang sekolah kalian berdua nantinya.”

Camkan pesan Emakmu, Karim. Camkan. Tidakkah kau ingin jadi anak yang berbakti? Kalau ingin, segera ambil catatanmu dan menyonteklah. Bukan perbuatan dosa, Karim. Lihat semua kawan sekelasmu melakukannya. Sudah jadi kebiasaan umum, Karim. Hanya untuk menyelamatkanmu dari ketidaklulusan. Dengan kata lain, salah satu cara membantu orang tua, Karim. Ayo lakukan, waktumu terbatas!

Karim akhirnya luluh. ”Aku harus lulus,” batinnya. Pelan-pelan diambilnya selembar cacatan di Saku celana sebelah kiri. Ia ingat, ada jawaban nomor 21 hingga 25 di catatan itu. Segera ia selipkan dalam lembar soal. Ia kemudian membacanya dengan hari-hati. Dan benar. Jawaban dari Pertanyaan; siapa pengarang kumpulan cerpen Godlob? Apa persaman kata definisi? Sebutkan nama asli penyair Widji Thukul? Siapa pengarang Ronggeng Dukuh Paruk? Dan sebutkan salah satu judul Tertalogo Pulau Buru Pramodya Ananta Toer? Ada di catatan itu. Karim girang alang kepalang. Keringat dingin yang baru saja bercucuran karena takut kini berubah menjadi keringat tantangan.

Aku tertawa ngakak. Karim yang alim dan teguh pendiriannya itu akhirnya luluh. Tidak sia-sia aku menelusup dalam dadamu, dalam aliran darahmu dan diberi kesaktian menjelma dan menirukan suara orang-orang terdekatmu Karim. Orang miskin seperti kau rupanya takut akan kegagalan. Ha.....ha.......ha.......ha...... teruskan Karim, terus mencontek. Kau telah berbakti pada Ibumu. Ibumu akan bangga dengan nilai ujianmu meski hasil dari mencontek. Ayo Karim, waktu sudah hampir habis.
”Waktu kurang 10 menit lagi,” Bu Ratmi kembali bersuara.

Karim semakin tegang. Masih tersisa 15 soal yang belum dijawab. Tapi Karim ingat soal nomor 35-40 ada di catatan yang ia selipkan di kaos kakinya. Tapi Karim belum bisa mengambilnya. Karena Bu Ratmi masih mondar-mandir mengawasi murid-muridnya. Setelah melewati bangkunya, Karim langsung mengambil catatan tersebut dan membacanya dengan hati-hati.

”Apa dibalik lembaran soal itu, Karim? Keluarkan!” tiba-tiba Bu Ratmi berbalik arah. Rupanya ia sudah mengawasi gerak-gerik Karim yang mencurigakan dari awal.
Kali ini Karim tak bisa mengelak. Ia tertangkap basah mencontek. Karim pasrah. Airmatanya meleleh ia ingat emak di rumah. Yang sudah menunggu dengan masakan kesukaannya sayur bayam, sambal garam cabe dan telor dadar.

”Nek, apakah Karim kemudian bisa lulus sekolah?,” tanya Fesha pada Neneknya
”Di negeri dongeng semua bisa terjadi cucuku,” jawab neneknya sambil memeluk erat cucu semata wayangnya itu.

***
(CERPEN ini dimuat di Majalah ANNIDA, edisi Agustus 2009.)

Tentang Penulis
Edy Firmansyah adalah penulis lepas.